Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
3
penghasilannya bekerja di Perusahaan Swasta, namun Bapak P memilih resign dari perusahaan swasta tersebut karena faktor usia yang semakin bertambah.
Bapak P merasa bangga dan nyaman bekerja di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta karena berbasis islam, lingkungannya yang enak, dan satu iman artinya beragama
muslim semua. Karena mempunyai basic islam maka frekuensi untuk berbuat curang lebih minim, berbeda halnya dengan instansi umum atau instansi
pemerintahan lainnya, mereka saling berlomba untuk mendapatkan harta yang banyak dan tidak jarang dengan jalan yang curang, itu yang membuat Bapak P
lebih merasa nyaman dan puas bekerja di Instansi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hasil wawancara, 06 Mei 2011.
Contoh lain Seperti yang dipaparkan oleh bapak S yang telah bekerja di DEPAG Departemen Agama dari tahun 1980 hingga sekarang, atau dengan kata
lain sudah bekerja selama 30 tahun. Bapak S menuturkan bahagia bekerja di DEPAG karena selama ini beliau bisa mendapatkan penghasilan yang cukup
sehingga dapat membiayai keluarga, serta dapat membantu orang yang membutuhkan jasa, terlebih lagi sangat merasa senang jika mendapat dinas keluar
kota karena dapat mengenal kota lain hasil wawancara, 14 Agustus 2010. Apakah penyebab dari fenomena-fenomena tersebut?
Fenomena di atas menunjukkan bahwa seseorang dapat memutuskan bertahan atau tidaknya dari pekerjaan dapat disebabkan oleh berbagai faktor
misalnya usia, gaji, pendidikan, kepuasan dan perasaan atau mood. Faktor tersebut merupakan bagian dari psikologi positif dan lebih spesifiknya mengenai
kesejahteraan psikologi atau well-being.
4
Istilah psychological well-being didefinisikan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bradburn 1969, dalam Ryff, 1989. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Bradburn untuk meneliti perubahan sosial pada level makro perubahan yang terjadi akibat tekanan politik, urbanisasi, pekerjaan dan
pendidikan, serta rujukan Bradburn pada buku terkenal karangan Aristotle, Nicomachean Ethics, ia menerjemahkan psychological well-being menjadi
happiness kebahagiaan. Dalam Nicomachean Ethics dijelaskan bahwa tujuan tertinggi yang ingin diraih individu adalah kebahagiaan. Kebahagiaan berdasarkan
pendapat Bradburn berarti adanya keseimbangan antara afek positif dan afek negatif Ima, 2007.
Well-being itu terbagi dalam dua yaitu subjektif well-being dan objektif well-being. Subjektive well-being adalah evaluasi-evaluasi kognitif dan afektif
seseorang dalam hidupnya. Evaluasi-evaluasi tersebut terdiri dari reaksi-reaksi emosi yang dijadikan sebagai penilaian kognitif dalam kepuasan dan pemenuhan.
Maka subjektif well-being adalah sebuah konsep luas yang terdiri dari pengalaman emosi yang menyenangkan, level negatif mood yang rendah, dan kepuasan hidup
yang tinggi. Ed Diener, Richard E. Lucas Shigero Oishi, 2005. Istilah subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan
afektif seseorang tentang hidupnya yang meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap
kepuasan dan pemenuhan hidup. Seseorang dikatakan memiliki subjective well- being yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup mereka,
5
seringkali merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif. Diener dan Larsen, 1984; Edington, 2005 dalam Arbiyah, Nurwiyanti Oriza, 2008.
Sedangkan teori objective well-being biasanya didukung oleh daftar persyaratan yang harus dipenuhi orang untuk menjalani kehidupan yang baik,
suatu kebutuhan universal dan tidak berbeda di antara masyarakat. Teori subjective well-being mendasari gagasan kesejahteraan psikologis atau well-being
pada fakta bahwa “orang-orang diperhitungkan untuk menilai yang terbaik dengan kualitas secara keseluruhan dalam hidup mereka, dan strategi bertanya dengan
berterus terang tentang well-being mereka Frey and Sutzter, 2002:405 dalam Royo Jackeline, 2005.
Objective well-being berhubungan dengan kepuasan akan kebutuhan dasar. Seperti untuk karakteristik rumah, hal yang perlu dipertimbangkan berkaitan
dengan air minum yang bagus, listrik dan kebersihan. Sedangkan dalam hal hubungannya dengan pendidikan seperti frekuensi hadir sekolah, tipe sekolah,
lokasi sekolah, model transport yang digunakan dan berapa lama jarak yang ditempuh
Royo Jackeline, 2005.
