GULA DARAH TIDAK TERKONTROL SEBAGAI FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 USIA DEWASA MENENGAH.

(1)

PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

USIA DEWASA MENENGAH

BHASKORO ADI WIDIE NUGROHO

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(2)

PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

USIA DEWASA MENENGAH

BHASKORO ADI WIDIE NUGROHO NIM 1014068101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(3)

PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

USIA DEWASA MENENGAH

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

BHASKORO ADI WIDIE NUGROHO NIM 1014068101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(4)

PADA TANGGAL: 31 JULI 2015

Pembimbing I,

dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K) NIP. 195610101983121001

Pembimbing II,

Dr. dr. DPG. Purwa Samatra,Sp.S(K) NIP. 195503211983031004

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc. Sp.GK NIP. 195805211985031002

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof.Dr.dr.AA.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195902151985102001


(5)

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.: 1969/UN.14.4/HK/2015

Tertanggal: 1 Juli 2015

Ketua : dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S (K) Sekretaris : Dr. dr. DPG. Purwa Samatra, Sp.S (K) Anggota : 1. Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S (K)

2. dr. IGN. Purna Putra, Sp.S (K)


(6)

(7)

Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga saya dapat menempuh Pendidikan Dokter Spesialis I sampai tersusunnya karya akhir ini.

Kepada dr. I Made Oka Adnyana,Sp.S (K) dan Dr. dr. DPG. Purwa Samatra, Sp.S(K), selaku pembimbing, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala perhatian, bimbingan, didikan, bantuan, dorongan, dan petunjuk yang diberikan selama pendidikan dan penyusunan karya akhir ini.

Terima kasih kepada kepada dr. AABN. Nuartha, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan keahlian.

Dr.dr.AAA. Putri Laksmidewi,Sp.S(K) selaku plt. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK Unud atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dan penyusunan karya akhir ini.

Kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD (KEMD), dan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Astawa, Sp.OT(K), M.Kes. atas ijin, kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I FK UNUD/RSUP Sanglah.

Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada dr. Anak Ayu Sarawati, M.Kes. Direktur RSUP Sanglah Denpasar atas ijin yang diberikan penulis untuk mengikuti pendidikan Dokter Spesialis Neurologi di RSUP Sanglah Denpasar.

Kepada seluruh supervisor di Bagian/SMF Neurologi FK Unud/RSUP Sanglah, Prof. Dr. dr.AA. Raka Sudewi, Sp.S(K), Dr. dr. Thomas Eko P., Sp.S(K), dr. IGN. Purna Putra, Sp.S(K), dr. IGN. Budiarsa, Sp.S, dr.Anna Marita Gelgel, Sp.S(K), dr. AAA. Meidiary, Sp.S, dr. I Komang Arimbawa, Sp.S, dr. IB. Kusuma Putra, Sp.S, dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S, dr. Putu Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S(K), dr. Kumara Tini, Sp.S, FINS, dr. Ketut Widyastuti, Sp.S, dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S, dr. IA. Sri Indrayani, Sp.S, dr. Ni Putu Witari, Sp.S, dr. Riantarini, Sp.S, dr. AAA. Prabasari, Sp.S, dr. Desie Yuliani, Sp.S saya mengucapkan terima kasih atas segala bimbingan dan saran selama saya mengikuti pendidikan.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada dr. Sri Yenni Trisnawati, Sp.S, MBioMed., dr. I Wayan Widyantara, Sp.S, MBioMed., dr. IA. Sri Wijayanti, Sp.S, MBioMed, dr. Agus Antara, Sp.S, MBio Med., dr. I Nyoman Darsana, Sp.S, MBio Med., dr. Agustinus Made Rudy, dr. Hadi Widjaja, dr. Priska Widyastuti, dr. Putu Sukarini, dr. Octavianus Damawan, dr. Agus Suryawan, dr. Ni Nyoman Mestri Agustini, dr. Ayuna Putri Sundari khususnya serta teman sejawat lainnya, peserta PPDS I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah, atas kerjasama dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan dan membantu pelaksanaan penelitian ini.


(8)

adik saya, terima kasih yang sebesar-besarnya atas pengertian, semangat dan dorongannya baik material maupun moral selama penulis mengikuti pendidikan ini, dan terakhir, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pasien dan keluargannya atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis mengikuti pendidikan dan melaksanakan penelitian ini.

Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga kepada istri tercinta Margareta Murniati, SKM dan anak-anak tercinta Hizkia Adyatama Widie Nugroho dan Yohanna Adwitiya Widie Nugroho atas segala pengorbanan, pengertian, kasih sayang, bantuan, dan doanya selama saya menjalani pendidikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan karunia-Nya bagi kita semua.

Denpasar, Agustus 2015 Penulis


(9)

Diabetes melitus telah diasosiasikan dengan kejadian gangguan fungsi kognitif (GFK). Kontrol gula darah yang diukur dengan menggunakan kadar HbA1c telah dikaitkan dengan perkembangan dan progresivitas dari komplikasi DM. Tujan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar gula darah tidak terkontrol (HbA1c >7%) merupakan faktor risiko gangguan fungsi kognitif pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah.

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk mengetahui gula darah tidak terkontrol sebagai faktor risiko gangguan fungsi kognitif pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung. Analisis multivariat untuk melihat hubungan langsung gula darah tidak terkontrol sebagai faktor risiko gangguan fungsi kognitif pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah.

Jumlah penderita DM usia dewasa menengah yang memenuhi kriteria inklusi untuk dilakukan pemeriksaan sebanyak 87 orang. Dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa kadar gula darah tidak terkontrol berhubungan dengan kejadian GFK pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah (OR=3,81; IK 95% 1,466-9,11; p=0,006).

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa kadar gula darah tidak terkontrol adalah faktor risiko terjadinya GFK pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah.


(10)

Diabetes mellitus has been associated with the incidence of impaired cognitive function. Blood sugar control measured using HbA1c levels have been associated with the development and progression of diabetes complications. Uncontrolled blood sugar is risk factors for cognitive impairment in middle-aged adult patients with type 2 diabetes mellitus.

This is a non-randomized consecutive sampling, case-control study to determine if uncontrolled blood sugar as a risk factor of cognitive impairment in middle-aged patients with type 2 diabetes mellitus. We used analysis of bivariate to test the independent and dependent variables; analysis of multivariate to see the direct association of uncontrolled blood sugar (HbA1c> 7%) as a risk factor of cognitive impairment in middle-aged patients with type 2 diabetes mellitus.

The number of patients with diabetes mellitus who met the inclusion criteria was 87 people. Results from the statistical analysis showed that poorly controlled blood sugar levels associated with impaired cognitive function events in middle-aged patients with type 2 diabetes mellitus (OR = 3.81; 95% CI 1.466 to 9.11; p = 0.006).

Based on the results of this study, we concluded that poorly controlled blood sugar levels are a risk factor for the occurrence of impaired cognitive function events in middle-aged patients with type 2 diabetes mellitus.


(11)

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

KETERANGAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1. Manfaat Ilmiah ... 4

1.4.2. Manfaat Parktis ... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 5

2.1. Diabetes Melitus (DM) ... 5

2.1.1. Definisi DM ... 5

2.1.2. Diagnosis DM ... 5

2.1.3. Glycosylated Hemoglobin (HbA1c) ... 6

2.2. Fungsi Kognitif ... 10

2.2.1. Manifestasi Gangguan Fungsi Kognitif ... 10

2.2.2. Tahapan penurunan Fungsi Kognitif ... 13

2.2.3. Pemeriksaan Fungsi Kognitif ... 15

2.3. Gangguan Kognitif pada DM tipe 2 ... 17

2.3.1. Hubungan Kontrol Gula Darah dan GFK ... 18

2.3.2. Patofisiologi ... 19

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 28

3.1. Kerangka Berpikir ... 28

3.2. Kerangka Konsep ... 30


(12)

4.4.1. Populasi Target ... 33

4.4.2. Populasi Terjangkau . ... 33

4.4.3. Kriteria Sampel ... 33

4.4.3.1. Kriteria inklusi Kasus ... 33

4.4.3.2. Kriteria inklusi Kontrol ... 34

4.4.3.2. Kriteria Eksklusi Kasus dan Kontrol ... 34

4.4.4. Besar Sampel ... 34

4.4.5. Teknik Pengambilan sampel ... 35

4.5. Variabel Penelitian ... 35

4.6. Definisi Operasional Variabel ... 35

4.7. Alat Pengumpulan Data ... 39

4.8. Prosedur Penelitian ... 41

4.9. Pengolahan dan Analisis Data ... 42

BAB V HASIL PENELITIAN ... 43

5.1. Analisis Deskriptif Subyek Penelitian ... 43

5.2. Hubungan Kontrol Gula Darah dengan GFK pada Penderita DM Tipe 2 Usia Dewasa Menengah ... 45

5.3. Hubungan Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh Terhadap Kejadian GFK pada Penderita DM Tipe 2 Usia Dewasa Menengah ... 46

5.4. Faktor Risiko Independen Terhadap GFK ... 48

BAB VI PEMBAHASAN ... 50

6.1. Karakteristik Dasar Subyek Penelitian ... 50

6.2. Hubungan antara Kontrol Gula Darah dengan GFK pada Penderita DM Tipe 2 Usia Dewasa Menengah ... 52

6.3. Hubungan antara Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh Terhadap Kejadian GFK pada Penderita DM Tipe 2 Usia Dewasa Menengah . 54 6.4. Faktor Risiko Independen Terhadap GFK ... 58

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 59


(13)

penderita DM ... 20

Gambar 2.2 Hiperglikemia meningkatkan perubahan pada jalur polyol ... 22

Gambar 2.3 Peningkatan produksi dan konsekuensi patologis AGEs ... 23

Gambar 2.4 Peranan hiperglikemia dalam menginduksi PKC... 24

Gambar 2.5 Hiperglikemia meningkatkan perubahan pada jalur hexosamine 25

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Berpikir ... 28

Gambar 3.2 Konsep penelitian ... 30

Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol ... 32


(14)

Tabel 2.2 Perkiraan kadar HbA1c dihubungkan dengan kadar Glukosa ... 9 Tabel 2.3 Domain Kognitif yang terganggu pada DM tipe 2 ... 18 Tabel 5.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian ... 44 Tabel 5.2 Analisis Bivariat Kontrol Gula Darah dengan Gangguan Kognitif

pada Penderita DM Tipe 2 Usia Dewasa Menengah ... 45 Tabel 5.3 Hubungan faktor- faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian

GFK pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah ... 47 Tabel 5.4 Analisis multivariat regresi Logistik ... 48


(15)

DAG : Diacylglycerol

DM : Diabetes Melitus

DSM-IV : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition

DSST : Digit Symbols Subtitution Test

FDS : Freemantle Diabetes Study

GFAT : Glutamine Fructose-6 Phosphate Amidotransferase

GFK : Gangguan Fungsi Kognitif Ham-D : Skala Depresi Hamilton HbA1c : Glycosylated Hemolobin

ICD-10 : International Classification of Disease 10threvision IK : Interval Kepercayaan

MAPK : Mitogen Activated Protein Kinase

MCI : Mild Cognitive Impairment

MMSE : Mini Mental State Examination

MoCA : Montreal Cognitive Assessment

MoCA-Ina : MoCA versi Indonesia

NADPH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Hidrogenase

OR : Odds Ratio

PAI-1 : Plasminogen Activator Inhibitor-1

PKC :Protein Kinase C

RAS : Reticular Activating System

RAGEs : Reseptor AGEs

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat SSP : Susunan Saraf Pusat

TGF-β : Transforming Growth Factor β

TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral UDP : Uridine Diphosphate

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor


(16)

Lampiran 4 MoCa-Ina ... 73

Lampiran 5 Skala Depresi Hamilton ... 74

Lampiran 6 Daftar Subyek Penelitian ... 77


(17)

1.1LatarBelakang

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit yang banyak dijumpai di masyarakat. Diabetes dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi terutama bila tidak tertangani.

