menunjukkan bahwa persepsi terhadap nilai anak bukan merupakan faktor risiko perubahan penggunaan metode alat kontrasepsi.
Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara persepsi terhadap nilai anak dengan perubahan penggunaan metode alat kontrasepsi dengan
nilai p= 0,212 0,05. Sebahagian besar akseptor bersuku Jawa dan Melayu yang tidak memilki
tradisi ada tingkatan jenis kelamin anak dalam keluarga, tidak seperti suku Batak yang lebih menganggap anak laki-laki lebih tinggi dibanding anak perempuan. dan
semboyan ”banyak anak banyak rejeki” tidak lagi dihidupi oleh mereka. Sesuai dengan penelitian Nerseri, dkk 1991 di Kecamatan Percut Sei Tuan
dengan desain cross sectional menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara ada tidaknya anak laki-laki dengan perubahan pemakaian alat kontasepsi p = 0,24.
23
6.2.8. Hubungan Ketersediaan dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi Hormonal
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6.9. Diagram Bar Perubahan Penggunaan Metode Alat Kontrasepsi Berdasarkan Ketersediaan Alat Kontrasepsi di Desa Cempa
Kecamatan Hinai Tahun 2010
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate akseptor yang berubah penggunaan metode alat kontrasepsinya yang merasa tersedia alat
kontrasespi sebesar 62,2, sedangkan prevalens rate akseptor yang berubah penggunaan metode alat kontrasespinya yang merasa tidak tersedia alat kontrasepsi
sebesar 16,7. Ratio Prevalens = 3,730 95 CI = 2,008 – 6,927. Hasil analisis statistik menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara
ketersediaan alat kontrasepsi dengan perubahan penggunaan metode alat kontrasepsi dengan estimated risk = 3,730. Nilai RP 1 artinya akseptor yang merasa tersedia
alat kontrasepsi untuk berubah penggunaan metode alat kontrasepsinya lebih tinggi dibandingkan dengan akseptor yang merasa tidak tersedia.
Hal ini bukan berarti kurang tersedianya pelayanan KB dan alat kontrasepsi di desa Cempa Kecamatan Hinai, tetapi karena kurangnya promosi yang dilakukan oleh
Bidan Desa atau Kader KB untuk memperkenalkan jenis KB yang dapat dimanfaatkan oleh akseptor. Alat KB yang paling diketahui oleh akseptor tersedia di
Desa Cempa adalah Pil dan Suntik, jadi kecenderungan untuk memakai jenis KB lain sangat kecil.
Universitas Sumatera Utara
6.2.9. Hubungan Keterjangkauan dengan Perubahan Penggunaan Metode Alat Kontrasepsi
Gambar 6.10. Diagram Bar Perubahan Penggunaan Metode Alat Kontrasepsi Berdasarkan Keterjangkauan Biaya Pelayanan KB di Desa
Cempa Kecamatan Hinai Tahun 2010
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate akseptor yang berubah penggunaan metode alat kontrasepsinya yang merasa terjangkau biaya
pelayanan KB sebesar 34,4, sedangkan prevalens rate akseptor yang berubah penggunaan metode alat kontrasespinya yang merasa tidak terjangkau biaya
pelayanan KB sebesar 0. Ratio Prevalens = 0,380 95 CI = 0,236 – 0,611. Nilai
Universitas Sumatera Utara
RP tidak bisa digunakan karena ada ketidakkonsistenan antara besar akseptor yang merasa terjangkau dengan yang tidak terjangkau
Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara keterjangkauan biaya pelayanan KB dengan perubahan penggunaan metode alat
kontrasepsi dengan nilai p= 1,000 0,05. Alat kontrasepsi yang digunakan akseptor yang paling banyak adalah pil dan
suntik. Harga alat kontrasepsi tersebut memang terbilang murah, dan jika menggunakan sterilisasi biasanya diberikan oleh pemerintah dengan gratis. jadi
hampir semua akseptor merasa biaya untuk mendapatkan alat kontrasepsi cukup terjangkau.
Universitas Sumatera Utara
6.2.10. Hubungan Ketercapaian dengan Perubahan Penggunaan Metode Alat Kontrasepsi