Pada penelitian ini, peneliti lebih fokus kepada subjective well-being agar penelitian tidak terlalu luas. Karena subjective well-being lebih menggambarkan
individu mengenai kesejahteraannya secara spesifik dan secara menyeluruh mengenai kepuasan hidup dalam domain kehidupannya secara subjektif
dibandingkan dengan objective well-being yang cenderung lebih bersifat kebutuhan universal dan tidak berbeda di antara masyarakat.
6
Subjektive well-being terkait dengan rasa puas seseorang akan kondisi hidupnya, seringkali seseorang merasakan emosi positif dan jarang merasakan
emosi negatif. Banyak orang yang merasa puas dengan penghasilan yang didapat sehingga dapat merasakan kesenangan dan ketenangan dalam hidupnya, namun
ada juga yang merasa tidak pernah puas dengan penghasilan yang didapat, sehingga tidak dapat merasakan kesenangan dan ketenangan dalam hidupnya.
Selain fenomena-fenomena di atas terdapat juga berbagai penelitian tentang subjective well-being misalnya oleh Ed Diener dan Carol Diener pada
tahun 1996 dalam laporan penelitiannya yang meneliti tentang sebagian besar orang bahagia. Dalam penelitian ini peneliti bertanya kepada orang yang
mempunyai kesempatan untuk melaporkan secara lisan seberapa bahagia atau puas mereka. Pertanyaan yang diberikan bertujuan untuk melihat fakta siapa yang
lebih atau kurang bahagia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang merasa puas dengan pernikahannya, pekerjaannya, dan waktu luang yang
dimiliki. Akan tetapi, walaupun studi terbaru menunjukkan bahwa kebanyakan
orang bahagia Diener Diener, in perss dan mempertimbangkan emosi positif lebih normatif dari emosi negatif Sommers, 1984, sejauh mana aktivitas
kehidupan mempengaruhi tingkat individu dari subjective well-being tidak sepenuhnya dipahami. Sebagai contoh, efek dari keadaan kehidupan objektif,
seperti pendapatan Diener, Sandvik, Seidlitz, Diener, 1992, kesehatan Okun George, 1984, tahun pendidikan Diener, 1984, dan daya tarik fisik Diener,
Wolsic, Fujita, 1995, sering ditemukan mempunyai pengaruh yang kecil.
7
Demikian pula, temuan Campbell, Converse, dan Rogers 1976 menyimpulkan bahwa efek dari variabel-variabel demografis di subjective well-being
berpengaruh kecil pada kesejahteraan subjektif. Peneliti lain menunjukkan bahwa kesejahteraan terutama ditentukan oleh sifat daripada situasi kehidupan eksternal
Costa McCrae, 1980, 1984; Costa, McCrae, Zonderman, 1987; Diener, Sandvik, Pavot, Fujita, 1992 dalam Eunkook Suh, Ed Diener, Frank Fujita,
1996. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Nurul Arbiyah, Fivi Nurwianti
Imelda, dan Ika Dian Oriza, pada tahun 2008, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan istrumen data berbentuk kuesioner dengan jumlah
partisipan 231 orang yang memiliki karakteristik penduduk miskin pendapatan perkapita perbulan kurang atau sama dengan Rp. 187.942. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara bersyukur dengan subjective well-being. Penelitian ini dapat melihat hubungan bersyukur
dengan subjective well-being, sehingga pembaca lebih bisa melihat kelebihan diri yang dimilikinya agar bisa bersyukur Arbiyah, Nurwiyanti Oriza, 2008.
Berdasarkan fenomena dan beberapa penelitian mengenai subjective well- being yang telah dilakukan oleh sebagian peneliti baik di luar maupun di dalam
negeri inilah yang menyebabkan peneliti merasa terdorong untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan subjective well-being.
Subjektive well-being itu terkait dengan beberapa hal. Lucas, Diener dan Suh tahun 1996 mendemonstrasikan multi-item dari subjective well-being yaitu
kepuasan hidup, perasaan senang, dan perasaan tidak senang dan juga dari
8
konstruk lain seperti self-esteem Diener, Richard E. Lucas, Shigehiro Oishi dalam C. R. Snyder dan Shane J. Lopez, 2005.