Berbagai penelitian menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM secara global dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta pada 2030, sedangkan di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,4 juta pada tahun 2030 (Wild dkk., 2004; PERKENI, 2011).

DM telah dilaporkan sebagai penyebab utama terjadinya penyakit ginjal pada stadium akhir, penglihatan kabur, neuropati dan penyakit pada sistem kardiovaskuler (Cukierman dkk, 2005; Kodl dan Seaquist, 2008). Diabetes melitus telah diasosiasikan dengan kejadian gangguan fungsi kognitif (GFK) (Ruis dkk, 2009). Gangguan fungsi kognitif pada DM sendiri telah diamati sejak tahun 1992, pada pasien DM diketahui mengalami penurunan memori dan atensi pada fungsi tes kognitif dibandingkan dengan kontrol (Kodl dan Seaquist, 2008). Diabetes juga telah dikaitkan sebagai faktor risiko untuk mild cognitive impairment (MCI) dan demensia, dimana pasien dengan DM mempunyai kecenderungan 1,5 kali lebih


(18)

besar untuk mengalami GFK dibandingkan dengan orang tanpa DM (Cukierman dkk, 2005; Cukierman-Yaffe dkk, 2009). Mudanayasa (2012), melakukan penelitian di RSUP Sanglah dan mendapatkan hasil bahwa subyek usia dewasa menengah dengan DM tipe 2 mempunyai risiko sebesar 4,33 kali untuk mengalami GFK dibandingkan dengan subyek tanpa DM.

Pada susunan saraf pusat (SSP), hiperglikemia kronis dapat menyebabkan perubahan fungsi dari berbagai mekanisme termasuk aktivasi jalur poliol,

meningkatkan pembentukan advance glycation end products (AGEs), diacylglyserol activation protein kinase C (PKC) dan meningkatkan pengaliran glukosa pada hexosamine pathway, dimana mekanisme tersebut dapat menginduksi perubahan fungsi kognitif pada pasien DM (Kodl dan Seaquist, 2008)

Glikosilasi dari hemoglobin (HbA1c) pertama kali dikenali pada tahun 1960. Pada tahun 1970, HbA1c pertama kali diajukan sebagai indikator dari toleransi glukosa dan regulasi glukosa pada diabetes. Sejak tahun 1980-an, HbA1c telah diterima sebagai indek rata-rata kadar glukosa pada pasien DM, ukuran risiko dari perkembangan komplikasi DM, dan sebagai ukuran dari kualitas terapi DM. Konsep sederhana dari penggunaan HbA1c adalah umur dari eritrosit yang konstan, eritrosit sangat permeabel terhadap glukosa, HbA1c terjadi secara proporsional langsung terhadap kadar glukosa lingkungan, dan HbA1c memberikan gambaran kondisi kadar glukosa 120 hari yang lampau (Herman dan Cohen, 2012).

Kontrol gula darah yang diukur dengan menggunakan kadar HbA1c telah dikaitkan dengan perkembangan dan progresivitas dari komplikasi DM. Penelitian EPIC-Norfolk, suatu penelitian epidemiologi yang besar, telah melaporkan bahwa


(19)

kadar hemoglobin yang terglikosilasi (HbA1c) mempunyai hubungan dengan mortalitas pada semua kasus kardiovaskular seperti penyakit jantung iskemik pada pria dan wanita usia 45-79 tahun (Khaw dkk, 2004). HbA1c juga telah dilaporkan mempunyai hubungan dengan GFK pada penderita DM, tetapi hal ini tidak konsisten. Cukierman-Yaffe dkk (2009), melaporkan suatu penelitian terhadap 3000 penderita DM tipe 2 menujukkan adanya hubungan yang signifikan antara GFK dengan derajat hiperglikemia yang diukur dengan menggunakan kadar HbA1c. Yaffe dkk (2012), melakukan penelitian untuk melihat hubungan kontrol gula darah yang diukur menggunakan kadar HbA1c dengan GFK. Yafee membagi kadar HbA1c menjadi rendah (HbA1c <7%), sedang (7-8%) dan tinggi (> 8%), didapatkan bahwa kelompok dengan kadar HbA1c sedang atau tinggi mempunyai nilai yang rendah pada pemeriksaan The Modified Mini-Mental State Examination

(3MS) dan The Digit Symbol Substitution Test (DSST), dibandingkan dengan kelompok dengan kadar HbA1c rendah. Nilai yang rendah pada kedua pemeriksaan tersebut menunjukkan adanya gangguan fungsi kognitif.

Namun hasil sebaliknya juga telah dilaporkan bahwa HbA1c tidak berhubungan dengan GFK pada penderta DM. Gao dkk (2008), melaporkan penelitian pada 1139 penderita DM dan mendapatkan hasil bahwa penderita dengan kadar HbA1c <7% mempunyai insiden yang sama terjadinya demensia dengan penderita dengan kadar HbA1c >7%. Ruis dkk (2009), melaporkan bahwa baik kadar HbA1c, tekanan darah, kadar kolesterol dan indek massa tubuh tidak secara signifikan terkait dengan GFK pada penderita yang baru didiagnosis DM dalam 6 minggu.


(20)

Berdasarkan perbedaan pendapat dan kontroversi tersebut serta belum ada yang melakukan penelitian tersebut di Bali, yang melatarbelakangi untuk melakukan penelitian terhadap gula darah tidak terkontrol sebagai faktor risiko gangguan fungsi kognitif pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah gula darah tidak terkontrol merupakan faktor risiko gangguan fungsi kognitif pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah?

1.3Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gula darah tidak terkontrol merupakan faktor risiko gangguan fungsi kognitif pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa gula darah tidak terkontrol sebagai faktor risiko GFK pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah dan untuk menguatkan penelitian yang sudah ada.

1.4.2 Manfaat Praktis

Apabila kadar gula darah tidak terkontrol terbukti merupakan faktor risiko terjadinya GFK pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah, maka perlu dilakukan kontrol gula darah secara teratur, untuk mencegah terjadinya GFK pada penderita DM tipe-2 usia dewasa menengah.


(21)

2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi DM

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes (Gustaviani, 2006; PERKENI, 2011).

2.1.2 Diagnosis DM

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan bila ada keluhan khas berupa poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan. Keluhan yang lain yang dapat dikemukakan penderita adalah lemah badan, kesemutan, gatal, pandangan kabur, disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita (Gustaviani, 2006; PERKENI, 2011).

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara (PERKENI, 2011):

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.


(22)

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Pada tahun 2009, American Diabetes Association (ADA), European Association for the Study of Diabetes, dan International Diabetes Federation

merekomendasikan penggunaan HbA1c untuk diagnosis DM. Pada tahun 2010, ADA merekomendasikan kadar HbA1c diatas 6,5% sebagai diagnosa DM (Herman dan Cohen, 2012).

2.1.3 Glycosylated Hemoglobin

Glikosilasi dari hemoglobin (HbA1c) pertama kali dikenali pada tahun 1960. Pada tahun 1970, HbA1c pertama kali diajukan sebagai indikator dari toleransi glukosa dan regulasi glukosa pada diabetes. Sejak tahun 1980-an, HbA1c telah diterima sebagai indek rata-rata kadar glukosa pada pasien DM, ukuran risiko dari perkembangan komplikasi DM, dan sebagai ukuran dari kualitas terapi DM. Konsep sederhana dari penggunaan HbA1c adalah umur dari eritrosit yang konstan, eritrosit sangat permeabel terhadap glukosa, HbA1c terjadi secara proporsional langsung terhadap kadar glukosa lingkungan, dan HbA1c memberikan gambaran kondisi kadar glukosa 120 hari yang lampau (Herman dan Cohen, 2012).


(23)

Klasifikasi etiologi DM menurut konsensus Perkeni, 2011 Tabel 2.1

Klasifikasi Etiologi DM

Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus

ke defisiensi insulin absolut

 Autoimun

 Idiopatik

Tipe 2 Bervariasi mulai yang terutama

dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek insulin disertai resistensi insulin.

Tipe lain  Defek genetik sel beta

 Penyakit eksokrin pankreas

 Endokrinopati

 Karena obat atau zat

 Infeksi

 Sebab imunologi yang jarang

 Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

DM gestasional

HbA1c terbentuk melalui jalur non enzimatik akibat dari hemoglobin yang normal terpapar oleh kadar glukosa yang tinggi dalam plasma. Pengukuran kadar HbA1c adalah salah satu metode yang digunakan untuk pemantauan kontrol glukosa pada pasien dengan DM. Keluaran produksi dari produk-produk glikasi awal merupakan perubahan akut yang reversibel yang dipengaruhi oleh hiperglikemia. Produk-produk glikasi ini dibentuk oleh intra dan ekstrasel, sebagai


(24)

glucose rapidly attaches pada kelompok amino dari protein yang merupakan proses non enzimatik dari nucleophilic addition, membentuk shiff base adducts. Dalam hitungan jam, adducts ini mencapai level keseimbangan yang proporsional pada konsentrasi glukosa plasma dan kemudian mengalami penataan ulang menjadi bentuk yang lebih stabil dari produk glikasi awal, yang mencapai keseimbangan dalam periode beberapa minggu. Salah satu protein terglikasi yang dimaksud adalah HbA1c (Sultanpur dkk, 2010).

Saat molekul hemoglobin terglikosilasi, yaitu suatu penumpukan dari hemoglobin terglikasi dalam sel darah merah, dapat merefleksikan kadar rata-rata dari glukosa dimana sel tersebut nantinya dikeluarkan dalam siklus hidupnya. Penilaian HbA1c dapat menilai efektivitas terapi dengan memonitoring regulasi glukosa darah dalam jangka panjang. Nilai HbA1c merupakan konsentrasi glukosa plasma yang proporsional dalam waktu 4 minggu hingga tiga bulan (Sultanpur dkk, 2010).

