PRATAMI WAHYUDYA NINGSIH S310610008
commit to user
PELAKSANAAN KEBIJAKAN SEKOLAH TANPA MEMUNGUT BIAYA
SEBAGAI UPAYA PEMERATAAN HAK PENDIDIKAN ANAK DI KOTA
SURAKARTA
(Studi Terhadap Pelaksanaan Sekolah Plus di Sekolah Menengah Negeri 26
Surakarta)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat utama : Hukum & Kebijakan Publik
OLEH :
PRATAMI WAHYUDYA NINGSIH
NIM. S.310610008
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
(2)
commit to user
PELAKSANAAN KEBIJAKAN SEKOLAH TANPA MEMUNGUT BIAYA
SEBAGAI UPAYA PEMERATAAN HAK PENDIDIKAN ANAK DI KOTA
SURAKARTA
(Studi Terhadap Pelaksanaan Sekolah Plus di Sekolah Menengah Negeri 26
Surakarta)
Disusun Oleh :
PRATAMI WAHYUDYA NINGSIH
NIM : S. 310610008
Telah Disetujui Oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Pembimbing I
Prof. Dr. H. Setiono,S.H.,M.S ( ) (
)
NIP. 194405051969021001
Pembimbing I
Isharyanto, SH, MH
( ) (
)
NIP. 197805012003121002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS
(3)
commit to user
PELAKSANAAN KEBIJAKAN SEKOLAH TANPA MEMUNGUT BIAYA
SEBAGAI UPAYA PEMERATAAN HAK PENDIDIKAN ANAK DI KOTA
SURAKARTA
(Studi Terhadap Pelaksanaan Sekolah Plus di Sekolah Menengah Negeri 26
Surakarta)
Disusun Oleh :
PRATAMI WAHYUDYA NINGSIH
NIM : S. 310610008
Telah Disetujui Oleh Tim Penguji
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Ketua/ Prof.Dr.Supanto,S.H.,M.Hum
Penguji
NIP. 196011071986011001 ( ) ( )
Sekertaris/ Burhanudin H,S.H.,M.H.,M.SI.,Ph.D.
Penguji NIP. 196007161985031004
( ) ( )
Anggota Prof. Dr. H. Setiono,S.H.,M.S
( )
(
)
NIP.194405051969021001
Anggota Isharyanto, SH, MH
( ) (
)
NIP.197805012003121002
Mengetahui,
Ketua Program Prof. Dr. H. Setiono,S.H.,M.S ( ) ( )
Studi Ilmu Hukum NIP.194405051969021001
Direktur Program Prof.Drs.Suranto,M.Sc., Ph.D ( ) ( )
Pascasarjana NIP. 195708201985031004
(4)
commit to user
PERNYATAAN
Nama : PRATAMI WAHYUDYA NINGSIH
NIM : S. 310610008
Menyatakan nahwa tesis berjudul ”PELAKSANAAN KEBIJAKAN
SEKOLAH TANPA MEMUNGUT BIAYA SEBAGAI UPAYA PEMERATAAN
HAK PENDIDIKAN ANAK DI KOTA SURAKARTA (Studi Terhadap
Pelaksanaan Sekolah Plus di Sekolah Menengah Negeri 26 Surakarta)” adalah karya
saya sendiri. Hal yang bukuan karya saya, dalam tesis tersebut ditunjukan dalam
daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, 2 Oktober 2011
Yang membuat pernyataan,
(5)
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
hidayah dan karunian-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis
menyadari, bahwa tanpa pertolongan dan ridho-Nya maka semuanya akan menjadi
suatu hal yang mustahil untuk terjadi. Sebagai kodrat manusia hanya usaha dan do’a
yang dapat kita panjatkan dan tetap Allah AWT yang akan menentukan.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh
setiap mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Tesis ini dengan judul ”PELAKSANAAN KEBIJAKAN
SEKOLAH TANPA MEMUNGUT BIAYA SEBAGAI UPAYA PEMERATAAN
HAK PENDIDIKAN ANAK DI KOTA SURAKARTA (Studi Terhadap
Pelaksanaan Sekolah Plus di Sekolah Menengah Negeri 26 Surakarta), diharapkan
dapat menjadi bahan pengembangan Ilmu Hukum, yaitu Hukum Administrasi Negara
khususnya Kebijaksanaan Pemerintah Kota Surakarta dalam Pelaksanaan kebijakan
Sekolah tanpa memungut biaya khususnya program sekolah plus di Kota Surakarta
dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan
dalam mengembangkan Ilmu Hukum, khususnya mengenai Kebijaksanaan
Pemerintah Kota Surakarta dalam Pelaksanaan Sekolah tanpa memungut biaya.
Penulisan hukum ini tidak lepas dari bantuan yang telah diberikan baik oleh
pihak lain kepada penulis, oleh karena itu penulis hendak mengucapkan banyak
terimakasih yang sebesar-sesarnya kepada :
(6)
commit to user
1.
Allah SWT. Dimana hanya dengan rahmat dan ridho-Nya penulisan hukum
(tesis) ini dapat selesai.
2.
Nabi Muhammad SAW. Sebagai Nabi besar yang memberikan suri teladan
yang sempurna bagi umat-nya.
3.
Bapak Drs. H. Joko Riyanto,S.H., M.M dan Ibu Hj. Wiwik Dwi Wahyuti
sebagai orang tua, Pratiwi Fatmasari Ningrum dan Pratama Rachmad Wijaya
sebagai satu keluarga yang selalu memberi semangat dan mendoakan.
4.
Ibu Hj. Surip Priyo Sumarto (Alm) dan Hj. Sri Wiji Priyo Sumarto (Alm)
sebagai nenek yang semasa hidupnya senantiasa menyayangi dan sangat
berjasa dalam kehidupan Penulis.
5.
Calonku Rusmanto,S.Pdi, yang selalu menemaniku dan memberi semangat
luarbiasa.
6.
Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS selaku Ketua program pasca sarjana
Fakultas Hukum UNS dan dosen pembimbing tesis penulis serta seluruh
jajaran pengurus program pasca sarjana Fakultas Hukum UNS.
7.
Bapak Isharyanto S.H.,M.H, selaku Dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis hingga penilisan hukum ini dapat diselesaikan dengan
baik.
8.
Prof. Supanto dan Bapak Burhanudin Harahap S.H.,M.H.,M.SI.,Ph.D selaku
Ketua dan sekertaris penguji tesis.
9.
Para dosen pasca sarjana F.H UNS yang tidak dapat penulis sebut satu
persatu.
10.
Para narasumber, Bapak Sutopo selaku Kepala bagian perencanaan dan
evaluasi program dinas pendidikan, pemuda dan Olahraga Kota Surakarta,
(7)
commit to user
bapak Sutrisno Selaku Kepala Sekolah SMP .N 26 Surakarta, Bapak Teguh
selaku Komisi IV DPRD Kota Surakarta, Ibu Maya dan Pratama selaku Ketua
KIPPAS dan FAS dan masyarakat yang telah bersedia memberikan informasi
kepada penulis terkait obyek penelitian.
11.
Teman-teman Program Kebijakan Publik Pasca Sarjana Fakultas Hukum
UNS, Megawati, Mega fury, Mas Herwin,Mas Dody, Mbak Setyaningsih,
Mas Reza dan yang lainnya yang selalu memberi semangat dalam menuntut
ilmu.
12.
Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu semnoga Alloh membalas semua bantuan yang telah diberikan.
Semoga Penelitian Hukum ini (tesis) dapat bermanfaat dan membantu dalam
perkembangan ilmu hukum yang ada. Wasaalamu’alaikum Wr...Wb...
Surakarta, 2 Oktober 2011
Penulis
(8)
commit to user
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... ...
i
PENGESAHAN PEMBIMBING ...
ii
PENGESAHAN PENGUJI TESIS ... iii
PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ...
v
DAFTAR ISI
... viii
DAFTAR TABEL ...
x
DAFTAR BAGAN/GAMBAR ... ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... ... xii
ABSTRAK ... ... xiii
ABSTRACT ... ... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ...
1
B.
Perumusan Masalah ... 14
C.
Tujuan Penelitian ... 14
D.
Manfaat Penelitian ... 14
BAB II KAJIAN TEORI
A.
Definisi Konsep
1.
Teori Kebijakan Publik ... 15
a.
...
Definisi
Kebijakan Publik ……… 16
(9)
commit to user
b.
...
Hubung
an antara Hukum dan Kebijakan Publik ………… 18
c.
...
Proses
Kebijakan Publik ………...…… 20
d.
...
Pengert
ian Implementasi Kebijakan ……… 24
e.
...
Implem
entasi Kebijakan menurut Marilee S. Grindle …… 25
2.
Landasan tentang Pendidikan ... 31
a.
...
Pengertian Pendidikan ……… 31
b.
...
