PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA PRANCIS DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA SOCK PUPPET KELAS XII SMA NEGERI 1 MERTOYUDAN MAGELANG TAHUN AJARAN 2014 / 2015.

(1)

TAHUN AJARAN 2014 / 2015

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :

Siti Nurhidayah

NIM 09204244023

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA PRANCIS FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

keadaan yang ada pada diri mereka sendiri

(surah Ar-Ra’d : 11)

Kata-kata yang baik tidak memerlukan biaya besar, tapi bisa

menyelesaikan banyak soal

(Blaise Pascal)

Pengembangan diri adalah permainan, tujuan utama anda adalah

menguatkan diri, bukan menghancurkan lawan


(6)

vi

henti memberikan doa dan dukungannya untukku,

Ayah dan ibu, Sosok yang tak akan pernah tergantikan, selalu memberikan dukungan tanpa memaksa, selalu memaafkan setiap kesalahanku dengan penuh cinta dan kerja keras yang tak terhitung agar aku menjadi wanita yang hebat.

Bapak Dr. Dwiyanto Djoko Pranowo, M.Pd, Terima kasih atas kesabaran dalam memberikan arahan dan bimbingan

dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Kakak-kakakku, Terima kasih selalu mendorong dan memberikan semangat agar aku menjadi sosok yang lebih kuat.

Abdurrakhman Haryo Nugroho, Terima kasih atas waktu, tenaga, dukungan dan perhatian yang selalu diberikan untukku. Kesabaranmu mengajarkanku bahwa setiap kesulitan yang dikerjakan dengan usaha maksimal pasti akan menemukan kemudahan.


(7)

vii

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terimakasih secara tulus kepada:

1. Bapak Dr. Rochmat Wahab, M.Pd, M. A. selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta serta bapak Prof. Dr. Zamzani, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Ibu Dra. Alice Armini, M. Hum. Selaku Kajur Pendidikan Bahasa Prancis Universitas Negeri Yogyakarta yang telah membantu dalam proses akademik. 3. Bapak Dr. Dwiyanto Djoko Pranowo, M.Pd. selaku pembimbing skripsi yang

telah memberikan bimbingan, waktu dan tenaganya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Ibu Dr. Roswita Lumban Tobing, M. Hum. selaku Penasehat Akademik beserta Bapak/Ibu Dosen Pendidikan Bahasa Prancis Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya.

5. Kepala sekolah SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang Drs. H. Syamhadi beserta staf yang telah memberi kesempatan untuk mengadakan penelitian. 6. Ibu Rahmawati Durotul Janah, S.S dan murid-murid kelas XII IPS 5 SMA


(8)

(9)

ix

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR GRAFIK ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTRAK ... xvii

EXTRAIT ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 7

G. Batasan Istilah ... 8

BAB II. KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoritik ... 10

1. Pembelajaran Bahasa Asing di SMA ... 11


(10)

x

4. Media Pembelajaran ... 24

a. Definisi Media Pembelajaran ... 24

b. Fungsi dan Manfaat Media Pembalajaran ... 26

c. Ciri dan Jenis Media Pembalajaran ... 28

5. Media Sock Puppet ... 29

a. Pengertian Media Sock Puppet ... 30

b. Fungsi Media Sock Puppet ... 31

c. Manfaat Media Sock Puppet ... 31

d. Kelebihan dan Kelemahan Media Sock Puppet ... 32

e. Cara membuat Media Sock Puppet ... 35

6. Cara Penggunaan Media Sock Puppet ... 37

7. Media Sock Puppet Dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara ... 38

B. Penelitian Yang Relevan ... 39

C. Kerangka Pikir ... 41

D. Hipotesis Tindakan ... 44

BAB III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 45

1. Penelitian Tindakan Kelas ... 45

2. Rincian Penelitian ... 46

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 50

C. Subjek Penelitian ... 51

D. Instrumen Penelitian ... 52

E. Pengumpulan Data ... 55

F. Validitas dan Reabilitas Data ... 56

1. Validitas ... 56


(11)

xi

G. Teknik Analisis Data ... 58

H. Kriteria Keberhasilan ... 58

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek Penelitian ... 61

B. Siklus I ... 64

1. Hipotesis Tindakan Siklus I ... 64

2. Perencanaan Tindakan ... 64

3. Pelaksanaan Tindakan ... 67

4. Hasil Tes Keterampilan Berbicara pada Siklus I ... 71

5. Observasi Tindakan Siklus I ... 72

6. Refleksi Tindakan Siklus I ... 77

C. Siklus II ... 80

1. Hipotesis Tindakan Siklus II ... 80

2. Perencanaan Tindakan ... 80

3. Pelaksanaan Tindakan ... 81

4. Hasil Tes Keterampilan Berbicara pada Siklus II ... 84

5. Observasi Tindakan Siklus II ... 86

6. Refleksi Tindakan Siklus II ... 89

D. Keterbatasan Penelitian ... 91

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan ... 92

B. Implikasi ... 93

C. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96


(12)

xii

Gambar 1. Fungsi Media Dalam Pembelajaran ... 26

Gambar 2. Contoh Media Sock Puppet ... 30

Gambar 3. Bahan-bahan Pembuatan Media Sock Puppet ... 36

Gambar 4. Bentuk Media Sock Puppet ... 36

Gambar 5. Hasil Media Sock Puppet ... 37

Gambar 6. Peta Konsep Kerangka Berpikir ... 43


(13)

xiii

DAFTAR GRAFIK

Halaman Grafik 1. Peningkatan Jumlah Peserta Didik Pada Siklus I ... 72 Grafik 2. Peningkatan Sikap Peserta Didik , Motivasi Peserta Didik, dan

Suasana Kelas Selama Pembelajaran ... 73 Grafik 3. Peningkatan Jumlah Peserta Didik Pada Siklus II ... 85 Grafik 4. Peningkatan Sikap Peserta Didik , Motivasi Peserta Didik, dan