Hubungan antara HbA1c dengan glukosa dalam plasma sangat komplek. Kadar HbA1c yang tinggi akan ditemukan pada orang dengan kadar gula yang tinggi, seperti pada penderita DM. Pada penderita DM dengan kontrol glukosa yang baik, akan mempunyai kadar HbA1c dalam batas normal. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa HbA1c adalah suatu indek dari kadar rata-rata glukosa plasma dalam beberapa minggu atau bulan (Sultanpur dkk, 2010). PERKENI (2011), merekomendasikan pemeriksaan HbA1c dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun, dengan target terapi adalah kadar HbA1c < 7%.


(25)

Tabel 2.2

Perkiraan kadar HbA1c dihubungkan dengan kadar Glukosa rata-rata (Sultanpur dkk, 2010)

Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Komplikasi yang disebabkan oleh DM dapat berupa komplikasi akut maupun komplikasi kronik. Komplikasi akut dapat berupa ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar non ketotik dan hipoglikemia, sedangkan komplikasi kronik dapat berupa mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal adalah dasar terjadinya komplikasi kronik pada DM. Perubahan terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun sel mesangial ginjal (Waspadji, 2006). Salah satu komplikasi DM yang jarang dikemukakan adalah gangguan fungsi kognitif yang dianggap merupakan kombinasi dari komplikasi mikro dan makrovaskular (Kodl dan Seaquist, 2008).


(26)

2.2 Fungsi Kognitif

Neurologi perilaku (behavior neurology) mempelajari perilaku manusia (human behavior) dalam hubungannya dengan kelainan di otak. Perilaku dalam konteks ini mencakup fungsi bahasa, memori, kalkulasi dan visuospasial yang bersifat lokal dan spesifik, serta intelegensi dan personalitas yang bersifat kompleks. Pengertian tentang kognitif masih sukar didefinisikan dengan tepat dan pengertian yang lebih sesuai dengan behavior neurology adalah sebagai berikut: kognitif adalah suatu proses dimana semua masukan sensorik (taktil, visual, dan auditorik) akan diubah, diolah, disimpan, dan selanjutnya digunakan untuk hubungan interneuron secara sempurna sehingga individu mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensorik tersebut (Wijoto dan Poerwadi, 2011).

Dalam behavioral neurology diterapkan konsep yang mencakup lima domain kognitif yaitu atensi, bahasa, memori, pengenalan ruang (visuospatial) dan fungsi eksekutif yang meliputi perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan. Penilaian gangguan kognitif akan mengacu pada konsep tersebut (Kusumoputro, 2003).

2.2.1 Manifestasi Gangguan Fungsi Kognitif

Manifestasi gangguan fungsi kognitif dapat meliputi gangguan pada domain-domain kognitif yang meliputi atensi, bahasa, memori, visuospasial dan fungsi eksekutif.

a. Gangguan Atensi

Atensi adalah kemampuan seseorang untuk memusatkan perhatian terhadap suatu stimulus spesifik tanpa terganggu oleh stimulus eksternal lainnya. Gangguan


(27)

atensi terjadi karena penderita gagal atau tidak mampu mempertahankan konsentrasi sehingga penderita sering mengalihkan perhatian. Penderita biasanya menyadari akan gangguannya dan dapat menceritakan kesulitannya. Fungsi atensi dan konsentrasi merupakan peranan dari reticular activating system (RAS) yang terletak dibatang otak nukleus talamik, pusat asosiasi multimodal yang berada di prefrontal, serta parietal posterior dan temporal anterior. Pemeriksaan fungsi atensi perlu dikerjakan di awal pemeriksaan fungsi kognitif, hal ini dikarenakan hasil yang valid dari pemeriksaan dari fungsi kognitif ditentukan dari fungsi atensi yang baik (Black dan Strub, 2000).

b. Gangguan Bahasa

Bahasa merupakan dasar dari komunikasi manusia dan merupakan dasar dari kemampuan kognitif. Selain atensi, kemampuan berbahasa juga harus ditentukan di awal pemeriksaan fungsi kognitif. Kemampuan berbahasa terdiri dari beberapa modalitas yaitu bicara spontan, pemahaman, pengulangan, penamaan, membaca dan menulis, dimana pemeriksaan fungsinya harus dilaksanakan secara berurutan. Gangguan berbahasa disebut afasia yaitu gangguan berbahasa yang didapat dimana penderita sebelumnya normal. Gangguan berbahasa merupakan salah satu gangguan fungsi kognitif yang cukup banyak dijumpai dan relatif mudah dikenali, sehingga sering menjadi keluhan utama disamping keluhan fisik yang ada. Ganguan berbahasa dapat terlihat pada pasien dengan kelainan otak fokal maupun general (Black dan Strub, 2000)


(28)

c. Gangguan memori

Daya ingat atau memori memungkinkan seseorang untuk menerima dan menyimpan informasi serta memanggilnya kembali bila diperlukan (recall). Gangguan dalam proses memori menimbulkan gangguan memori. Berdasarkan waktu saat informasi diterima dan dipanggil kembali (recall), dikenal istilah memori segera (immediate memory) dimana interval informasi dan recall hanya beberapa detik, memori baru (recent memory) dengan interval stimulus-recall

setelah beberapa menit, jam atau beberapa hari dan memori jangka panjang (remote memory) dimana recall dilakukan bertahun-tahun setelah informasi diterima dan disimpan (Black dan Strub, 2000).

d. Gangguan Visuospasial

Kemampuan visuospasial adalah kemampuan untuk menggambar atau membangun bentuk 2 atau 3 dimensi. Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan kognitif non verbal yang memerlukan integritas fungsi lobus oksipitalis, parietalis dan frontalis. Kerusakan otak ringan ataupun dini dapat memperlihatkan gangguan fungsi ini. Gangguan dapat berupa kesulitan melakukan tes-tes yang memerlukan kemampuan konstruksional, dalam kondisi berat dapat terjadi gangguan mengenal wajah seseorang maupun tersesat di daerah yang sudah dikenalnya (Black dan Strub, 2000).

e. Gangguan fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif adalah dimensi behavior tentang bagaimana perilaku itu diekspresikan. Secara konseptual fungsi eksekutif memiliki 4 komponen yaitu kemampuan untuk menentukan tujuan, perencanaan, pelaksanaan rencana untuk


(29)

mencapai tujuan dan kinerja yang efektif. Fungsi eksekutif yang baik diperlukan dalam mencapai fungsi sosial yang efektif (Lezak dkk., 2004).

2.2.2 Tahapan Penurunan Fungsi Kognitif

Terdapat tiga tahap penurunan fungsi kognitif, dari yang masih dianggap normal sampai patologis dan pola ini sebagai suatu spektrum dari ringan sampai berat, yaitu (1) Mudah lupa (forgetfulness), (2) Mild Cognitive Impairment (MCI), (3) Demensia (PERDOSSI, 2007).

1. Mudah Lupa (Forgetfulness)

Mudah lupa merupakan keadaan yang sering ditemukan. Dibedakan mudah lupa ringan (benign senescent forgetfulness) atau yang juga disebut mudah lupa terkait usia (age associated memory impairment) dan malignant forgetfulness yang patologis. Pada mudah lupa ringan terjadi gangguan

recall informasi yang telah tersimpan dalam memori, biasanya pasien mengatasinya dengan melakukan sirkumlokusi dan terbantu dengan pemberian isyarat. Pada malignant forgetfulness terjadi gangguan pada proses belajar atau pencatatannya sehingga penderita akan kesulitan dengan

recent memory dan sedikit terganggu dengan remote memory

(Kusumoputro, 2003).

2. Mild Cognitive Impairment (MCI)

Konsep MCI diperuntukkan bagi mereka yang mengalami penurunan fungsi kognitif namun tidak memenuhi kriteria demensia. Keluhan memori dikemukakan oleh penderita, keluarga atau dokter keluarganya. Pada MCI fungsi kognitif global masih baik, aktifitas hidup sehari-hari yang sederhana


(30)

(activity of daily living, ADL) masih baik, tetapi menunjukkan gangguan dalam aktifitas hidup sehari-hari yang bersifat lebih kompleks. Pada pemeriksaan fungsi kognitif yang teliti, menunjukkan penurunan pada domain memori atau domain lainnya. Namun ganguan fungsi kognitif ini masih ringan dan belum cukup parah untuk menyebabkan gangguan keseharian yang komplek (Visser, 2006). Keadaan ini perlu diwaspadai karena kemungkinan menjadi demensia cukup tinggi yaitu sekitar 12% pertahun (PERDOSSI, 2007)

3. Demensia

Demensia ditandai adanya gangguan kognitif, fungsional, dan perilaku, sehingga terjadi gangguan pada pekerjaan, aktivitas harian, dan sosial. Menurut International Classification of Disease 10th revision (ICD-10) demensia adalah suatu keadaan perburukan fungsi intelektual meliputi memori dan proses berpikir, sehingga mengganggu aktivitas kehidupan sehari. Gangguan memori khas mempengaruhi registrasi, penyimpanan dan pengambilan informasi. Dalam hal ini harus terdapat gangguan proses berpikir dan reasoning disamping proses memori. Sedangkan demensia menurut DSM-IV adalah penurunan fungsi kognitif yang multipel terutama memori disertai sedikitnya gangguan salah satu fungsi kognitif berikut: afasia, apraksia, agnosia, serta gangguan dalam melakukan pekerjaannya. Penurunan funsi kongitif harus berat sampai mengganggu pekerjaan atau hubungan sosial. Tidak terdapat delirium, meskipun demensia dapat terjadi bersamaan delirium. Penyebab demensia dapat berhubungan dengan


(31)

keadaan umum, termasuk penyalahgunaan bahan-bahan atau gabungan dari faktor-faktor tersebut.

Gangguan fungsi kognitif dapat terjadi karena berbagai proses di otak, diantaranya gangguan serebrovaskuler, infeksi susunan saraf pusat, gangguan pernafasan, gangguan metabolik, maupun proses penuaan abnormal (PERDOSSI, 2007). Gangguan fungsi kognitif mungkin juga dapat disebabkan oleh tindakan bedah intervensi pada penyakit kardiovaskuler, radiasi dan chemoteraphy untuk kanker, dan pengobatan yang diberikan untuk mengontrol gejala-gejala fisik. Lebih lanjut, GFK merupakan gejala lanjutan yang sering ditemui dari berbagai penyakit yang secara langsung mempengaruhi sistem saraf pusat (Mitrushina, 2009)

Deteksi dini GFK sangat penting untuk pencegahan sekunder. Karena preventif primer dari GFK belum tersedia, identifikasi dini memungkinkan diagnosis dan terapi, meningkatkan kemampuan fungsional, mencegah komplikasi, pemantauan masyarakat dan perencanaan kesehatan masyarakat (Mitrushina, 2009).