Komponen Pendidikan ……… 33
c.
...
Pendidi
kan sebagai salah satu urusan Pemerintah Daerah .. 35
d.
...
Pendidi
kan di Kota Surakarta ……….. 37
3.
Teori tentang Hak Pendidikan Anak ... 39
a.
...
Sejarah
Hak-hak Anak di Indonesia ……… 41
b.
...
Pengatu
ran Hak Pendidikan Anak ……….. 45
B.
Kerangka Pikir ... 51
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian ... 56
B.
Sifat Penelitian ... 57
C.
Pendekatan Penelitian ... 58
D.
Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 59
E.
Teknik Pengumpulan data ... 63
F.
Teknik Analisis Data ... 68
(10)
commit to user
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian ... 72
B.
Pembahasan ... 101
1.Bentuk Kebijakan dan Pelaksanaan Pendidikan Tanpa
memungut Biaya di Kota Surakarta ...101
a. Program Bantuan Operasional Sekolah ... ... 102
b.Program Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta
... 103
c. Program Sekolah Plus ... 105
2.Penyelenggaran Kebijakan Sekolah Plus Sebagai Pemerataan
Hak Pendidikan Anak di Kota Surakarta ... 120
BAB V PENUTUP
A.
KESIMPULAN ... 127
B.
IMPLIKASI ………... 128
C.
SARAN ... 128
DAFTAR PUSTAKA
(11)
commit to user
DAFTAR TABEL
Tabel
Hal
Tabel 1.
Tabel daftar fasilitas sekolah plus ... 85
Tabel 2.
Tabel rencana anggaran sekolah plus dan bahan praktek SMK
(12)
commit to user
DAFTAR BAGAN/GAMBAR
BAGAN
Hal
Bagan 1. Analisa kausalitas masalah pendidikan anak usia dini...8
Bagan 2. Tahap kebijakan publik... ...22
Bagan 3. Implementasi sebagai proses politik dan administrasi . ...27
Bagan 4. Kerangka berfikir.. ...51
(13)
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Surat Keputusan Wali Kota Surakarta Nomor : 421/86-D/1/2007 tentang
Penetapan Sekolah Plus
(14)
commit to user
ABSTRAK
Pratami Wahyudya Ningsih, S.310610008. Pelaksanaan Kebijakan Sekolah Tanpa
Memungut Biaya Sebagai Upaya Pemerataan Hak Pendidikan Anak di Kota
Surakarta (Studi Terhadap Surat Keputusan Wali Kota Surakarta Nomor :
421/86-D/1/2007 tentang Penetapan Sekolah Plus).
Tesis. Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret
Surakarta 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan sekolah
tanpa memungut biaya di Surakarta,ndan untuk menditesiskan pelaksanaan
penyelenggaraan sekolah plus di Kota Surakarta sebagai salah satu upaya pemenuhan
terhadap hak anak di Kota Surakarta.
Penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis (non-doktrinal). Sedangkan
sifat penelitian ini adalah deskriptif, sehingga dalam penelitian ini akan digambarkan
pelaksanaan kebijakan sekolah tanpa memungut biaya yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Kota Surakarta yang teraktualisasi dalam program sekolah plus.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Pemerintah Kota Surakarta, khususnya Dinas
Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta dan SMP N 26 Surakarta selaku
pilot projectdari pelaksanaan kebijakan sekolah plus. Sumber data penelitian ini
adalah sumber data primer yang diperoleh langsung dari sumbernya yaitu Komisi IV
DPRD Kota Surakarta, bagian perencanaan dan evaluasi program Dinas Pendidikan,
Pemuda dan olahraga Kota Surakarta, pihak SMP N 26 selaku pelaksana kebijakan
dan KIPPAS serta FAS, dan data sekunder, yaitu sumber data yaitu berupa
buku-buku literatur yang dibutuhkan serta dokumen atau arsip yang relevan.
Berdasarkan hasil analisis, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut: 1)
Bentuk Kebijakan sekolah tanpa memungut biaya di Surakarta direalisasikan dengan;
Program BOS, Program BPMKS, Sekolah Plus, pada penelitian ini Penulis
memfokuskan pada program sekolah plus, berdasarkan analis sekolah pluas adalah
sekolah khusus yang diperuntukan warga Surakarta yang tidak mampu dengan dasar
(15)
commit to user
Surat Keputusan Wali Kota Surakarta Nomor : 421/86-D/1/2007 tentang Penetapan
Sekolah Plus. Berdasarkan SK tersebut program ini diselenggarakan di 12 sekolah
sebagai Sekolah Plus. Dalam pelaksanaanya dipilih SMP N 26 Surakarta sebagai
pilot project.2) Penyelenggaraan Sekolah plus di Kota Surakarta adalah sebagai wujud
komitmen dari Pemerintah Kota Surakarta untuk memenuhi hak pendidikan anak
yang diamanahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dengan adanya sekolah plus, anak-anak yang kurang mampu menjadi
memiliki kesempatan yang sama dengan anak sebaya lainya untuk mengakses
pendidikan secara mudah dan murah.
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran-saran disampaikan sebagai berikut :
1)Penulis berharap bahwa payung hukum dari program sekolah plus dapat dipertegas
dalam Peraturan Daerah Surakarta Nomor 4 Tahun 2010,tidak hanya berdasarkan SK
Wali Kota saja. 2) Diharapkan adanya pemetaan yang valid mengenai keberadaan
atau jumlah penduduk miskin di Kota Surakarta.
ABSTRACT
Pratami Wahyudya Ningsih, S.310610008. The Implementation of School Policies
Without Collecting Fee as the Attempt of Distributing the Child Education Rights
Evenly in Surakarta (A Study on the Implementation of Plus School in Public
Junior High School 26 Surakarta).
Thesis. Law Science Study Program, Postgraduate Program, Sebelas Maret University
Surakarta, 2011.
The objective of research is to find out the implementation of school policies
without collecting fee in Surakarta, and to describe the implementation of plus school
organization in Surakarta City as one attempt of fulfilling the child rights in Surakarta
City.
This study belongs to a sociological (non-doctrinal) law research. Meanwhile,
this research is descriptive in nature, so that it will describe the implementation of
school policies without collecting fee the Government of Surakarta City carried out that
is actualized in the Plus School Program. This research was taken place in Surakarta
City Government’s area, particularly in Education, Youth and Sport Service of
Surakarta City and SMP N 26 Surakarta as the pilot project in the implementation of
plus school policy. The data source of research consisted of primary data source
deriving directly from the source namely IV Commission of Surakarta City’s DPRD
(Local Legislative Assembly), Program Planning and Evaluation Division of Surakarta
City’s Education, Youth and Sport Service, the SMP N 26 as the policy implementer
and KIPPAS as well as FAS, and secondary data, namely the one constituting literature
books needed as well as relevant document or archive.
Based on the result of analysis, the following conclusion can be drawn: 1) the
form of school policy without collecting fee in Surakarta is realized by: BOS Program,
BPMKS program, Plus School, in this research the writer focuses on the plus school
program, based on the analysis on school plus, it can be found that the plus school is the
one intended specially for poor Surakarta’s people based on the Mayor’s Decree
(16)
commit to user
Number: 421/86-D/l/2007 about the Plus School Establishment. Considering that decree,
this program is conducted in 12 schools as Plus School. In its implementation SMP N 26
Surakarta is selected as pilot project. 2) The implementation of Plus School in Surakarta
City is the manifestation of Surakarta City Government’s commitment to the fulfillment
of child education right mandated by the Act Number 23 of 2002 about Child Protection
and Act Number 20 of 2002 about National Education System. In the presence of plus
school, the poor children become having equal opportunity with their peers to access
education easily and cheaply.
Based on the result of research, the following recommendations can be delivered:
1) the writer expects that the law umbrella of plus school program can be confirmed in
Surakarta Local Regulation Number 4 of 2010, not only based on the Mayor’s decree. 2)
It is expected that there will be a valid mapping on the existence or the number of poor
people in Surakarta City.
(17)
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dipandang sebagai kegiatan yang bersifat universal dalam
kehidupan manusia, karena dengan adanya pendidikan manusia diyakini dapat
meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Sementara itu, pendidikan dikatakan
sebagai hak setiap Warga Negara Indonesia. Hal tersebut sebagaimana telah
tertuang dalam Pasal 31 Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, yang berbunyi “
Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Konsekuwensi logis dari Pasal 31 Ayat (1) tersebut, maka sudah
menjadi hak setiap warga Negara Indonesia untuk dapat menikmati adanya
pendidikan secara layak, dan di sisi lain menjadi sebuah kewajiban dari
Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi warga negaranya. Adanya
usaha dari Pemerintah untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia telah
tercermin dengan mengalokasikan anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen
dari APBN, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan adanya pencanangan wajib belajar
selama sembilan tahun yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2008 tentang Wajib Belajar tidak lain diharapkan dapat meningkatkan mutu
pendidikan guna membangun keunggulan dan daya saing bangsa.