(14)

xiv

Tabel 1. Kriteria Penyekoran Keterampilan Berbicara Bahasa Prancis ... 20 Tabel 2. Jadwal Penelitian ... 51 Tabel 3. Pedoman Pengamatan ... 54 Tabel 4. Distribusi Nilai Pre-test Keterampilan Berbicara dalam Skala 100

... 66 Tabel 5. Distribusi Nilai Post-test 1 Keterampilan Berbicara dalam Skala

100 ... 70 Tabel 6. Distribusi Nilai Post-test 2 Keterampilan Berbicara dalam Skala


(15)

xv

Lampiran 1. Pedoman Wawancara Pra-Tindakan dengan Guru ... 101

Lampiran 2. Hasil Wawancara Pra-Tindakan dengan Guru ... 103

Lampiran 3. Angket Terbuka Pra-Tindakan Untuk Peserta Didik ... 108

Lampiran 4. Hasil Angket Terbuka Pra-Tindakan Untuk Peserta Didik ... 109

Lampiran 5. Soal Pre-Test ... 112

Lampiran 6. RPP Pertemuan ke-1 ... 114

Lampiran 7. RPP Pertemuan ke-2 ... 122

Lampiran 8. Pedoman Refleksi Tindakan Siklus I ... 129

Lampiran 9. Hasil Wawancara Refleksi Tindakan Siklus 1 ... 130

Lampiran 10. RPP Pertemuan ke-3 ... 136

Lampiran 11. RPP Pertemuan ke-4 ... 144

Lampiran 12. Pedoman Refleksi Tindakan Siklus II ... 153

Lampiran 13. Hasil Wawancara Refleksi Tindakan Siklus II ... 154

Lampiran 14. Tugas Kelompok ... 158

Lampiran 15. Lembar Catatan Lapangan ... 166

Lampiran 16. Lembar Pengamatan ... 168

Lampiran 17. Hasil Catatan Lapangan ... 170

Lampiran 18. Hasil Observasi Pra-Tindakan ... 182

Lampiran 19. Hasil Observasi Siklus I ... 185


(16)

xvi

lampiran 22. Kriteria Penilaian Keterampilan Berbicara Bahasa Prancis . 193

lampiran 23. Hasil Nilai Ketuntasan Peserta Didik per Individu ... 194

lampiran 24. Hasil Skor Peningkatan Keterampilan Berbicara ... 195

lampiran 25. Hasil Nilai Peningkatan Keterampilan Berbicara ... 196

lampiran 26. Daftar Hadir Peserta Didik ... 197

Lampiran 27. Foto Dokumentasi Penelitian ... 198

Lampiran 28. Surat Pernyataan ... 204


(17)

xvii

Oleh: Siti Nurhidayah

09204244023

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan langkah-langkah pembelajaran bahasa Prancis dengan menggunakan media Sock Puppet dalam rangka meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Prancis pada siswa kelas XII IPS 5 SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang.

Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas Kolaboratif dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas XII IPS 5 SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang yang berjumlah 27 orang peserta didik. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus yang dimulai pada 15 September 2014 sampai dengan 26 November 2014. Masing-masing siklus terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Konsep penelitian menggunakan model pre-test dan post-test. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara menggabungkan data kuantitatif dan kualitatif, seperti catatan lapangan, hasil tes dan observasi.

Hasil dalam penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan media Sock Puppet dapat meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Prancis pada peserta didik kelas XII IPS 5 SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran dilakukan dalam beberapa tahap berikut: 1) guru menjelaskan materi pembelajaran, 2) guru memberikan contoh dialog sederhana dengan media Sock Puppet dengan intonasi dan karakter yang berbeda-beda, 3) peserta didik diminta membentuk kelompok yang terdiri dari empat orang, 4) peserta didik diminta membuat dialog sederhana dengan kelompoknya, 5) peserta didik memerankan dialog dengan intonasi dan karakter yang dipilih. 6) peserta didik mendapatkan reward. Peningkatan keterampilan berbicara bahasa Prancis peserta didik ditunjukan oleh beberapa hasil berikut: 1) hasil observasi yang terdiri dari indikator motivasi peserta didik, perilaku peserta didik dan suasana kelas memperlihatkan peningkatan dari siklus I hingga siklus II, 2) hasil produk berupa peningkatan nilai rata-rata dari pre-test sebesar 58,81 ke post-test II sebesar 84,15. Peserta didik yang mencapai nilai KKM sebanyak 2 orang peserta didik (7,4%) pada pre-test I mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 27 orang peserta didik (100%) pada post-test II (siklus II).


(18)

xviii

L’UTILISATION LE MÉDIA SOCK PUPPET POUR AUGMENTER LA COMPÉTENCE D’EXPRESSION ORALE DE LA LANGUE FRANÇAISE DES ÉLÈVES DE LA CLASSE XII SMA NEGERI 1 MERTOYUDAN MAGELANG L’ANNÉE SCOLAIRE 2014 / 2015

Par: Siti Nurhidayah

09204244023

EXTRAIT

Cette recherche a pour but de décrire les étapes d’enseignement en

profitant le média Sock Puppet comme un effort d’améliorer la compétence d’expression orale du français des apprenants de la classe XII IPS 5 SMA Negeri

1 Mertoyudan Magelang.

Cette recherche est une recherche collaborative d’action en classe avec l’approche descriptive quantitative. Le sujet de cette recherche est des apprenants de la classe XII IPS 5 SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang qui se composent de 27 apprenants. Cette recherche a été menée en deux cycles commencés du 15 septembre 2014 au 26 novembre 2014. Chaque cycle se compose de la planification, de la réalisation, de l’observation et de la réflexion. Le concept de la recherche utilise le model du pre-test et du post-test. Les données sont recueillies par la combinaison des données quantitatives et qualitatives, telles que la note du

control continu, le résultat d’évaluation et la note d’observation.