2.2.3 Pemeriksaan Fungsi Kognitif

Pemeriksaan fungsi kognitif meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa, kalkulasi, praksis, visuospasial, dan visuoperseptual. Mini Mental State Examination (MMSE) adalah salah satu screening yang berguna untuk mengetahui adanya disfungsi kognisi (PERDOSSI, 2007).

1. Mini Mental State Examination (MMSE)

MMSE pertama kali dipublikasikan pada tahun 1975, dan sejak saat itu telah banyak digunakan dalam pemeriksaan gangguan fungsi kognitif.


(32)

Pemeriksaan MMSE meliputi beberapa fungsi domain yaitu: orientasi, registrasi, atensi atau kalkulasi, mengingat kembali, penamaan, pengulangan, komprehensif, menulis, dan konstruksi. MMSE mempunyai keterbatasan baik dalam sentifitas maupun spesivitas, dan hanya digunakan sebagai sarana untuk screening dan bukan sebagai sarana untuk diagnosis. Penggunaan MMSE harus dikombikasikan dengan metode yang lain. Dengan cutoff 23, MMSE memiliki nilai sensitivitas sebesar 86% dan spesivitas sebesar 91% untuk mendeteksi demensia pada komunitas, tetapi dengan nilai ini tidak sensitif dan tidak dapat mendeteksi adanya MCI. Nilai yang normal pada MMSE tidak sertamerta menyingkirkan adanya suatu demensia. MMSE juga mempunyai nilai false positive yang cukup tinggi. Karena itu penggunaan MMSE harus dikombinasikan dengan metode yang lain (Mitchell, 2009; Campbell, 2013).

2. Montreal Cognitive Assessment (MoCA)

Pemeriksaan fungsi kognitif lengkap memerlukan banyak waktu dan tidak semua klinisi dapat mengerjakannya. The Montreal Cognitive Assessment

(MoCA) memerlukan waktu 10-15 menit dalam pengerjaannya. MoCA mampu menilai domain-domain kognitif seperti memori lambat, kelancaran berbicara, visuospasial, clock drawing, fungsi eksekutif, kalkulasi, pemikiran abstrak, bahasa, orientasi, atensi, dan konsentrasi. Skor maksimal tes ini adalah 30, dimana nilai 26-30 dikatagorikan sebagai normal, sedangkan skor <26 digolongkan mengalami gangguan kognitif. Pada subyek yang memiliki masa pendidikan <12 tahun, ditambahkan 1 poin


(33)

pada skor total. Pada validasi MoCA yang melibatkan 227 partisipan berbahasa Prancis dan Inggris, didapatkan sensitivitas sebesar 90% dan spesivitas sebesar 87% dalam mendeteksi MCI dibandingkan dengan normal (Nasreddine dkk., 2005; Chertkow dkk, 2008).

Pada studi validasi yang dilakukan di Kanada oleh Smith dkk (2007), dengan nilai cutoff 26, MMSE mempunyai sensitivitas sebesar 17% dan spesivitas 100% untuk mendeteksi penderita dengan MCI, sedangkan MoCA mempunyai sensitivitas 83% dan spesivitas 50%. Dalam mendeteksi dementia, MMSE mempunyai sensitivitas 25% dan spesivitas 100%, sedangkan MoCA mempunyai sensitivitas 94 % dan spesivitas 50%.

Tes validasi MoCA telah dilakukan di Indonesia, dari hasil penelitian ini didapatkan nilai kappa total diantara 2 dokter adalah 0,820. Didapatkan bahwa tes MoCA versi Indonesia (MoCA-Ina) telah valid menurut kaidah validasi transkultural sehingga dapat digunakan baik oleh dokter ahli saraf maupun dokter umum (Husein dkk., 2010).

2.3 Gangguan Kognitif pada DM Tipe 2

Pada penderita DM tipe 2 dapat ditemukan gangguan fungsi kognitif. Suatu studi melaporkan bahwa pada pasien dengan DM mempunyai nilai penurunan fungsi kognitif yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol, yaitu dengan risiko 1,5 terjadinya GFK, dan 1,6 kali lebih besar untuk terjadinya demensia (Cukierman dkk, 2005). DM tipe 2 telah dihubungkan dengan percepatan penurunan gangguan fungsi kognitif, dan faktor risiko dari demensia (Kodl dan Seaquist, 2008; Ruis,


(34)

dkk, 2009). Penyebab pasti terjadinya peningkatan mortalitas dan morbiditas pada DM masih belum diketahui, tetapi beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara beberapa komplikasi DM dengan derajat hiperglikemi yang diukur dengan kadar HbA1c (Cukierman-yafee, 2009).

Tabel 2.3

Domain Kognitif yang terganggu pada DM tipe 2 (Kodl dan Seaquist, 2008)

Memori (Memory)

Memori Verbal (Verbal Memory) Retensi Visual (Visual Retension) Memori Kerja (Working Memori) Memori Segera (Immediate Recall) Memori Lambat (Delayed Recall) Kecepatan Psikomotor (Psychomotor Speed) Fungsi Eksekutif (Executive Function)

Kecepatan Memproses Informasi (Processing Speed) Funsi Motorik Komplek (Complex Motor Function) Gangguan Verbal (Verbal Fluency)

Atensi (Attention) Depresi (Depression)

2.3.1 Hubungan Kontrol Gula Darah dan GFK

Kontrol glukosa mempunyai peran dalam menentukan GFK pada pasien dengan DM tipe 2, walaupun penelitian dalam hal ini masih banyak pertentangan. Cukierman-Yaffe dkk (2009), melaporkan suatu penelitian terhadap 3000 penderita DM tipe 2 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara GFK dengan derajat hiperglikemia yang diukur dengan menggunakan kadar HbA1c. Yaffe dkk


(35)

(2012), melakukan penelitian untuk melihat hubungan kontrol gula darah yang diukur menggunakan kadar HbA1c dengan GFK. Yafee membagi kadar HbA1c menjadi rendah (HbA1c <7%), sedang (7-8%) dan tinggi (> 8%), didapatkan bahwa kelompok dengan kadar HbA1c sedang atau tinggi mempunyai nilai yang rendah pada pemeriksaan The Modified Mini-Mental State Examination (3MS) dan The Digit Symbol Substitution Test (DSST), dibandingkan dengan kelompok dengan kadar HbA1c rendah. Nilai yang rendah pada kedua pemeriksaan ini menunjukkan adanya GFK.

Cukierman-Yaffe dkk (2009), menjelaskan beberapa kemungkinan yang dapat mendasari terjadinya hal tersebut. Kemungkinan pertama adalah karena tingginya kadar glukosa berhubungan dengan tingginya prevalensi dari risiko kardiovaskular dan penyakit serebrovaskular, dan hubungan terjadinya GFK mungkin melalui penyakit serebrovaskuler. Kemungkinan kedua adalah paparan kadar glukosa yang tinggi dalam jangka waktu lama mungkin mempercepat terjadinya GFK. Kemungkinan ketiga adalah tingginya kadar HbA1c menggambarkan terjadinya penurunan fungsi insulin baik sekresi, aktivasi atau keduanya. Terdapat banyak reseptor insulin di otak. Beberapa mempunyai peran dalam transpor glukosa, dan beberapa diperkirakan mempunyai peran dalam proses kognitif. Beberapa penelitian telah memperkirakan bahwa penurunan fungsi kognitif merupakan akibat dari penurunan efek insulin di otak.

2.3.2Patofisiologi

Beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan terjadinya hubungan antara DM dan GFK antara lain: DM merupakan salah satu faktor risiko penyakit


(36)

serebrovaskuler, hubungan antara GFK dan DM mungkin melalui proses penyakit serebrovaskular. Depresi terjadi lebih sering pada pasien dengan diabetes dan secara klinis hal ini cukup susah untuk dibedakan dengan GFK (Cukierman dkk, 2005).

Patofisiologi yang mendasari perkembangan ganguan fungsi kognitif pada penderita DM belum dapat sepenuhnya dijelaskan. Berbagai hipotesis (seperti terlihat pada gambar 2.1), dengan bukti pendukung yang ada, menjelaskan berbagai peran potensial hiperglikemia, penyakit vaskuler, hipoglikemia, resistensi insulin dan deposisi amiloid dengan kejadian GFK pada penderita DM (Kodl dan Seaquist, 2008).

Gambar 2.1 Mekanisme yang mungkin berperan pada terjadinya GFK pada penderita DM. Tidak semua mekanisme muncul pada setiap penderita

(Kodl dan Seaquist, 2008). Hiperglikemia

menginduksi kerusakan organ target “penyakit microvaskuler”

Resistensi Insulin “penyakit

makrovaskuler” serebrovaskular

Hilangnya C-peptida

Hilangnya alelApoε4

Hipoglikemia Gangguan fungsi


(37)

Peran Hiperglikemia

Mekanisme hiperglikemia menyebabkan GFK belum jelas. Pada organ yang lain, hiperglikemia merusak fungsi organ melalui melalui berbagai jalur mekanisme, seperti aktivasi jalur poliol, peningkatan pembentukan advanced glycation end products (AGEs), aktivasi diacylglycerol (DAG) dari protein kinase C (PKC), dan peningkatan pemindahan glukosa dalam jalur hexosamine.

Mekanisme yang sama mungkin terjadi pada otak dan mengiduksi perubahan fungsi kognitif yang terdeteksi pada penderita DM (Kodl dan Seaquist, 2008).

Pada jalur poliol (Gambar 2.2), enzim aldose reduktase berfungsi menurunkan toksik aldehyde pada sel untuk menonaktifkan alkohol, tetapi pada kondisi kadar glukosa dalam darah tinggi, aldose reductase juga menurunkan glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian teroksidasi menjadi fruktosa. Sorbitol dan fruktosa keduanya tidak terfosforilasi, tetapi bersifat sangat hidrofilik, sehingga lamban penetrasinya melalui membran lipid bilayer. Akibatnya terjadi akumulasi poliol intraselular, dan sel akan membengkak, akibat masuknya air ke dalam sel karena proses osmotik. Sebagai akibat dari proses tersebut akan terjadi ketidakseimbangan elektrolit dan metabolit yang secara keseluruhan akan mengakibatkan kerusakan sel. Pada proses penurunan kadar glukosa intraselular yang tinggi menjadi sorbitol, aldose reductase menggunakan kofaktor

Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Hidrogenase (NADPH) yang merupakan kofaktor yang penting untuk regenerasi antioksidan intraselular dan menurunkan kadar glutathione. Menurunnya kadar NADPH dikenal sebagai keadaan pseudohipoksia. NADPH juga sangat diperlukan dalam proses pertahanan


(38)

antioksidan sehingga menurunnya kadar NADPH akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang lebih besar (Brownlee,2005; Waspadji, 2006) .

