Sejarah Tunisia Peran Al-Jazera dalam transformasi politik tunisia pada peristiwa arab Spring 2010-2011

50 Nil dan melalui pesisir timur Afrika. Penyebaran Islam ke wilayah tersebut sendiri terbagi atas tiga gelombang, yang pertama dibawa oleh kelompok Khawarij kelompok yang keluar dari „barisan‟ Ali bin Abi Thalib, yang kedua oleh kelompok Alawiyin keturunan Ali bin Abi Thalib, dan terakhir oleh kelompok Umawiyin keturunan keluarga Umawiyah pada saat kudeta Abbasiyah terjadi 84 . Selama hampir 1000 tahun, Tunisia berada di bawah naungan dinasti- dinasti Islam seperti Dinasti Umayyah, Dinasti Aghlabiyah, Dinasti Fatimiyah, Dinasti Al-Murabithun dan Al-Muwahhidun, dan Dinasti Hafsid, sebelum akhirnya beralih kekuasaan lagi ke dalam naungan Turki Usmani 85 . Di bawah beragam dinasti tersebut, Tunisia kerap kali mencapai masa kesuksesaannya. Terlebih saat di bawah pemerintahan Dinasti Hafsid, Tunisia – dalam hal ini Kota Tunis yang merupakan ibu kota dari dinasti yang didirikan oleh orang-orang muslim Berber tersebut mengalami kemajuan yang pesat di bidang arsitektur bangunannya 86 . Pada awal abad ke-16, terjadi perebutan kekuasaan atas wilayah mediterania oleh Spanyol dan Turki Usmani. Bajak laut banyak berkeliaran di tepi laut Afrika Utara yang lebih terkenal dengan sebutan Perairan Barbar the Barbary Coast. Ketika Barbarossa Khair al-Din lahir tahun 1478, wafat 4 Juli 1546, seorang komandan angkatan laut Algeria berhasil merebut wilayah Mediterania dari Dinasti Hafsid yang bersekutu dengan Katolik Spanyol, Tunisia pun diserahkan kepada Turki Usmani. Pada tahun 1587, Turki mulai membangun pemerintahan di sekitar wilayah Maghrib, yang mana setiap pemimpin lokal yang 84 Ifriqiyya Al-Islamiyah, h.12-13 85 Timeline Tunisia – The History of Tunisia, dalam http:www.tunispro.nettunisiatimeline-tunisia.htm , akses 22 September 2015, 12:35 86 Philip C. Naylor, North Africa: a History from Antiquity to the Present, US: University of Texas Press, 2009, h. 97-98 51 disebut bey diberi kekuasaan otonom yang kuat. Pasukan Jannisari – pasukan Elit Turki Usmani – bertugas mengumpulkan pajak, sementara pasukan tentara angkatan laut bertugas mengumpulkan tebusan dan budak-budak 87 . Aktivitas perdagangan disekitar wilayah Mediterania melalui jalur laut, termasuk Tunisia berkembang dengan pesat. Banyak negara-negara Eropa yang rela membayar pajak kepada bey sebagai perlindungan dari para bajak laut. Di tahun 1705, seorang bey yang bernama Husain bin Ali Basya mendirikan dinasti Husainiyah di wilayah Tunisia atas bantuan pejuang suku setempat. Masyarakat Tunisia meminta kepada penguasa Turki Usmani untuk mengangkat Husain bin Ali menjadi pemimpin merka dengan diberi gelar Pasya. Permintaan tersebut pun dikabulkan oleh pemerintah Turki Usmani. Keturunan- keturunan Husein kemudian diangkat menjadi raja oleh Turki Usmani dengan kekuasaan otonomi penuh. Sejak saat itu, banyak pemerintahan asing, khususnya Perancis yang ingin mengambil alih kekuasaan Bani Husainiyah atas Tunisia. Sampai akhirnya usaha mereka berhasil ketika Muhammad Sadiq Baai menandatangani perjanjian dengan Jenderal Beriar pada tahun 1881, yang menyatakan bahwa Tunisia berada di bawah kekuasaan Perancis 88 . Tunisia pun mejadi wilayah proktatorat Perancis selama 75 tahun sebelum akhirnya berhasil memerdekakan diri pada tahun 1956. Memasuki awal abad ke-19, pergerakan kaum terpelajar Perancis atau yang biasa disebut Young Tunisians 89 , mulai muncul menolak pendudukan 87 Tunisia in Perspective, h. 17 88 Ensiklopedi Islam, Jilid 5, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999, h.113 89 The Young Tunisians adalah nama dari partai politik