Les résultats de la recherche montrent que la mise en oeuvre de

l’apprentissage du français en utilisant le média Sock Puppet est en mesure

d’améliorer la compétence d’expression orale du français des apprenants de la

classe XII IPS 5 SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang. Le processus

d’apprentissage se fait en des étapes suivantes: 1) l’enseignant explique le

matériel d’apprentissage, 2) l’enseignant donne l’exemple de dialogue simple avec l’intermédiaire du média Sock Puppet où l’enseignant joue avec l’intonation

et incarne des différents charactères, 3) les apprenants créent des groupes de 4 personnes, 4) les apprenants font des dialogues simples, 5) la présentation en groupe du jeux des rôles avec Sock Puppet, 6) les apprenants ont gagné le récompense. L’amélioration sur la compétence d’expression orale du français des

apprenants est représentée par: 1) les données de l’observation qui se comprennent de la motivation des apprenants, l’attitude des apprenant, et l’atmosphère dans la

classe. Ces trois indicateurs ont amélioré du premier cycle au deuxième cycle, 2) le score moyen du pre-test I au post-test II a amélioré de 58,81 à 84,15, 3) Il

n’existe que deux apprenants (7,4%) qui ont obtenu le score conformémant à la valeur de la maîtrise minimal (KKM). Ce nombre a amélioré au post-test II où 27 apprenants (100%) ont réussi de passer KKM.


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam mempelajari bahasa terutama bahasa asing seseorang harus membuat bahasa tersebut menjadi sarana komunikasi, karena fungsi bahasa adalah untuk berkomunikasi. Tujuan mempelajari bahasa asing adalah untuk menambah pengetahuan serta mampu berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajari. Saat ini pembelajaran bahasa asing selain bahasa Inggris semakin mendesak, sebab banyak informasi dan ilmu pengetahuan bersumber dari buku, web, majalah, koran, dan sebagainya yang berbahasa asing.

Salah satu bahasa asing yang dipelajari dalam hal ini adalah bahasa Prancis. Bahasa Prancis merupakan bahasa yang digunakan dalam suatu organisasi dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selain bahasa Inggris, Mandarin, Spanyol, Arab dan Rusia. Hal ini menyebabkan bahasa Prancis dipelajari di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Oleh sebab itu, bahasa Prancis mempunyai penanan penting dalam perkembangan bahasa. Peran bahasa Prancis tidak hanya sebagai alat atau media untuk berkomunikasi antar bangsa tetapi semakin luas, yaitu sebagai bahasa ilmu pengetahuan, teknologi, sosial-ekonomi, budaya, bahkan seni.

Dalam bidang ilmu pengetahuan, di Indonesia bahasa Prancis diajarkan di kalangan SMA, SMK dan MA. Salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) yang mengajarkan bahasa Prancis mulai dari kelas X, XI dan XII adalah SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang. Bahasa Prancis di SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang


(20)

masuk dalam muatan lokal dengan pertemuan 2x45 menit per minggu dan memiliki 1 (satu) ruang kelas bahasa Prancis. SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang terletak di Jalan Pramuka no 46 Panca Arga I, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Kurikulum pembelajaran di SMA N 1 Mertoyudan Magelang menerapkan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP).

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dilaksanakan mulai 2006/2007, merupakan penyempurnaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau kurikulum 2004, yaitu seperangkat rencana pendidikan yang berorientasikan pada kompetensi dan hasil belajar siswa. Hal ini berarti guru harus mempunyai wawasan yang cukup tentang strategi untuk pembelajaran yang diampunya (Muslich, 2009:10).

Sesuai kurikulum yang ada, keterampilan bahasa dibagi menjadi 4 (empat) keterampilan berbahasa meliputi mendengarkan (compréhension orale), berbicara (expression orale), membaca (compréhension écrite) dan menulis (expression écrite). Setiap keterampilan mempunyai hubungan yang erat dengan proses-proses berpikir yang mendasari bahasa. Keterampilan tersebut dapat dikuasai dengan jalan praktik dan banyak latihan. Salah satu keterampilan yang akan diteliti dalam pembelajaran ini yaitu keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara merupakan salah satu kegiatan berbahasa yang penting dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan menguasai keterampilan berbicara, peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran, ide dan perasaan. Keterampilan berbicara dalam hal ini adalah keterampilan berbicara bahasa Prancis. Peserta didik diharapkan


(21)

mampu berbicara dengan guru, teman atau orang lain yang dapat berbahasa Prancis dengan lancar.

Berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober 2014

di SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang, pelajaran bahasa Prancis masih belum dapat memberikan hasil maksimal dari pembelajarannya. Dilihat dari aktivitas dan proses belajar di kelas masih ditemukan beberapa permasalahan yang perlu diatasi

khususnya kelas XII IPS 5. Permasalahan yang ditemui di SMA N 1 Mertoyudan berhubungan dengan masalah keterampilan berbicara dalam pembelajaran bahasa Prancis, antara lain ketika peneliti melaksanakan Praktik Penelitian Lapangan (PPL) pada tahun 2012 di kelas X dan XI selama sepuluh kali pertemuan, selanjutnya peneliti melakukan observasi kembali untuk melihat kemajuan peserta didik dalam berbicara bahasa Prancis pada tahun 2014 di kelas XII, hasil observasi menunjukkan bahwa kemampuan berbicara bahasa Prancis peserta didik tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, salah satu contohnya yaitu masih banyak pengucapan yang salah walaupun sudah dibahas di kelas X atau XI. Contoh lainnya adalah ketika guru berupaya berkomunikasi dalam bahasa Prancis, peserta didik belum banyak merespon secara alami karena merasa bahasa Prancis sulit untuk dipelajari, malu, takut salah, kurang percaya diri, kurangnya waktu untuk melatih kemampuan berbicara, juga karena minimnya kosakata dan pengetahuan peserta didik tentang penggunaan bahasa Prancis pada saat yang tepat. Permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan peserta didik merasa kurang tertarik, tidak berminat dan kurang termotivasi untuk mengikuti


(22)

pembelajaran yang selanjutnya merupakan kendala bagi peserta didik untuk mampu berkomunikasi dalam bahasa Prancis.