Sementara itu, masalah pendidikan adalah salah satu permasalahan yang
menjadi ranah kewenangan dari Pemerintah Daerah, hal tersebut sebagaimana
tertuang dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
(18)
commit to user
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menyebutkan bahwa terdapat 16 (enam belas) urusan wajib yang menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota. Salah satu urusan wajib
tersebut adalah penyelenggaraan pendidikan. Hal tersebut juga dipertegas dalam
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan
Antara
Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Provinsi,
dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota, yang menyatakan bahwa masalah
pendidikan menjadi salah satu urusan yang wajib diselenggarakan oleh
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah salah satu bidang
yang didesentralisasikan atau yang oleh pemerintah pusat dilimpahkan wewenang
penanganannya kepada pemerintah daerah.
Desentralisasi pendidikan di Indonesia merupakan peluang yang baik untuk
meningkatkan demokratisasi pendidikan, efisiensi manajemen pendidikan,
relevansi pendidikan, dan mutu pendidikan. Dalam hal ini, desentralisasi
pendidikan dikatakan akan mendorong efisiensi pendidikan, karena sebagian besar
wewenang pengelolaan pendidikan, baik perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan,
dan pengendalian pelayanan pendidikan diserahkan kepada Pemerintah Daerah,
yang disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan, keinginan, dan kemampuan
masing-masing daerah.
1Desentralisasi pada dasarnya adalah penataan mekanisme
pengelolaan kebijakan dengan kewenangan yang lebih besar diberikan kepada
daerah agar penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan lebih
1
Widi Nugraha, “Implementasi Sistem Pendidikan Nasional Ditinjau Dari Desentralisasi, -, Surakarta, 29 Januari 2011
(19)
commit to user
efektif dan efisien.
2Dengan adanya hal tersebut daerah terpacu untuk memberikan
pelayanan pendidikan yang baik kepada semua anak, mengingat anak adalah
sebagai salah satu aset bangsa yang memiliki hak sebagaimana yang tertuang
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Salah
satu hak anak yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak adalah hak anak untuk mendapat pendidikan. Hal tersebut
terdapat dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa “
Setiap anak berhak memperolehpendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya
”.
Sementara itu hubungan antara anak dan pendidikan adalah sangat erat,
karena anak adalah sebagai obyek pendidikan, maka guna memberikan dasar
hukum yang pasti dalam bidang pendidikan secara khusus, Pemerintah telah
mengatur masalah pendidikan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut sejatinya tersurat
kewajiban Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan
terhadap masyarakatnya. Pasal 11 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa ;
“(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (2) Pemerintah dan
Pemerintah
Daerah
wajib
menjamin
tersedianya
dana
guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh
sampai dengan lima belas tahun”.
Berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut, tercantum bahwa
2
Lela Dina Pertiwi. 2007. “Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Daerah Di Propinsi Jawa Tengah.” Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No.2, hal : 123-139.
(20)
commit to user
pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan dan memberikan kemudahan
terhadap terselenggaranya pendidikan di daerahnya masing-masing, sementara itu
ayat 2 menyatakan bahwa Pemerintah Daerah juga berkewajiban untuk menjamin
terselenggaranya pendidikan bagi warga negaranya yang berusia tujuh sampai lima
belas tahun, apabila dihitung secara jenjang pendidikan antara usia tujuh sampai
dengan lima belas tahun adalah usia anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar
(SD) hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal tersebut
sebagaimana sering kita dengar dengan adanya program dari Pemerintah yaitu
“wajib belajar Sembilan tahun”. Program “wajib belajar Sembilan tahun” tersebut
sebagaimana telah dipertegas oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor
47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan diselenggarakan sesuai dengan
kemampuan daerah masing-masing. Hal tersebut dilaksanakan guna memberikan
keleluasaan bagi daerah masing-masing untuk menyesuaikan pengembangan mutu
pendidikan dengan alokasi dana pendidikan yang ada di daerah. Dengan adanya
desentralisasi pendidikan berarti pembiayaan penyelenggaraan pendidikan
sebagian besar menjadi tanggungjawab setiap daerah. Maka bagi daerah yang
memiliki pendapatan yang cukup besar seolah berlomba untuk memberikan
pelayanan yang prima dalam bidang pendidikan bagi masyarakat di daerahnya.
Desentralisasi pendidikan adalah suatu hal yang sangat efektif untuk meningkatkat
kualitas pendidikan, karena apabila pendidikan dilaksanakan dengan sentralisasi
pada Pemerintah Pusat akan menimbulkan ketidaksesuaian dengan kondisi daerah
masing-masing, sebagaimana pendapat Peter Karmel yang menyatakan bahwa
“
The highly centralised perspective of higher education policy places emphasis on(21)
commit to user
the pursuit of national objectives laid down by the Commonwealth Government. But in a free society national objectives are often imprecisely defined and are subject to controversy and change
”.
3Pelayanan pendidikan tersebut tidak hanya dalam bentuk fasilitas yang ada,
namun sekarang telah merambah pada penyelenggaraan pendidikan tanpa
memungut biaya pada masyarakat. Hal tersbut sebagaimana telah diamanatkan
dalam Pasal 34 Ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa “
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.
Dengan adanya kewajiban daerah untuk menyelenggarakan pendidikan
sesuai dengan kemampuanya serta amanat undang-undang yang menyatakan
bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewajiban menyelenggarakan pendidikan
tanpa memungut biaya adalah sebagai sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan
oleh daerah-dareah yang ada di Indonesia. Pendidikan yang tidak lain adalah salah
satu hak anak yang harus dipenuhi oleh pemerintah, mengingat anak adalah
generasi penerus bangsa, yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta
membangun Negara dan Bangsa Indonesia. Anak merupakan subjek dan objek
pembangunan nasional Indonesia dalam usaha mencapai aspirasi Bangsa
Indonesia, masyarakat yang adil dan makmur spiritual dan materiil. Anak adalah
modal pembangunan, yang akan memelihara dan mempertahankan serta
mengembangkan hasil pembangunan fisik mental dan sosial Indonesia. Oleh sebab
3
(22)
commit to user
itu, setiap anak memerlukan perlindungan dan dalam hal ini kita telah memiliki
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan
Undang-Undang tersebut, Negara menjamin hak-hak anak yaitu memiliki tingkat
kebebasan yang optimal, memperoleh pendidikan, mendapatkan perlindungan dan
kesempatan berpartisipasi. Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial.
Salah satu bentuk nyata upaya pemerintah dalam perlindungan anak adalah
diwujudkan melalui pengembangan Kota Layak Anak yaitu kota yang menjamin
hak setiap anak sebagai warga kota.
4Di Indonesia target jumlah KLA pada tahun
2015 adalah 15 Kota, termasuk Kota Solo.
Dengan adanya program Kota Surakarta sebagai kota layak anak di tahun
2015, mengingat beberapa hal yang diamanatkan dalam konstitusi dalam bidang
penyelenggaran pendidikan seolah ditanggapi positif oleh pemerintah Kota
Surakarta. Penyelenggaraan pendidikan di kota Surakarta, guna sebagai usaha
pemenuhan terhadap Pasal 11 dan Pasal 34 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistim Pendidikan Nasional dilaksanakan dengan memberikan
penyelengaraan pendidikan tanpa memungut biaya pada peserta didik. Hal tersebut
sejatinya menjadi salah satu misi dari Pemerintah kota Surakarta yaitu
“Meningkatkan pelayanan dan perluasan akses masyarakat di bidang pendidikan,
antara lain dengan program sekolah gratis, Sekolah Plus, bantuan pendidikan
masyarakat, pengembangan sarana dan prasarana pendidikan, meningkatkan
4
Niken Irmawati.
http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/173712312201007561.pdf.
diakses pada tanggal 2 Maret 2011
(23)
commit to user
kualitas tenaga pendidik dan kependidikan”
5. Secara nyata penyelenggaraan
pendidikan tanpa memungut biaya (Sekolah Plus) kepada peserta didik telah
dilaksanakan beberapa sekolah di Surakarta.
