Gambaran kebutuhan psikologis remaja penyandang tuna rungu diungkap dengan Themetic Apperception Test

(1)

GAMBARAN KEBUTUHAN PSIKOLOGIS REMAJA

PENYANDANG TUNA RUNGU DIUNGKAP DENGAN

THEMATIC APPERCEPTION TEST

(T.A.T)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Samira Pelangi Widjanarko NIM: 099114001

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

Indah pada saatNya..

Karya ini aku persembahkan kepada setiap orang yang ingin dipahami secara psikologis.


(5)

(6)

vi

GAMBARAN KEBUTUHAN PSIKOLOGIS REMAJA PENYANDANG TUNA RUNGU DIUNGKAP DENGAN THEMATIC APPERCEPTION TEST (T.A.T)

Samira Pelangi Widjanarko

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan psikologis remaja akhir penyandang tuna rungu. Pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimana gambaran kebutuhan psikologis remaja akhir penyandang tuna rungu, dan sub pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana dinamika kebutuhan (need) dan tekanan (press) remaja penyandang tuna rungu. Subjek berjumlah 3 orang yang berusia antara 16-18 tahun dengan kriteria tinggal bersama kedua orang tuanya. Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian stimulus projektif berupa tes T.A.T. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja akhir penyandang tuna rungu memiliki kebutuhan akan penerimaan, kebutuhan menyerang orang lain serta kebutuhan bebas untuk dirinya sendiri. Tekanan yang dimiliki oleh remaja penyandang tuna rungu adalah perlakuan tidak baik, ketidakmampuan serta kesendirian. Berdasarkan pada dinamika yang dimiliki oleh remaja penyandang tuna rungu, terlihat bahwa penyandang tuna rungu cenderung memiliki anxious-ressistant attachment.


(7)

vii

PSYCHOLOGICAL NEEDS OF DEAF ADOLESCENT ACKNOWLEDGED BY A THEMATIC APPERCEPTION TEST (TAT)

Samira Pelangi Widjanarko ABSTRACT

This research is aimed to get to know the psychological needs of young adolescent. The central question in this research is to describe the psychological needs of deaf adolescent while the subquestion is how are the dynamics of need press of deaf adolescent. Subjects in this research was 3 persons aged between 16 and 18 years old under the criteria still living with their parents. The data collection was carried out by giving a projective stimulus based on the TAT test. The result of the test shows that deaf adolescent have the need of acceptance, the need attacking other people and the need to free themselves. Deaf adolescent experience the pressure of bad treatment, inability and loneliness. Based on the dynamics of young deaf adolescents it can be said that they tend to have an anxious-resistant attachment.


(8)

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan dan rahmat-Nya dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar dari Fakultas Psikologis Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis,

1. Ibu Dr. Tjipto Susana selaku dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas bimbingan dari awal masa perkuliahan hingga penulisan skripsi yang akhirnya dapat terselesaikan. Terima kasih atas kesempatan, diskusi dan nasehat yang telah diberikan. 2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko atas bimbingannya melakukan analisis

tematik dan pembahasan. Terima kasih atas diskusi dan ilmu yang diberikan.

3. Para dosen penguji, Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si, Psi dan Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi, yang telah meluluskan saya.

4. Ibu Kumoro Wati S.Pd selaku kepala sekolah SLB B Karnnamanohara atas kesempatan dan diskusinya selama pengambilan data sera ibu Milah yang selalu membantu dan mendampingi selama pengambilan data.

5. Ketiga subjek beserta orang tua atas partisipasinya dalam penelitian ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih. Kiranya Tuhan memberikan anugerah yang terbaik dalam menjalani hidup ini.


(10)

x

6. Yang berharga dalam hidup saya, Papa, Mama dan Mirko untuk semua dukungan doa, cinta dan kasihnya yang luar biasa.

7. Separuh jiwa saya, Paulus Narendra Utama atas cinta dan dukungannya yang luar biasa. Terima kasih atas kesabarannya yang tiada henti dalam menemani pembuatan skripsi yang lama ini.

8. UNISON Training & Outdoor Activity atas ilmu psikologi terapan dan kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu saya. Terima kasih sudah membimbing saya.

9. Ellisa Briyandhani Yuniarti atas waktu dan tenaganya untuk selalu membantu. Terima kasih selalu memberi masukan dan selalu membuat aku tertawa.

10.Teman seperjuangan Made Ayu, Odilia Elisetiawati, Francisca Okvi Widyaningrum dan Fransisca Dina terima kasih atas diskusi dan dukungannya. Terima kasih atas canda tawa yang selalu ada.

11.Semua pihak yang membantu saya untuk menyelesaikan studi ini, skripsi ini dan kehidupan ini. Terima kasih.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan sangat membantu untuk kepatutan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat membantu siapa pun yang membacanya.


(11)

xi

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PENYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoritis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 8


(12)

xii

A. Kebutuhan Psikologis ... 9

1. Pemahaman tentang Kebutuhan Psikologis ... 9

2. Review Literatur tentang Kebutuhan Psikologis ... 11

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Psikologis ... 14

4. Tipe-tipe Kebutuhan ... 18

5. Dampak Kebutuhan Psikologis ... 24

B. Remaja Tuna Rungu ... 24

1. Pengertian Remaja Tuna Rungu ... 24

2. Review Literatur tentang Reamaja Tuna Rungu dan Permasalahan Psikologis pada Penyandang Tuna Rungu ... 26

3. Tuna Rungu dalam Tinjauan yang Mendetail ... 28

4. Karakteristik Tuna Rungu ... 30

C. Thematic Apperception Test (T.A.T) ... 33

1. Pengertian Thematic Apperception Test (T.A.T) ... 33

2. Review Literatur tentang Thematic Apperception Test (T.A.T) 34 3. Kartu-kartu TAT ... 35

4. Analisis Level Tematik ... 39

D. Kerangka Penelitian ... 41

E. Pertanyaan Penelitian ... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 44

A. Metode Penelitian ... 44

B. Fokus Penelitian ... 44


(13)

xiii

D. Metode Pengumpulan Data ... 46

E. Analisis Data ... 52

F. Validitas Penelitian ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Pelaksanaan Penelitian ... 54

B. Hasil Penelitian ... 54

C. Dinamika Kebutuhan Psikologis (Need) dan Tekanan (Press) Subjek 1, 2, dan 3 ... 80

D. Pembahasan Penelitian ... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Kebutuhan Menurut Murray ... 19

Tabel 2. Contoh Analisi Level Tematik Pada Kartu 13MF ... 41

Tabel 3. Panduan Pertanyaan Wawancara Untuk Subjek ... 50

Tabel 4. Panduan Pertanyaan Wawancara Untuk Significan Others Subjek ... 51

Tabel 5. Kebutuhan Psikologis (Need) dan Tekanan (Press) Subjek 1 ... 57

Tabel 6. Kebutuhan Psikologis (Need) dan Tekanan (Press) Subjek 2 ... 67


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Dinamika kebutuhan psikologis (need) dan tekanan (press) subjek 1 ... 85 Gambar 2. Dinamika kebutuhan psikologis (need) dan tekanan (press) subjek 2 ... 86 Gambar 3. Dinamika kebutuhan psikologis (need) dan tekanan (press) subjek 3 ... 87


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuna rungu (Deaf) adalah keadaan dimana seseorang mengalami kerusakan pada indera pendengaran (Suharmini, 2007) yang mengakibatkan (1) penyandang tidak dapat menyampaikan pikiran perasaan dan kehendak kepada orang lain; (2) penyandang tidak dapat memahami lingkungan pergaulan karena sulit untuk mengungkapkan keinginan hati dan mengerti maksud orang lain; (3) pengetahuan mereka terbatas sehingga sulit untuk memahami berbagai hal; (4) pikiran mereka kurang berkembang karena perkembangan bahasa mereka yang terganggu (Sadjaah, 2005). Selain itu, kesulitan dalam memahami bahasa mengakibatkan penyandang tuna rungu cenderung mengartikan sesuatu secara negatif atau salah yang sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosinya ini dapat menghambat perkembangan pribadinya seperti menutup diri, agresif maupun ragu-ragu (Somantri, 2006).

Hal serupa juga diungkapkan oleh Hurlock (dalam Sadjaah, 2005) jika tingkat perkembangan bahasa – bicara berada di bawah rata-rata kualitas usia “anak mendengar” (hearing children), maka anak akan terus mengalami hambatan dalam hubungan sosial. Ketika anak-anak sebaya mulai berbicara menggunakan kata-kata dan seorang anak mengunakan isyarat atau gaya bicara bayi, maka kesempatan bagi anak tersebut untuk mempelajari keterampilan bermain akan menghilang serta mengancam penerimaan sosialnya. Kondisi


(17)

seperti ini dapat mengakibatkan reaksi sosial, dimana secara psikologis dapat mengganggu kepribadian anak.

Sementara itu, Erikson (dalam Alwisol, 2009) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa krisis. Hal ini dikarenakan pada masa ini remaja berusaha untuk menemukan indentitas dirinya. Kekacauan indentitas mungkin terjadi seperti terbaginya gambaran diri, ketidakmampuan membina persahabatan yang akrab, dan lain sebagainya. Kekacauan identitas yang berlebih dapat mengakibatkan penyesuaian diri yang patologis dalam bentuk regresi ke perkembangan sebelumnya.

Penelitian terkait dengan permasalahan perkembangan psikososial anak penyandang tuna rungu pernah dilakukan Dammeyer (2009). Penelitian ini menemukan bahwa perkembangan psikososial anak yang mengalami kehilangan pendengaran 3,7 kali lebih sulit dibandingkan dengan anak yang memiliki kemampuan pendengaran yang baik. Sementara itu, penelitian mengenai permasalahan kesehatan mental pernah dilakukan oleh Eldik, Treffers, Veerman, dan Verhulst (2004). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 41% anak penyandang tuna rungu mengalami permasalahan emosi atau perilaku atau 2,6 kali dibandingkan dengan hearing children. Selain itu, kecemasan, depresi dan permasalahan sosial cenderung muncul pada mereka yang berusia antara 12 – 18 dibandingkan dengan mereka yang berusia antara 4 – 11 tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh Dammeyer (2009) dan Eldik, dkk (2004) hanya memaparkan permasalahan psikologis pada tuna rungu tanpa mengeksplorasi lebih dalam kebutuhan-kebutuhan psikologis yang mendasari


(18)

munculnya permasalahan-permasalahan psikologis ini. Kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan psikologis, seperti tertekan (Murray dalam Hall & Lindzey, 1993). Selain itu, Maslow (dalam Alwisol, 2009) juga mengungkapkan akibat dari kegagalan pemenuhan kebutuhan psikologis. Kegagalan memenuhi kebutuhan cinta menjadi sumber hampir semua bentuk psikopatologi, dan kegagalan memenuhi kebutuhan keamanan dapat mengakibatkan obsesif-kompulsif.

Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran kebutuhan psikologis remaja penyandang tuna rungu. Alasan peneliti melihat kebutuhan psikologis sebagi aspek yang penting untuk diteliti karena pada dasarnya setiap kebutuhan akan menuntut untuk dipenuhi. Menurut Murray, pada dasarnya setiap tingkah laku seseorang terdorong untuk melakukan pemenuhan kebutuhan yang muncul. Pemenuhan kebutuhan ini akan membuat seseorang mendatangkan kondisi yang menenangkan maupun memuaskan. Begitu pula sebaliknya, kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi akan menimbulkan perasaan yang mengecewakan hingga kondisi menekan (Hall & Lindzey, 1993). Maka, kebutuhan-kebutuhan psikologis yang tidak dapat terpenuhi akan menimbulkan permasalahan-permasalahan psikologis, seperti cemas, depresi.

Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait dengan kebutuhan psikologis. Penelitian mengenai kebutuhan psikologis pada remaja penyandang cerebral palsy pernah dilakukan oleh Widyaningrum (2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara, observasi dan tes projektif: Thematic Apperception Test (T.A.T). Beberapa kebutuhan yang


(19)

menonjol pada remaja cerebral palsy yaitu: need of affiliation, need of understanding dan need of sentience.

Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh Widyaningrum (2010), diketahui gambaran kebutuhan psikologis subjek. Pada dasarnya, hasil dari penelitian kebutuhan psikologis pada subjek remaja penyandang cerebral palsy tidak dapat disamakan terhadap remaja penyandang tuna rungu. Hal ini terjadi karena perbedaan kondisi yang dialami oleh remaja penyandang cerebral palsy dibandingkan dengan penyandang tuna rungu.

Penelitian tentang profil kebutuhan remaja penyandang tuna rungu telah dilakukan oleh Sumampouw dan Setiasih (2003) di Surabaya. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara terhadap guru dan 4 orang tua subjek serta alat tes psikologi Edwards Personal Preferences Scale (EPPS) dan Standard Progressive Matrices (SPM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja penyandang tuna rungu memiliki kebutuhan yang menonjol pada need of autonomy, need of succorance, dan need of exhibition. Selain itu, mereka juga memiliki need of achievement yang tergolong dalam kategori rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Sumampouw dan Setiasih (2003) memiliki beberapa kelemahan dari metode pengumpulan data yang digunakan. Penggunaan EPPS sebagai alat ukur kebutuhan psikologis hanya mencakup sebatas 15 kebutuhan saja (Kaplan & Saccuzzo, 2012). Selain itu, EPPS merupakan tes kepribadian yang bersifat objektif, sehingga memungkinkan subjek untuk melakukan faking good terhadap respon yang diberikan agar sesuai dengan norma yang ada di dalam masyarakat (Aiken & Groth-Marnat, 2009).


(20)

Oleh karena itu, peneliti akan menggunakan metode projektif (T.A.T) dalam mendapatkan data sehingga data yang diperoleh dapat mencakup lebih dari 15 kebutuhan dan lebih mendalam serta menghindari faking good. Selain itu, penggunaan metode projektif (T.A.T) dapat digunakan untuk melihat tema-tema yang sering muncul pada subjek serta mengungkap informasi berkaitan dengan kebutuhan, tekanan, emosi, perasaan sentimen, kerumitan dan konflik yang dialami subjek (Aiken & Groth-Marnat, 2009; Anastasi & Urbina, 1998). Ditambah lagi, Sumampouw dan Setiasih (2003) menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data demografis serta latar belakang subjek. Hal ini dinilai peneliti kurang dapat menggali informasi secara mendalam. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan wawancara tertulis semi terstruktur terhadap subjek serta wawancara langsung terhadap significan others untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam mengenai diri subjek.

A. Reber dan Reber (2010) mengatakan bahwa cara paling efektif untuk melihat kebutuhan psikologis seseorang adalah dengan menggunakan alat tes projektif Thematic Apperception Test (T.A.T). Selain itu, untuk kebutuhan klinis dan asesmen, T.A.T sering digunakan oleh klinisi karena dapat mengungkap hal-hal yang tidak disadari, terutama berkaitan dengan need dan press. T.A.T merupakan salah satu tes projektif dengan metode analisis isi, dimana subjek diminta untuk menceritakan kejadian dalam kartu yang dirancang secara ambigu (Bellak & Abrams, 1997).

Dari sebuah penelitian dengan menggunakan T.A.T yang dilakukan terhadap seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun, terungkap bahwa remaja


(21)

tersebut mengalami banyak gangguan penyimpangan seksual. Ia juga menunjukkan gejala schizophrenia yang meliputi halusinasi, ketertarikan pada ilmu hitam dan paranoid grandiosity (Pam & Rivera, 1995). Selain itu, T.A.T dapat memantulkan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh remaja dalam cerita-ceritanya. Seorang remaja putri berusia 16,5 tahun diberikan dua kali tes T.A.T dalam selisih jangka waktu 8 bulan. Dalam jangka waktu 8 bulan, remaja putri tersebut mengalami beberapa perubahan yang terlihat dalam perbandingan cerita-cerita T.A.T-nya. Meskipun cerita-cerita T.A.T-nya sangat mirip, namun ceritanya mengalami perubahan tone menjadi lebih bahagia, lebih damai, dan memiliki usaha untuk menjadi independen yang memungkinkannya untuk menjadi sukses, serta memiliki hubungan heteroseksual (Bellak, Levinger, Lipsky, 1948).

Oleh karena setiap kebutuhan akan menuntut untuk dipenuhi, dan Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993) mengatakan bahwa kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi akan membuat seseorang menjadi kecewa dan tertekan, maka penelitian ini penting untuk dilakukan terhadap penyandang tuna rungu yang memiliki kesulitan dalam berkomunikasi (Sadjaah, 2005). Selain itu, Erikson (dalam Alwisol, 2009) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa krisis, dimana remaja berusaha untuk menemukan indentitas dirinya. Kekacauan identitas yang berlebih dapat mengakibatkan penyesuaian diri yang patologis dalam bentuk regresi ke perkembangan sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti mengenai kebutuhan psikologis remaja penyandang tuna rungu dengan menggunakan metode projektif T.A.T. Dengan menggunakan T.A.T,


(22)

dapat diketahui tema-tema yang sering muncul pada subjek serta mengungkap informasi berkaitan dengan kebutuhan, tekanan, emosi, perasaan sentimen, kerumitan dan konflik yang dialami subjek. Hal ini dikarenakan dalam penelitian sebelumnya, Sumampouw dan Setiasih (2003) menggunakan alat tes psikologis EPPS sebagai alat ukur kebutuhan psikologis, dimana EPPS hanya mencakup 15 kebutuhan saja dan memungkinkan subjek untuk melakukan faking good.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada apa yang telah dipaparkan diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran kebutuhan psikologis yang dimiliki oleh remaja penyandang tuna rungu?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kebutuhan

psikologis remaja penyandang tuna rungu .

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan pengetahuan dan pemahaman ilmu psikologi, terutama psikologi kepribadian dan psikologis perkembangan mengenai kebutuhan psikologis (need) dan tekanan (press) pada remaja penyandang tuna rungu.


(23)

2. Manfaat Praktis

a. Gambaran mengenai kebutuhan psikologis yang dimiliki oleh remaja penyandang tuna rungu diharapkan dapat membantu para penyandang tuna rungu lebih memahami dirinya.

b. Penelitian ini juga bermanfaat bagi keluarga para penyandang tuna rungu agar dapat lebih menyadari mengenai kebutuhan-kebutuhan psikologis yang dimiliki para penyandang tuna rungu sehingga dalam upaya melakukan pemenuhan kebutuhan psikologis dapat memberikan bantuan agar kebutuhan psikologis para penyandang tuna rungu dapat terpenuhi secara maksimal.


(24)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebutuhan Psikologis

1. Pemahaman tentang Kebutuhan Psikologis

Menurut Murray (dalam Alwisol, 2009), pemahaman diri harus dilakukan secara personal. Masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang semuanya memiliki pengaruh yang sama dalam menentukan perilaku. Setiap perilaku individu, perlu dipahami dengan fungsi lainnya. Oleh karena itu, setiap individu memiliki perilakunya sendiri sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya sendiri.

Kebutuhan-kebutuhan ini saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Hal ini dikarenakan tidak ada kebutuhan yang berdiri sendiri dan setiap kebutuhan memiliki kekuatan yang berbeda. Ada kebutuhan tertentu yang perlu dipuaskan sebelum kebutuhan lainnya, misalnya orang harus terbebas dari sakit, lapar dan haus sebelum berusaha memuaskan kebutuhan memahami atau bermain. Ada kebutuhan yang berlawanan dengan kebutuhan lainnya, misalnya kebutuhan otonomi berkonflik dengan kebutuhan afiliasi. Ada kebutuhan yang bergabung dengan kebutuhan lainnya, misalnya agresi mungkin bergabung dengan dominan. Ada juga kebutuhan menjadi bagian dari kebutuhan lain sehingga dalam beroperasi memudahkan kebutuhan lainnya, misalnya kebutuhan merendah mungkin melayani kebutuhan afiliasi.


(25)

Kebutuhan menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993; Alwisol, 2009) merupakan suatu konstruk pada bagian otak yang memiliki suatu kekuatan dan mengatur beberapa hal seperti persepsi, apersepsi, konasi dan mengubah situasi yang ada dan yang tidak memuaskan. Kebutuhan dapat langsung dibangkitkan melalui proses internal tertentu, tetapi lebih sering dibangkitkan oleh pengaruh lingkungan. Kebutuhan menunjukkan dirinya dengan mengarahkan individu untuk mendapatkan atau menghindari, mengarahkan perhatian dan merespon tekanan-tekanan tertentu. Setiap kebutuhan biasanya dibarengi oleh perasaan atau emosi tertentu yang khas dan memiliki cara tertentu untuk mengekspresikannya. Kebutuhan dapat bersifat lama atau sementara. Biasanya, kebutuhan bertahan lama dan memunculkan serangkaian perilaku yang mengubah situasi awal menjadi situasi yang menenangkan atau memuaskan individu tersebut.

Adanya kebutuhan dapat disimpulkan dari: (1) hasil akhir dari tingkah laku, (2) pola-pola khusus dari tingkah laku, (3) perhatian dan respon yang terjadi terhadap kelompok stimuli tertentu, (4) ekspresi terhadap suasana emosi tertentu, (5) ekspresi kepuasan atau ketidakpuasan pada hasil akhir,(6) ungkapan atau laporan subjektif mengenai perasaan, maksud dan tujuan (Hall & Lindzey, 1993; Alwisol, 2009).

Berdasarkan pada definisi kebutuhan psikologis diatas, kebutuhan merupakan sesuatu yang bersifat abstrak yang dimiliki oleh setiap individu yang memiliki suatu kekuatan dan mengatur beberapa hal seperti persepsi, apersepsi, konasi dan mengubah situasi yang ada dan yang tidak memuaskan.