Gambar 2.2 Hiperglikemia meningkatkan perubahan pada jalur poliol (Brownlee, 2005)

Pada pembentukan AGEs terdapat tiga mekanisme kerusakan sel (Gambar 2.3). Mekanisme pertama, dimana sel endotelial mengalami modifikasi termasuk protein intraselular. Protein ini mempunyai peranan pada regulasi transkripsi gen. Mekanisme kedua, prekursor AGEs keluar secara difus dari dalam sel dan merubah matrik molekul ekstraselular, dan perubahan ini menyebabkan disfungsi selular. Mekanisme ketiga, prekursor AGEs secara difus keluar dari dalam sel dan merubah protein yang bersirkulasi dalam darah termasuk albumin. Perubahan protein yang bersirkulasi akan berikatan dengan reseptor AGEs (RAGEs) dan akan terjadi aktivasi mitogen activated protein kinase (MAPK) dan transformasi inti dari faktor transkripsi NF-kB, sehingga terjadi perubahan transkripsi gen target terkait dengan mekanisme proinflamatori dan molekul perusak jaringan (Brownlee, 2005).


(39)

Gambar 2. 3 Peningkatan produksi dan konsekuensi patologis AGEs (Brownlee, 2005)

Peran AGEs dan RAGEs pada perkembangan komplikasi DM pada otak masih belum jelas. Suatu penelitian pada tikus dengan diabetes yang menunjukkan gangguan kognitif ditemukan peningkatan RAGEs pada neuron dan sel glia dan terjadi kerusakan pada substansia alba dan myelin, yang menunjukkan kemungkinan adanya peran dari RAGEs dalam perkembangan gangguan fungsi serebral (Toth dkk, 2006)

Hiperglikemia intraselular akan meningkatkan diacyllycerol (DAG) intraselular, dan selanjutnya akan meningkatkan PKC, terutama PKC-β. Perubahan ini akan berpengaruh pada sel endotel, menyebabkan terjadinya vasoreaktivitas melalui keadaan meningkatnya endotelin-1 dan menurunnya e-NOS. Peningkatan PKC akan menyebabkan proliferasi sel otot polos dan menyebabkan terbentuknya sitokin serta berbagai faktor pertumbuhan seperti transforming growth factor β


(40)

akan berpengaruh menurunkan aktifitas dari fibrinolisis (Gambar 2.4). Semua keadaan tersebut akan menyebabkan perubahan-perubahan yang selanjutnya akan mengarah kepada angiopati diabetik (Waspadji, 2006).

Gambar 2.4 Peranan hiperglikemia dalam menginduksi PKC (Brownlee, 2005)

Mekanisme terakhir akibat hiperglikemia adalah terjadinya perubahan pada jalur hexosamine (Gambar 2.5). Pada kondisi kadar gula yang tinggi pada intraselular, sebagian besar glukosa ini akan dimetabolisme melalui proses glikolisis, glukosa akan dirubah menjadi glukosa-6 phospat kemudian menjadi fruktosa-6 phospat. Fruktosa-6 phospat akan dirubah menjadi glukosamin-6 phospat dengan menggunakan enzim glutamine fructose-6 phosphate amidotransferase (GFAT) dan selanjutnya menjadi uridine diphosphate (UDP) N-acetyl glucosamine. Serupa dengan proses phosporilasi dan overmodifikasi oleh glukosamine yang lain, hal ini sering menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi gen yang patologis. Pada akhirnya kondisi ini akan meningkatkan ekspresi dalam perubahan transforming growth factor-β1 dan plasminogen activator inhibitor-1


(41)

(PAI-1), dimana keduanya akan memberikan efek buruk terhadap pembuluh darah (Brownlee, 2005).

Gambar 2. 5 Hiperglikemia meninkatkan perubahan pada jalur hexosamine (Brownlee, 2005)

Peran Penyakit Vaskular

Pasien dengan diabetes mempunyai risiko terjadinya stroke trombosis 2 hingga 6 kali, dan penyakit vaskuler telah lama dihipotesiskan mempunyai kontribusi terhadap GFK. Suatu studi autopsi pada pasien dengan DM yang lama menunjukkan perubahan yang terkait penyakit vaskuler, seperti degenerasi otak menyeluruh, pseudocalsinosis, demielinisasi dari nervus kranialis dan medula spinalis, dan fibrosis saraf. Penebalan pada basal kapiler yang merupakan pertanda mikroangiopati diabetes, juga ditemukan pada otak penderita dengan DM (Kodl dan Seaquist, 2008). Pada penderita DM juga ditemukan penurunan aliran darah ke otak secara global, dimana hal ini serupa dengan yang ditemukan pada pasien dengan demensia. Diperkirakan bahwa penurunan aliran darah otak, bersama-sama dengan stimulasidari reseptor thromboxane A2 dapat terjadi pada penderita DM,


(42)

dimana hal ini berkontribusi pada ketidakmampuan pembuluh darah serebral utuk melakukan vasodilatasi secara adekuat yang dapat meningkatkan kejadian iskemia. Iskemia dan hiperglikemia secara bersama-sama mungkin menyebabkan kerusakan pada otak, dimana hiperglikemia pada kondisi iskemia akan meningkatkan produksi laktat sehingga menyebabkan asidosis yang akan memperburuk kerusakan pada otak (Kodl dan Seaquist, 2008).

Peran Hipoglikemia

Pasien dengan DM dapat terjadi kondisi hipoglikemia yang timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat atau obat yang meningkatkan produksi insulin seperti sufonilurea. Hampir semua pasien yang mendapat terapi insulin dan sebagian besar pasien yang mendapat terapi sulfonilurea pernah mengalami kondisi hipoglikemia. Episode berulang dari hipoglikemia yang berat telah dikaitkan sebagai kemungkinan penyebab GFK pada penderita DM. Kondisi hipoglikemia dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel otak. Oleh karena otak hanya menyimpan glukosa dalam jumlah yang sedikit, maka fungsi otak sangat tergantung pada kadar glukosa dalam sirkulasi (Soemadji, 2006). Hipoglikemi mungkin mempunyai efek terhadap fungsi kognitif, tetapi hanya sedikit bukti yang mendukung bahwa GFK disebabkan oleh hipoglikemia (Cukierman dkk, 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penderita DM dengan GFK lebih rentan terhadap kejadian hipoglikemia. Bruce dkk (2009), dengan menggunakan sampel sebanyak 302 penderita DM pada the Fremantle diabetes study

danPunthakee dkk (2012), pada penelitian ACCORD yang melibatkan 2.956 penderita DM tipe 2, melaporkan bahwa GFK merupakan faktor risiko penting


(43)

terjadinya hipoglikemia pada penderita DM. Bruce dkk (2009), juga melaporkan bahwa tidak ada bukti yang mendukung bahwa hipoglikemia menyebabkan terjadinya GFK. Feinkohl dkk, (2014) pada the Edinburgh Type 2 Study dengan menggunakan sampel sebesar 831 penderita DM tipe 2 dan dilakukan observasi selama 4 tahun melaporkan bahwa penderita dengan GFK pada awal penelitian akan meningkatkan kejadian hipoglikemi sebesar dua kali lipat. Hal ini dimungkinkan karena penderita dengan GFK kurang dapat mengenali gejala hipoglikemia, melakukan terapi yang tepat bila hal ini terjadi serta mencegah terjadinya hipoglikemia dengan memodifikasi terapi diabetes.

Peran Resistensi Insulin

Resistensi insulin diduga dapat menyebabkan terjadinya GFK, hal ini dikarenakan resistensi insulin lebih banyak ditemukan pada pasien dengan demensia dibandingkan dengan orang sehat. Mekanisme resistensi insulin menyebabkan terjadinya GFK masih belum jelas, tetapi telah diduga akibat peningkatan pembentukan amiloid, selain itu juga diperkirakan bahwa peningkatan risiko GFK pada resistensi insulin diakibatkan oleh kelainan mikrovaskuler (Geroldi dkk, 2005).


(44)

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Berpikir GANGGUA N FUNGSI KOGNITIF Penyakit Parkinson Trauma kepala Tumor otak Infeksi SSP HIV-AIDS Epilepsi Depresi Gagal jantung Ganguan ginjal Stroke Mikroangiopati Makroangiopati Perubahan membran basal kapiler Gangguan hemodinamik Perubahan viskositas darah dan fungsi Angiopati Hipertensi Dislipidemia Merokok Alkohol Umur Diabetes Mellitus Tipe 2

Gula darah tidak terkontrol (HbA1c

> 7

)

Peningkatan AGEs aktivasi jalur poliol aktivasi DAG dari PKC peningkatan jalur hexosamine


(45)

DM akan menimbulkan hiperglikemia kronik, yang akan menstimulasi beberapa mekanisme seperti aktivasi jalur poliol, peningkatan pembentukan

advanced glyacation end products (AGEs), aktivasi diacylglycerol (DAG) dari protein kinase C (PKC), dan peningkatan pemindahan glukosa dalam jalur

hexosamine. Mekanisme ini akan menyebabkan perubahan membran basal, ganguan hemodimik dan perubahan viskositas dan juga fungsi trombosit yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya angiopati. Angiopati sendiri dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang tidak dapat dirubah seperti usia dan jenis kelamin serta faktor yang dapat dirubah seperti hipertensi, dislipidemia, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol. Makroangiopati dapat menyebabkan terjadinya stroke yang dapat menyebabkan terjadinya GFK. Mikroangiopati akan meyebabkan terjadinya GFK.

Berbagai penyakit lainnya juga dapat berpengaruh terhadap fungsi kognitif antara lain Penyakit Parkinson, trauma kepala, tumor otak, infeksi SSP, HIV-AIDS, epilepsi, gagal jantung, gagal ginjal dan gangguan psikiatri seperti depresi.


(46)

3.2Kerangka Konsep

Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka maka disusunlah konsep penelitian yang tersaji pada Gambar 3.2 di bawah ini.

Gambar 3.2 Konsep Penelitian

Keterangan:

= dikendalikan pada tahap analisis data

= dikendalikan pada tahap rancangan penelitian Diabetes Mellitus

Tipe 2

Gula darah tidak terkontrol

(HbA1c > 7%)

GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF Stroke

Penyakit Parkinson Trauma kepala Tumor otak Infeksi SSP HIV-AIDS Epilepsi Depresi Gagal jantung Gagal ginjal

Dislipidemia Hipertensi Lama Menderita DM Tingkat pendidikan


(47)

Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka, maka disusunlah konsep penelitian sebagai berikut:

1. Gangguan Fungsi Konitif (GFK) dapat terjadi pada penderita DM. Perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi GFK pada penderita DM. Gula darah tidak terkontrol merupakan faktor risiko GFK pada penderita DM tipe 2.