Berbicara mengenai pendidikan di Kota Surakarta, dewasa ini dalam
penyelenggaraanya tidak berjalan tanpa masalah. Beberapa persoalan dalam
penyelenggaraan pendidikan yang penulis peroleh dari data analisis Ibu dan Anak
Kota Surakarta menyebutkan bahwa beberapa masalah pendidikan anak usia dini
dapat digambarkan sebagai berikut;
6Bagan.1. Analisa Kausalitas masalah Pendidikan Anak Usia Dini
5
Dinas Komunikasi Informatika Kota Surakarta.
http://www.surakarta.go.id/id/news/walikota.wawali.html diakses pada tanggal 2
Maret 2011
6
Ibid hal 217
Belum setiap anak usia sekolah dapat mengakses pendidikan.(dari PAUD, TK,SD, SMP dan SMA)
Kurangnya kemampuan siswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
Pemerintah belum dapat memenuhi kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak dalam bidang pendidikan
Faktor ekonomi orang tua yang terbatas, sehingga tidak mampu membiayai sekolah
Biaya pendidikan mahal pada setiap tingkat pendidikan
(24)
commit to user
Berdasarkan bagan tersebut dapat diketahui bahwa permasalahan
pendidikan yang ada di kota Surakarta dewasa ini yang menyebabkan belum setiap
anak usia sekolah dapat mengakses pendidikan disebabkan oleh beberapa hal
antara lain, biaya pendidikan yang mahal yang menyebabkan orang tua anak
terutama yang tidak mampu tidak dapat untuk mencukupi biaya sekolah.
Sementara itu, berdasar data yang dicatat Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
(Dikpora) Kota Surakarta, angka putus sekolah terjadi di semua jenjang mulai dari
SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/MA/SMK. Dari ratusan jumlah tersebut, pada
jenjang SMP, putus sekolah paling banyak terjadi yakni sebanyak 137 siswa.
Sisanya berasal dari jenjang SD (32 anak) dan SMA/MA/SMK (115 anak)
7.
Dalam bagan tersebut juga tercatat bahwa kemiskinan orang tua atau faktor
ekonomi juga menjadi suatu kendala bagi pelaksanaan pendidikan. Secara umum
7
Harian Suara Merdeka. 284 Pelajar Solo Putus Sekolah.edisi 03 Agustus 2010
Kemiskinan orang tua karena tidak memiliki pekerjaan baik tetap maupun yang layak
Sekolah membutuhkan fasilitas untuk mendukung proses belajar mengajar
Pemerintah belum dapat
menyelenggarakan pendidikan yang dikehendaki oleh masyarakat, yaitu murah bahkan geratis tetapi bermutu
Nilai siswa tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (nilai
UAN yang tidak
memenuhi syarat untuk lulus)
Anggaran dari pemerintah belum mencukupi untuk menanggung beban biaya Pendidikan Tuntutan murid dan
guru untuk
meningkatkan kualitas belajar
Keterbatasan akses pada sumber – sumber ekonomi
Keterbatasan skill yang dimiliki oleh orang tua
(25)
commit to user
Indonesia telah mengalami penurunan peringkat dalam indeks pembangunan
pendidikan untuk semua tahun 2011, salah satunya disebabkan tingginya angka
putus sekolah di jenjang sekolah dasar. Sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen
dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya.
8Berdasarkan data BKKBN
(Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional) tahun 2010, siswa tingkat
sekolah dasar(SD) sampai sekolah menengah pertama (SMP) banyak yang
terancam putus sekolah, berdasarkan data anak usia sekolah yang putus sekolah
tahun 2010 itu, 80 persen karena alasan ekonomi.
9Hal tersebut juga menjadi pendapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa
“
Economists usually concentrate on the productive aspect of education; it is the most important way by which societies can, and do, invest in human capital”
10.,
bahwa kondisi ekonomi akan mempengaruhi kegiatan pendidikan. Selain itu juga
dipertegas dengan pebdapat bahwa “
Socio-economic background also relates to school quality and pupil performance via peer groups”.
11Hal tersebut
mempertegas bahwa latarbelakang social ekonomi anakn mempengaruhi kualitas
sekolah dan kondisi sekolah yang bersangkutan.
Bagaimanapunjuga salah satu subyek pendidikan tidak lain adalah anak,
yang tentunya mempunyai hak yang layak dalam kehidupan. Diantara hak tersebut
adalah hak pendidikan. Sebagai salah satu yang perlu diperoleh anak dalam
mengarungi kehidupan di hari yang akan datang, dalam hal ini dapat memperoleh
pendidikan sesuai kebutuhan guna mencapai cita-cita merupakan dambaan setiap
8
Harian KOMPAS.527.850 Siswa Sekolah Dasar Putus Sekolah Jum’at, 04 Maret 2011
9
Diyono Adhi Budiyono. PR Pendidikan 2011 Masih Berat. http://agupenajateng.net/2011 /01/22/ pr-pendidikan-2011-masih-berat.
10
.JournalFiscal Studies.
No. 4,vol. 20,1999,hlm. 351
11
(26)
commit to user
anak bangsa. Mereka berusaha untuk dapat memperoleh kehidupan yang lebih
sejahtera sebagai cita-citanya melalui proses pendidikan.
Hak anak dalam bidang pendidikan, sebagaimana yang telah tercantum
dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Bab XIII
tentang Pendidikan dan Kebudayaan terutama Pasal 31 Ayat (1) disebutkan bahwa
setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan, sedangkan Ayat (2)
menyatakan bahwa setiap Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya. Lebih lanjut pada Ayat (3) dan (4) lebih tegas
menyatakan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada pasal 4 tentang
pembiayaan pendidikan disebutkan bahwa Negara menprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan
belanja Negara serta dari anggaran pendapatan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional.
Dengan dasar peraturan yang ada di atas maka sudah semestinya
pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak dalam bidang pendidikan
seperti juga yang tercantum dalam Pasal 9 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23
tahun 2002 yang menyatakan bahwa “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan
dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”, maka jelas bahwa pendidikan
menjadi hal yang sangat penting dan telah memiliki dasar yang kuat di dalam
(27)
commit to user
konstitusi, sehingga perluasan akses dan pemerataan pendidikan perlu dilakukan
oleh pemerintah untuk dapat memenuhi kewajibannya.
Pada saat ini pendidikan nasional masih dihadapkan pada beberapa
permasalahan yang menonjol seperti yang dikemukakan oleh Yahya A. Muhaimin
yang dikutip oleh Anita Trisiana, yaitu:
121.
Masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan;
2.
Masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan;
3.
Masih lemahnya manajemen pendidikan, disamping belum terwujudnya
keunggulan ilmu pengetahuan dan tehnologi dikalangan akademisi dan
kemandirian.
Permasalahan pendidikan seperti masih rendahnya pemerataan pendidikan dan
mutu pendidikan adalah suatu kendala dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa
ini. Mengingat pendidikan adalah salah satu hak anak yang harus dipenuhi, maka
penulis akan lebih jauh membahas mengenai pemerataan pendidikan, khususnya
melalui program pendidikan tanpa memungut biaya yang diselenggarakan di Kota
Surakarta.
Dengan adanya fenomena tersebut, secara khusus Pemerintah Kota Surakarta
memberikan peraturan melalui Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 4 Tahun
2010 tentang Pendidikan. Regulasi tersebut tidak lain adalah bagian dari upaya
pemenuhan terhadap konstitusi mengenai penyelenggaraan pendidikan yang
didesentralisasikan. Penyelenggaraan sekolah tanpa memungut biaya atau yang
12
AnitaTrisiana, “ Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Nomor 470 / 1371 / Tu
2005 Tentang Pelaksanaan Kurikulum 2004 Pada Sekolah Menengah Atas”,
artikel pada Jurnal
IPSO JURE, edisi No.1 Vol.1, 2007, hlm.2.
(28)
commit to user
diwujudkan dalam Sekolah Plus di Kota Surakarta yang dewasa ini
diselenggarakan sejak tahun 2007 yang tidak lain menjadi amanat dari
undang-undang merupakan suatu tujuan yang mulia.
Maka
pelaksanaan
kebijakan
Pemerintah
Kota
Surakarta
dalam
penyelenggaraan pendidikan secara tanpa memungut biaya yang diwujudkan
dalam Sekolah Plus adalah suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti dan
diketahui secara mendalam terkhusus mengenai penyelenggaraanya dengan
mengingat bahwa pendidikan adalah salah satu hak anak di Indonesia yang wajib
dipenuhi oleh Pemerintah. Berdasarkan hal tersebut Penulis tertarik untuk
menuangkan ide tersebut dalam sebuah penelitian dengan judul “Pelaksanaan
Kebijakan Sekolah Tanpa Memungut Biaya Sebagai Upaya Pemerataan Hak
Pendidikan Anak di Kota Surakarta (Studi Terhadap Surat Keputusan Wali
Kota Surakarta Nomor : 421/86-D/1/2007 tentang Penetapan Sekolah Plus)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang yang Penulis uraikan tersebut,
maka rumusan masalah yang ingin Penulis cari jawabanya adalah sebagai berikut ;
(29)
commit to user
1.
Bagaimana bentuk kebijakan dan pelaksanaan penyelenggaraan sekolah tanpa
memungut biaya di Kota Surakarta ?
2.
Apakah penyelenggaraan kebijakan Sekolah Plus dapat memenuhi pemerataan
hak pendidikan anak di kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;
1.