Sejalan dengan hasil angket per individu yang telah diambil oleh peneliti menunjukkan bahwa peserta didik yang menyukai bahasa Prancis sebanyak 10 orang peserta didik dari 27 orang peserta didik, 17 orang peserta didik lainnya menyatakan tidak terlalu menyukai bahasa Prancis bahkan tidak menyukai bahasa Prancis. Sebagian besar peserta didik mengungkapkan bahwa bahasa Prancis adalah pembelajaran yang membosankan, kosakata bahasa Prancis yang sulit untuk diingat, cara pengucapan bahasa Prancis yang sulit dan berbeda dengan tulisan dan guru yang mengajarkan bahasa Prancis terlalu cepat dalam menjelaskan. Hal tersebut menunjukkan bahwa belum optimalnya guru pengampu bahasa Prancis dalam mengelola proses pembelajaran, juga disebabkan peserta didik yang belum mengikuti proses pembelajaran di kelas secara optimal. Sangat diperlukan media yang menarik dan dapat memotivasi peserta didik dalam berkomunikasi secara aktif untuk mendukung teknik-teknik pembelajaran yang diterapkan oleh guru.

Berdasarkan masalah-masalah yang telah disebutkan, maka media pembelajaran merupakan solusi yang dipandang sebagai pendukung alternatif yang membantu guru dalam meningkatkan proses pembelajaran keterampilan berbicara, dan diharapkan dapat mengiringi peserta didik untuk mampu berkomunikasi dengan bahasa Prancis dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.


(23)

Media diharapkan dapat menarik perhatian peserta didik dan menciptakan suasana lebih segar, serta mengurangi kejenuhan dalam kelas. Media yang dipandang dapat membantu meningkatkan keterampilan berbicara adalah media

Sock Puppet. Kelebihan penerapan media Sock Puppet selama proses pembelajaran bahasa telah diamati oleh peneliti lain sebelumnya. Berdasarkan wawancara tanggal 15 September 2014 antara peneliti dan guru bahasa Prancis ibu Rahmawati Durotul Janah, S.S. media boneka kaus kaki (Sock Puppet) belum pernah diterapkan untuk meningkatkan keterampilan berbicara peserta didik.

Media Sock Puppet merupakan media yang ditampilkan secara prolog atau

dialog antar peserta didik. Media ini memberikan pendidikan dan hiburan yang

menarik bagi peserta didik sehingga menjadi lebih komunikatif. Seperti pendapat dari

Daryanto (2013:33) media boneka merupakan salah satu model perbandingan berupa

benda tiruan dari bentuk manusia dan atau binatang. Media tiruan sering disebut

sebagai model. Belajar melalui model dilakukan untuk pokok bahasan tertentu yang

tidak mungkin dilakukan melalui pengalaman langsung atau melalui benda

sebenarnya. Media Sock Puppet dapat membantu peserta didik yang mempunyai rasa

takut atau malu berbicara didepan umum, karena media ini mempunyai fungsi sebagai

peran pengganti peserta didik untuk melakukan pembelajaran khususnya dalam

keterampilan berbicara. Peserta didik tetap dapat mengungkapkan pikiran, ide atau

gagasan mereka secara lisan, dibantu dengan peran pengganti boneka kaus kaki (Sock

Puppet) yang ditampilkan dengan bermain secara berkelompok atau individu.

Dilihat dari kebutuhan peserta didik dan kelebihan media Sock Puppet di atas,

penerapan media Sock Puppet dapat menjadi alternatif sekaligus inovasi bagi guru


(24)

untuk mengatasi permasalahan yang ada di SMA N 1 Mertoyudan Magelang yang

berkaitan dengan keterampilan berbicara, maka peneliti menggunakan media Sock

Puppet sebagai media pembelajaran. Peneliti dan guru kolaborator mengadakan

penelitian pada peserta didik kelas XII IPS 5 SMA N 1 Mertoyudan Magelang yang

berbentuk penelitian tindakan kelas (PTK) dengan judul “Peningkatan Keterampilan

Berbicara Bahasa Prancis dengan Menggunakan Media Sock Puppet Kelas XII IPS

SMA N 1 Mertoyudan Magelang”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut :

1. Kurangnya minat dan motivasi peserta didik belajar bahasa Prancis, karena rasa takut salah, malu dan tidak percaya diri.

2. Rendahnya keterampilan berbicara peserta didik kelas XII IPS 5 SMA N 1 Mertoyudan Magelang.

3. Peran guru dalam proses pembelajaran bahasa Prancis cenderung lebih dominan sedangkan peserta didik lebih banyak pasif.

4. Dua tahun lebih mempelajari bahasa Prancis, akan tetapi tidak ada perubahan yang signifikan dalam keterampilan berbicara bahasa Prancis.

5. Guru belum memilih berbagai media pembelajaran yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, muncul permasalahan yang harus diselesaikan. Agar penelitian ini terfokus dan mendalam kajiannya, perlu ada


(25)

batasan masalah penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini dibatasi pada permasalahan bagaimana meningkatkan keterampilan berbicara peserta didik kelas XII IPS 5 SMA N 1 Mertoyudan Magelang dengan menggunakan media

Sock Puppet. Pembatasan masalah tersebut dipilih terkait dengan adanya masalah, yaitu masih rendahnya keterampilan berbicara peserta didik kelas XII IPS 5 SMA N 1 Mertoyudan Magelang.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan peneliti adalah “Bagaimanakah penerapan media Sock Puppet dalam meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Prancis pada peserta didi kelas XII IPS 5 SMA N 1 Mertoyudan?”.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan media Sock Puppet dapat meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Prancis peserta didik kelas kelas XII IPS 5 SMA N 1 Mertoyudan.

F. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai media Sock Puppet dan penggunaannya dalam meningkatkan keterampilan berbicara dalam pembelajaran bahasa Prancis.


(26)

2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :

a. Guru

1) Membantu guru mengatasi permasalahan pembelajaran yang diampu sehingga lebih mampu membantu peserta didik mencapai keberhasilan belajar.

2) Meningkatkan kemampuan meneliti guru, khususnya penelitian yang berorientasi pada peningkatan kualitas pembelajaran.

3) Meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas-tugas pembelajaran yang diampu.

b. Sekolah

Diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan pada umumnya dan khususnya dalam pembelajaran bahasa Prancis.

c. Calon Pendidik

Memberikan masukan agar termotivasi untuk menggunakan media yang lebih bervariasi khususnya bagi pembelajar bahasa Prancis.

G. Batasan Istilah

1. Peningkatan, suatu cara atau proses yang dilakukan secara sengaja untuk meningkatkan kemampuan tertentu, dalam hal ini adalah keterampilan berbicara.

2. Keterampilan Berbicara, adalah kemampuan menggunakan bahasa Prancis lisan sesuai konteks dalam interaksi sosial untuk menyampaikan gagasan atau pesan sederhana dalam kebutuhan sehari-hari.


(27)

3. Media Pembelajaran, merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima, dan dapat memotivasi pikiran, perasaan, perhatian dan minat peserta didik sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar dapat terjadi.

4. Media Sock Puppet, merupakanalat pembelajaran berupa boneka terbuat dari kaus kaki. Boneka tersebut dimainkan oleh seorang dalang, yang memakai kaus kaki di tangan dan lengannya, dengan mulut boneka yang dibentuk dari daerah antara tumit kaus kaki dan jari kaki, selanjutnya mulut boneka diberi lidah yang menempel di dalamnya. Ibu jari dalang bertindak sebagai rahang.

Sock Puppet mempunyai fungsi untuk memberikan pengalaman yang konkret karena terlibat langsung dalam pembelajaran menggunakan media Sock Puppet dan membangkitkan motivasi serta semangat peserta didik untuk mengkuti pembelajaran bahasa Prancis karena merasa tertarik dengan media


(28)

10 BAB II KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teoritik

1. Pembelajaran Bahasa Asing di SMA

Pembelajaran di SMA merupakan salah satu cara usaha sadar yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam rangka meningkatkan keterampilan atau kecakapan, kompetensi peserta didik serta dapat menambah wawasan yang bermanfaat. Hamalik (2011:36) menyatakan, “Belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami”. Sedangkan menurut Aunurrahman (2009: 34) proses belajar dapat dikatakan telah dialami oleh seseorang apabila dalam dirinya telah terjadi perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Istilah belajar dan pembelajaran merupakan suatu istilah yang memiliki keterkaitan sangat erat dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Tagliante (1994:35) menguraikan, "L’apprentissage est un processus actif, dont on ne connaît pas encore parfaitement le mécanisme, qui se déroule à l’intérieur de l’individu et qui est susceptible d’être avant tout influencé par cet indvidu". Pernyataan tersebut mempunyai pengertian bahwa pembelajaran adalah suatu proses yang aktif, yang berlangsung dalam diri individu dan cenderung akan dipengaruhi oleh diri indvidu itu sendiri.

Brown (2008 :8) menjelaskan, pembelajaran adalah pemerolehan suatu pengetahuan atau keterampilan tentang suatu subjek yang didapatkan dengan


(29)

melalui proses belajar atau suatu pengalaman. Di sisi lain, Schunk (2012:3) menyatakan, "Learning is an enduring change in behavior, or in capacity to behave in a given fashion, which result from practice or other forms of experience". Yang berarti bahwa pembelajaran merupakan sebuah perubahan perilaku yang merupakan hasil dari latihan atau pengalaman. Senada dengan pendapat di atas, Hoy dan Miskel (2008:43) menguraikan, "Learning happens when experience produces a stable change in someone’s knowledge or behavior".

Yang berarti bahwa pembelajaran terjadi ketika pengalaman menghasilkan suatu perubahan yang stabil di dalam pengetahuan atau perilaku seseorang.

Dalam suatu pembelajaran, alat komunikasi yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya adalah bahasa. Bahasa merupakan alat untuk berinteraksi atau alat komunikasi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa, manusia mampu mengungkapkan perasaan, ide, menyampaikan keinginan, memberikan saran atau pendapat. Brown (2008:6) dalam bukunya menyatakan bahwa bahasa memiliki pengertian yaitu suatu keterampilan khusus yang kompleks, yang terjadi dalam diri anak tanpa sadar, secara kualitatif setiap individu sama dan secara umum kecapakan setiap individu berbeda dalam mengolah atau memproses informasi yang diterima.

Terkait dengan beberapa uraian di atas, secara implisit Iskandarwassid dan Sunendar (2013:226) menyatakan peranan bahasa sebagai berikut.

“Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena bahasa merupakan alat komunkasi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa, seseorang dapat menyampaikan ide, pikiran, perasaan, atau informasi kepada orang lain, baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa bahasa adalah alat komunikasi antara


(30)

anggota masyarakat berupa symbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia”.

Pembelajaran berbagai macam bahasa asing salah satunya adalah pembelajaran bahasa Prancis kini semakin umum di pelajari di SMA, SMK, dan MA. Hal ini dimaksudkan agar semua peserta didik yang mempelajari bahasa Prancis dan mampu bersaing di dunia global yang multi bahasa. Yule (2006:162) mendefinisikan pendapatnya tentang bahasa asing , “…a foreign language setting (learning a language that is not generally spoke in the surrounding community)…”. Pernyataan tersebut memiliki pengertian bahwa sebuah bahasa asing diatur dimana pembelajaran sebuah bahasa yang tidak umum diucapkan di lingkungan sekitar.