2. Beberapa faktor lainnya juga berperan dalam proses terjadinya GFK pada penderita DM, antara lain dislipidema, hipertensi, lama menderita DM dan tingkat pendidikan, selanjutnya dikendalikan pada tahap analisis data. Faktor risiko lainnya yaitu: stroke, penyakit parkinson, trauma kepala, tumor otak, infeksi SSP, HIV-AIDS, epilepsi, depresi, gagal jantung dan gagal ginjal akan dikendalikan pada tahap rancangan penelitian.

3.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas, maka disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: Gula darah tidak terkontrol sebagai faktor risiko gangguan fungsi kognitif pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah.


(48)

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk mengetahui gula darah tidak terkontrol sebagai faktor risiko gangguan fungsi kognitif pada penderita DM.

Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol DM dengan GFK (+)

(Kasus)

DM dengan GFK (-) (Kontrol) Gula darah tidak

terkontrol (HbA1c >7%) Gula darah terkontrol

(HbA1c <7%)

Gula darah terkontrol (HbA1c <7%)

Gula darah tidak terkontrol (HbA1c >7%)


(49)

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di poliklinik Saraf dan poliklinik Diabetes RSUP Sanglah. Waktu penelitian dimulai dari bulan Juli-Oktober 2014.

4.3Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini termasuk ruang lingkup faktor risiko dalam lingkup neurologi, khususnya bidang neurobehavior.

4.4Populasi dan Sampel Penelitian

4.4.1 Populasi target

Populasi target penelitian ini adalah seluruh penderita DM tipe 2 yang mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUP Sanglah.

4.4.2 Populasi terjangkau

Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita DM yang menjalani pengobatan di poliklinik Diabetes RSUP Sanglah Denpasar periode Juli-Oktober 2014.

4.4.3 Kriteria sampel

Semua penderita DM yang menjalani pengobatan di poliklinik Diabetes RSUP Sanglah Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.4.3.1 Kriteria inklusi kasus

Kriteria inklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah:

1. Penderita yang telah terbukti menderita DM tipe 2 dengan GFK (+). 2. Penderita berusia 40-60 tahun.


(50)

3. Penderita bersedia diikutsertakan dalam penelitian dengan menandatangani surat persetujuan (informed consent).

4.4.3.2 Kriteria inklusi kontrol

Kriteria inklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah:

1. Penderita yang telah terbukti menderita DM tipe 2 dengan GFK (-). 2. Penderita berusia 40-60 tahun.

3. Penderita bersedia diikutsertakan dalam penelitian dengan menandatangani surat persetujuan (informed consent).

4.4.3.5 Kriteria eksklusi kasus dan kontrol Kriteria eksklusi penelitian ini adalah:

1. Kriteria eksklusi pada penelitian ini meliputi penderita DM tipe 2 dengan penyakit parkinson, pernah atau sedang menderita stroke, trauma kepala, tumor otak, infeksi SSP, HIV/AIDS, epilepsi, depresi, gagal jantung, gagal ginjal.

2. Subjek dengan gangguan penglihatan dan pendengaran yang berat sehingga tidak bisa dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif.

3. Subjek yang tidak mampu membaca dan menulis karena buta huruf.

4.4.4 Besar sampel

Besar sampel (n) ditetapkan berdasarkan rumus (Dahlan, 2009) : n1 = n2= (Zα2PQ + ZP1Q1 +P2Q2)²

(P1-P2)²

α : kesalahan tipe I, ditetapkan 5% sehingga Zα = 1,96


(51)

P : proporsi total = ½ (P1+P2)

P2 : proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya

P1 : proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti Q1 : 1- P1 Q2 : 1- P2

Proporsi GFK pada penderita DM adalah 0,3 (Mudanayasa, 2012). Besar sampel berdasarkan rumus diatas didapatkan n1 = n2 = 40,67. Jadi jumlah sampel masing-masing kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah 41 orang sehingga sampel keseluruhan berjumlah 82 orang.

4.4.5 Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode sampling non random jenis consecutive yaitu semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria

eligibilitas dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.

4.5 Variabel Penelitian

1 Variabel tergantung : Gangguan fungsi kognitif 2 Variabel bebas : gula darah tidak terkontrol

3 Variabel perancu : dislipidemia, hipertensi, lama menderita DM, tingkat pendidikan.

4.6 Definisi operasional variabel

1. Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,


(52)

kerja insulin atau kedua-duanya. Diagnosis DM dapat ditegakkan jika ada keluhan klasik, yaitu: poliuri, polidipsi, penurunan berat badan, dan pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL atau adanya gejala klasik disertai pemeriksaan glukosa darah puasa > 126 mg/dL dan dikelompokkan menjadi ada dan tidak ada sesuai skala nominal dikotomi (PERKENI, 2011)

2. Gangguan fungsi kognitif adalah gangguan yang terjadi pada minimal satu domain kognitif seperti fungsi memori dan atau atensi dan atau bahasa dan atau fungsi eksekutif, dengar skor MoCA-Ina. Skor maksimal tes ini adalah 30, dimana nilai 26-30 dikatagorikan sebagai normal, sedangkan skor <26 digolongkan mengalami GFK. Pada subyek yang memiliki masa pendidikan <12 tahun, ditambahkan 1 poin pada skor total (Nasreddine dkk., 2005; Chertkow dkk, 2008). Dibedakan dengan ya/tidak dan mengggunakan skala nominal.

3. Kontrol gula darah adalah kadar gula darah rata-rata yang ditentukan dengan mengunakan pemeriksaan kadar HbA1c.

4. Gula darah terkontrol bila kadar HbA1c <7% dan tidak terkontrol nilai kadar HbA1c > 7% (PERKENI, 2011).

5. Lama menderita DM adalah waktu dalam hitungan tahun sejak penderita didiagnosis menderita DM yang diketahui dari rekam medik atau keterangan penderita atau keluarga hingga saat dilakukan pemeriksaan. Data disajikan berskala nominal dikotomi dibagi menjadi lama DM < 5 tahun dan > 5 tahun (Bruce dkk, 2008a).


(53)

6. Umur adalah umur penderita pada saat dilakukan wawancara sesuai dengan yang tercatat pada Kartu Tanda Penduduk (KTP).

7. Umur dewasa menengah adalah suatu periode diantara umur dewasa muda dengan umur tua, yaitu umur 40-60 tahun. Pada masa ini ditandai adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental (Hurlock, 1980).

8. Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita berdasarkan yang tercatat pada KTP, yaitu laki-laki dan perempuan. Data berskala nominal.

9. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti subyek penelitian sampai memperoleh ijazah, berdasarkan keterangan pasien atau keluarga. Dikelompokkan menjadi menjadi pendidikan rendah < 12 tahun, dan pendidikan tinggi > 12 tahun (PP No 17 tahun 2010). Dibedakan dalam skala ordinal.

10. HIV-AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodefisiency Virus) (Djoerban dan Djauzi, 2006).

11. Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lemak yang ditandai oleh peningkatan atau penurunan lemak plasma. Kelainan fraksi lemak yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total > 200mgdL dan atau kolesterol LDL > 130 mg/dL dan atau penurunan HDL < 35 mg/dL dan atau kenaikan trigliserida > 200 mg/dL (Soegondo dan Gustaviani, 2006). Dibedakan dengan ya/tidak dan menggunakan skala nominal dikotomi.

12. Hipertensi adalah subyek yang memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140


(54)

yang didapatkan melalui dua kali pengukuran TD pada posisi duduk dengan selang waktu 5 menit dalam kondisi cukup istirahat/tenang atau penderita dengan riwayat hipertensi dan sedang minum obat anti hipertensi (sesuai dengan Eighth Joint National Committee Classification/JNC VIII). Dibedakan dengan ya/tidak dan menggunakan skala nominal dikotomi. 13. Stroke adalah adanya riwayat klinis defisit neurologi maupun hasil

pemeriksaan klinis neurologis yang terjadi mendadak yang ditandai oleh kelemahan atau kelumpuhan, kesemutan atau rasa tebal, gangguan berbicara, gangguan tajam penglihatan atau penglihatan ganda, yang bertahan lebih dari 24 jam, yang semata-mata disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak (Warlow dkk, 2007). Dibedakan dengan ya/tidak dan menggunakan skala nominal dikotomi.

14. Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial (Kusumastuti dan Basuki, 2014).

15. Trauma kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan ganguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (PERDOSSI, 2006).

16. Gagal jantung adalah sindroma klinis sesuai kriteria Framingham berupa kumpulan gejala dan tanda, minimal 1 kriteria mayor berupa paroxymal nocturnal dyspneu, distensi vena jugular, ronki paru, kardiomegali, udem


(55)

paru akut, adanya gallop S3, peningkatan tekanan vena jugular, dan 2 kriteria minor yaitu edema ekstrimitas, batuk malam hari, dyspneu d’effort, hepatomegali, efusi pleura, takikardi >120 kali/menit (Panggabean, 2006). Dibedakan dengan ya/tidak dan menggunakan skala nominal dikotomi. 17. Gangguan fungsi ginjal didefinisikan sebagai penderita yang sudah

terdiagnosisatau diduga gagal ginjal kronik yaitu kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktur atau fungsional yang dimanifestasikan oleh kerusakan ginjal yang terdeteksi sebagai ekskresi albumin urin abnormal atau nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73m2 (Suwitra, 2006)

18. Depresi dapat dinilai dengan menggunakan skala Hamilton (Ham-D), dimana tidak ada depresi dengan rentang skala 0-6, depresi ringan dengan rentang skala 7-17, depresi sedang dengan rentangskala 18-24 dan > 24 untuk depresi berat (Citra, 2003; Mirani, 2009). Dibedakan ya/tidak dan menggunakan skala nominal dikotomi.

4.7 Alat Pengumpul Data

1. Lembar pengumpulan data yang digunakan untuk mencatat data dasar karakteristik penderita.

2. Lembar pemeriksaan fungsi kognitif yaitu tes MoCA-Ina yang akan menilai domain-domain kognitif seperti atensi dan konsentrasi, orientasi, memori, bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan visuospasial, kalkulasi dan pemikiran konseptual. Fungsi atensi diperiksa dengan


(56)

mengulang sejumlah angka berturut-turut dari depan ke belakang dan sebaliknya (forward dan backward digit span), dan A random letter test.

Fungsi kalkulasi dinilai dengan pengurangan angkan 7. Fungsi visuospasial dinilai dengan memerintahkan penderita untuk menyalin gambar kubus, sementara fungsi eksekutif diperiksa dengan modifikasi tes trial making B, Domain memori diperiksa dengan memerintahkan penderita untuk membaca dan mengulangnya setelah selang waktu lima menit lima kata yang tidak saling berhubungan, domain bahasa diperiksa dengan penamaan sejumlah obyek gambar, pengulangan kalimat dan menyebutkan sebanyak mungkin kata yang dimulai dengan huruf tertentu. Orientasi dinilai dengan pertanyaan mengenai tempat, tanggal dan waktu sedangkan abstraksi diperiksa dengan menilai kemampuan penderita untuk melihat kemiripan dua obyek.