(26)

Kebutuhan dapat muncul dari proses internal maupun eksternal. Pada dasarnya, dalam diri individu terdapat banyak kebutuhan psikologis dan kebutuhan-kebutuhan psikologis tersebut saling berinteraksi dan saling mempengaruhi sesuai dengan kekuatan dari masing-masing kebutuhan tersebut. Secara umum, kebutuhan merupakan faktor penentu dari munculnya suatu tingkah laku tertentu. Kebutuhan yang dapat dipuaskan akan membawa individu pada situasi yang menenangkan, sebaliknya bila kebutuhan tidak dapat dipuaskan, individu akan merasa tertekan.

2. Review Literatur tentang Kebutuhan Psikologis

Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait dengan kebutuhan psikologis. Penelitian mengenai kebutuhan psikologis pada remaja penyandang cerebral palsy penah dilakukan oleh Widyaningrum (2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kebutuhan-kebutuhan psikologis pada remaja penyandang cerebral palsy serta melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan psikologis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara, observasi dan tes projektif: Thematic Apperception Test (T.A.T). Peneliti melibatkan 4 subjek yang berusia antara 15-18 tahun. Dari hasil penelitian diperoleh beberapa kebutuhan yang menonjol yaitu: need of affiliation, need of understanding dan need of sentience. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan psikologis remaja cerebral palsy antara lain keinginan dari dalam diri serta


(27)

penerimaan dan perlakuan dari lingkungan sekitar baik orang tua, guru maupun teman.

Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh Widyaningrum (2010), diketahui gambaran kebutuhan psikologis subjek. Pada dasarnya, hasil dari penelitian kebutuhan psikologis pada subjek remja penyandang cerebral palsy tidak dapat digeneralisasikan terhadap penderita tuna rungu. Hal ini dikarenakan perbedaan kondisi yang dialami oleh remaja penyandang cerebral palsy dibandingkan dengan remaja penyandang tuna rungu.

Penelitian tentang profil kebutuhan remaja tuna rungu telah dilakukan oleh Sumampouw dan Setiasih (2003) di Surabaya. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat profil kebutuhan remaja tuna rungu. Pengumpulan data dilakukan terhadap 13 remaja tuna rungu dengan menggunakan kuesioner dan wawancara terhadap guru dan 4 orang tua subjek. Selain itu, peneliti juga menggunakan tes psikologi Edwards Personal Preferences Scale (EPPS) dan Standard Progressive Matrices (SPM).

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa remaja tuna rungu memiliki kebutuhan yang menonjol pada need of autonomy, need of succorance, dan need of exhibition. Selain itu, mereka juga memiliki need of achievement yang tergolong dalam kategori rendah. Berdasarkan hasil analisa dari wawancara dengan orang tua subjek, need of autonomy, need of succorance, dan need of exhibition cenderung menonjol pada remaja tuna rungu karena remaja tuna rungu cenderung mendapatkan bantuan, perlindungan dan kekhawatiran yang berlebihan dari orang tua. Hal ini membuat remaja tuna rungu menjadi


(28)

tergantung pada keluarga. Selain itu, dijelaskan juga bahwa kondisi tersebut menyebabkan remaja tuna rungu merasa terkekang, ingin merasakan kebebasan dan mencapai keinginan-keinginan mereka sendiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Sumampouw dan Setiasih (2003) memiliki beberapa kelemahan dari metode pengumpulan data yang digunakan. Penggunaan EPPS sebagai alat ukur kebutuhan psikologis hanya mencakup sebatas 15 kebutuhan saja (Kaplan & Saccuzzo, 2012). Selain itu, EPPS merupakan tes kepribadian yang bersifat objektif, sehingga memungkinkan subjek untuk melakukan faking good terhadap respon yang diberikan agar sesuai dengan norma yang ada di dalam masyarakat (Aiken & Groth-Marnat, 2009). Oleh karena itu, peneliti akan menggunakan metode projektif (T.A.T) dalam mendapatkan data sehingga data yang diperoleh dapat mencakup lebih dari 15 kebutuhan dan lebih mendalam serta menghindari faking good. Selain itu, penggunaan metode projektif (T.A.T) dapat digunakan untuk melihat tema-tema yang sering muncul pada subjek serta mengungkap informasi berkaitan dengan kebutuhan, tekanan, emosi, perasaan sentimen, kerumitan dan konflik yang dialami subjek (Aiken & Groth-Marnat, 2009; Anastasi & Urbina, 1998). Ditambah lagi, Sumampouw dan Setiasih (2003) menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data demografis serta latar belakang subjek. Hal ini dinilai peneliti kurang dapat menggali informasi secara mendalam. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan wawancara terhadap subjek serta significan others untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam mengenai diri subjek.


(29)

3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Munculnya Kebutuhan Psikologis

Berdasarkan pemahaman Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993; Alwisol, 2009) mengenai kebutuhan psikologis, Murray membuat dinamika psikologis dimana kebutuhan psikologis dipengaruhi oleh:

a. Tekanan (Press)

Tekanan merupakan faktor penentu dari perilaku yang efektif dan penting dalam lingkungan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tekanan merupakan suatu sifat atau atribut dari lingkungan atau seseorang yang memudahkan atau menghalangi seseorang dalam usahanya memenuhi kebutuhannya. Murray mengatakan, “Tekanan suatu objek ialah apa yang dapat dilakukan oleh objek itu terhadap subjek atau untuk subjek – daya yang dimiliki oleh objek untuk mempengaruhi kesejahteraan subjek dengan cara tertentu”.

Murray membagi tekanan menjadi dua, yaitu: beta press (tekanan beta) dan alpha press (tekanan alfa). Beta press merupakan objek-objek dari lingkungan sebagaimana sebjek mempersepsikan atau menginterpretasikannnya, sedangkan alpha press merupakan sifat-sifat dari objek-objek lingkungan itu seperti pada kenyataannya. Misalnya sepasang suami istri sepulang kerja, suami bercerita mengenai rapat yang sangat menekan dengan pimpinannya. Dia merasa istrinya tidak memperhatikannya dan menyimpulkan bahwa istrinya tidak mendukung masalahnya. Kesimpulan yang dilakukan oleh suami, bahwa istrinya tidak


(30)

mendukung masalahnya disebut dengan tekanan beta. Pada kenyataannya, istri memang hanya mendengarkan secara sepintas, bukan karena dia tidak memperhatikan suaminya tetapi karena dia memikirkan pengumuman yang dilakukan presiden perusahaannya bahwa dirinya dan sejawat eksekutif lainnya akan terkena pemotongan gaji. Sebelumnya, pasangan ini pernah menjumlah pendapatan mereka berdua agar memungkinkan bagi suami untuk mendirikan perusahaan sendiri dan istri itu takut memberitakan berita buruk tersebut kepada suaminya. Perhatian istri yang terpecah merupakan tekanan alfa dalam situasi ini, dimana suami menangkapnya menjadi tekanan beta: tidak mendukung.

Daftar tekanan dengan peristiwa-peristiwa yang dialami selama masa kanak-kanak:

1) Tidak ada dukungan keluarga, pertentangan kultural, pertentangan dalam keluarga, disiplin yang berubah-ubah, orang tua yang berpisah, ketidakhadiran orang tua: ayah, ibu, kemiskinan, keluarga tidak tentram

2) Bahaya atu kemalangan, tidak ada dukungan fisik, ketinggian air, kesendirian, kegelapan, cuaca buruk, kilat, kebakaran, kecelakaan, bintang

3) Kekurangan atau kehilangan makanan, harta benda, persahabatan, variasi

4) Penyimpanan, menahan benda-benda 5) Penolakan, tidak peduli dan cemoohan


(31)

6) Saingan, orang seusia yang menunjukkan sikap bersaing 7) Kelahiran saudara kandung

8) Agresi, perlakuan buruk oleh laki-laki lebih tua, wanita lebih tua, perlakuan buruk oleh orang-orang seusia atau orang-orang seusia yang sering bertengkar

9) Dominasi, paksaan dan larangan, disiplin, pendidikan Agama 10)Pengasuhan, pemanjaan

11)Pertolongan, tuntutan-tuntutan akan kelembutan 12)Rasa hormat, pujian, penghargaan

13)Afiliasi, persahabatan

14)Seks, kesempatan mengalami rayuan, homoseksual, heteroseksual, persetubuhan orang tua

15)Penipuan atau pengkhianatan

16)Perasaan rendah diri, fisik, social, intelektual b. Reduksi Tegangan (Tension Reduction)

Menurut Murray, apabila suatu kebutuhan muncul, individu akan berada dalam keadaan tegang dan pemuasan kebutuhan akan membawa individu ke dalam kondisi reduksi tegangan. Seiring dengan berjalannya waktu, individu belajar untuk memperhatikan objek-objek serta akan melakukan kembali tindakan yang mengakibat reduksi tegangan.

Dalam perkembangannya, individu belajar untuk tidak hanya memberikan respon demi mereduksi tegangan dan mengalami kepuasan


(32)

saja, tetapi individu juga belajar untuk memberikan respon yang mengembangkan tegangan sehingga pada saat mereduksi tegangan, individu akan mengalami kepuasan yang lebih besar.

c. Tema

Tema merupakan satuan perilaku molar dan saling mempengaruhi. Tema meliputi keadaan yang menggerakkan tekanan dan kemudian memunculkan kebutuhan. Tema terjadi ketika kebutuhan dengan tekanan saling berinteraksi sehingga memungkinan untuk melihat perilaku secara umum. Dari sini, dapat digambarkan situasi-situasi yang mendesak atau yang menyebabkan munculnya kebutuhan-kebutuhan khusus serta akibat yang dimunculkan dari adanya kebutuhan-kebutuhan ini.

d. Integrasi Kebutuhan

Pada dasarnya kebutuhan tidak memiliki hubungan dengan objek-objek khusus di lingkungan, namun melalui pengalaman, individu menghubungkan objek tertentu dengan kebutuhan tertentu. Integrasi kebutuhan terjadi ketika individu mengintegrasikan antara kebutuhan dengan pikiran mengenai objek dan tindakan instrumental. Pada keadaan saat integrasi kebutuhan ada, maka individu akan menggunakan cara yang semestinya dalam mencari objek untuk melakukan pemenuhan kebutuhan sesuai dengan gambaran integrasi kebutuhannya.


(33)

e. Tema – Kesatuan

Pada dasarnya tema kesatuan merupakan kesatuan antara kebutuhan dan tekanan yang saling berhubungan yang didapatkan melalui pengalaman masa kanak-kanak serta memberikan arti dan kesatuan pada perilaku individu. Tema kesatuan biasanya beroperasi secara tak sadar. Murray menyebut tema-kesatuan dengan “kunci ke arah hakikatnya yang unik”.

4. Tipe-tipe Kebutuhan

Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993) membedakan tipe kebutuhan ke dalam lima kelompok, yaitu:

a. Viscerogenic and Psychogenic Needs (Kebutuhan Viskerogenik atau Kebutuhan Primer dan Kebutuhan Psikogenik atau Kebutuhan Sekunder)

Kebutuhan viskerogenik merupakan kebutuhan yang berhubungan dengan organ-organ tubuh terutama berkaitan dengan kepuasan fisik. Contoh: kebutuhan akan udara, air, makan, seks, laktasi, kencing dan defekasi. Sedangkan kebutuhan psikogenik merupakan kebutuhan yang berasal dari kebutuhan viskerogenik dan tidak memiliki hubungan dengan kepuasan fisik. Contoh: kebutuhan berprestasi, pengakuan, otonomi, eksibisi, dll.