Lebih jelas diungkapkan oleh Saville-Troive dalam Baihaqie melalui khayatun (2013:8) menjelaskan bahasa asing sebagai berikut ini.

“A foreign language is one not widely used in the learner’s which might be used for future travel or other cross cultural communications situation, or studied as curricular requirement or elective in school, but with not immediate or necessary practical application.”

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa bahasa asing tidak banyak digunakan di antara para pelajar padahal nantinya akan berguna saat bepergian atau saat komunikasi dengan orang lain yang berasal dari budaya atau negara yang berbeda dengan kita, atau hanya dipelajari sebatas persyaratan kurikulum, tanpa aplikasi atau praktek yang semestinya.

Sejalan dengan pendapat Ricard & Schmidt melalui Agung (2013:10) mengemukakan pendapat tentang bahasa asing sebagai berikut ini.

“Foreign language is a language which is not the native language of large numbers of people in particular country or region, is not used as medium


(31)

of communication in government, media, etc. Foreign languages are typically taught as school subjects for the purpose of communicating with foreigners or for reading printed materials in the language”

Maksud pendapat di atas, bahasa asing adalah bahasa yang bukan berasal dari bahasa asli kebanyakan orang di negara atau wilayah tertentu, tidak digunakan sebagai media pengajaran di sekolah, dan tidak banyak digunakan sebagai media komunikasi di pemerintahan, media dan lain-lain. Bahasa asing biasanya diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah untuk tujuan berkomunikasi dengan orang asing atau untuk bahan bacaan yang dicetak dalam lingkup kebahasaan.

Menurut Reyes dan Kleyn (2010:9) mengungkapkan pendapatnya tentang kedudukan bahasa asing sebagai berkut.

“Foreign language programs are generally required at the high school level, and they are offered less frequently at the middle school level and on occasion at the elementary school level. Sometimes the study of a foreign language is begun at the middle school level, but this is usually by school or school district choice, not by mandate. Depending on the school district, students must either take the one foreign language offered at the school or select from a variety of offered languages”.

Pernyataan di atas memiliki pengertian bahwa program bahasa asing umumnya diperlukan di tingkat sekolah tinggi, dan mereka jarang ditawarkan ditingkat sekolah menengah dan sekolah dasar. Terkadang, pembelajaran bahasa asing dimulai di tingkat sekolah menengah, namun biasanya didasarkan atas kebijakan masing-masing sekolah, bukan dari kebijakan pusat. Karena kebijakan dari sekolah, para peserta didik harus mengambil bahasa asing yang ditawarkan di sekolah tersebut atau memilih berbagai bahasa yang ditawarkan.


(32)

Menurut Tagliante (1994:6)

“Le français langue étrangère tout simplement le français langue d’apprentissage pour tous ceux qui ont une autre langue que le français comme langue maternelle".

Pernyataan di atas mempunyai pengertian bahwa bahasa Prancis adalah salah satu bahasa asing yang dipelajari untuk semua orang yang memiliki bahasa selain bahasa Prancis sebagai bahasa pertama (bahasa ibu).

Dari beberapa pendapat yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bahasa asing merupakan proses penguasaan kompetensi tentang kebahasaan sesuai dengan kaidah kebahasaan hanya digunakan dalam lingkup tertentu dan sebagai mata pelajaran di sekolah khususnya SMA yang diperoleh dengan cara belajar, pengalaman atau instruksi, baik dilakukan di sekolah maupun di lembaga-lembaga pengajaran.

Pembelajaran bahasa asing memang nyata dan sangat dibutuhkan pada era perkembangan sekarang ini, bukan hanya untuk alat berkomunikasi antar budaya namun penting juga untuk memenuhi kebutuhan pembelajar dalam proses belajar mengajar sehingga peserta didik secara dini dapat mengikuti perkembangan yang terjadi. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Tarigan (2009 :55), menyatakan bahwa "pembelajaran bahasa asing merupakan pendekatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bahasa bagi pembelajar."

Para pengajaran bahasa saat ini selalu berupaya untuk merencanakan dan menciptakan strategi dan media-media yang serasi untuk pembelajaran bahasa yang dilaksanakan agar memperoleh hasil yang memuaskan. Sehingga pengajar mampu mewujudkan tujuan pembelajaran bahasa asing yaitu mengembangkan


(33)

kompetensi para pembelajar serta mempunyai kecapakan serta kemahiran dalam berbahasa. Tarigan (2009:59), mengemukakan bahwa tujuan utama dalam pengajaran bahasa asing adalah untuk mengembangkan kompetensi peserta didik dalam penggunaan bahasa kedua (bahasa asing). Lebih lanjut Tarigan (2009:110) mengatakan bahwa seseorang yang telah terampil atau mahir dalam hal menyimak, berbicara, membaca dan menulis bahasa asing dapat dikatakan seseorang tersebut terampil berbahasa atau mahir berbahasa.

Berlitz (via Brown, 2008 :54) menyatakan bahwa dalam pembelajaran bahasa asing yang dilakukan oleh pembelajar haruslah menyerupai bahasa pertama yaitu bahasa ibu dengan cara memperbanyak berinteraksi secara lisan, menggunakan bahasa secara langsung atau spontan tanpa adanya penerjemahan antara bahasa pertama (bahasa ibu) dan bahasa kedua (bahasa asing), serta pembelajar tidak memikirkan setiap gramatikal yang diungkapkan. Lebih lanjut Brown (2008 :212) mengatakan bahwa pembelajaran bahasa asing mempunyai hubungan derajat tertentu pada pembelajaran budaya bahasa tersebut. Namun pembelajaran tentang norma dan pola budaya dari orang-orang yang berbicara bahasa asing tidak diajarkan kepada peserta didik yang mempelajari bahasa tersebut. Robinson-Stuart dan Nocon dalam Brown (2008 :213), "menyarankan agar para pembelajar bahasa menjalani pembelajaran budaya sebagai sebuah proses, yaitu sebagai sebuah cara mengindra, menafsirkan, merasa, hidup di dunia

… dan berjumpa."