Untuk mendiskripsikan bentuk dan pelaksanaan kebijakan sekolah tanpa
memungut biaya di Surakarta;
2.
Untuk mendiskripsikan pelaksanaan penyelenggaraan Sekolah Plus di Kota
Surakarta sebagai salah satu upaya pemenuhan terhadap hak anak di Kota
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
a.
Untuk mengembangkan teori yang telah Penulis perolah dalam bidang
Ilmu Hukum dan Kebijakan Publik selama perkuliahan;
b.
Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum dan Kebijakan
Publik, khususnya mengenai pelaksanaan kebijakan sekolah tanpa
memungut biaya sebagai upaya pemenuhan hak pendidikan anak di
kota Surakarta yang diselenggarakan dalam program Sekolah Plus di
beberapa sekolah yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Kota Surakarta.
2.
Manfaat Praktis
(30)
commit to user
b.
Guna memenuhi persyaratan akademis untuk memperoleh gelar S2 dalam
bidang ilmu hukum dan kebijakan publik di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
BAB II
LANDASAN TEORI
(31)
commit to user
1. Teori Kebijakan Publik
a. Definisi Kebijakan Publik
Kebijakan Publik berasal dari kata “kebijakan” dan “Publik”. Dalam
terma sehari-hari di Indonesia kata Publik dipahami sebagai Negara atau
umum. hal ini dapat dilihat dalam bahasa Indonesia menerjemahkan
publik transportrationyang dimaknai sebagai kendaraan umum atau
publik administrationyang diterjemahkan sebagai administrasi Negara
13. Sedangkan
“kebijakan” (
policy)umumnya untuk dipakai menunjukan pilihan penting
yang diambil dalam kehidupan organisasi atau privat, kebijakan bebas dari
konotasi yang dicakup dalam kata politis (political) yang sering diyakini
mengandung makna “keberpihakan dan korupsi”. Kebijakan publik dapat
didefinisikan berbagai macam, berikut ini definisi kebijakan publik oleh
beberapa pakar kebijakan publik yang dikutip oleh Ismail Nawawi
14;
1)
Kebijakan publik menitik-beratkan pada publik dan problem-problemnya
(dewey, (1927) Kebijakan Publik membahas soal bagaimana isu-isu dan
persoalan – persoalan publik disusun (
constructed)dan didefinisikan
serta bagaimana ke semua itu diletakan dalam agenda kebijakan dan
agenda politik;
2)
Suatu arah tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan
hambatan-hambatan dan kesempatan – kesempatan terhadap kebijakan yang
diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai
suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu
(Carl J. Frederick, Man and His Government, 1963);
3)
Serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta
konsekuensi-konekuensinnya bagi mereka yang bersangkutan dari pada
sebagai suatu keputusan tersendiri ( Ricard Rose, 1969);
4)
Hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya (Robert Estone,
1971);
13
Ismail Nawawi. 2009. Publik Policy. Surabaya: ITS Press. Hal2
14
(32)
commit to user
5)
Keputusan tetap yang dirincikan dengan konsistensi dan penanggulangan
(reputasi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang
mematuhi keputusan tersebut ( Heinz Eulau & Kenneth Prewitt, 1973);
6)
Adapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak
dilakukan (Thomas R. Dye, 1976).
Sementara Amara Raksasetya mengemukakan kebijakan sebagai suatu
kritik danstrategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu,
suatu kebijakan memuat tiga elemen, yaitu
15:
1)
Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai ;
2)
Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan;
3)
Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara
nyata dari taktik atau strategi.
Kebijakan publik juga dikatakan sebagai alat, instrument penguasa
sebagai perwujudan dari kekuasaannya. Oleh karena itu bertalian dengan
kekuasaan, di mana semakin besar semakin besar pula kesempatan untuk
menyalahgunakan kekuasaannya
16. Pada dasarnya kebijakan publik adalah
suatu tindakan nyata dari pemerintah, organisasi pemerintah yang menyangkut
hajat hidup orang banyak. Wujud nyata dari tindakan-tindakan pemerintah
tersebut dapat berupa program-program yang telah direncanakan dan kemudian
direalisasikan. Realisasi dari kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah
sejatinya apabila sesuai dengan nilai-nilai dan berpihak pada rakyat maka
kebijakan tersebut akan bertahan namun sebaliknya apabila kebijakan tersebut
tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada atau tidak
sesuai dengn kondisi masyarakatnya maka kebijakan tersbut tidak akan
bertahan lama.
15
M. Irfan Islamy.2004.Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta:Bina Aksara
16
(33)
commit to user
b. Hubungan antara Hukum dan Kebijakan Publik
Sementara itu, hubungan antara hukum dan kebijakan publik adalah
hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki keterkaitan
yang erat, sehingga telaah tentang kebijakan pemerintah semakin dibutuhkan
untuk dapat memahami peran hukum saat ini.
17Dapat dikatakan pula bahwa
sejatinya, prodak hukum yang ada tidak lain merupakan hasil dari proses
kebijakan publik. Proses pembentukan kebijakan publik dimulai dari realitas
yang ada di dalam masyarakat, berupa aspirasi yang berkembang, masalah
yang ada maupun tuntutan atas kepentingan perubahan-perubahan.
Berdasarkan realita yang ada tersebut kemudian pihak yang terkait mencoba
mencari pemecahan untuk memperbaiki atau mengatasi permasalahan yang
timbul tersebut. Hasil dari kesepakatan tersebutlah yang dinamakan sebagai
kebijakan publik.
Hukum juga dapat diartikan sebagai ”sistem yang terpenting dalam
pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan”
18. Selain itu, masih
banyak terdapat para pakar hukum yang mendiskripsikan hukum sebagai
suatu pandangan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya
masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa hukum tidak dapat didefinisikan secara
universal. Hal tersebut tercermin dengan adanya perkembangan hukum, teori
hukum alam mengatakan bahwa hukum adalah aturan yang berasal dari tuhan,
penganut positivis mengatakan bahwa hukum adalah aturan tertulis yang
dibuat oleh pengasa yang memiliki sifat memaksa dan memiliki sanksi yang
17
Esmi Warasih, 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologi, Suryandaru Utama, Semarang. Hal 129
18
(34)
commit to user
tegas bagi para pelanggarnya, dan ada pula yang mengatakan bahwa hukum
adalah manivestasi dari makna-makna simbolik yang terdapat pada fikiran
manusia. Keseluruhan hal tersebut menujukan bahwa hukum tidak dapat
definisi menjadi satu pemikiran saja.
Hukum tidak hanya berwujud
normatau kaedah saja, tetapi dapat
berwujud perilaku juga. Pada perilaku manusia terdapat hukumnya. Dari
perilaku manusia lahir hukum. Oleh karena itu disamping sumber-sumber
hukum seperti yang telah diuraikan diatas masih ada sumber hukum yang
berupa perilaku baik yang bersifat aktif (perbuatan konkrit) maupun yang
bersifat pasif seperti sikap (itikad). Perilaku manusia itu didorong oleh
kepentingan manusia, sedangkan kepentingan manusia merupakan obyek
perlindungan hukum. Oleh karena itu tidak boleh dilupakan bahwa
kepentingan manusia juga merupakan sumber hukum juga.
c. Proses Kebijakan Publik
Sementara itu menurut James Anderson, sebagaimana yang dikutip oleh
Ismail Nawawi menetapkan proses kebijakan publik adalah sebagai berikut:
191)
Formulasi masalah (
problem formulation);2)
Apa masalahnya? Apa yang membuat masalah tersebut menjadi rapat
dalam agenda pemerintah?;
3)
Formulasi kebijakan (
formulation);4)
Bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau alternatif – alternatif
untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang berpartisipasi
dalam formulasi kebijakan?;
5)
Penentuan kebijakan (
adaption): bagaimana alternatif ditetapkan ?
Persyaratan / criteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan
melaksanakan kebijakan ? Bagaimana proses atau strategi untuk
19
(35)
commit to user
melaksanakan kebijakan ? Apa isi dari kebijakan yang telah
ditetapkan?;
6)
Implementasi (
implementation) :siapa yang terlibat dalam
implementasi kebijakan ? Apa yang mereka kerjakan ? Apa dampak
dari isi kebijakan?;
7)
Evaluasi
(evaluation): bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak
kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa
konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan ? adakan ketentuan untuk
melakukan perubahan ayau pembatalan?
Kebijakan publik pada akhirnya harus dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat dan mengakomodasi kepentingan masyarakat yang ada. Oleh
karena itu penilaian terhadap suatu kebijakan terdapat pada masyarakat. Hanya
saja seringkali antara
out putdengan
out cometidak selamanya sejalan.
