34
Menurut Prasetya 2006:105-110 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan keterlibatan kaum muda dalam kehidupan menggereja. Pertama,
Gereja perlu menyadari bahwa jumlah kaum muda mencapai separuh dari jumlah umat beriman Katolik, sehingga mereka merupakan potensi sekaligus tantangan
bagi Gereja di masa depan. Kaum muda merupakan potensi yang luar biasa yang sekaligus menjadi tantangan yang besar untuk diberdayakan demi masa depan
Gereja. Gereja melihat jalannya menuju masa depan dalam diri kaum muda, memandang dalam diri mereka cerminan dirinya sendiri dan panggilannya kepada
keremajaan yang membahagiakan yang terus-menerus dinikmati sebagai buah hasil Roh Kristus. Kedua, Gereja hendaknya mengupayakan terwujudnya pendidikan
formal bagi kaum muda, baik di sekolah Katolik mau pun perguruan tinggi Katolik, agar mereka mampu mengembangkan segala kemampuannya secara lebih memadai
karena pada kenyataannya bahwa banyak kaum muda belum mengenyam pendidikan selayaknya atau menikmati pendidikan formal yang memadai, dengan
berbagai macam alasan dan kendala yang ada. Ketiga, Gereja Katolik hendaknya mengupayakan terlaksananya pendidikan non-formal dan informal bagi kaum
muda, yang terjadi baik di dalam keluarga mau pun di lingkungan Gereja guna memberikan keseimbangan terhadap pertumbuhan dan perkembangan kaum muda
secara utuh dan menyeluruh. Berkaitan dengan pendidikan kaum muda di dalam keluarga, Gereja Katolik telah menegaskan bahwa orangtualah yang menjadi
pendidik pertama dan utama, termasuk pendidikan iman bagi anak-anaknya, karena orangtua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak terkait kewajiban amat
berat untuk mendidik mereka. Hal ini berarti bahwa dalam keluarga Katolik,
35
melalui diri dan hidup orangtua, hendaknya dapat ditumbuhkan aneka kebiasaan untuk mengembangsuburkan iman kaum muda.
Kaum muda tidak hanya dituntut untuk belajar dan belajar terus guna mengembangkan kepandaian intelektual, tetapi juga diberi kemungkinan dan
kesempatan untuk mengembangkan jati dirinya melalui kegiatan yang bersifat humanis misalnya dalam kegiatan bakti sosial baik di lingkungan masyarakat mau
pun Gereja, kunjungan ke Panti Asuhan, Lembaga Permasyarakatan, Panti Jompo, dan ikut serta dalam membantu korban bencana alam atau pun orang yang sedang
membutuhkan bantuan. Sedangkan untuk kegiatan religius dapat dilakukan dalam bentuk latihan koor, pertemuan kaum muda di tingkat Paroki atau lingkungan,
membaca dan mendalami Kitab Suci secara pribadi atau kelompok, mengembangkan kegiatan doa secara pribadi atau kelompok Legio, Taize, PDK,
dan sebagainya, rekoleksi, retret, dan sebagainya sehingga berkembangsuburlah keutamaan hidup dan iman dalam dirinya. Melalui kegiatan-kegiatan seperti ini
kaum muda diharapkan mampu mengolah diri, hati, dan hidupnya sehingga tidak mudah jatuh ke dalam godaan yang dapat menyesatkan dan memudarkan masa
depannya sendiri, misalnya minum-minuman keras, narkoba, dan seks bebas. Pendidikan kaum muda juga dapat dilakukan di lingkungan Gereja, dengan
segala kegiatan yang melibatkan kaum muda dan berdaya-guna bagi mereka. Kegiatan ini dapat berupa pendidikan kader dari berbagai lembaga dan disiplin
ilmu, pelatihan-pelatihan yang membangun karakter atas dasar pendidikan spiritualitas yang utuh, memberikan kepercayaan atau tanggung jawab dalam
pengambilan keputusan. Kaum muda hendaknya juga diberi kesempatan untuk
36
menampilkan kemampuan dan kreativitas yang dimilikinya, dengan cara mendampingi adik-adiknya dalam kegiatan PIR dan PIA.
C. Hidup Menggereja Secara Kontekstual Sebagai Praksis Menghayati Iman
Kristiani 1.