3. Untuk mengetahui keadaan kejiwaan penderita apakah mengalami depresi maka dilakukan wawancara berdasarkan skala depresi Hamilton dan dibuatkan suatu penilaian terhadap jawabannya. Skor 0-6 menunjukkan tidak ada depresi, skor 7-17 menunjukkan depresi ringan, 18-24 menunjukkan depresi sedang dan skor > 24 menunjukkan depresi berat.

4. Pemeriksaan kontrol gula darah yang digunakan adalah kadar HbA1c dalam 3 bulan terakhir. Kadar HbA1c diperiksa memakai metode Turbidimetri, alat


(57)

4.8 Prosedur Penelitian

Penderita DM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya

bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent, maka

dilakukan wawancara terstruktur dengan kuesioner. Data yang diperoleh ditabulasi dan diolah untuk mendapatkan hasil penelitian.

Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian

Populasi target: penderita DM

Populasi terjangkau: penderita DM yang rawat jalan di poliklinik Diabetes RSUP Sanglah

Kriteria inklusi dan eksklusi eksklusi

Pemeriksaan Fungsi Kognitif

GFK (+) GFK (-)

Gula darah terkontrol

Gula darah tidak terkontrol

Gula darah terkontrol

Gula darah tidak terkontrol

Analisis Data


(58)

4.9 Pengolahan dan Analisis Data

Analisis dan penyajian data yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Variabel sebaran usia, dislipidemia, hipertensi, lama menderita DM, dan tingkat pendidikan pada kelompok kasus dan kontrol akan ditampilkan dalam bentuk data deskriptif.

2. Analisis bivariat untuk uji hipotesis variabel bebas dan variabel tergantung berskala nominal dengan metode Chi-Square. Tingkat kemaknaan dengan p dan hubungan antar variabel dinilai dengan Odds Ratio dengan confidence interval (CI) 95%.

3. Analisis multivariat untuk melihat hubungan langsung gula darah tidak terkontrol (HbA1c >7%) sebagai faktor risiko gangguan fungsi kognitif pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah.


(59)

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2014 sampai bulan Oktober 2014 bertempat dipoliklinik Saraf dan poliklinik Diabetes RSUP Sanglah. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk mengetahui gula darah tidak terkontrol sebagai faktor risiko gangguan fungsi kognitif pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah dengan menggunakan uji Chi-Square sebagai uji hipotesis.

5.1 Analisis Deskriptif Subyek Penelitian

Jumlah penderita DM tipe 2 usia dewasa muda yang memenuhi kriteria inklusi untuk dilakukan pemeriksaan sebanyak 87 orang. Subyek yang mengalami GFK dikelompokkan sebagai kasus sebanyak 43 orang dan subyek tanpa GFK dikelompokkan sebagai control sebanyak 44 orang. Jumlah sampel penelitian ini telah memenuhi jumlah sampel minimal berdasarkan perhitungan yaitu 41 pasang kasus dan kontrol.

Karakteristik dasar subyek penelitian disajikan pada tabel 5.1. Median umur pada kelompok kasus adalah 51 tahun dengan rentang 41-59 tahun, sedangkan median umur pada kelompok kontrol adalah 50,5 tahun dengan rentang 40-60 tahun. Subyek berjenis kelamin laki-laki pada kelompok kasus sebanyak 20 orang (46,5%), sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 27 orang (61,4%).


(60)

Tabel 5.1

Karakteristik Dasar Subyek Penelitian

Variabel Kasus Kontrol

n % n %

Umur (tahun), median (min-mak) 50 (41-59) 50,5 (40-60)

Jenis kelamin

laki-laki 20 46,5 27 61,4

perempuan 23 53,5 17 38,6

Pendidikan

SD 17 39,5 6 13,6

SMP 5 11,6 2 4,5

SMA 11 25,6 23 52,3

Perguruan Tinggi 10 23,3 13 29,5

Pekerjaan

PNS/TNI POLRI 12 27,9 13 29,5

Swasta 15 34,9 17 38,6

Petani/ Buruh 4 9,3 5 11,6

Lain-lain 12 27,9 9 20,5

Kadar HbA1c, median (min-mak) 8,52 (5,30-14,30) 6,79 (4,80-14,24)

Seluruh subyek pada penelitian ini menjalani pendidikan formal mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi, dengan jumlah terbanyak adalah tingkat pendidikan SMA, yaitu 11 orang pada kelompok kasus (23,3%) dan 23 pada kelompok kontrol (52,3%). Tingkat pendidikan akan dikelompokkan menjadi pendidikan rendah untuk penderita DM tipe 2 yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar (<12 tahun) dan pendidikan tinggi untuk penderita DM tipe 2 yang berhasil menyelesaikan pendidikan dasar (>12 tahun). Tingkat pekerjaan terbanyak adalah pegawai swasta dengan jumlah 15 orang pada kelompok kasus (34,8%) dan 17


(61)

rentang 5,30-14,30 pada kelompok kasus dan 6,79% dengan rentang 4,80-14,24 pada kelompok kontrol. Untuk menentukan kontrol gula darah pada penderita DM tipe 2, kadar HbA1c dikelompokkan menjadi >7% untuk penderita DM dengan kadar gula tidak terkontrol dan kadar HbA1c <7% untuk penderita DM kadar gula darah terkontol.

5.2 Hubungan Kontrol Gula Darah dengan GFK pada Penderita DM TIpe 2 Usia Dewasa Menengah

Hubungan antara kontrol gula darah sebagai variabel bebas dengan gangguan kognitif sebagai variabel tergantung pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah dinilai dengan menggunakan analisis bivariat. Uji hipotesis yang digunakan adalah Chi-Square. Didapatkan nilai Odds rasio (OR) dengan interval kepercayaan (IK) 95%. Kemaknaan penelitian ini ditetapkan pada nilai probabilitas (p) <0,05. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.2.

Tabel 5.2

Analisis Bivariat Kontrol Gula Darah dengan Gangguan Kognitif pada Penderita DM Tipe 2 Usia Dewasa Menengah

GFK (+) n (%)

GFK (-) n (%)

OR

p (IK 95%)

Kontrol gula darah

Tidak

terkontrol 30 (69,8) 17 (38,6)

3,66

(1,505-8,924) 0,004* Terkontrol 13 (30,2) 27(61,4)


(62)

Penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah dengan kadar gula darah tidak terkontrol yang mengalami GFK sebanyak 30 orang (69,8%) dan tanpa GFK sebanyak 17 orang (38,6%). Dari penelitian ini didapatkan bahwa penderita DM usia dewasa menengah dengan kadar gula darah tidak terkontrol secara signifikan meningkatkan risiko 3,66 kali untuk mengalami GFK dibandingkan dengan penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah dengan kadar gula darah terkontrol (OR=3,66; IK 95%= 1,505-8,924; p=0,004) (tabel 5.2).

5.3 Hubungan Faktor- faktor Lain yang Berpengaruh Terhadap Kejadian GFK pada Penderita DM Tipe 2 Usia Dewasa Menengah

Faktor-faktor lain yang berpengaruh pada kejadian GFK antara lain tingkat pendidikan, lama menderita DM, hipertensi dan dislipidemia. Hubungan dari variabel tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis bivariate. Uji hipotesis yang digunakan adalah Chi-Square. Didapatkan nilai Odds rasio (OR) dengan interval kepercayaan (IK) 95%. Kemaknaan penelitian ini ditetapkan pada nilai probabilitas (p) <0,05. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.3.

Pada penelitian ini didapatkan 20 orang (46,5%) subyek pada kelompok kasus dan 21 orang (47,5%) pada kelompok kontrol menderita DM selama lebih dari 5 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan 22 orang (51,2%) pada kelompok kasus dan 8 orang (18,2%) berpendidikan rendah. Sebanyak 16 orang (37,2%) pada kelompok kasus dan 10 orang (22,7%) pada kelompok kontrol menderita hipertensi. Pada penelitian ini juga didapatkan sebanyak 15 orang


(63)

(34,9%) pada kelompok kasus dan 19 orang (43,2%) pada kelompok kontrol menderita dyslipidemia.

Tabel 5.3

Hubungan faktor- faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian GFK pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah.

GFK (+) n (%) GFK (-) n (%) OR p (IK 95%) Lama menderita DM

>5 tahun 20 (46,5) 21 (47,7) 0,95

(0,410-2,211) 0,910 <5 tahun 23 (53,5) 23 (52,3)

Tingkat pendidikan

Rendah 22 (51,2) 8 (18,2)

4,71

(1,784-12,459) 0,001* Tinggi 21 (48,4) 36 (81,8)

Hipertensi

Ya 16 (37,2) 10 (22,7)

2,01

(0,789-0,5147) 0,140 Tidak 27 (62,8) 34 (77,3)

Dislipidemia Ya 15 (34,9) 19 (43,2) 0,705

(0,297-1,675) 0,428 Tidak 28 (65,1) 25 (50,6)

* bermakna secara statistik Hasil analisis bivariat faktor-faktor lain yang berpengaruh pada terhadap kejadian GFK pada penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah (tabel 5.3), menunjukkan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian GFK (OR=4,71; IK 95%=1,784-12,459;


(64)

p=0,001), sedangkan faktor-faktor lain seperti lama menderita DM, Hipertensi dan dislipidemia secara statistik tidak bermakna (p>0,05).

5.4Faktor Risiko Independen Terhadap GFK

Untuk mengetahui variabel yang menjadi faktor risiko independen terhadap kejadian GFK maka dilakukan analisis multivariat dengan metode regresi logistik. Metode ini digunakan karena variabel terikatnya merupakan variabel katagorik dengan desain kasus kontrol tidak berpasangan. Sedangkan kerangka konsep etiologik diterapkan karena penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hubungan murni antara suatu variabel bebas dengan variabel terikat, dalam hal ini kontrol gula darah dengan GFK.

Tabel 5.4

Analisis multivariat regresi Logistik

Variabel Koefisien p OR

(IK 95%)

Langkah 1 Kontrol Gula

Darah 1,338 0,006

3,81 (1,466-9,11) Tingkat

pendidikan 1,588 0,002

4,89 (1,751-13,66)

Konstanta -4,570 0,000

Variabel-variabel yang dimasukkan pada analisis multivariat adalah kelompok kadar gula darah dan tingkat pendidikan yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p<0,25.Data hasil analisis multivariat selengkapnya ditampilkan


(65)

Dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa faktor risiko independen terhadap kejadian GFK pada penderita DM tpe 2 usia dewasa menengah adalah kadar gula darah tidak terkontrol sebesar 3,81 (p=0,006; IK 95% 1,466-9,11), dan tingkat pendidikan rendah sebesar 4,892 (p=0,002; IK 95% 1,751-13,66).