Terkadang sebuah proses kebijakan publik yang telah mencapai
out putyang
ditetapkan dengan baik, namun tidak mendapatkan respon atau dampak (
out come)yang baik dari masyarakat atau kelompok sasaranya. Atau sebaliknya,
sebuah kebijakan publik yang pada dasarnya tidak maksimal dalam mencapai
hasil yang telah ditetapkan, namun dampaknya cukup memuaskan bagi
masyarakat secara umum.
Pendapat Ripley yang dikutip Ismail Nawawi pula menyebutkan tahap
atau proses kebijakan publik diawali dengan penyusunan agenda, formulasi
dan legitimasi kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi terhadap
implementasi, dan kinerja dampak dan kebijakan baru, digambarkan dengan
sekema sebagai berikut:
20Bagan 2. Tahap Kebijakan Publik
20
Ibid, Hal 16-17
Penyusunan Aggenda
Agenda Pemerintah
(36)
commit to user
Berdasarkan sekema di atas, dapat diketahui bahwa tahap penyusunan
dari suatu kebijakan publik adalah berawal dari adanya penyusunan agenda
yang kemudian akan menjadi agenda atau kegiatan dari Pemerintah. Dari
agenda tersebut pemerintah akan mencari formulasi kebijakan yang akan
diterapkan, setelah formulasi tersebut berhasil disusun maka akan
menghasilkan suatu kebijakan. Setelah kebijakan berhasil dibentuk, maka
masuklah dalam ranah pelaksanaan kebijakan atau implementasi kebijakan di
dalam masyarakat. Dalam implementasi suatu kebijakan maka akan terdapat
suatu tindakan-tindakan sebagai konsekuensi dari kebijakan yang telah
dikeluarkan. Setelah terdapat suatu tindakan-tindakan dalam implementasi
kebijakan, maka akan melalui tahap evaluasi terhadap kinerja dan dampak
yang timbul atas penerapan dari kebijakan tersebut. Apabila kebijakan yang
telah ada memiliki dampak yang positif maka kebijakan tersebut akan dapat
Formulasi & Legitimasi
kebijakan
Implementasi Kebijakan
Evaluasi terhadap implementasi
kinerja & dampak Kebijakan
Kebijakan baru
Kebijakan
Tindakan kebijakan
Kinerja & dampak kebijakan
(37)
commit to user
bertahan, namun sebaliknya apabila kebijakan yang ada tidak sesuai dengan
norma atau kondisi yang ada, maka kebijakan tersebut tidak akan berlangsung
lama dan cenderung akan muncul kebijakan yang baru.
Dalam setiap kebijakan, pastilah pada akhirnya akan melalui tahap
implementasi kebijakan. Dalam penelitian ini Penulis akan menyajikan
penelitian yang bersifat diskripsi terhadap kebijakan Pemerintah Kota
Surakarta dalam hal penyelenggaraan sekolah tanpa memungut biaya atau yang
dituangkan dalam kebijakan Sekolah Plus. Berdasarkan hal tersebut, maka
perlu adanya penjabaran mengenai tahap implementasi dari suatu kebijakan.
Dalam praktik implementasi kebijakan merupakan proses yang sangat
kompleks, sering bernuansa politis dan memuat adanya intervensi
kepentingan.
21d. Pengertian Implementasi Kebijakan
Guna mendiskripsikan arti implementasi kebijakan, terdapat beberapa
difinisi sebagaimana yang telah dikutip oleh Ismail Nawasi dalam
Public policysebagai berikut;
221)
Van Meter dan Van Horn (1975) mendefinisikan implementasi
kebijakan, merupakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau
pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang
diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam
putusan kebijakan.
2)
Mazmanian dan Paul Sabatier (1983:61) implementasi kebijakan
adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasannya dalam
bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah
atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan
Badan Penelitian.
21
Ibid. Hal. 131 22
(38)
commit to user
3)
Odoji (1981) pelaksana kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan
lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan hanya sekedar
berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip
kalau tidak diimplementasikan.
4)
Jones (1991, 295) mengemukakan implementasi kemampuan untuk
membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab
akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan.
Implementasi
suatu
kegiatan
yang
dimaksudkan
untuk
mengoprasionalkan sebuah program dengan melalui tiga pilar sebagai berikut
:
231)
Organisasi : Pembentukan atau penatan kembali suber daya, unit-unit
serta metode untuk menjadikan program berjalan.
2)
Interpretasi : menafsirkan agar program (seringkali dalam hal status)
menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta
dilaksanakan.
3)
Penerapan : Ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya
yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.
Dalam pelaksanaan kebijakan, sejatinya terdapat dua pendekatan, yaitu
pendekatan secara
top downdan
botton up. Dimana, masing-masing
pendekatan tersebut memiliki kerangka kerja tersendiri dalam membentuk
keterkaitan antara kebijakan dan hasilnya. Dalam pendekatan
top downkebijakan dilaksanakan secara tersentralisir dari pusat, sehingga kebijakan
yang diambil oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh implementator
di tingkat bawah sesuai dengan prosedur dan tujuan yang telah ditetapkan oleh
pembuat kebijakan.
e. Implementasi Kebijakan menurut Marilee S. Grindle
Beberapa pakar berpendapat bahwa keberhasilan dari suatu kebijakan
dipengaruhi oleh beberapa variabel atau faktor, dan masing-masing variable
tersebut saling berhubungan satu sama lain. Dalam penelitian ini penulis akan
lebih jauh menjelaskan mengenai faktor yang mempengaruhi kebijakan
23
(39)
commit to user
sebagaimana yang dikemukakan oleh Marilee S. Grindle. Merilee S. Grindle
dalam bukunya “
Politics and Policy Implementation in the Third World”
sebagaimana yang dikutip oleh Ayi Riyanto, menjelaskan bahwa Grindle
mendefinisikan implementasi sebagai “suatu upaya untuk menciptakan
hubungan yang memungkinkan tujuan
‐
tujuan kebijakan publik dapat
direalisasikan sebagai suatu hasil dari aktivitas
‐
aktivitas pemerintahan”.
24Menurut Grindle bahwa keberhasilan implementasi kebijakan public
dipengaruhi oleh dua variable yang fundamental, yakni isi kebijakan
(content of policy)dan lingkungan implementasi
(context of implementation).Variable-variabel sebagaimana di atas dapat terlihat dalam gambar sebagai
berikut;
25Bagan 3.
Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi
24
Ayi Riyanto. http://www.scribd.com/doc/28193139/Implementasi-Kebijakan-Publik-Working-Paper. diakses pada tanggal 26 Maret 2011
25
Ismail Nawawi 142.
Tujuan Kebijakan
Implementasi Kebijakan Dipengaruhi Oleh : A. Isi Kebijakan
1. Kepentingan kelompok sasaran
2. Tipe manfaat
3. Derajat perubahan yang diinginkan
4. Letak pengambilan keperluan
5. Pelaksanaan program
Hasil Kebijakan a. Dampak pada masyaraka t, individu dan kelompok b. Perubahan an penerimaa
(40)
commit to user
Berdasarkan gambar implemetasi sebagai Proses Politik dan Administrasi
yang disampaikan Grindle, maka dapat diketahui bahwa variable isi kebijakan
yang diungkapkan Grindle mencakup hal sebagai berikut, yaitu :
1)
Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau
target groupstermuat
dalam isi kebijakan publik;
2)
Jenis manfaat yang diterima oleh
target group;3)
Sejauh mana perubahan yang diinginkan oleh kebijakan;
4)
Apakah letak sebuah program sudah tepat;
5)
Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementatornya dengan
rinci
Program aksi dan proyek individu yang didesain dan didanai Tujuan
yang dicapai
Program yang dilaksanakan sesuai
rencana
Mengukur keberhasilan
(41)
commit to user
6)
Sumber daya yang disebutkan apakah sebuah program yang didukung
oleh sumber daya yang memadai.
Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup hal-hal sebagai berikut,
yaitu :
1)
Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh
para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan;
2)
Karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa;
3)
Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Dalam gambar terlihat bahwa isi kebijakan dan konteks kebijakan adalah
dua hal yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Dari isi dan konteks
tersebut Grindle menjelaskan di bawah ini;
261)
Content of Policymenurut Grindle adalah:
a)
Interest Affected(kepentingan-kepentingan
yang
mempengaruhi)
Interest Affected
berkaitan dengan berbagai kepentingan yang
mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini
berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti
melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana
kepentingan-kepentingan
tersebut
membawa
pengaruh
terhadap
implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui lebih lanjut.
b)
Type of Benefit(tipe manfaat)
Pada poin ini
content of policyberupaya untuk menunjukan
atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat
beberapa jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang
dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak
dilaksanakan.
c)
Extent of Change Envision(derajat perubahan yang ingin
dicapai)
Setiap kebijakan akan memiliki target yang hendak dicapai.