yang dipimpin oleh Ali Bash Hamba dan Bashir Sfar. Didirikan pada tahun 1907 oleh kaum terpelajar muda berlatar belakang pendidikan Perancis yang menolak kekuasaan Perancis atas Tunisia. Mereka menuntut Tunisia untuk dapat mengatur sendiri pemerintahan, administrasi negara, serta menuntut hak – hak yang 52 Perancis atas Tunisia. Aksi penolakan mulai dilakukan melalui pidato-pidato mereka, koran-koran dan majalah. Partai-partai yang menuntut kemerdekaan Tunisia juga mulai bermunculan. Melihat hal tersebut pemerintah Perancis tentu tidak tinggal diam. Pada tanggal 9 April 1938, terjadi aksi penembakan oleh tentara Perancis kepada para protestan yang mengakibatkan kematian lebih dari seratus korban sampai sekarang peristwa tersebut dikenang setiap tahunnya sebagai Hari Syahid Martyr‟s Day 90 . Terlepas dari berbagai penahanan serta pelarangan partai dan segala macam usaha yang dilakukan oleh Perancis, perjuangan masyarakat Tunisia terus berlangsung. Sampai akhirnya setelah perang dunia ke-2, Perancis mengabulkan keingininan Tunisia untuk memperoleh kemerdekannya pada tahun 1956. Tunisia sendiri mulai menjadi Negara yang berdaulat setahun setelahnya, yaitu tahun 1957. Adalah Habib Bourguiba lahir 3 Agustus 1903, wafat 6 April 2000, seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam proses kemerdekaan Tunisia. Ia adalah sosok pemimpin dari Partai Konstitusi Baru Neo-Destour constitution party, yang berhasil menandatangi kesepakatan dengan Perancis untuk memberi kemerdekaan pada Tunisia. Penandatanganan kesepakatan Perancis – Tunisia tersebut dilakukan di Paris tanggal 20 Maret 1956. Setahun kemudian tepatnya bulan Juli 1957, pemilihan presiden pertama dilakukan dan berhasil menjadikan sepadan antara masyarakat Tunisia dan para pemuda Perancis. Partai ini menarik banyak pengikut dari kalangan muda, para pelajar, para ahli muslim, akan tetapi sikap para anggotanya yang liberal dan bergaya Eropa pada akhirnya membuat anggota biasa merasa terasingkan. Protes yang dilakukan Young Tunisians kepada pemerintahan Perancis selalu berakhir ricuh. Perancis lalu mengasingkan ketua partai, termasuk Ali Bash Hamba dan Abdul Aziz ath-Thalibi pada tahun 1912 dan menjadikannya sebagai gerakan bawah tanah. Pada akhir Perang Dunia pertama, mereka mulai muncul kembal sebagai aktivis nasionalis Tunisia. Dengan dipimpin oleh ath-Thalibi, mereka me-reorganisasi kembali menjadi Partai Konstitusi The Destour Party tahun 1920. Amy McKenna, The History of Northern Africa, NY: Britannica Educational Publishing, 2010, h.160 90 Tunisia in Perspective, h.18 53 Bourguiba sebagai presiden sekaligus menandai Republik Tunisia secara resmi berdiri. Habib Bourguiba selanjutnya disingkat dengan Bourguiba kembali terpilih sebagai presiden pada pemilihan selanjutnya tahun 1969, dan pada pemilihan-pemilihan selanjutnya tahun 1964, 1969, 1974, sampai akhirnya menjadi presiden seumur hidup 91 . Mempunyai latar belakang pendidikan Perancis yang baik, Bourguiba banyak dijuluki “France‟s Man” oleh kebanyakan Nasionalis Tunisia. Setelah menjabat sebagai presiden, Bourguiba menjadi pelopor di antara pemimpin Arab dalam menyatakan keinginannya untuk membawa modernisasi sosial dalam kerangka Islam sebagai agama Negara. Merubah Islam tradisional ke Islam liberal, seperti penghapusan hukum syariah dalam pengadilan, pelegalan obat kontrol untuk keluarga berencana dan aborsi, pencabutan hukum poligami, dll 92 . Bourguiba membawa Tunisia ke dalam proyek modernisasinya yang sangat sekuler dan progresif dalam kemajuan hak-hak wanita. Para wanita mulai diberikan derajat yang sama seperti laki-laki, antara lain diperbolehkan untuk bekerja, menggugat