(34)

Tabel 1.

Daftar Kebutuhan Menurut Murray

Kebutuhan Batasan Singkat Emosi yang

Terlibat

Press yang Menyumbang N Abasement

(merendah)

Tunduk secara pasif kepada kekuatan eksternal, merasa bersalah bila orang lain berbuat kesalahan, menerima inferioritas, fitnahan, kesalahan, kekalahan, menyalahkan atau membahayakan diri.

Malu Berdosa Rendah diri Agresi Kekuasaan orang lain N Achievement (berprestasi)

Untuk menyelesaikan sesuatu yang sulit dan menarik, menguasai, mengatasi rintangan, dan mencapai standar, berbuat sebaik mungkin, bersaing mengungguli orang lain.

Semangat Ambisi Tugas Saingan N Affiliation (berafiliasi)

Mendekati dan

menyenangi kerjasama dengan orang lain, mendapat afeksi dari orang yang disenangi, menjadi teman bagi orang lain, berbaik hati, berbuat sesuatu bersama dengan orang lain.

Kepercayaan Afeksi Cinta Empati

Positif: banyak teman

Negatif: tidak memiliki teman

N Agression (menyerang)

Mengatasi oposisi dengan kekerasan, berkelahi, membalas penghinaan, menghukum, melukai, membunuh, meremahkan, mengutuk dan memfitnah. Menyerang pendapat orang lain, mempermainkan orang lain. Marah Mengamuk Benci Agresi Superioritas Penolakan N Autonomy (mandiri)

Untuk menjadi bebas, melawan paksaan atau hambatan, menghindari kekuasaan orang lain, mandiri, tidak terikat,

Terhambat Marah

Positif: toleran, terbuka

Negatif:

hambatan fisik, kekuasaan


(35)

menolak kelaziman. Berdiri sendiri dalam membuat keputusan, menghindari urusan dan campur tangan orang lain. N

Counteraction (mengimbangi)

Memperbaiki kegagalan dengan berjuang lagi, menghilangkan pelecehan, mengatasi kelemahan,

menekan takut,

mengembalikan nama baik, mempertahankan harga diri. Kebanggaan Bersalah Tuntutan tanggung jawab N Defendance (membela diri)

Mempertahankan diri terhadap serangan, kritik

dan celaan,

menyembunyikan atau membenarkan perbuatan tercela, menyembunyikan kegagalan, penghinaan.

Malu Kecemasan Kecil

Ancaman moral Beban yang terlalu berat

N Deference (menghormati)

Mengagumi dan

menyokong atasan, memuji, menyanjung. Menyuruh orang lain memutuskan sesuatu mengenai dirinya, tunduk, menyesuaikan diri dengan harapan orang lain, berbuat lebih baik dari contohnya.

Inferioritas Keamanan Wibawa Kekuatan oraganisasi N Dominance (menguasai)

Mengontrol lingkungan orang lain, mempengaruhi dengan sugesti, persuasi atau perintah, membuat orang lain mengerjakan apa yang disuruhnya. Untuk diperlakukan sebagai pemimpin. Keyakinan diri Dikagumi Inferioritas orang lain N Exhibition (penonjolan diri)

Untuk mengesankan, dilihat dan didengar, membuat orang lain kagum, bergairah, terpesona, terhibur, terkejut, terangsang, terpikat. Menjadi pusat

Kebanggaan Superioritas Ekstasi Lingkungan yang toleran Sanjungan


(36)

perhatian, menonjolkan prestasi, menyatakan keberhasilannya.

N Harm Avoidance (menghindari bahaya)

Menghindari rasa sakit, luka, penyakit, kematian. Melarikan diri dari situasi bahaya, tindakan pencegahan. Untuk melindungi diri sendiri tanpa mengadakan perlawanan.

Rasa aman Kecurigaan

Situasi yang tidak menentu Bahaya yang tersembunyi

N Inavoidance (menghindari rasa hina)

Menghindari penghinaan, keluar dari situasi yang memalukan, kondisi yang bisa menimbulkan pelecehan, makian, ejekan, atau sikap masa bodoh. Menahan diri untuk bertindak karena takut gagal.

Gamang Takut

Kekuatan luar yang kuat dan tidak dapat diduga

N Nurturance (merawat, memelihara)

Memberi simpati, membantu, melindungi, menyenangkan orang lain yang tidak berdaya atau bayi atau orang yang lemah, membantu orang dalam bahaya. Untuk mengampuni dan berlaku dermawan untuk orang lain.

Kasih sayang Terharu Lembut hati

Situasi yang mengiba

meminta bantuan

N Order (teratur)

Membuat semua teratur, menjaga kebersihan, susunan, organisasi, keseimbangan, kerapian, ketelitian. Untuk berbuat secara teratur dengan perencanaan yang cermat sebelumnya.

Tenang

Tidak terburu-buru

Disiplin Kerapian

N Play (bermain)

Bersenang-senang tanpa tujuan lain, tertawa dan berkelakar, relaksasi dari

stress secara

menyenangkan, ikut dalam permainan, sport, menari,

Gembira Santai Tanpa beban

Tugas yang ringan


(37)

minum dan berjudi. Untuk mentertawakan segala hal. N Rejection

(penolakan)

Memisahkan diri dari orang yang tidak disenangi. Mengucilkan, melepaskan, mengusir, tidak mempedulikan,

menghina atau

memutuskan hubungan dengan objek yang tidak dikehendaki.

Benci Menghina Tidak senang

Lingkungan yang tidak menguntungkan

N Sentience (keharuan)

Mencari dan menikmati kesan yang menyentuh perasaan. Untuk memiliki dan menikmati keindahan, kesempurnaan yang abadi.

Terharu Ke-Ilahian

Ketenteraman Keindahan Ketenangan

N Sex (seks) Membangun hubungan erotik, nelakukan hubungan seksual. Memperoleh rangsangan fisik dan psikologik, memuaskan libido. Terangsang Cinta Rangsangan erotik N Succorance (membuat orang iba)

Mendapat kepuasan dengan memperoleh seimpati dari orang lain,

mendekat kepada

pelindungnya, untuk dinasehati, dimaafkan. Membuat orang lain mengerti dan membantu dirinya.

Kecemasan Tidak berdaya Tanpa harapan

Positif: simpati lingkungan Negatif: ditolak lingkungan

N Under-standing (memahami)

Menanyakan atau

menjawab pertanyaan umum, tertarik pada teori, memikirkan, merumuskan,

menganalisa dan

menggeneralisir. Untuk memahami apa saja

fenomena yang

merangsang dirinya. Eksplorasi Paranoid Lingkungan akademik Diskusi


(38)

a. Proactive and Reactive Needs (Kebutuhan Proaktif dan Kebutuhan Reaktif)

Kebutuhan proaktif adalah kebutuhan yang hampir selalu ditentukan dari dalam diri. Kebutuhan ini bergerak dengan spontan sebagai akibat dari sesuatu yang berasal dari dalam diri orang tersebut bukan akibat dari lingungan. Sedangkan kebutuhan reaktif merupakan kebutuhan yang digerakkan dari luar diri individu sebagai akibat dari respon individu terhadap lingkungan.

b. Overt and Covert Needs (Kebutuhan Terbuka dan Kebutuhan Tertutup) Kebutuhan terbuka merupakan kebutuhan yang nyata, dimana kebutuhan ini dapat dilihat secara langsung atau segera yang tercermin dalam tingkah laku motorik. Sedangkan kebutuhan tertutup merupakan kebutuhan yang laten atau tersembunyi, dimana kebutuhan ini biasanya dikekang, dihambat atau ditekan yang biasanya muncul dalam bentuk fantasi atau impian. Kebutuhan tertutup merupakan hasil dari penginternalisasian superego, dimana superego menentukan perilaku-perilaku yang pantas atau dapat diterima.

c. Focal and Diffuse Types of Needs (Kebutuhan yang Memusat dan Kebutuhan yang Menyebar)

Kebutuhan yang memusat berarti kebutuhan yang memiliki hubungan yang erat dengan objek-objek tertentu, sedangkan kebutuhan yang menyebar berarti kebutuhan ini bersifat umum yang berlaku hampir di setiap keadaan.


(39)

d. Effect and Modal Types of Needs (Kebutuhan Akibat dan Kebutuhan Modal)

Kebutuhan akibat adalah kebutuhan yang mengarah pada suatu keadaan yang diinginkan, sedangkan kebutuhan modal adalah kecenderungan untuk melakukan perilaku-perilaku tertentu demi perilaku itu sendiri.

5. Dampak Kebutuhan Psikologis

Menurut Murray, pada dasarnya setiap tingkah laku seseorang terdorong untuk melakukan pemenuhan kebutuhan yang muncul. Pemenuhan kebutuhan ini akan membuat seseorang berada pada kondisi yang menenangkan maupun memuaskan. Begitu pula sebaliknya, kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi akan menimbulkan perasaan yang mengecewakan hingga kondisi menekan (Hall & Lindzey, 1993).

B. Remaja Tuna Rungu

1. Pengertian Remaja Tuna Rungu

Dalam Santrock (2002) masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Hurlock (1980) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung kira-kira antara usia 13-16 tahun, dan masa remaja akhir berlangsung antara usia 16-18 tahun. Sementara itu, pemilihan subjek remaja dilakukan oleh peneliti dengan asumsi bahwa remaja penyandang tuna rungu


(40)

sudah matang dalam berbahasa dibandingkan dengan anak penyandang tuna rungu. Atkinson, dkk mengatakan bahwa masa remaja ditandai dengan adanya pubertas, dimana ditandai dengan pematangan biologis. Pubertas ditandai dengan pertumbuhan fisik yang cepat serta perkembangan organ reproduksi secara bertahap dan karakteristk seks sekunder (payudara yang berkembang pada perempuan, tumbuhnya janggut pada laki-laki).

Sementara itu, Erikson (dalam Alwisol, 2009) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa krisis. Hal ini dikarenakan pada masa ini remaja berusaha untuk menemukan indentitas dirinya. Kekacauan indentitas mungkin terjadi seperti terbaginya gambaran diri, ketidakmampuan membina persahabatan yang akrab, dan lain sebagainya. Kekacauan identitas yang berlebih dapat mengakibatkan penyesuaian diri yang patologis dalam bentuk regresi ke perkembangan sebelumnya.

Menurut kamus psikologi (Reber, A & Reber, 2010) tuna rungu adalah hilangnya kemampuan mendengar yang berkepanjangan baik sebagian ataupun total. Multi Salim (dalam Suharmini, 2007) menambahkan kehilangan kemampuan mendengar yang dikarenakan oleh rusaknya sebagian atau seluruh organ pendengaran yang mengakibatkan perkembangan bahasa yang terhambat.