Tarigan (2009 :125) mengatakan bahwa pengajar dan pembelajar mempunyai keinginan agar proses berjalan dengan lancar dan baik dalam


(34)

pemerolehan bahasa pertama dan kedua. Oleh karena itu, pengajar harus berupaya dalam menggunakan strategi serta media-media pengajaran bahasa yang serasi dan seimbang agar memperoleh hasil yang memuaskan.

Berdasarkan beberapa teori yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bahasa asing terutama bahasa Prancis merupakan suatu proses dimana peserta didik mempelajari sebuah bahasa yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi bahasa asing, sehingga peserta didik mampu menerapkan, mengembangkan dan memperoleh keterampilan berbahasa serta mampu menggunakan bahasa asing terutama bahasa Prancis sesuai dengan fungsi dan tujuannya, yaitu sebagai sarana berkomunikasi.

2. Keterampilan Berbicara

a. Definisi Keterampilan Berbicara

Veltcheff dan Hilton (2003:125) menyatakan, “Parler veut aussi dire s’exprimer oralement en continu, dans les situations d’exposés ou de développement d’une argumentation personelle”. Yang berarti bahwa berbicara juga bisa berarti mengekspresikan diri secara terus menerus dalam situasi memaparkan atau mengembangkan sebuah argumen pribadi. Sejalan dengan pendapat Tarigan (2008 :16) mendefinisikan bahwa, "berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan."

Iskandarwassid dan Sunendar (2013 :241) juga mengartikan bahwa keterampilan berbicara sebagai berikut.


(35)

"Keterampilan berbicara pada hakekatnya merupakan keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan dan keinginan pada orang lain. Dalam hal ini, kelengkapan alat ucap seseorang merupakan persyaratan alamiah yang memungkinkannya untuk memproduksi suatu ragam yang luas bunyi artikulasi, tekanan, nada, kesenyapan dan lagu bicara. Keterampilan secara wajar, jujur, benar, dan bertanggungjawab dengan menghilangkan masalah psikologis seperti masa lalu, rendah diri, ketegangan, berat lidah dan lain-lain".

Tarigan (2008 :8) menyatakan bahwa, "Keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan suatu tindakan tepat untuk menyampaikan kehendak, mengemukakan dan menerima pikiran, mengutarakan atau mengekspreskan perasaan serta menyetujui suatu pendirian atau keyakinan."

Berdasarkan beberapa pendapat di atas tentang pengertian keterampilan berbicara, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan setiap individu untuk menyampaikan gagasan, ide, perasaan, pesan secara lisan. Keterampilan berbicara sebagai salah satu keterampilan berbahasa di sekolah selain keterampilan menyimak, membaca dan menulis, khususnya dalam bahasa asing yaitu bahasa Prancis harus terus dilatih, karena keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang mekanis. Semakin sering berlatih, maka peserta didik tersebut akan semakin menguasai keterampilan berbicara.

b. Tujuan Keterampilan Berbicara

Tarigan (2008 :16) memaparkan bahwa tujuan berbicara sebagai berikut. “Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka seyogianyalah sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan, dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasi terhadap pendengarnya dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasar segala sesuatu situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perseorangan”.


(36)

Sementara itu, Ochs & Winker dalam Tarigan (2008:16-17) menguraikan bahwa berbicara mempunyai tiga maksud umum adalah “(1) memberitahukan dan melaporkan (to inform); (2) menjamu dan menghibur (to entertain); (3) membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan (to persuade)”.

Disisi lain, Iskandarwassid dan Sunendar (2013:286) menguraikan tujuan keterampilan berbicara adalah:

1) melafalkan bunyi-bunyi bahasa 2) menyampaikan informasi

3) menyatakan setuju dan tidak setuju 4) menjelaskan identitas diri

5) menceritakan hasil simakan atau bacaan 6) menyatakan ungkapan rasa hormat 7) bermain peran

Berdasarkan uraian di atas mengenai tujuan berbicara, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan berbicara yaitu untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. Pembicara harus mengungkapkan dengan bunyi yang jelas, sehingga terjadi interaksi antara pembicara dan pendengar. Agar pembicara dapat menyampaikan informasi-informasi secara efektif, pembicara harus menguasai dan mengetahui efek atau dampak dari komunikasi yang akan disampaikan kepada pendengar, bukan hanya bagaimana cara berbicara akan tetapi juga memahami bagaimana cara mengungkapkan.


(37)

3. Penilaian Keterampilan Berbicara

Nurgiyantoro (2013:3) mengemukakan pendapat tentang penilaian sebagai berikut.

“Penilaian merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin dipisahkan dari

kegiatan pendidikan dan pengajaran secara umum. Semua kegiatan pendidikan yang dilakukan harus selalu diikuti atau disertai dengan kegiatan penilaian. Kegiatan penilaian yang dilakukan tidak semata-mata untuk menilai hasil belajar siswa saja, melainkan juga berbagai faktor yang lain, antara lain kegiatan pengajaran yang dilakukan itu sendiri”.

Penilaian pada hakikatnya merupakan suatu proses, yang menurut Cronbach (dalam Nurgiyantoro, 2013:10) adalah proses pengumpulan dan penggunaan informasi yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan tentang program pendidikan, penilaian juga digunakan untuk mengukur seberapa besar keberhasilan proses pembelajaran dan mengukur kemampuan peserta didik.