Content of Polecyyang ingin dijelaskan pada poin ini adalah
bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau yang ingin
26
(42)
commit to user
dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus memiliki
skala yang jelas.
d)
Site of Decision Making(letak pengambilan keputusan)
Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peran
penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian
ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari
suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.
e)
Program Implementer(pelaksana program)
Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus
didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten
dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Dan ini harus
sudah terdata atau terpapar dengan baik pada bagan tersebut.
f)
Resources Committed(sumber-sumber daya yang digunakan)
Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh
sumber-sumber daya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan
baik.
b.
Context of Policymenurut Grindle adalah:
1)
Power, Interest, and Strategy of Actor Involved(kekuasaan,
kepentingan-kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat)
Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau
kekuasaan, kepentingan, serta strategi yang digunakan oleh para
aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan
suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan
dengan matang sangat besar kemungkinan program yang
hendak diimplementasikan akan jauh arang dari api.
2)
Institution and Regime Characteristic(katakteristik lembaga
dan rezim yang berkuasa)
Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga
berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini
ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan
turut mempengaruhi suatu kebijakan.
3)
Compliance and Responsiveness(tingkat kepatuhan dan
adannya respon dari pelaksana)
Hal ini yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu
kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana,
maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauh mana
kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu
kebijakan.
Setelah
kegiatanpelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi oleh isi atau
konten dan lingkungan atau konteks ditetapkan, maka akan dapat diketahui
apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat suatu kebijakan sesuai
(43)
commit to user
dengan apa yang diharapkan, juga dapat diketahui pada apakah suatu
kebijakan dipengaruhi oleh suatu lingkungan, sehingga terjadinnya tingkat
perubahan yang terjadi.
Mengacu pada konsep
good governance, maka pada paradigma baru
kebijakan publik ini memandang bahwa tidak ada lagi pemilihan proses
internal kebijakan publik di satu sisi, dengan dinamika masyarakat di sisi lain.
Artinya mulai dari perumusan kebijakan publik sampai dengan evaluasinya
semua elemen yang ada di dalam masyarakat harus dilibatkan tidak saja
secara partisipatif, namun lebih dari pada itu, juga emansipatif. Sehingga
dalam konteks ini hasil-hasil yang telah ditetapkan dalam sebuah produk
kebijakan publik adalah hasil pembahasan dan kesepakatan bersama antara
rakyat dengan negara.
273. Landasan tentang Pendidikan
a. Pengertian Pendidikan
Pendidikan
merupakan
keseluruhan
proses
dimana
seseorang
mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya
yang bernilai positif dalam masyarakat di tempat hidupnya. Berdasarkan hal
tesebut pendidikan adalah komponen yang penting dalam peningkatan
kualitas sumber daya manusia, karena dengan pendidikan manusia
memperoleh suatu bekal berupa pengetahuan dan nilai-nilai untuk bertahan
hidup.
27
Muchsin dan Fadillah Putra, 2002. Hukum dan Kebijakan Publik, Malang : Averroes Press. Hal 29-34
(44)
commit to user
Pentingnya pendidikan bagi kehidupan masyarakat menjadikan
pendidikan sebagai suatu hal yang wajib untuk diselenggarakan dalam suatu
negara. Setiap negara akan menyatakan tujuan pendidikan sesuai dengan
nilai-nilai kehidupan yang sedang diperjuangkan untuk kemajuan bangsa. Hal ini
sesuai dengan pengertian pendidikan yang tercantum dalam UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1“
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara”.
Pendidikan menurut Wiji Suwarno mengandung pembinaan kepribadian,
pengembangan kemampuan, atau potensi yang perlu dikembangkan,
peningkatan pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu, serta tujuan ke arah
mana peserta didik dapat mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin.
28Sedangkan menurut Ngalim Purwanto menyebutkan bahwa pendidikan ialah
segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
29Berdasarkan beberapa pengertian pendidikan tersebut dapat dikatakan
bahwa pendidikan merupakan suatu usaha sadar yang dilakukan seseorang
(pendidik) dalam mentransformasikan pengetahuan serta nilai-nilai kepada
28
Wiji Suwarno. 2006.
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz. Hal 22
29
M. Ngalim Purwanto. 2000.
Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
. Hal 10.(45)
commit to user
anak didik untuk mencapai suatu tujuan hidupnya melaui suatu proses
pembelajaran. Pendidikan juga sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh suatu
bangsa dalam memberikan peningkatan kualitas sumber daya manusia,
sehingga pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang diselenggarakan
secara formal.
b. Komponen Pendidikan
Pendidikan sebagai suatu rangkaian proses transformasi pengetahuan dan
nilai-nilai tentunya tidak terlepas dari beberapa komponen yang sangat
mempengaruhi berhasil atau tidaknya pendidikan. Komponen pendidikan
adalah hal yang berkaitan dengan jalannya proses pendidikan.
Komponen-komponen dalam pendidikan merupakan suatu kesatuan yang utuh, sehingga
tiap komponen tidak dapat berjalan sendiri tanpa komponen lainnya.
Pendidikan dapat dikatakan berhasil apabila tiap komponen dalam pendidikan
dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Beberapa komponen pendidikan menurut Tirtahardja, meliputi subjek
yang dibimbing (peserta didik), orang yang membimbing (pendidik), interaksi
antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif), ke arah mana
bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan), pengaruh yang diberikan dalam
bimbingan (materi pendidikan), cara yang digunakan dalam bimbingan (alat
dan metode), dan tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan
pendidikan).
30
30
Tirtarahardja, Umar, dan S.L. La Sulo. 2005.
Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT
Rineka Cipta. Hal 51
(46)
commit to user
Peserta
didik
merupakan
anggota
masyarakat
yang
berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada
jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik adalah manusia yang
belum dewasa yang memerlukan bimbingan dan pengarahan untuk
mengembangkan potensi mereka agar mencapai derajat kesusilaan. Peserta
didik menurut sifatnya adalah makhluk yang dapat dididik, karena mereka
mempunyai bakat dan disposisi-disposisi yang memungkinkan untuk diberi
pendidikan.
Pendidik merupakan orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang
lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi, dengan kata lain
pendidik adalah orang yang lebih dewasa yang mampu membawa peserta didik
kea rah kedewasaan. Secara akademis, pendidik adalah tenaga kependidikan,
yakni anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
31Seorang pendidik
harus mempunyai keahlian untuk memberikan bimbingan dan mengarahkan
peserta didik untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan benar.
Hubungan timbal balik yang dialami oleh peserta didik dan pendidik adalah
interaksi edukatif.
Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh kegiatan
pendidikan. Menurut Wiji Suwarno tujuan pendidikan dibagi menjadi tujuan
nasional, institusional, kurikuler, dan instruksional. Tujuan nasional adalah
tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu bangsa, tujuan institusional
31
(47)
commit to user
adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu lembaga pendidikan,
tujuan kurikuler adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu mata
pelajaran tertentu, dan tujuan instruksional adalah tujuan pendidikan yang
ingin dicapai oleh pokok atau sub-pokok bahasan tertentu.
32Materi pendidikan merupakan suatu bahasan tertentu yang digunakan
oleh pendidik dalam mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik.
Materi pendidikan harus berisi tentang segala sesuatu yang berguna untuk
peserta didik dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Alat pendidikan adalah
hal yang tidak hanya membuat kondisi-kondisi yang memungkinkan
terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi juga sebagai perbuatan atau situasi
yang membantu pencapaian tujuan pendidikan. Lingkungan pendidikan adalah
lingkungan yang melingkupi terjadinya proses pendidikan. Lingkungan
pendidikan meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
c. Pendidikan sebagai salah satu urusan Pemerintah Daerah
Perubahan paradigma dari centralisasi pada sistem desentralisasi
memberikan akibat yang luar biasa pada sisitem pemerintahan Indonesia. Di
Indonesia, berkembang demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara serta komitmen nasional untuk mewujudkan
Goog Governance.Otonomi daerah yang tidak lain adalah realisasi atau bentuk konkrit dari ide
desentralisasi sebagai konsekwensi logis demokratisasi untuk membangun
Good Governance.33Otonomi Daerah yang dikatan sebagai akibat dari
32
Ibid. Hal 33-34
33
Sony Yuwono,dkk. 2008
Memahami APBD dan Permasalahannya.Ayu Media
(48)
commit to user
desentralisasi, dimana desentralisasi didefinisikan oleh Liang Gie yang didapat
Penulis dari matrikulasi program Kebijakan Publik pasca sarjana Universitas
Sebelas Maret yang diberikan oleh I. Gusti Ketut Rahmi pada tanggal 23 Mei
2010 mengatakan bahwa desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari
Pemerintah Pusat kepada satuan-satuan organisasi pemrintah untuk
menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk
yang mendiami suatu wilayah, satuan organisasi berikut wilayahnya disebut
daerah otonom.
Dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyebutkan
bahwa terdapat 16 (enam belas) urusan wajib yang menjadi kewenangan
Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota,diantaranya adalah;
341)
Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2)
Perencanaan, pengawasan, dan pemanfaatan tata ruang;
3)
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4)
Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5)
Penanganan bidang kesehatan;
6)
Penyelenggaraan bidang pendidikan dan alokasi sumber daya msnusia
potensial,
7)
Penanggulangan masalah social lintas kabupaten/kota;
8)
Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
9)
Fasilitas pembangunan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
10)
Pengendalian lingkungan hidup;
11)
Pelayanan pertanahan;
12)
Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
13)
Pelayanan administrasi secara umum pemerintahan;
14)
Pelayanan administrasi pelayanan modal;
15)
Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten/kota;
16)
Urusan wajib lainnya yang diamanahkan oleh undnag-undang
34
(1)
commit to user
3.
Serta guna memenuhi kewajiban Pemerintah Daerah untuk
menyelenggarakan pendidikan dalamrangka memenuhi hak anak dalam
bidang pendidikan selama Sembilan tahun.
Berdasarkan tujuan tersebut dapat diketahui bahwa sebenanrnya Sekolah Plus
memiliki tujuan untuk memenuhi hak pendidikan anak di Kota Surakarta.
dalam pelaksanaanya Sekolah Plus yang diperuntukan bagi warga Kota
Surakarta yang kurang mampu memberikan angin segar bagi warga Kota
Surakarta. Dengan penyelenggaraan Sekolah Plus, terlihat sebagai suatu
upaya Pemerintah Kota Surakarta untuk memenuhi amanat konstitusi serta
sebagai strategi politik bagi Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota ketika itu
untuk menjabat sebagai Kepala Daerah di Kota Surakarta. Setelah pasangan
politik tersebut berhasil, hal tersebut menjadi sebuah visi atau janji yang harus
diwujudkan melalui program-program yang strategis, salah satunya adalah
Sekolah Plus tersebut. Dengan adanya Sekolah Plus anak-anak yang kurang
mampu menjadi memiliki kesempatan yang sama dengan anak sebaya lainya
untuk mengakses pendidikan secara mudah dan murah.
Berdasarkan pemaparan penulis tersebut dapat dikatakan bahwa
penyelenggaraan Sekolah Plus secara yuridis memang guna memenuhi
amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
bertujuan melakukan pemerataan pendidikan bagi warga Kota Surakarta.
namun dalam implementasinya walaupun telah ada kebijakan yang
dilaksanakan yaitu Sekolah Plus yang dilaksanaka berdasarkan Surat
Keputusan Nomor : 421/86-D/1/2007 tentang Penetapan Sekolah Plus, namun
(2)
commit to user
angka anak putus sekolah di Surakarta tahun 2011 malah bertambah yaitu
2.776 siswa. Hal ini sangat ironis sekali. Walaupun sejatinya pemerataan hak
pendidikan anak sudah diupayakan serta memberikan dampak yang positif
bagi anak-anak yang bersekolah di Sekolah Plus namun dalam pelaksanaanya
masih kurang.
Berdasarkan analisis Penlis dapat dikatakan bahwa pelaksanaan
Sekolah Plus walaupun secara yuridis dapat dikatakan sebagai upaya
memenuhi amanah undang-undang namun sejatinya belum memenuhi hak
pendidikan anak di Kota Surakarta secara menyeluruh. Hal ini nampak
melalui beberapa indikator yaitu;
a.
Adanya angka putus sekolah yang justru semakin meningkat di tahun
2011 yang mencapai angka 2.776 siswa di tahun 2011, dibandingkan
angka putus sekolah di tahun 2007 yang hanya mencapai 1.738;
b.
Dalam pelaksanaanya terlihat masih setengah-setengah karena fasilitas
yang diberikan pada siswa walaupun siswa sudah masuk waktu efektif
kegiatan belajar tahun ajaran baru namun fasilitas yang dijanjikan
seperti seragam sekolah, tas dan sepatu belum diberikan bagi anak yang
masih duduk di Kelas VII, namun akan diberikan setelah siswa duduk
di bangku kelas VIII.
(3)
commit to user
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Bentuk kebijakan dan pelaksanaan penyelenggaraan sekolah tanpa
memungut biaya di Kota Surakarta
Bentuk Kebijakan sekolah tanpa memungut biaya di Kota Surakarta tertuang
dalam Surat Keputusan Wali Kota Surakarta Nomor : 421/86-D/1/2007
tentang Penetapan Sekolah Plus. Berdasarkan SK tersebut program ini
dilaksanakan di 12 sekolah sebagai Sekolah Plus, dengan perincian 9 SD
akan menampung 390 siswa miskin, 2 SMP menampung 480 siswa dan 1
SMK akan menampung 384 siswa. Namun sejatinya SK tersebut kurang
mengakomodir dalam pelaksanaan kebijakan Sekolah Plus mengingat
keberadaan Sekolah Plus tidak terakomodir dalam Peraturan Daerah Kota
Surakarta Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pendidikan dan SK tersebut adalah
satu-satunya payung hukum dari pelaksanaan Sekolah Plus karena hanya
mencantumkan definisi Sekolah Plus, dana dan syarat Siswa didik saja.
2. Penyelenggaraan kebijakan Sekolah Plus sebagai pemerataan hak
pendidikan anak di kota Surakarta.
Penyelenggaraan Sekolah Plus di Kota Surakarta dikatakan sebagai wujud
komitmen dari Pemerintah Kota Surakarta untuk memenuhi Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan mewujudkan
Pendidikan tanpa memungut biaya sebagaimana tertuang dalam
(4)
Undang-commit to user
undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun
sejatinya kebijakan Sekolah Plus ini belum mengakomodir dan menjamin
pemerataan Hak anak di Kota Surakarta. Hal tersebut dapat terlihat dengan
indikator:
1)
Angka putus sekolah di tahun 2011 yang semakin meningkat yaitu
2.776 siswa di tahun 2011, dibandingkan angka putus sekolah di
tahun 2007 yang hanya mencapai 1.738; dan
2)
Dalam pelaksanaanya terlihat masih setengah-setengah karena
fasilitas yang diberikan pada siswa walaupun siswa sudah masuk
waktu efektif kegiatan belajar tahun ajaran baru namun fasilitas yang
dijanjikan seperti seragam sekolah, tas dan sepatu belum diberikan
bagi anak yang masih duduk di Kelas VII, namun akan diberikan
setelah siswa duduk di bangku kelas VIII.
B. Implikasi
Implikasi yang dapat diambil dari kesimpulan yang Penulis ambil adalah;
1.
Mengingat secara historis keberadaan Sekolah Plus adalah program
Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta dua periode dari tahun
2005 dan payung hukum kebijakan Sekolah Plus hanya berdasarkan
Surat Keputusan Wali Kota Surakarta Nomor : 421/86-D/1/2007
tentang Penetapan Sekolah Plus, apabila Wali Kota dan Wakil Wali
Kota Surakarta telah berganti dan tetap tidak tertuang di dalam
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 4 Tahun 2010 tentang
(5)
commit to user
pendidikan maka kebijakan Sekolah Plus dapat hilang begitu saja,
karena memiliki dasar hokum yang kurang kuat.
2.
Apabila pelaksanaan kebijakan Sekolah Plus di Kota Surakarta
khususnya di SMP N 26 masih setengah-setengah dengan indicator
fasilitas yang diberikan tidak sesuai dengan yang sudah dijanjikan
serta angka putus sekolah yang meningkat maka tujuan dari
Kebijakan Sekolah Plus tidak akan tercapai.
C. SARAN
1.
Keberadaan Sekolah Plus di Kota Surakarta sejak penyelenggaraan di tahun
2007 di SMP N 26 Surakarta yang tidak lain sebagai
Pilot Projectdidasarkan pada Peraturan Wali Kota Surakarta dan tidak tertuang secara
ekplisit di dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 4 Tahun 2010
tentang Pendidikan, hal ini menunjukan bahwa Sekolah Plus hingga dewasa
ini hanya sebagai program Wali Kota saja, sehingga terdapat kekhawatiran
bahwasanya apabila periode Wali Kota tengah habis keberadaan program
tersebut juga akan lemah. Sehingga Penulis berharap bahwa payung hukum
dari program Sekolah Plus dapat dipertegas dalam Peraturan Daerah
Surakarta Nomor 4 Tahun 2010.
2.
Mengingat hasil wawancara Peneliti dengan Nara Sumber yang menyatakan
bahwa pelaksanaan Sekolah Plus masih
carut marutkarena pendataan
penduduk miskin yang kurang valid, maka diharapkan adanya pemetaan
yang valid mengenai keberadaan atau jumlah penduduk miskin. Dalam
pelaksanaan kebijakan pendidikan di Kota Surakarta baik BPMKS maupun
(6)