Berdasarkan definisi remaja tuna rungu diatas, dapat dikatakan bahwa remaja tuna rungu adalah yang sedang mengalami pubertas dan mengalami kehilangan kemampuan mendengar yang dikarenakan oleh rusaknya indera pendengaran sehingga menghambat perkembangan bahasa.


(41)

2. Review Literatur tentang Remaja Tuna Rungu dan Permasalahan

Psikologis pada Penyandang Tuna Rungu

Penelitian terkait dengan perkembangan psikososial anak tuna rungu pernah dilakukan Dammeyer (2009) di Denmark. Lima skala dan kuesioner yang digunakan untuk mengukur kemampuan bahasa isyarat, bahasa lisan, kemampuan mendengar dan kesulitan psikososial diberikan kepada 334 anak dengan gangguan pendengaran. Dari penelitian ini ditemukan bahwa perkembangan psikososial anak yang mengalami kehilangan pendengaran 3,7 kali lebih sulit dibandingkan dengan anak yang memiliki kemampuan pendengaran yang baik. Dalam penelitian ini, penggunaan skala dan kuestioner dinilai kurang dapat menggali informasi mengenai perkembangan psikososial anak tuna rungu. Hal ini dikarenakan tidak semua pernyataan di dalam skala mampu menggambarkan situasi dalam diri subjek dan subjek diharuskan tetap memberi rating.

Penelitian tentang permasalahan kesehatan mental pernah dilakukan di Belanda oleh Eldik, Treffers, Veerman, dan Verhulst (2004). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat keoptimalan tugas perkembangan anak penderita tuna rungu dengan mengetahui jenis dan tingkat permasalahan emosi atau perilaku yang dialami. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Child Behavior Checklist (CBCL) yang dilengkapi oleh orang tua serta checklist data mengenai kondisi sosio-ekonomi dan komunikasi. Dalam CBCL dapat dilihat permasalahan mengenai internalisasi,


(42)

eksternalisasi, penarikan diri, keluhan somatisasi, kecemasan atau depresi, permasalahan sosial, pemikiran dan atensi serta kenakalan dan perilaku agresi. Dalam penelitian ini, peneliti melibatkan 238 penderita tuna rungu dengan rentang usia antara 4 – 18 tahun.

Dari penelitian ini ditemukan bahwa 41% penderita tuna rungu mengalami permasalahan emosi atau perilaku. Hal ini menunjukkan bahwa penderita tuna rungu 2,6 kali lebih cenderung mengalami permasalahan emosi atau perilaku dari pada anak-anak normal di Belanda. Permasalahan kesehatan mental ini muncul karena rendahnya komunikasi antara orang tua dengan anak. Selain itu, kecemasan, depresi dan permasalahan sosial cenderung muncul pada mereka yang berusia antara 12 – 18 dibandingkan dengan mereka yang berusia antara 4 – 11 tahun. sementara itu, penderita tuna rungu dengan inteligensi yang rendah cenderung memiliki permasalahan sosial, pemikiran dan perhatian (Eldik, Treffers, Veerman & Verhulst, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Eldik, dkk (2004) hanya memaparkan permasalahan psikologis pada tuna rungu tanpa mengeksplorasi lebih dalam kebutuhan-kebutuhan psikologis yang mendasari munculnya permasalahan-permasalahan psikologis ini. Kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan psikologis, seperti cemas, depresi. Penelitian Eldik, dkk (2004) ini hanya memaparkan permasalahan psikologis yang dialami oleh penderita tuna rungu yang disebabkan oleh rendahnya komunikasi antara orang tua dengan anak, tanpa melihat lebih dalam kebutuhan-kebutuhan psikologis yang mendasarinya.


(43)

Selain itu, penelitian ini memiliki kelemahan dalam metode pengumpulan data yang menggunakan CBCL yang dilengkapi oleh orang tua. Penggunaan CBCL kurang efektif untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya pada subjek karena terdapat kemungkinan pengisian yang tidak sesuai serta pertanyaan checklist yang kurang mewakili kondisi yang sebenarnya. Ditambah lagi dengan pengisian checklist yang dilakukan oleh orang tua subjek. Keberhasilan metode sangat bergantung pada seberapa jauh orang tua mengenal subjek, sedangkan dalam hasil dijelaskan bahwa komunikasi antara orang tua dengan anak tergolong rendah.

3. Tuna Rungu dalam Tinjauan yang Mendetail

a. Jenis – jenis Tuna Rungu

Andreas Dwidjosumarto (dalam Somantri, 2006) mengklasifikasikan jenis tuna rungu berdasarkan pada tarafnya yang dapat diketahui dengan menggunakan tes audiometris. Klasifikasi untuk kehilangan pendengaran sebagian (hard of hearing) dibagi menjadi 2, yaitu:

1) Tingkat I, hilangnya kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB. Kondisi ini mengakibatkan penderita perlu melakukan latihan bicara dan bantuan pendengaran secara khusus.

2) Tingkat II, hilangnya kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB. Pada kasus tertentu, penderita perlu bersekolah di sekolahan khusus


(44)

serta membutuhkan latihan bicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.

Sementara itu, kehilangan pendengaran seluruhnya (deaf) dapat diklasifikan menjadi 2, yaitu:

1) Tingkat III, hilangnya kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB. Pada tingkat ini, penderita memerlukan layanan pendidikan khusus.

2) Tingkat IV, hilangnya kemampuan mendengar 90 dB ke atas. Pada tingkat ini, penderita memerlukan layanan pendidikan khusus.

b. Penyebab Tuna Rungu

Dalam Somantri (2006) penyebab ketunarunguan dibagi menjadi 3 waktu kejadian, yaitu: sebelum dilahirkan, saat dilahirkan dan setelah kelahiran (post natal).

1) Sebelum dilahirkan:

a) Salah satu atau kedua orang tua menderita atau memiliki gen sel bawaan sifat abnormal, misalnya dominat genes, recesive gen. b) Pada masa kehamilan ibu terserang penyakit, sangat riskan terjadi

pada tri semester pertama karena pada saat itu ruang telinga terbentuk. Penyakit tersebut antara lain rubella, moribili, dll.

c) Pada masa kehamilan ibu meminum terlalu banyak obat, ibu adalah seorang pencandu alkohol, ibu tidak menginginkan seorang anak sehingga meminum obat penggugur kandungan. Hal ini dapat


(45)

mengakibatkan anak dalam kandungan keracunan obat-obatan sehingga menyebabkan ketunarunguan.

2) Saat dilahirkan:

a) Ibu mengalami kesulitan saat melahirkan sehingga persalinan dibantu dengan penyedotan.

b) Prematur, bayi yang lahir sebelum waktunya. 3) Setelah kelahiran:

a) Anak mengalami infeksi, seperti infeksi pada otak (meningitis), infeksi umum (difteri, morbili).

b) Anak yang diberi obat-obatan ototoksi.

c) Anak mengalami kecelakaan yang mengakibatkan rusaknya alat pendengaran bagian dalam, seperti jatuh.

4. Karakteristik Tuna Rungu

Penderita tuna rungu memiliki karakteristik dan perkembangan yang berbeda bila dibandingkan dengan orang biasa. Beberapa karakteristik tuna rungu dalam Somantri (2006) sebagai berikut:

a. Perkembangan Bicara dan Bahasa

Pendengeran berkaitan erat dengan perkembangan bahasa dan bicara. Akibat dari ketunarunguan, setelah masa meraban, anak tuna rungu tidak mengalami proses peniruan. Proses peniriuan anak tuna rungu hanya sebatas peniruan visual saja.


(46)

Dalam kehidupan sehari-hari bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia dalam melakukan interaksi sosial. Menurut Depdikbud (dalam Somantri, 2006), bahasa memiliki peran antara lain:

1) Bahasa sebagai alat untuk melakukan interaksi sosial

2) Bahasa untuk mengungkapkan perasaan, kebutuhan dan keinginan 3) Bahasa untuk mengatur dan menguasai tingkah laku orang lain 4) Bahasa untuk bertukar informasi

5) Bahasa untuk mendapatkan pengetahuan

Berdasarkan pada peran bahasa menurut Depdikbud (dalam Somantri, 2006), perkembangan kemampuan berbahasa dan bicara anak tuna rungu, sulit untuk mencapai penguasaan bahasa melalui pendengarannya. Beberapa media komunikasi yang dapat digunakan antara lain:

1) Menggunakan bicara sebagai alat komunikasi dan membaca ujaran sebagai sarana menerima informasi, bagi tuna rungu yang mampu bicara.

2) Menggunakan media tulisan dan membaca sebagai sarana komunikasi

3) Menggunakan bahasa isyarat b. Perkembangan Kognitif

Pada dasarnya, anak tuna rungu memiliki potensi inteligensi yang sama dengan anak normal lainnya, tetapi secara fungsional perkembangan inteligensi sangat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan


(47)

berbahasa, keterbatasan informasi dan daya abstraksi. Akibatnya, ketunarunguan menghambat anak untuk mendapatkan pengetahuan yang luas sehingga secara fungsional menghambat perkembangan inteligensinya. Dapat dikatakan bahwa rendahnya tingkat inteligensi anak tuna rungu bukan karena adanya hambatan intelektual, melainkan tidak adanya kesempatan bagi fungsi kognitifnya untuk berkembang.

Meskipun demikian, tidak semua aspek inteligensi pada anak tuna rungu terhambat. Aspek inteligensi yang bersifat verbal adalah yang perkembangannya terhambat, seperti merumuskan pengertian menghubungkan, menarik kesimpulan dan meramalkan kejadian. Aspek inteligensi yang bersifat visual dan motorik biasanya tidak mengalami hambatan tetapi berkembang lebih cepat.

c. Perkembangan Emosi

Kurangnya pemahaman akan bahasa lisan maupun tulisan sering membuat anak tuna rungu mengartikan sesuatu secara negatif atau salah dan terkadang menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan terhadap emosi ini dapat menjadi penghambat untuk perkembangan pribadinya dengan menunjukkan sikap menutup diri, berperilaku agresif, maupun bertindak sebaliknya dengan menunjukkan kebimbangan dan keragu-raguan.

d. Perkembangan Sosial

Manusia adalah makhluk sosial, maka manusia selalu memerlukan kebersamaan dengan orang lain. Begitu pula dengan anak tuna rungu, tidak lepas dari kebutuhan ini. Meskipun demikian, karena


(48)

anak tuna rungu memiliki kekurangan secara fisik, biasanya mengakibatkan kelainan dalam melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Namun, kelainan penyesuaian diri ini bukan sebagai akibat dari ketunarunguan itu semata, karena kelainan secara fisik hanya merupakan variabel dalam kelainan psikologis. Maka, dapat dikatakan kelainan penyesuaian diri bukan merupakan reaksi langsung, tetapi hanya akibat reaksi anak dan lingkungan yang tidak memahami keadaannya. Masyarakat biasanya memandang mereka sebagai individu yang kekurangan dan menilai mereka sebagai orang yang kurang berkarya. Karena pandangan masyarakat yang seperti ini, anak tuna rungu merasa kurang berharga. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan fungsi sosialnya.