Wilson tahun 1967 memperlihatkan bahwa faktor psikologis dan demografi berhubungan dengan subjective well-being. Faktor psikologis terdiri
dari self-esteem, kebahagiaan happiness, mood, kepribadian, dan IQ. Sedangkan faktor demografi terdiri dari umur, pendidikan, jenis kelamin, agama, status, gaji,
kesehatan, dan kebudayaan culture C. R Synder dan Shane J. Lopez, 2005. Self-esteem sendiri menurut Coopersmith dalam Ling dan Dariyo, 2000,
menyatakan bahwa self-esteem atau harga diri adalah penilaian yang dibuat seseorang, dan biasanya tetap, tentang dirinya, hal itu menyatakan sikap
menyetujui atau tidak menyetujui, dan menunjukkan sejauhmana orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan berharga. Ratna Maharani
Hapsari, tanpa tahun. Self-esteem sangat memegang peranan penting dalam kehidupan
seseorang. Bahkan menurut Diener masyarakat dalam negara-negara yang individualistik mendasari hidup mereka dengan penilaian kepuasan hidup pada
tingkat perasaan tingginya self-esteem. Diener dan Diener, 1995 dalam Synder dan Lopez, 2005.
Oleh karena itu individu sangat diharuskan untuk mempunyai self-esteem yang tinggi guna untuk pengembangan dirinya agar dapat merasakan kepuasan
hidup. Dengan merasakan kepuasan hidup maka terciptalah kesejahteraan subjektif atau subjective well-being yang menimbulkan tingginya afek positif
9
pada diri individu dan rendahnya afek negatif serta kepuasan hidup dalam domain kehidupan.
Kaitan self-esteem dengan subjective well-being, menurut Campbell dalam Wangmuba, 2009 menemukan bahwa self-esteem merupakan prediktor
yang paling penting untuk kesejahteraan subjektif. Self-esteem yang tinggi membuat seseorang memiliki beberapa kelebihan termasuk pemahaman mengenai
arti dan nilai hidup. Hal itu merupakan pedoman yang berharga dalam hubungan interpersonal dan merupakan hasil alamiah dari pertumbuhan seseorang yang
sehat Ryan Deci, 2001. Studi telah menunjukkan bahwa orang yang dilaporkan memiliki self-esteem yang tinggi biasanya menggunakan lebih banyak
proses peningkatan diri Sedikides dalam Wangmuba, 2009; Widyatys, 2010
.
Rosenberg, Schooler, Schoenbach dan Rosenberg 1995 menguraikan bahwa global self-esteem menjadikan sikap positif atau negatif pada individu ke
arah kesempurnaan diri, yang mana berhubungan erat dengan kesejahteraan psikologis atau psychological well-being secara keseluruhan Swenson, 2003.
Di kehidupan sehari-hari khususnya pada karyawan tentu kita banyak menemukan seseorang yang selalu ingin mengembangkan dirinya melalui
pengalaman-pengalaman baru dalam hal peningkatan kualitas diri, sehingga karyawan bisa lebih produktif dan efektif dalam pekerjaannya. Hal ini tidak akan
dapat terwujud jika individu atau karyawan tersebut mempunyai tingkat self- esteem yang rendah.
Adapun mengenai self-esteem itu sendiri, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mempunyai visi menjadikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai
10
lembaga pendidikan tinggi terkemuka dalam mengintegrasikan aspek keilmuan, keislaman dan keindonesiaan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah menjadi
jendela keunggulan akademis Islam Indonesia window of academic exellence of Islam in Indonesia dan barometer perkembangan pembelajaran, penelitian, dan
kerja-kerja sosial yang diselenggarakan kaum Muslim Indonesia dalam berbagai bidang ilmu. Dalam kerangka memperkuat peranannya tersebut UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta berkomitmen untuk mengembangkan diri sebagai Universitas Riset Research University dan Universitas Kelas Dunia World
Class University UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Dengan demikian, untuk mencapai komitmen tersebut tentunya perlu
produktivitas dan kreativitas karyawan yang tinggi dan efektif. Karena untuk menjadi Universitas Riset dan Universitas kelas Dunia yang mengintegrasikan
aspek keilmuan, keislaman dan keindonesiaan bukanlah hal yang mudah, semua membutuhkan strategi dan sistem kerja yang tepat. Oleh karena itu, karyawan
perlu memiliki rasa self-esteem yang tinggi agar tujuan dan komitmen yang telah dibuat oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat tercapai.
Hal ini dijelaskan oleh Tjahjono tahun 2005, self-esteem yang rendah menyebabkan tujuan perusahaan menjadi terhambat karena karyawannya menjadi
kurang efektif dan produktif, self-esteem yang tinggi memang tidak mudah untuk dimiliki karena self-esteem tidak dibawa sejak lahir tetapi memerlukan proses
Ratna Maharani Hapsari, tanpa tahun. Adapun karena fenomena dan hasil penelitian di atas, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Hubungan antara Self- esteem dengan Subjective Well-being Karyawan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta ”
.
11