Di luar bidang kepengarangannya itu, Navis bekerja sebagai pemimpin redaksi harian Semangat harian angkatan bersenjata edisi Padang, Dewan
Pengurus Badan Wakaf INS, dan pengurus Kelompok Cendekiawan Sumatera Barat Padang Club. Di samping itu, Navis juga sering menghadiri berbagai
seminar masalah sosial dan budaya sebagai pemakalah atau peserta. Semasa hidupnya Navis juga pernah memperoleh beberapa penghargaan
antara lain hadiah kedua lomba cerpen majalah Kisah 1955 untuk cerpen “Robohnya Surau Kami”. Penghargaan dari UNESCO 1967 untuk novel
Saraswati dalam Sunyi, hadiah seni dari Depdikbud 1988 untuk novel Kemarau, dan SEA Write Awards 1992 dari Pusat Bahasa bekerja sama
dengan Kerajaan Thailand.
B. Biografi Kuntowijoyo
Prof. Dr. Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia.
Ayahnya seorang dalang dan pembaca macapat, sedangkan eyang buyut-nya seorang khathath penulis mushaf Al-
Qur‘an dengan tangan. Kuntowijoyo mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah
Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP di Klaten dan SMA di Solo, sebelum lulus sarjana Sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969.
Gelar M.A American History diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, dan Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia
pada tahun 1980. Karya-karya monumental yang lahir dari tangan dinginnya antara lain;
Suluk Awung-awung Kumpulan Sajak, 1975, Isyarat Kumpulan Sajak, 1976, dan Makrifat Daun, Daun Makrifat Kumpulan Sajak, 1995; Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga Kumpulan Cerpen, 1992 dan Hampir Sebuah Subversi Kumpulan Cerpen, 1999; Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari
novel, 1966, Pasar novel, mendapatkan hadiah Hari Buku, 1972, Khutbah
di Atas Bukit Novel, 1976, Mantra Penjinak Ular 2000, dan Wasripin dan Satinah 2003; Rumput-Rumput Danau Bento drama, 1968, Tidak Ada
Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda dan Carta drama, 1972, dan Topeng Kayu 1973. Karyanya yang lain tersebar pula dalam berbagai antologi.
4
Karya sastra yang diciptakan, menurut Kuntowijoyo bukan hanya memberi kesan melalui fungsinya, tetapi terutama melalui kualitas pesan moral dan
kemanusiaannya yang disugestikan melalui ungkapan-ungkapan estetisnya yang memiliki daya pembayang imaginasi yang kuat. Untuk itu,
Kuntwowijoyo menggunakan sarana-sarana estetik sastra klasik seperti penciptaan tokoh, kejadian dan latar cerita yang aneh, ganjil, ajaib, serba unik,
mengagumkan, mengerikan dan kadang-kadang dahsyat. Caranya membangun alur cerita, menampilkan tokoh dan kerjadian, serta latar cerita, dapat
dibandingkan penulis-penulis lain yang sezaman seperti Iwan Simatupang, Danarto, Budi Darma, Arifin C. Noer dan lain-lain. Sekali pun tokoh cerpen-
cerpen dan novel Kuntowijoyo terkesan ganjil, namun tetap berpijak pada realitas.
5
Bagi Kuntowijoyo menulis sastra adalah proses pengendapan pengalaman. Sudah sejak kecil ia terbiasa menuliskan “catatan-catatan
pengalaman” dalam bentuk sinopsis. Dari catatan-catatan itulah kemudian
bermunculan karya sastra. Hal yang memberikan pengaruh dalam proses kreatif Kuntowijoyo ketika menulis sastra, selain faktor budaya Jawa,
pengalaman hidupnya, pergulatan dengan budaya Barat dan pemikiran Islam, adalah juga posisinya sebagai sejarawan.
Kuntowijoyo telah meraih beberapa penghargaan, antara lain; penghargaan sastra dari Pusat Bahasa atas kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-
Bunga 1994, ASEAN Award on Culture 1997, Satya Lencana Kebudayaan RI 1997, Mizan Award 1998, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
4
Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, Jakarta: PT Grasindo, 2007, hal.2
5
Abdul Hadi W.M., “Wawasan Sastra Kuntowijoyo dan Kepengarangannya”, dalam
http:horisononline.or.id diunduh pada 13 November 2012
Indonesia 1999, dan Majelis Sastra Asia Tenggara Mastera atas novel Mantra Pejinak Ular 2001, dan SEA Write Award dari Pemerintahan
Thailand 2001. Ia meninggal dunia pada tanggal 22 Februari 2005 pada umur 61 tahun
akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare, dan ginjal yang diderita setelah untuk beberapa tahun mengalami serangan virus meningo enchephalitis.
Sebelum meninggal dunia, ia adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Gadjah Mada dan juga pengajar di Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga. Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak. Gagasannya yang sangat penting bagi pengembangan ilmu sosial di
Indonesia adalah idenya tentang Ilmu Sosial Profetik ISP. Bagi Kuntowijoyo, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk
menjelaskan atau memahami realitas, ia juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan
tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi
misalnya muncul gagasan Sosiologi Profetik yang dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma ISP.
C. Sinopsis Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA. Navis