C. Thematic Apperception Test (T.A.T)

1. Pengertian Thematic Apperception Test (T.A.T)

TAT merupakan sebuah alat tes dengan teknik projektif yang dikembangkan oleh Christina Morgan dan Henry Murray. Pengembangan ini didasarkan pada fakta bahwa ketika seseorang melakukan interpretasi terhadap situasi sosial yang ambigu, orang tersebut akan menjawab dengan menggambarkan kepribadiannya sendiri seolah-olah dia sedang menghadapi fenomena itu. Dengan menggunakan asumsi bahwa sebuah cerita yang dikarang seseorang itu mirip dengan buku yang ditulis oleh pengarang, dimana dalam buku tersebut pembaca dapat mengetahui dan memahami


(49)

pandangan hidup dan karakternya. Oleh karena itu, diciptakanlah TAT yang merupakan beberapa gambar ambigu yang dirancang untuk merangsang imajinasi pengamatnya dan mengungkap daerah-daerah yang bersifat motivasional spesifik serta mendeteksi peluang-peluang konflik (Alwisol, 2009).

2. Review Literatur tentang Thematic Apperception Test (T.A.T)

Dari sebuah penelitian dengan menggunakan TAT yang dilakukan terhadap seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun, terungkap bahwa remaja tersebut mengalami banyak gangguan penyimpangan seksual. Dalam ceritanya, ia menceritakan mengenai pemerkosaan, inses, pedophilia, sadisme, exhibitionisme, necrophilia, dan hermaphroditisme. Ia juga menunjukkan gejala schizophrenia yang meliputi halusinasi, ketertarikan pada ilmu hitam dan paranoid grandiosity (Pam & Rivera, 1995).

Selain itu, TAT dapat memantulkan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh remaja dalam cerita-ceritanya. Sebuah biro di New York menangani seorang remaja putri yang berusia 16,5 tahun yang pada dasarnya merupakan remaja normal, namun memiliki keluhan perilaku terhadap ibunya. Delapan bulan kemudian ia kembali ke biro tersebut karena keluhan emosional minor. Dalam jangka waktu delapan bulan, remaja putri tersebut mengalami beberapa perubahan yang terlihat dalam perbandingan cerita-cerita TAT-nya. Meskipun cerita-cerita TAT-nya sangat mirip, namun ceritanya mengalami perubahan tone menjadi lebih bahagia, lebih damai, dan


(50)

memiliki usaha untuk menjadi independen yang memungkinkannya untuk menjadi sukses, serta memiliki hubungan heteroseksual (Bellak, Levinger, Lipsky, 1948).

3. Kartu-kartu T.A.T

Dalam Bellak dan Abrams (1997) dikatakan bahwa T.A.T terdiri dari 30 kartu bergambar mengenai orang yang berada pada situasi kesendirian maupun sosial yang berbeda dan satu kartu kosong. Dari 31 kartu tersebut, terdapat 10 kartu yang dapat digunakan untuk semua usia dan jenis kelamin atau yang biasa disebut dengan kartu standar (1, 2, 3BM, 4, 6BM, 7GF, 8BM, 9GF, 10, 13MF), dan 21 kartu lainnya sebagai kartu tambahan sesuai dengan hasil asesmen serta kebutuhan yang akan diungkap (3GF, 5, 6GF, 7BM, 8GF, 9BM, 11, 12M, 12F, 12BG, 13B, 13G, 14, 15, 16, 17BM, 17GF, 18BM, 18GF, 19, 20, kartu kosong). Dalam penelitian, peneliti hanya menggunakan 10 kartu standar karena kartu standar mampu mewakili situasi sosial sehari-hari.

Berikut gambaran serta tema-tema yang sering muncul dalam kartu standar:

a. Kartu 1

Gambar seorang anak laki-laki yang memandangi biola didepannya. Jika melakukan suatu tes hanya dengan satu kartu saja, Kartu ini adalah pilihan terbaik dalam subjek membuat pernyataan mengenai kepribadiannya.


(51)

Dalam kartu ini tema yang biasanya muncul mengenai hubungun dengan figur orang tua. Kebutuhan lain yang sering muncul dalam kartu ini juga adalah kebutuhan berpretasi, terlihat bagaimana subjek mencapai kesuksesannya. Agresifitas, body image atau self image dan perilaku obsesif kompulsif juga dapat terlihat dalam kartu ini.

b. Kartu 2

Dalam kartu ini digambarkan mengenai situasi pedesaan dengan seorang wanita muda sebagai latar depan dengan membawa buku. Dibelakangnya seorang laki-laki bekerja diladang dan seorang wanita yang lebih tua melihat ke arah laki-laki tersebut.

Dalam kartu ini dapat dilihat hubungan dalam keluarga, dengan variasi tema dari kebutuhan untuk otonomi dari keluarga dan kebutuhan untuk patuh terhadap kekolotan. Selain itu, dalam kartu ini dapat juga dilihat kecenderungan perilaku obsesif kompulsif serta konsep subjek mengenai peran gender.

c. Kartu 3BM

Dalam kartu ini digambarkan seorang anak laki-laki duduk dilantai yang membenamkan kepalanya di lengannya diatas sofa. Sebuah pistol terletak disampingnya.

Dalam kartu ini, kebanyakan laki-laki melihatnya sebagai sosok laki-laki, jika subjek laki-laki melihatnya sebagai sosok perempuan, perlu diperhatikan namun bukan untuk mendiagnosa bahwa adanya tendensi homoseksual serta respon serupa dikartu lainnya. Dari cerita dapat


(52)

diketahui pola depresi subjek dan kepada siapa perilaku agresif (ekstra-agresi dan intra-(ekstra-agresi) ditujukan oleh subjek.

d. Kartu 4

Dalam kartu ini digambarkan seorang wanita yang memang bahu seorang pria dimana wajah dan tubuh pria seperti mengalihkan pandangan seolah ingin meninggalkan wanita tersebut.

Dalam kartu ini dapat dilihat variasi dari kebutuhan dan sentimen terhadap hubungan antara pria dan wanita. Selain itu, kartu ini dapat melihat mengenai permasalahan seksual dan cinta segitiga.

e. Kartu 6BM

Dalam kartu ini terlihat seorang wanita agak tua yang berdiri membelakangi seorang pria muda. Ibu tersebut melihat kearah bawah dengan ekspresi bingung.

Dalam kartu ini dapat dilihat mengenai permasalahan dalam relasi ibu dan anak laki-laki (relasi dengan orang tua yang berbeda jenis kelamin), serta dalam hubungannya dengan istri maupun wanita lainnya. Tema Odipal juga sering muncul dalam kartu ini.

f. Kartu 7GF

Dalam kartu ini terlihat seorang wanita agak tua duduk diatas sofa disamping seorang anak perempuan yang sedang berbicara atau membacakan sesuatu untuk anak perempuan tersebut. Anak perempuan tersebut memegang bonek dan memalingkan wajahnya.


(53)

Dalam kartu ini dapat dilihat relasi ibu dan anak perempuan (relasi dengan orang tua yang sama jenis kelamin). Selain itu, dalam kartu ini dapat pula dilihat mengenai harapan seorang anak.

g. Kartu 8BM

Dalam kartu ini terlihat wajah seorang remaja laki-laki dibagian depan gamabar. Terlihat sebuah laras senapan dan dibelakangnya terlihat seperti sedang dilakukan operasi bedah.

Tema mengenai agresifitas sering muncul dalam kartu ini dengan cerita seseorang yang tertembak kemudian di operasi. Selain itu, dalam kartu ini juga terlihat mengenai ambisis subjek seperti laki-laki tersebut bermimpi untuk menjadi seorang dokter.

h. Kartu 9GF

Dalam kartu ini terlihat seorang wanita yang memegang majalah dan dompet sambil mengamati seorang wanita muda lainnya dari balik sebuah pohon, dimana wanita muda tersebut menggunakan gaun pesta berlari disepanjang pantai.

Tema dalam kartu ini yang sering muncul adalah mengenai perasaan wanita ke wanita serta persaingan perempuan kakak beradik maupun kebencian anak perempuan atau ibu. Hal ini sangat penting karena dapat mengarahkan pada tendensi depresi dan bunuh diri. Subjek laki-laki biasanya menceritakan kartu ini dengan konotasi romantis atau agresif.


(54)

i. Kartu 10

Dalam kartu ini terlihat seseorang yang menyandarkan kepalanya di orang lain. Gender orang dalam kartu ini sangat ambigu. Bagi subjek yang melihatnya sebagai seorang pria dan wanita, dapat dilihat tingkat keintiman pengalaman subjek dalam memiliki hubungan dengan lawan jenis. Selain itu, jika subjek menceritakan orang dalam gambar tersebut sebagai pria dengan pria maupun wanita dengan wanita, hal ini dapat menyatakan adanya ketertarikan terhadap sesama jenis yang terpendam maupun aktifitas homoseksual dalam kehidupan nyata.

j. Kartu 13MF

Dalam kartu ini terlihat seorang pria muda yang sedih membenamkan kepalanya kedalam lengannya, dengan bayangan seorang wanita di tempat tidur.

Kartu ini sangat baik untuk mengungkapkan konflik seksual baik pada pria maupun wanita. Pada subjek wanita, dapat diperoleh tema mengenai ketakutan terhadap pemerkosaan, penyerangan atau kekerasan dari pria. Pada subjek pria, dapat diperoleh tema perasaan bersalah mengenai aktifitas seksual dan dengan mudah dapat terlihat perasaan jijik terhadap homoseksual.

4. Analisis Level Tematik

Dalam Bellak dan Abrams (1997) dikatakan bahwa setiap psikoterapis memiliki tipenya sendiri dalam melakukan interpretasi. Mereka


(55)

masing-masing mungkin benar tetapi penginterpretasian bisa berbeda dengan maksud sesungguhnya dari penyataan subjek. Permasalahan serupa juga muncul dalam melakukan analisis T.A.T. Upaya untuk menghindari interpretasi yang asal-asalan, interpretasi T.A.T dilakukan dengan menggunakan analisis Blank. Hal ini terutama berlaku dalam pemecahan tema menjadi tema deskriptif, interpretif dan diagnostik.

a. Tema Deskriptif

Tema deskriptif sangat dekat dengan observasi dan merupakan rinkasan cerita yang memiliki arti untuk menjelaskan psikodinamika subjek. Tujuan dari tema deskriptif ini adalah untuk mengetahui isi cerita subjek serta memilih kalimat-kalimat dalam cerita subjek yang memiliki arti penting. Dalam tema deskriptif ini mengandung karakteristik tokoh utama, perilaku atau kebutuhan, tekanan baik dari orang lain maupun lingkungan, kecemasan, konflik, mekanisme pertahanan diri dan id-ego-superego.

b. Tema Interpretif

Tema interpretif merupakan tema yang dinyatakan dalam kalimat yang bersifat hipotesis dengan dilakukan generalisasi. Fungsi tema interpretif selain untuk mendapatkan hipotesis, juga untuk membantu interpreter menangkap arti dari yang dimaksud subjek. Tema interpretif juga membantu dalam melakukan pengisian Form Bellak.