(66)

6.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian

Pada penelitian ini diperoleh 87 orang penderita DM tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu penderita DM tipe 2 usia dewasa menengah dengan GFK sebagai kelompok kasus dan penderita DM tipe 2 usia dewasa tanpa GFK sebagai kelompok kontrol. Dilihat dari karakteristik dasar subyek penelitian rentang umur pada penelitian ini adalah umur 40-60 tahun yang merupakan rentang usia dewasa menengah. Pada penelitian ini median umur pada kelompok kasus adalah 50 tahun dengan rentang umur 41-59 tahun, sedangkan median pada kelompok kontrol adalah 50,5 tahun dengan rentang umur 40-60 tahun.

Tidak hanya populasi usia tua saja yang kemungkinan mengalami GFK. Singh-Manoux dkk (2012), melalui Whitehall II Prospective Cohort Study

melaporkan bahwa penurunan fungsi kognitif sudah mulai terjadi pada usia pertengahan yaitu mulai 45 hingga 49 tahun. Laporan tersebut juga didukung oleh Nooyens dkk (2010), dalam The Doeticinchem Cohort Study yang melaporkan bahwa usia dewasa menengah juga dapat mengalami GFK dan risiko tersebut dapat meningkat jika terdapat faktor metabolik. Pada usia dewasa menengah, penurunan fungsi kognitif pada penderita DM 2,6 kali lebih besar daripada yang tidak menderita DM. Mudanayasa (2012), melakukan penelitian tentang DM tipe 2 sebagai faktor risiko GFK pada usia dewasa menegah dan mendapatkan rerata umur


(67)

subyek adalah 54,66 tahun dengan simpang baku 7,30. Diperkirakan bahwa pada tahun 2010 jumlah penderita DM secara global adalah 285 juta orang, dimana pada negara-negara yang sedang berkembang mayoritas penderita DM adalah pada usia antara 40 hingga 60 tahun (Shaw dkk, 2010).

Subyek berjenis kelamin laki-laki pada kelompok kasus sebanyak 20 orang (46,5%), sedangkan jumlah subyek berjenis kelamin perempuan pada kelompok kasus sebanyak 23 orang (53,5%). Pada studi prevalensi dan angka kejadian MCI dan demensia antara orang berkulit putih dan hitam yang dilakukan oleh Katz dkk (2012), mendapatkan bahwa prevalensi maupun angka kejadian MCI maupun demensia adalah serupa, baik antara laki-laki dan perempuan. Demikian juga yang terjadi pada penderita dengan DM. Kalyani dkk (2010), menyatakan bahwa tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan penderita DM yang mengalami ganguan fungsi kognitif.

Latar belakang pekerjaan subyek penelitian sangat bervariasi. Data menurut tingkat pekerjaan terbanyak adalah pegawai swasta dengan jumlah 15 orang pada kelompok kasus (34,8%) dan 17 orang pada kelompok kontrol (38,6%). Pada suatu penelitian kohort untuk mencari pengaruh pekerjaan terhadap risiko GFK pada usia lanjut yang dilakukan oleh Li dkk (2002), mendapatkan bahwa kejadian GFK lebih banyak terjadi pada pekerja kasar seperti petani, buruh dan nelayan dengan OR 3,2 (IK 95%= 1,1-1,45), pengrajin OR 2,2 (IK95%=1,6-6,7) dan pekerja pabrik OR 14,7 (IK(95%=2,9-75,6) bila dibandingkan dengan pekerja yang banyak menggunakan pikiran. Pada penelitian prevalensi terjadinya MCI di Tiongkok yang


(68)

dilakukan oleh Jia dkk (2014) mendapatkan bahwa pekerjaan selain buruh dan tani mempunyai efek proktektif terhadap terjadinya MCI.

6.2 Hubungan antara Kontrol Gula Darah dengan GFK pada Penderita DM Tipe 2 Usia Dewasa Menengah

Pengukuran kadar HbA1c adalah salah satu metode yang digunakan untuk pemantauan kontrol glukosa pada pasien dengan DM. Penilaian HbA1c dapat menilai efektivitas terapi dengan memonitoring regulasi glukosa darah dalam jangka panjang. Nilai HbA1c merupakan konsentrasi glukosa plasma yang proporsional dalam waktu 4 minggu hingga tiga bulan (Sultanpur dkk, 2010).

Kontrol gula darah yang diukur dengan menggunakan kadar HbA1c telah dikaitkan dengan perkembangan dan progresivitas dari komplikasi DM. Penelitian EPIC-Norfolk, suatu penelitian epidemiologi yang besar, telah melaporkan bahwa kadar hemoglobin yang terglikosilasi (HbA1c) mempunyai hubungan dengan mortalitas pada semua kasus, kardiovaskular, penyakit jantung iskemik pada pria dan wanita usia 45-79 tahun (Khaw dkk, 2004).

Sabanayagam dkk (2009), dalam penelitian untuk mengetahui hubungan antara HbA1c dengan komplikasi mikrovaskular dengan subyek sebanyak 3,190 orang melayu di Singapura mendapatkan bahwa peningkatan kadar HbA1c berhubungan dengan dengan semua komplikasi mikrovaskular. Pada subyek dengan kadar HbA1c 7%-7,9% dan >8% didapatkan peningkatan prevalensi retinopati ringan sebesar 9 dan 30 kali (p< 0,0001) dibandingkan dengan subyek dengan kadar HbA1c <6,9%. American Diabetes Association juga telah


(1)

5.2 Hubungan Kontrol Gula Darah dengan GFK

HbA1c terkontrol * gangguan kognitif Crosstabulation

gangguan kognitif Total ya tidak

HbA1c terkontrol >7

Count 30 17 47

Expected Count 23.2 23.8 47.0

% within HbA1c terkontrol 63.8% 36.2% 100.0% % within gangguan kognitif 69.8% 38.6% 54.0%

<7

Count 13 27 40

Expected Count 19.8 20.2 40.0

% within HbA1c terkontrol 32.5% 67.5% 100.0% % within gangguan kognitif 30.2% 61.4% 46.0%

Total

Count 43 44 87

Expected Count 43.0 44.0 87.0

% within HbA1c terkontrol 49.4% 50.6% 100.0% % within gangguan kognitif 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 8.485a 1 .004

Continuity Correctionb 7.278 1 .007

Likelihood Ratio 8.637 1 .003

Fisher's Exact Test .005 .003

Linear-by-Linear

Association 8.388 1 .004

N of Valid Cases 87

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.77. b. Computed only for a 2x2 table


(2)

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for HbA1c

terkontrol (>7 / <7) 3.665 1.505 8.924 For cohort gangguan

kognitif = ya 1.964 1.196 3.224

For cohort gangguan

kognitif = tidak .536 .346 .829

N of Valid Cases 87

5.3 Hubungan Faktor-faktor lain dengan GFK

tk pendidikan * gangguan kognitif Crosstabulation

gangguan kognitif Total ya tidak

tk pendidikan

rendah

Count 22 8 30

Expected Count 14.8 15.2 30.0

% within tk pendidikan 73.3% 26.7% 100.0% % within gangguan kognitif 51.2% 18.2% 34.5%

tinggi

Count 21 36 57

Expected Count 28.2 28.8 57.0

% within tk pendidikan 36.8% 63.2% 100.0% % within gangguan kognitif 48.8% 81.8% 65.5%

Total

Count 43 44 87

Expected Count 43.0 44.0 87.0

% within tk pendidikan 49.4% 50.6% 100.0% % within gangguan kognitif 100.0% 100.0% 100.0%


(3)

Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 10.471a 1 .001

Continuity Correctionb 9.062 1 .003

Likelihood Ratio 10.777 1 .001

Fisher's Exact Test .002 .001

Linear-by-Linear

Association 10.350 1 .001

N of Valid Cases 87

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.83. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for tk pendidikan

(rendah / tinggi) 4.714 1.784 12.459 For cohort gangguan

kognitif = ya 1.990 1.331 2.977

For cohort gangguan

kognitif = tidak .422 .226 .789


(4)

dislipidemia * gangguan kognitif Crosstabulation

gangguan kognitif Total ya tidak

dislipidemia ya

Count 15 19 34

Expected Count 16.8 17.2 34.0

% within dislipidemia 44.1% 55.9% 100.0% % within gangguan kognitif 34.9% 43.2% 39.1%

tidak

Count 28 25 53

Expected Count 26.2 26.8 53.0

% within dislipidemia 52.8% 47.2% 100.0% % within gangguan kognitif 65.1% 56.8% 60.9%

Total

Count 43 44 87

Expected Count 43.0 44.0 87.0

% within dislipidemia 49.4% 50.6% 100.0% % within gangguan kognitif 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .629a 1 .428

Continuity Correctionb .329 1 .566

Likelihood Ratio .630 1 .427

Fisher's Exact Test .512 .283

Linear-by-Linear

Association .622 1 .430

N of Valid Cases 87

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.80. b. Computed only for a 2x2 table


(5)

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for dislipidemia

(ya / tidak) .705 .297 1.675

For cohort gangguan

kognitif = ya .835 .529 1.317

For cohort gangguan

kognitif = tidak 1.185 .784 1.790

N of Valid Cases 87

hipertensi * gangguan kognitif Crosstabulation

gangguan kognitif Total ya tidak

hipertensi ya

Count 16 10 26

Expected Count 12.9 13.1 26.0

% within hipertensi 61.5% 38.5% 100.0% % within gangguan kognitif 37.2% 22.7% 29.9%

tidak

Count 27 34 61

Expected Count 30.1 30.9 61.0

% within hipertensi 44.3% 55.7% 100.0% % within gangguan kognitif 62.8% 77.3% 70.1%

Total

Count 43 44 87

Expected Count 43.0 44.0 87.0

% within hipertensi 49.4% 50.6% 100.0% % within gangguan kognitif 100.0% 100.0% 100.0%


(6)

Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 2.177a 1 .140

Continuity Correctionb 1.540 1 .215

Likelihood Ratio 2.191 1 .139

Fisher's Exact Test .165 .107

Linear-by-Linear

Association 2.152 1 .142

N of Valid Cases 87

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.85. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for hipertensi

(ya / tidak) 2.015 .789 5.147

For cohort gangguan

kognitif = ya 1.390 .919 2.104

For cohort gangguan

kognitif = tidak .690 .404 1.178

N of Valid Cases 87

5.4 Faktor Independen GFK

Hosmer and Lemeshow Test Step Chi-square df Sig.

1 1.298 2 .523

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B) Lower Upper

Step 1a

DM_terkontrol 1.338 .488 7.528 1 .006 3.811 1.466 9.911 tk_pendidikan 1.588 .524 9.176 1 .002 4.892 1.751 13.666 Constant -4.570 1.229 13.829 1 .000 .010