Hidup Menggereja Secara Kontekstual
Hidup sebagai murid Yesus berarti hidup sebagai anggota Gereja yang sudah dikuduskan oleh Allah dengan segala konsekuensinya. Hidup menggereja
berarti menampakkan iman akan Yesus Kristus, yang dalam arti luas adalah perwujudan iman dalam hidup sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat. Menggereja yang memasyarakat berarti pula berhubungan dengan masyarakat sebagai konteks.
Menurut Banawiratma 2000:190 menjelaskan bahwa kontekstual berarti suatu usaha yang berhubungan dengan fungsi pelayanan terhadap kelompok yang
hidup dalam konteks tertentu. Selain itu usaha kontekstual juga ingin menyapa seluruh kelompok manusia, tidak hanya berdasarkan orientasi eksternal, melainkan
berpangkal pada otoritas internal dari kenyataan hidup sebagai konteks. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan kontekstualisasi lebih bersifat komunikatif. Artinya kita
diharuskan berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. Kontekstual secara eksplisit mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya
konteks dalam kultur kebudayaan, melainkan juga kultur ekonomi, kultur politik, dan seluruh pengalaman hidup umat beriman. Dengan demikian, hidup menggereja
secara kontekstual berarti menggereja dalam hubungannya dengan situasi atau
37
kejadian yang dialami. Sedangkan yang dimaksudkan situasi dalam hidup menggereja secara kontekstual adalah realitas hidup konkrit yang dialami di dalam
hidup bermasyarakat. Realitas hidup konkrit itu sifatnya aktual dan mendesak untuk ditanggapi dengan segera mengambil sikap bertindak. Gereja masa kini sedang
berada dalam situasi itu, dan diharapkan bersikap serta bertindak sebagaimana yang dilakukan dan diajarkan oleh Yesus Kristus.
Hidup menggereja secara kontekstual dilakukan dalam jaringan berbagai macam komunitas basis kontekstual yang menurut bahasa Injil terdiri dari siapa saja
yang melakukan kehendak Allah, sebagaimana yang dikatakan Yesus “Barangsiapa yang melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku
perempuan, dialah ibu-Ku Mrk 3:35. Keterbukaan Gereja bagi semua orang memiliki konsekuensi bahwa semua
orang dalam kebersamaan bertanggung jawab terhadap Gereja Suratman, 1999:24. Semua orang yang dipermandikan mempunyai tanggung jawab bersama untuk ikut
membangun hidup Gereja, termasuk mereka yang miskin dan kecil. Berkaitan dengan hal itu, Suratman 1999:25 juga menjelaskan bahwa dalam komunitas itu
orang saling mengenal, mendukung dan melayani satu sama lain, dan juga semakin dipersatukan dengan sesama, Tuhan dan seluruh Gereja.
Cara hidup menggereja secara kontekstual memberikan penghargaan kepada setiap orang, cara hidup ini juga mengembangkan demokrasi dan keluhuran nilai-
nilai hidup serta hak azazi manusia. Dalam hidup menggereja secara kontekstual diharapkan, semua kharisma baik yang dianugerahkan kepada laki-laki maupun
38
perempuan dapat lebih diterima dan diperkembangkan demi pelayanan bersama Banawiratma, 2000:195.
Wibowo Ardhi 1993:13 memaparkan bahwa sebagai Umat Allah, Gereja memperlihatkan: pertama, Aspek komunio yaitu yang dibentuk dan dipersatukan
oleh pembaptisan. Oleh sebab itu adanya kesamaan martabat para anggotanya dikarenakan satu dalam Kristus. Kedua, Aspek misioner yaitu Gereja yang selalu
terus-menerus mewartakan Kabar Gembira guna menghimpun semua orang kepada Yesus Kristus. Ketiga, Aspek eskatologis yaitu Umat Allah yang berziarah dalam
persatuan dengan Kristus dan dibimbing oleh Roh Kudus menuju Kerajaan Bapa. Demikian pula di dalam Perjanjian Baru terdapat unsur universalitas umat
Allah yang sangat menonjol karena Perjanjian Baru tidak membatasi diri sebagaimana dalam Perjanjian Lama. Universalitas umat Allah mengungkapkan
bahwa Gereja dimaksudkan untuk semua orang. Semua orang dipanggil untuk menjadi umat Allah. Gereja memberi tempat dan menerima semua yang baik,
semua bakat, kekayaan budaya, atau adat istiadat sejauh tidak bertentangan dengan Injil. Sifat universalitas umat Allah mencakup dan menghapus perbedaan anggota,
semua memiliki derajat sama dalam Gereja. Hal ini ditegaskan pula oleh Konsili Vatikan II dalam konstitusi dogmatis LG tentang Gereja sebagai berikut: Segala
sesuatu yang telah dikatakan tentang umat Allah, sama-sama dimaksudkan bagi kaum awam, para religius, dan kaum rohaniawan LG, art. 30.