cerai suaminya yang sebelumnya hanya laki-laki yang berhak menggugat, pemberian hak kepada seorang ibu untuk mengasuh anaknya, menetapkan usia menikah minimal umur 18 tahun untuk laki-laki, dan umur 15 tahun untuk perempuan. Kebijakan tersebut merupakan salah satu kebijakan yang paling sekuler di dunia muslim saat itu 93 , dan membuat kaum wanita Tunisia memperoleh lebih banyak hak sosial dibandingkan dengan wanita di Negara Arab lainnya. Kebijakan tersebut dibuat karena Bourguiba menganggap bahwa untuk 91 Tunisia in Perspective, h.19 92 Harold D Nelson, Tunisia, a Country Study, h. xxii 93 Philip C. Naylor, North Africa: a History from Antiquity to the Present, h.212 54 menjadi negara modern, segala sesuatunya haruslah seperti Barat yang telah dianggap modern lebih dahulu. Latar belakang kehidupan yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kebudayaan Perancis, Bourguiba juga mempererat hubungannya dengan Perancis dalam berbagai hal. Hubungan dengan luar negeri khususnya dengan Perancis dan Negara-Negara Barat lainnya pun semakin meningkat. Tidak hanya itu, ia juga banyak mengambil tradisi faham pemikiran Perancis dibanding dengan Negara- Negara Arab Tetangganya. Hal tersebut pada akhirnya membawa kenyataan bahwa Tunisia yang sangat berbeda dengan kebanyakan Negara Arab yang bersifat otoriter adalah salah satu dampak saat Bourguiba berkuasa 94 . Tunisia pun akhirnya tidak hanya dianggap sebagai Negara Arab yang paling termodernisasi, tapi juga paling terwesternisasi. Pada tiga dekade pertama masa pemerintahan Bourguiba, Tunisia menikmati tingginya tingkat stabilitas politik dan perkembangan ekonominya. Perkembangan sosial dan ekonomi juga menjadi prioritas utamanya. Perkembangan di bidang pendidikan pun tak kalah baiknya. Tunisia yang mempunyai pesisir pantai Mediterania menjadikan Negara tersebut sebagai tujuan pariwisata favorit bagi turis-turis Eropa. Keadaan Negara saat itu bisa dikatakan telah menjadi Negara yang makmur. Namun ketika memasuki tahun 1980an, tepatnya setelah 30 tahun Bourguiba berkuasa, rakyat Tunisia mulai jengah dan tidak sabar dengan sikapnya yang menolak untuk turun dari jabatan presiden. 94 Terrence Hopmann, William Zartman, Tunisia: Understanding Conflict 2012, John Hopkins University – School for Advanced International Studies, h.116. Tersedia di http:pomed.orgwp-contentuploads201204POMED-Notes-Tunisia-Understang-Conflict.pdf , akses 20 September 2015, 11:50 55 Ditambah dengan kondisi kesehatan Bourguiba yang mulai menurun dan sakit- sakitan, rakyat merasa jika Bourguiba tak layak lagi memerintah rakyat Tunisia. Di tengah-tengah mundurnya ekonomi negara, munculnya berbagai pemogokan dan demontrasi tidak dapat dielakkan lagi. Adanya penolakan dari fundamentalis muslim serta pergerakan sekuler bawah tanah menjadi pemicu utama pengunduran diri secara paksa Bourguiba dari posisi presiden pada tahun 1987 sebelum akhirnya meninggal di tahun 2000 pada umur 96 tahun 95 . Ketika suasana politik sedang kacau meminta pengunduran diri Bourguiba, di tahun yang sama pada bulan November, sosok Zine El-Abidine Ben Ali selanjutnya disingkat dengan Ben Ali yang merupakan mantan pegawai militer yang sedang menjabat sebagai Perdana Menteri saat itu mencoba mengambil alih kekuasaan melalui kudeta. Pemilihan presiden pertama sejak tahun 1974 pun kembali dilakukan. Ben Ali sebagai satu-satunya calon kandidat terpilih secara mutlak akhirnya berhasil dipilih sebagai presiden ke-2 Tunisia pada tahun 1989. Ben Ali kemudian kembali terpilih sebanyak empat kali berturut-turut, dimana pemilihan terakhir terjadi tahun 2009 dengan keberhasilannya meraih total 89 suara 96 .