(56)

c. Tema Diagnostik

Tema diagnostik merupakan penyataan yang pasti bukan lagi bersifat hipotesis. Dalam tema diagnostik ini, interpreter menemukan arti dari tema-tema interpretif yang meliputi konsep diri, kebutuhan, tekanan, kecemasan, konflik dan mekanisme pertahanan diri. Contohnya, tokoh utama yang mencintai seorang wanita tetapi wanita tersebut membencinya. Dari sini terlihat bahwa tokoh utama memiliki kebutuhan mencintai atau afiliasi yang bertemu dengan tekanan dari kebencian atau penolakan.

Tabel 2.

Contoh Analisi Level Tematik Pada Kartu 13MF

Tema Deskriptif Tema Interpretif Level Diagnostik Seorang gadis miskin yang

kelaparan meninggal karena suaminya tidak mampu memanggil seorang dokter.

Jika ada seseorang yang miskin, ia harus

membiarkan istrinya meninggal,

 Perasaan penderitaan oral.

 Agresi terhadap istri.

 Proyeksi.

Suaminya menelpon polisi. menelpon polisi,  Ketidaksadaran akan perasaan bersalah. Patah hati, suaminya

menghasilkan banyak uang tanpa ketentraman jiwa.

menghasilkan banyak uang yang terganggu 

Kebutuhan akan pendapatan (uang), untuk keamanan.

 Perasaan bersalah

D. Kerangka Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana gambaran kebutuhan psikologis remaja akhir penyandang tuna rungu. Alasan peneliti


(57)

melihat kebutuhan psikologis sebagai aspek yang penting untuk diteliti karena penderita tuna rungu memiliki kelemahan secara fisik, dimana organ pendengarannya mengalami kerusakan sehingga penyandang tuna rungu tidak mengalami proses peniruan yang mengakibatkan kesulitan dalam menyampaikan sesuatu. Hal ini berkaitan dengan penyampaian hal yang diinginkan atau dibutuhkan oleh penyandang tuna rungu tersebut. Selain itu, secara psikologis, kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi dapat membuat seseorang menjadi cemas dan tertekan. Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi kehidupan pribadi dan kehidupan sosial penyandang tuna rungu. Pada dasarnya, penyandang tuna rungu hanya memiliki sedikit kosa kata dan sebagai akibatnya fungsi kognitif penyandang tuna rungu tidak memiliki kesempatan untuk berkembang. Hal ini mengakibatkan aspek inteligensi yang bersifat verbal perkembangannya terhambat, seperti merumuskan pengertian menghubungkan, menarik kesimpulan dan meramalkan kejadian. Selain itu, pengungkapan kebutuhan psikologis dengan menggunakan metode projektif T.A.T dapat menggali secara mendalam kebutuhan psikologis remaja penyandang tuna rungu yang tidak disadari.

Kebutuhan psikologis menjadi penting bagi penyandang tuna rungu karena pada dasarnya setiap kebutuhan akan menuntut untuk dipenuhi. Menurut Murray, pada dasarnya setiap tingkah laku seseorang terdorong untuk melakukan pemenuhan kebutuhan yang muncul. Pemenuhan kebutuhan ini akan membuat seseorang mendatangkan kondisi yang menenangkan maupun memuaskan. Begitu pula sebaliknya, kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi akan menimbulkan perasaan yang mengecewakan hingga kondisi menekan (Hall & Lindzey, 1993).


(58)

E. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pada kerangka penelitian, peneliti menyusun pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian disusun menjadi dua macam, yaitu central question dan subquestion.

1. Central Question : Bagaimana gambaran kebutuhan psikologis (need) remaja penyandang tuna rungu?

2. Subquestion adalah pertanyaan yang mengarahkan pada pertanyaan utama penelitian. subquestion pada penelitian ini adalah : Bagaimana dinamika kebutuhan psikologis (need) dan tekanan (press) remaja penyandang tuna rungu?


(59)

44

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode projektif. Dalam Moleong (2008) dikatakan pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pojektif karena dengan metode projektif memungkinkan untuk melihat motif, nilai, keadaan emosi dan kebutuhan yang sulit diungkap dalam situasi yang wajar dengan cara individu memprojeksikan pribadinya melalui objek di luar dirinya (Karmiyati & Suryaningrum, 2008).

B. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat mengenai gambaran kebutuhan psikologis remaja penyandang tuna rungu. Kebutuhan psikologis merupakan kebutuhan merupakan sesuatu yang bersifat abstrak yang dimiliki oleh setiap individu yang memiliki suatu kekuatan dan mengatur beberapa hal seperti persepsi, apersepsi, konasi dan mengubah situasi yang ada dan yang tidak memuaskan. Adanya suatu kebutuhan dalam diri seseorang dapat disimpulkan dari: (1) hasil akhir dari tingkah laku, (2) pola-pola khusus dari tingkah laku, (3)


(60)

perhatian dan respon yang terjadi terhadap kelompok stimuli tertentu, (4) ekspresi terhadap suasana emosi tertentu, (5) ekspresi kepuasan atau ketidakpuasan pada hasil akhir, (6) ungkapan atau laporan subjektif mengenai perasaan, maksud dan tujuan (Hall & Lindzey, 1993; Alwisol, 2009). Selain itu, penelitian ini juga berfokus pada tekanan (press), untuk melihat bagaimana dinamika kebutuhan psikologis (need) dengan tekanan (press) pada remaja penyandang tuna rungu. Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993; Alwisol, 2009) mengatakan bahwa “Tekanan suatu objek ialah apa yang dapat dilakukan oleh objek itu terhadap subjek atau untuk subjek – daya yang dimiliki oleh objek untuk mempengaruhi kesejahteraan subjek dengan cara tertentu”.

C. Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan subjek remaja akhir penyandang tuna rungu yang berusia antara 16-20 tahun (Alwisol, 2009), sesuai dengan tujuan penelitian yaitu melihat kebutuhan psikologis remaja tuna rungu. Subjek remaja dipilih peneliti karena masa remaja merupakan usia bermasalah dimana individu menghadapi transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa (Hurlock, 1980). Sejalan dengan itu, Erikson (dalam Alwisol, 2009) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa krisis. Hal ini dikarenakan pada masa ini remaja berusaha untuk menemukan indentitas dirinya. Kekacauan identitas yang berlebih dapat mengakibatkan penyesuaian diri yang patologis dalam bentuk regresi ke perkembangan sebelumnya. Selain itu, pemilihan subjek remaja dilakukan peneliti dengan asumsi bahwa remaja penyandang tuna rungu sudah matang


(61)

dalam berbahasa dibandingkan dengan anak penyandang tuna rungu. Hal ini berkaitan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang lebih menggunakan bahasa verbal dari pada bahasa isyarat, sehingga kosa kata yang dimiliki oleh penyandang tuna rungu hanya sedikit.

Subjek dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan cara purposive sampling, yaitu subjek yang tinggal bersama kedua orang tuanya, karena subjek yang tidak tinggal bersama kedua orang tuanya atau bercerai tidak dapat mewakili kondisi penyandang tuna rungu secara umum.

Subjek dalam penelitian ini adalah murid dari SLB B Karnnamanohara. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Smith (2008), bahwa seorang mahasiswa pemula diperbolehkan melakukan penelitian dengan jumlah subjek 3 orang. Selain itu, penelitian seperti ini hanya mengukur sampel dengan ukuran kecil karena maksud dari penelitian seperti ini lebih pada menyampaikan secara detail mengenai persepsi dan memahami suatu kelompok tertentu dari pada membuat suatu generalisasi. Selain itu, bahaya dalam penelitian seperti ini jika sampel berukuran terlalu besar dapat membuat peneliti kewalahan untuk melakukan analisis yang cukup tajam karena jumlah data kualitatif yang besar.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah secara tertulis dengan menggunakan alat tes projektif: Thematic Apperception Test (T.A.T) dan wawancara semi terstruktur. Pengumpulan data dilakukan secara tertulis karena


(62)

hal ini berkaitan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang lebih menggunakan bahasa verbal dari pada bahasa isyarat, sehingga perekaman cerita T.A.T dan wawancara tidak memungkinkan untuk dilakukan, serta artikulasi penyandang tuna rungu yang kurang jelas secara verbal menyulitkan untuk melakukan verbatim.

T.A.T merupakan sebuah alat tes dengan teknik projektif yang dikembangkan oleh Christina Morgan dan Henry Murray. Pengembangan ini didasarkan pada fakta bahwa ketika seseorang melakukan interpretasi terhadap situasi sosial yang ambigu, orang tersebut akan menjawab dengan menggambarkan kepribadiannya sendiri seolah-olah dia sedang menghadapi fenomena itu. T.A.T merupakan beberapa gambar ambigu yang dirancang untuk merangsang imajinasi pengamatnya dan mengungkap daerah-daerah yang bersifat motivasional spesifik serta mendeteksi peluang-peluang konflik (Alwisol, 2009). Penggunaan T.A.T dapat digunakan untuk melihat tema-tema yang sering muncul pada subjek serta mengungkap informasi berkaitan dengan kebutuhan, tekanan, emosi, perasaan sentimen, kerumitan dan konflik yang dialami subjek (Aiken & Groth-Marnat, 2009; Anastasi & Urbina, 1998).

T.A.T terdiri dari 30 kartu bergambar mengenai orang yang berada pada situasi kesendirian maupun sosial yang berbeda dan satu kartu kosong (Bellak dan Abrams, 1997). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 10 kartu standar T.A.T (1, 2, 3BM, 4, 6BM, 7GF, 8BM, 9GF, 10, 13MF) untuk mengungkapkan kebutuhan psikologis remaja tuna rungu. Hal ini dilakukan oleh peneliti karena 10


(63)

kartu standar T.A.T mampu mewakili situasi sosial sehari-hari.Berikut ringkasan tema-tema yang sering muncul dalam kartu standar:

Kartu 1 : kebutuhan berpretasi, hubungan dengan figur orang tua, agresifitas, self-image.

Kartu 2 : hubungan dalam keluarga, peran gender Kartu 3BM : tendensi homoseksualitas, depresi

Kartu 4 : hubungan laki-laki-perempuan, cinta segitiga, permasalahan seksual

Kartu 6BM : relasi ibu dan anak laki-laki (relasi dengan orang tua yang berbeda jenis kelamin)

Kartu 7GF : relasi ibu dan anak perempuan (relasi dengan orang tua yang sama jenis kelamin), harapan anak

Kartu 8BM : agresifitas, ambisi

Kartu 9GF : perasaan wanita ke wanita, depresi dan tendensi bunuh diri Kartu 10 : homoseksual

Kartu 13MF : konflik seksual baik laki-laki maupun perempuan, kebutuhan oral, kesulitan ekonomi

Kesepuluh gambar ini akan disajikan satu per satu dan subjek diminta untuk menceritakan secara tertulis apa yang dilihatnya dalam gambar tersebut. Instruksi yang diberikan untuk melakukan penyajian gamabar sebagai berikut:

“Ini merupakan tes imajinasi kreativitasmu. Saya akan menunjukkan 10 gambar kepadamu dan saya minta kamu untuk menuliskan sebuah cerita mengenai apa yang terjadi dalam gambar tersebut. Ceritakanlah secara spontan dan sedramatik mungkin yang meliputi 5 hal yaitu: Apa yang sedang terjadi dengan tokoh dalam gambar tersebut? Apa yang terjadi sebelumnya? Apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh tersebut? Bagaimana akhir ceritanya?”