Dengan demikian di dalam Gereja Kristus, semua orang yang dibaptis dalam nama-Nya telah mengenakan Dia. Karena itu, tidak ada orang Yahudi atau Yunani,
tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena
39
semua adalah satu dalam Kristus Yesus Gal 3:27-28. Jadi baik awam, rohaniawan, mau pun para religius sama-sama mengemban tugas sebagai pewarta iman sesuai
dengan fungsinya masing-masing.
2. Hidup Menggereja Kontekstual Sebagai Praksis Perwujudan Iman
Kristiani
Hidup beriman meliputi berbagai macam yaitu: wawasan, perayaan, dan perwujudan. Untuk dapat menghayati hidup menggereja secara kontekstual unsur
perwujudan menjadi bagian yang paling penting. Dalam surat Ykb 2:14 dikatakan bahwa iman tanpa perbuatan itu pada hakekatnya adalah mati. Maksud dari surat
Yakobus tersebut mengandung asumsi pokok bahwa orang yang mendengarkan firman harus melaksanakannya juga. Iman tidak boleh berhenti pada masalah liturgi
atau terkurung di sekitar tembok Gereja, melainkan harus diwujudkan melalui kepedulian terhadap pelbagai situasi aktual dan lingkungan hidup.
Dalam dunia yang semakin berkembang ini muncul gejala-gejala yang mengakibatkan krisis berbagai dimensi kehidupan yang menimbulkan masalah
kemiskinan yang menyebabkan banyak orang terlantar, anonimitas, para pengungsi yang mendapat tekanan politik, dan sebagainya. Akibatnya orang akan lebih
cenderung berusaha memenuhi kebutuhan jasmani daripada yang rohani termasuk yang berhubungan dengan iman itu sendiri, padahal iman juga menuntut perjuangan
demi perdamaian, pembangunan dan pembebasan mereka yang berada dalam kesulitan.
40
Kekayaan iman yang terkandung dalam Kitab Suci itu diwartakan kepada segala bangsa dengan pelbagai cara dan bahasa, serta melalui pelbagai kebudayaan.
Meskipun situasinya selalu berubah dari waktu ke waktu, namun iman itu tidak berubah. Hal tersebut ditegaskan dalam EN art 65 tentang pewartaan Injil kepada
bangsa-bangsa, yakni : “Meskipun diterjemahkan ke dalam semua ungkapan, isinya iman tidak
boleh dilemahkan atau dikurangi. Kendati diselubungi oleh bentuk-bentuk lahiriah yang cocok dengan tiap bangsa, dieksplisitkan dengan ungkapan-
ungkapan teologis yang memperhatikan perbedaan budaya, lingkungan sosial, dan suasana kesukuan, isinya harus tetap mengenai iman Katolik
seperti yang diterima oleh magisterium Gereja dan disampaikan magisterium
”. Dengan demikian, hendaknya anggota Gereja menghayati imannya akan
Yesus Kristus meski dalam situasi yang memprihatinkan. Umat hendaknya tidak mudah terbawa oleh arus yang gampang berubah, tetapi harus melihat situasi nyata
dengan terang iman yang sejati pada Kristus. Hidup menurut Injil Yesus Kristus merupakan ungkapan orang beriman dalam menjawab kehendak Allah di dalam
kehidupan pribadi maupun bersama. Mewujudkan iman itu bersifat mutlak karena iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati Ykb 2:14. Gereja
menghendaki supaya anggotanya hidup menggereja secara kontekstual, yaitu menggereja dalam hubungannya dengan situasi aktual masyarakat yang begitu
mendesak untuk ditanggapi dengan mengambil tindakan nyata.
41