B. Tunisia di bawah Pemerintahan Zine El Abidine Ben Ali

Ben Ali 97 merupakan presiden ke-2 Tunisia setelah berhasil menggantikan presiden sebelumnya – Bourguiba pada tahun 1989. Sama seperti Bourguiba yang 95 F. Jeffress Ramsay, Wayne Edge, Global Studies: Africa, McGraw-Hill, 2004, h.15 96 Promises and Challenges: The Tunisian Revolution of 2010 – 2011, The Report of the March 2011 Delegation of Attorneys to Tunisia from National Lawyers Guild – US, Haldane Society of Socialist Lawyers – UK, and Mazlumder – Turkey, 2011, h.9. Tersedia di http:nlginternational.orgreportTunisia-Report-2011.pdf , akses 20 September 2015, 12:03 97 Ben Ali sendiri lahir dari sebuah keluarga sederhana di dekat kota Sousse pada tanggal 3 September 1936. Ketika ia lahir Tunisia masih berada di bawah protektorat Perancis, dan ketika Tunisia berhasil medapatkan kemerdekaannya pada tahun 1956 Ben Ali telah berusia 19 tahun. Ia menempuh pendidikan militernya di Perancis dan Amerika Serikat sumber: http:www.aljazeera.comindepthspotlighttunisia201101201111502648916419.html , dan 56 menjabat sebagai presiden seumur hidup, Ben Ali juga menjabat dalam jangka waktu yang lama, yaitu selama 23 tahun. Pada saat pertama kali terpilih menjadi presiden, para pendukungnya banyak yang mengelu-elukannya sebagai penyelamat sekaligus pahlawan yang diharapkan membawa Tunisia kembali bangkit dari keterpurukan pemerintahan Bourguiba. Banyak para tahanan yang ditawan pada masa Bourguiba kembali dibebaskan oleh Ben Ali. Hal tersebut tentu membawa harapan baru serta antisipasi yang tinggi dari masyarakat Tunisia akan masa depan pemerintahan Ben Ali. Banyak kebijakan- kebijakan yang diambil mendapat sambutan baik dari masyarakat, namun tindakannya yang membatasi kebebesan berpolitik tak urung mendapatkan banyak kritikan. Seperti halnya Bourguiba yang sukses membawa kemakmuran kepada Tunisia di awal masa pemerintahannya, Ben Ali juga mampu melakukan hal yang sama sebelum akhirnya Ia juga dipaksa mundur dari jabatan kepresidennya seperti Bourguiba pada peristiwa demonstrasi besar-besaran tahun 2011 yang lebih dikenal dengan peristiwa Revolusi Melati atau Musim Semi Arab. Saat Ben Ali berhasil mengambil alih kekuasaan dari Bourguiba, ada beberapa kemajuan yang mulai dirasakan oleh masyarakat. Jika fokus utama Bourguiba adalah modernisasi dan westernisasi, maka fokus utama Ben Ali dalam http:www.bbc.comnewsworld-africa-12196679 , akses 9 Maret 2015, 10:34. Setelah menempuh pelatihan militernya, Ben Ali menjabat sebagai direktur keamanan militer pada tahun 1958-1974, dan menjadi atase militer di Maroko tahun 1974-1977. Ia diangkat sebagai direktur keamanan nasional di kementrian dalam negeri pada tahun 1977. Ben Ali juga sempat menjadi duta besar untuk Polandia selama empat tahun di awal tahun 1980-an sebelum akhirnya kembali menjabat sebagai direktur keamanan nasional pada bulan Januari 1984. Di tahun-tahun berikutnya Ben Ali berulang kali berganti jabatan seperti menjadi sekretaris negara untuk keamanan nasional, menjadi menteri keamanan nasional, menjadi menteri dalam negeri, menjadi menteri negara untuk urusan internal, dan akhirnya menjadi perdana menteri Tunisia pada tahun 1987 sumber: Zine al- Abidine Ben Ali. Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008 57 pemerintahannya adalah demokratisasi dan perdamaian nasional 98 . Ia menjanjikan adanya kebebasan politik dan perubahan menuju negara demokrasi. Pada awalnya Ben Ali mempromosikan adanya demoratisasi dalam pemerintahannya dan menjanjikan penurunan masa jabatan kepresidenan, pengadaan pemilihan presiden dan memperbolehkan adanya multi partai. Partai-partai yang sebelumnya dilarang oleh Bourguiba kembali dilegalkan, kecuali pergerakan Islam MTI the Islamic Tendency Movement yang kemudian berubah nama menjadi Ennahda yang artinya The Renaissance atau Kebangkitan Kembali pada tahun 1988 99 . Namun kenyataannya itu hanyalah sekedar kedok semata yang berlangsung pada tahun- tahun pertama masa pemerintahannya. Prakteknya banyak partai-partai oposisi yang dianggap mengancam pemerintahannya dilarang. Semakin lama kebebasan berpolitik semakin dibatasi, dan korupsi serta nepotisme Negara semakin meningkat. Polisi yang ditugaskan untuk mengontrol populasi sipil, termasuk partai-partai oposisi, para jurnalis dan aktivis, menjadi strategi popular yang digunakan Ben Ali 100 . Tunisia di bawah pemerintahan Ben Ali dianggap sebagai pemerintahan yang banyak mengandalkan polisi dalam mengatur urusan negara dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Dengan jumlah polisi yang mencapai 130.000 98 Yahia H Zoubir, Haizam Amirah – Fernandez editor, North Africa: Politics, Region, and the Limits of Transformation, New York: Routledge, 2008, h.109 99 Tujuan MTI berubah nama dan menghilangkan “Islamist” menjadi Al-Nahda agar dapat diakui oleh pemerintah dan dapat berpartisipasi sebagai partai politik yang sah. Namun pada akhirnya dengan dalih untuk menjaga kestabilan nasional, Ben Ali kembali menolak kelegalan partai tersebut, yang mengharuskan anggotanya menjadi calon independen dalam mengikuti pemilihan. Ketika terjadi pemboman kantor RCD di Tunis tahun 1990, Al-Nahda menolak keterlibatannya akan tetapi ratusan anggotanya banyak yang ditahan dan mendapat hukuman tegas dari Ben Ali. Tunisia in Perspective, h.20 100 Catherine Petersson, Freedom of Expression and the Downfall of a Regime: The Tunisian revolution and the transition to democracy, h.13. Tersedia di http:lup.lub.lu.seluurdownload?func=downloadFilerecordOId=2371802fileOId=2371803 , akses 20 September 2015, 08:45 58 sampai 200.000, Tunisia sebagai negara kecil bahkan telah mengalahkan kebanyakan negara-negara Eropa yang juga mengandalkan polisi dalam urusan negaranya, yaitu dengan jumlah rasio 3 sampai 4 kali lebih banyak. Sebagai pilar utama dalam pemerintahan Ben Ali, Polisi dianggap sebagai institusi yang disegani dan ditakuti di Tunisia. Keistimewaan yang diberikan kepada polisi tak jarang menjadikan mereka berbuat sewenang-wenang kepada masyarakat sipil. Ironisnya polisi sebagai suatu kekuatan yang banyak diandalkan oleh Ben Ali untuk menjaga kestabilan negara, buktinya malah menjadi salah satu faktor utama pemicu terjadinya revolusi besar-besaran di Tunisia. Mengingat bahwa penyebab utama munculnya Revolusi MelatiArab Spring di Tunisia karena adanya tindakan sewenang-wenang seorang pegawai kepolisian terhadap masyarakat sipil 101 . Meskipun Ben Ali menjanjikan adanya reformasi dan perubahan yang dapat dilihat pada tahun-tahun pertama, tidak lama kemudian pemerintahan menjadi kacau dan kebanyakan kegian politik hanya memberi manfaat bagi pemerintahan Ben Ali itu sendiri. Di bidang ekonomi, mayoritas sumber pendapatan dikuasai oleh keluarga Ben Ali Keluarga Trabelsi, dalam hal ini termasuk Leila Ben Ali lahir 24 Oktober 1956 – Istri Ben Ali dan keluarganya. Lebih dari 50 perusahaan dimiliki oleh mereka. Adanya kebijakan penghapusan subsidi yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan fiskal, berdampak banyaknya protes karena naiknya harga bahan pangan. Tingginya tingkat pengangguran, korupsi serta nepotisme juga mewarnai pemerintahan Ben Ali. Masyarakat tidak akan mempunyai kesempatan untuk berkecimpung di bidang politik kecuali mereka mempunyai hubungan dengan keluarga Ben Ali. Sehingga 101 Derek Lutterbeck, Tunisia after Ben Ali: Retooling the Tools of Oppression?, Policy Brief, 2013, h.2-3, tersedia di http:www.ciaonet.orgattachments24200uploads , akses 20 September 2015, 08:45