(64)

Dalam penelitian, peneliti sendiri yang melakukan tes T.A.T terhadap subjek, mulai dari adminitrasi, pengetesan hingga analisis. Kualifikasi orang yang melakukan penyajian T.A.T antara lain pernah mengikuti mata kuliah Tes Projektif: Thematic Apperception Test dan lulus mata kuliah ini dengan nilai minimal B. Kualifikasi lainnya, pernah menjadi asisten praktikum baik pengetesan maupun analisis tes T.A.T. Selain itu, untuk menjaga validitas data, peneliti akan disupervisi oleh orang yang berpengalaman dalam melakukan pengetesan dan analisis tes T.A.T baik dalam melakukan praktek maupun pengajaran, yaitu Bapak V. Didik Suryo Hartoko.

Selain dengan menggunakan T.A.T sebagai metode pengumpulan data, peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur sebagai metode tambahan guna mengetahui keadaan subjek. Hal ini dilakukan peneliti untuk memudahkan peneliti dalam melakukan penggalian pada saat pengetesan T.A.T. Wawancara semi terstruktur dilakukan baik terhadap subjek maupun significan others subjek. Dengan menggunakan wawancara semi terstruktur, peneliti dapat secara fleksibel mengembangkan pertanyaan sesuai dengan kondisi dan jawaban yang diberikan oleh subjek dan significan others. Oleh karena itu, sebelum melakukan wawancara peneliti perlu menyusun panduan pertanyaan supaya tetap pada tujuan dan fokus dan penelitian ini.


(1)

119

Tema Deskriptif Tema Interpretif Tema Diagnostik Seorang ibu sedang membaca

buku, tetapi anaknya tidak mau melihat ibu. Anak itu ingin membeli mainan. Anak itu marah dan ibu membiarkan anak itu marah supaya anak itu tenang dan mendengarkan membaca buku. Setelah selesai membaca, ibu memberi mainan untuk anaknya.

Jika ada seorang anak yang ingin membeli mainan tetapi ibu membiarkan anak, maka anak akan marah.

 Kebutuhan agresi terhadap ibu karena keinginan bermain dihambat

 Kebutuhan dipahami ibu  Kebutuhan bermain  Kebutuhan mendapatkan

sesuatu

 (Tuntutan untuk patuh terhadap ibu)

7. Kartu 8BM

Cerita : Dokter sedang beroperasi pasien ditunggu oleh adik pasien. Pasien itu dioperasi karena ditembak oleh penjahat. Adik pasien merasa ketakutan dan takut kakaknya meninggal. Pasien bisa sembuh dan adik merasa senang.

Inquiry : Mengapa penjahat menembak pasien? Karena penjahat mau perampok harta.

Mengapa adik pasien ketakutan? Takut ditembak. Siapa tokoh utama dalam cerita? Adik pasien. Usia berapa? 20 tahun.

Sumber cerita : Membaca di buku.

Tema Deskriptif Tema Interpretif Tema Diagnostik Dokter sedang beroperasi pasien

ditunggu oleh adik pasien. Pasien itu dioperasi karena ditembak oleh penjahat. Penjahat mau perampok harta.

Adik pasien merasa ketakutan dan takut kakaknya meninggal. Pasien bisa sembuh dan adik merasa senang

Jika ada seorang pasien yang ditembak karena barang berharganya dirampok, maka adik pasien akan khwatir.

 Kebutuhan rasa aman: menghindari pelaku kekerasan  (Perlakuan buruk

dari pelaku kekerasan)


(2)

120

8. Kartu 9GF

Cerita : Wati bersembunyi di dekat pohon mangga. Wati bersembunyi karena takut dipukul oleh Dian. Wati merasa ketakutan dan berharap tidak ketemukan oleh Dian. Kemudian Dian pergi, selamatlah Wati karena tidak jadi dipukul.

Inquiry : Mengapa Dian ingin memukul Wati? Karena mau minta uang. Mengapa Dian mau minta uang? Karena Dian tidak punya uang. Mengapa Dian tidak punya

uang? Karena uangnya sudah habis untuk membeli baju. Mengapa Dian

meminta uang pada Wati? Dian melihat Wati punya banyak uang. Uang yang Dian minta pada Wati mau untuk apa? Untuk beli makan. Mengapa Dian

menghabiskan uangnya untuk membeli baju? Karena baju yang mahal.

Apakah Wati mau memberi Dian uang? Tidak. Mengapa tidak mau? Karena Dian boros. Siapa tokoh utamanya? Wati.

Sumber cerita : Melihat di TV.

Tema Deskriptif Tema Interpretif Tema Diagnostik Wati bersembunyi di dekat

pohon mangga. Wati bersembunyi karena takut dipukul oleh Dian. Dian mau minta uang pada Wati karena Dian melihat Wati punya banyak uang. Wati merasa ketakutan dan berharap tidak ketemukan oleh Dian. Kemudian Dian pergi, selamatlah Wati karena tidak jadi dipukul.

Jika ada seseorang memiliki sesuatu yang banyak, maka orang lain yang melihat ingin meminta.

 Kebutuhan rasa aman: menghindari pelaku kekerasan  (Perlakuan buruk

dari pelaku kekerasan)

9. Kartu 10

Cerita : Irfan dan Wita sedang mempelukan. Mereka berpelukan karena kangen sudah lama tidak bertemu. Mereka merasa senang dan tidak mau berpisah lagi. Akhirnya Irfan dan Wita tidak berpisah dan tidak mau pergi jauh-jauh.


(3)

121

Inquiry : Mengapa mereka sudah lama tidak bertemu? Karena Irfan bekerja di kota lain. Apakah akhirnya Irfan berganti pekerjaan supaya bisa bersama Wita?

Iya. Mengapa mereka tidak mau berpisah lagi? Karena mereka mau menikah.

Siapa tokoh utama dalam cerita? Irfan dan Wita. Sumber cerita : Dari otak.

Tema Deskriptif Tema Interpretif Tema Diagnostik Irfan dan Wita sedang

mempelukan. Mereka berpelukan karena kangen sudah lama tidak bertemu karena Irfan bekerja di kota lain. Mereka merasa senang dan tidak mau berpisah lagi. Akhirnya Irfan dan Wita tidak berpisah dan tidak mau pergi jauh-jauh karena mereka mau menikah.

Jika ada pasangan yang mau menikah dan sudah lama tidak bertemu karena laki-laki bekerja di luar kota, maka mereka tidak mau berpisah lagi.

 Kebutuhan rasa aman: bersama pasangan

 (Ketidakhadiran pasangan)

10.Kartu 13MF

Cerita : Ariel menangis istri meninggal. Istrinya meninggal karena bunuh diri. Ariel merasa sedih dan bingung mau dibawa kemana mayat istrinya. Akhirnya Ariel menelpon ambulan untuk membawa istrinya di rumah sakit.

Inquiry : Mengapa istri bunuh diri? Karena Ariel marah sama istrinya. Mengapa Ariel marah sama istrinya? Karena istri galak sama anaknya. Mengapa istri galak

sama anaknya? Karena anak mau minta uang kepada ibu untuk membeli jajan.

Siapa tokoh utamanya? Ariel. Sumber cerita : Membaca buku.

Tema Deskriptif Tema Interpretif Tema Diagnostik Ariel menangis istri meninggal.

Istrinya meninggal karena bunuh

Jika ada seorang istri yang galak pada anak dan

Kebutuhan Agresi terhadap pasangan


(4)

122

diri. Ariel marah sama istri karena istri galak sama anak. Ariel merasa sedih dan bingung mau di bawa kemana mayat istrinya. Akhirnya Ariel menelpon ambulan untuk membawa istrinya di rumah sakit.

suami marah karenanya, maka istri bunuh diri dan suami merasa sedih.

(Pertengkaran dengan pasangan)

Kebutuhan psikologis subjek 1, 2 dan 3

Cluster Kebutuhan yang muncul Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3

Keinginan untuk dapat diterima:

 Kebutuhan diterima dan dipahami, diperhatikan (oleh keluarga, orang tua, ibu, teman, guru, lingkungan sekitar, pasangan)

6BM, 10, 9GF

1, 2, 8BM, 10

1, 3BM, 6BM

 Kebutuhan ditolong oleh figur otoritas 8BM,

13MF 6BM

 Kebutuhan rasa aman (memiliki rumah, keluarga dan pekerjaan, harapan kesetiaan dari pasangan, menghindari pelaku kekerasan, bersama ibu, ayah, pasangan

3BM, 4, 10

6BM, 7GF, 8BM

8BM, 9GF, 10

 Kebutuhan afiliasi dengan pasangan 4 4 4  Need of Nurturance (membantu

keluarga, membantu orang lain yang kesusahan)

2 2 2

 Kebutuhan oral 3BM,

8BM 2

Keinginan untuk

 Kebutuhan agresi (frustasi karena kesulitan belajar, terhadap keluarga,

1, 3BM,

4, 7GF, 8BM

7GF, 13MF


(5)

123

menyerang orang lain:

terhadap orang tua, terhadap

pasangan, terhadap saudara, terhadap lingkungan, terhadap ibu karena keinginan bermain dihambat

13MF

Bebas untuk dirinya sendiri:

 Kebutuhan bermain 1, 7GF 9GF 7GF  Kebutuhan menghindari beban

1 3BM, 13MF  Kebutuhan mendapatkan stimulasi 2

 Kebutuhan otonomi: bebas menentukan pilihan

7GF,

9GF 9GF 3BM  Kebutuhan mendapatkan sesuatu 3BM, 7GF

Tekanan subjek 1, 2 dan 3

Cluster Tekanan yang muncul Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3

Perlakuan tidak baik

 Tuntutan: berprestasi, patuh pada ibu, merawat saudara

1, 6BM, 7GF, 9GF

9GF,

13MF 7GF  Tidak ada dukungan dari

lingkungan, pasangan, ibu, keluarga

2, 4, 7GF 2, 3BM, 4

 Perlakuan buruk dari pasangan: pengkhianatan, pelaku

kekerasan

4 8BM,

9GF

 Persaingan dengan saudara, orang seusia

13MF 8BM

 Pertengkaran dengan pasangan

13MF

Ketidakmampuan  Hidup yang berkekurangan


(6)

124

 Perasaan rendah diri

8BM

 Kesulitan mempelajari sesuatu, mendapatkan sesuatu, menciptakan sesuatu

1, 3BM,

10 1

Kesendirian  Kesendirian 2 4, 6BM  Kecemasan perpisahan 2

 Ketidakhadiran orang tua, ibu, pasangan