Penilaian terhadap keterampilan berbicara bahasa asing, terutama bahasa Prancis dilakukan melalui ujian Diplôme d’études en langue française (DELF)

dan ujian Diplôme approfondi de langue française (DALF). Ujian DELF terdiri atas empat tingkatan, yakni DELF A1, A2, B1 dan B2. Kemudian, ujian DALF

terdiri atas dua tingkatan, yakni DALF C1 dan C2 (Veltcheff, 2003: 45). Veltcheff

dan hilton (2003:44) menjelaskan bahwa “Diplôme d’études en langue française (DELF) et Diplôme approfondi de langue français (DALF) sont les seuls diplôme délivrés par le ministère de l’Éducation nationale ; le DALF dispense de passer les tests linguistiques pour entrer à l’université en France”. Artinya, DELF dan

DALF adalah ijazah resmi yang diberikan oleh menteri pendidikan nasional, kemudian dengan menggunakan ijazah DALF dapat terbebas dari tes linguistik untuk memasuki perguruan tinggi di Prancis.


(38)

Pada tingkatan Sekolah Menengah Atas, penilaian keterampilan berbicara bahasa Prancis mengacu pada ujian jenis DELF A1 dan A2 (Veltcheff, 2003: 133).

Menurut Djiwandono (2011:120) sesuai dengan hakikat dan sifatnya kegiatan berbicara sebagai penggunaan kemampuan bahasa yang aktif dan produktif, tes kemampuan berbicara ini paling tepat dilaksanakan bukan sebagai tes objektif melainkan tes subjektif. Sesuai dengan pedoman penilaian tes berbicara yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu penilaian berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Tagliante (1994 :113) yang sejalan dengan teori Vallet dalam Nurgiyantoro (2013 :414-417) yang telah disesuaikan dengan standar penilaian keterampilan berbicara bahasa asing.

Tabel 1 : Kriteria Penyekoran Keterampilan Berbicara Bahasa Prancis

No Indikator Kriteria Penyekoran Skor

1. Prononciation

(Pengucapan)

Difficultés de prononciation si grave que le discours est praqtiquement inintelligble.

(Pengucapan sangat buruk, tidak dapat dipahami sama sekali)

Très difficile à cause de sa prononciation. On doit souvent lui demander de répéter.

(Pengucapan sangat sulit dipahami, menghendaki untuk selalu diulang)

Difficultés de prononciation qui exigent une attention soutenue et conduisent quelque fois au malentendu.

(Kesulitan dalam pengucapan

menyebabkan orang lain

mendengarkan dengan seksama

dan kadang-kadang

menyebabkan kesalahpahaman)

1

2


(39)

Toujours intelligible, malgré un accent spécifique.

(Pengucapan dapat dipahami namun seringkali masih ada ucapan asing / bahasa daerah)  Peu de trace d’accent

étranger.

(Pengucapan sudah seperti penutur asli)

4

5

2. Grammaire

(Tata Bahasa)

Erreurs de grammaire et d’ordre des mots si graves que le discours en est rendu pratiquement inintelligible.

(Kesalahan tata bahasa dan urutan kata yang sangat buruk sehingga tidak dapat dipahami)  Grammaire et ordre des mots rendent la compréhension dfficile. Doit souvent se reprendre ou se restreindre à des modèles de base.

(tata bahasa dan urutan kata sulit untuk dipahami sehingga mengganggu komunkasi)  Fait de fréquentes erreurs de

grammaire et d’ordre des mots, dont certaines peuvent obscurcir le sens.

(Terjadi lebih dari dua kesalahan pada tata bahasa dan urutan kata, sehingga dapat menghilangkan maksa/arti)  Fait quelques fautes de

grammaire et/ou d’ordre des mots, mais qui n’obscurcissent pas le sens.

(Hanya terdapat satu kesalahan pada tata bahasa atau urutan

kata namun tidak

menghilangkan makna/ arti)  Peu ou pas d’erreus notables

de grammaire ou d’ordre des mots.

(Tidak ada kesalahan sama sekali pada tata bahasa dan urutan kata) 1 2 3 4 5


(40)

3. Vocabulaire

(Kosakata)

Les limitatons du vocabulaire sont si grandes qu’elles rendent la conversation pratiquement impossible.

(Penggunaan kata masih sangat

buruk sehingga dapat

mengganggu percakapan)  Le mauvais usage des mots et

le vocabulaire très limité rendent la compréhension très difficile.

(Penggunaan kata yang buruk dan kosakata yang terbatas sehingga sulit untuk dipahami)  Utilise souvent des termes

erronés. Conversation un peu limitée à cause de l’inadéquation du vocabulaire.

(Penggunaan kosakata sering

tidak tepat, sehingga

percakapan agak terbatas dan

terjadi ketidakcocokan

pemilihan kosakata)

Utilse quelque fois des termes impropres et/ou doit se reprendre à cause de l’inadéquation lexicales.

(Penggunaan kosakata sudah tepat, namun masih ada ketidakcocokan kebahasaan)  Utilise vocabulaire et

expressions à peu près comme un natif.

(Penggunaan kosakata dan ekspresi seperti penutur asli)

1

2

3

4

5

4. Aisance (Fluency)

(Kelancaran)

Le discours est s haché et fragmentaire qu’il rend la conversation pratiquement impossible.

(Pembicaraan selalu terhenti dan terputus-putus sehingga percakapan menjadi macet)  Habituellement hésitant.

Souvent forcé au silence par ses lacunes linguistiques.

(Pembicaraan masih sering

1


(41)

ragu, sering diam, dan kalimat tidak lengkap)

La vitesse et l’aisance sont assez fortement affectées par les problèmes linguistiques.

(Pembicaraan kadang-kadang masih ragu karena masalah kebahasaan)

La vitesse est légèrement affectée par les problèmes linguistiques.

(Pembicaraan lancar, namun kadang-kadang masih kurang ajek)

Parle aussi couramment qu’un

natif.

(Pembicaraan sudah seperti penutur asli)

3

4

5

5. Compréhension

(Pemahaman)

Ne peut même pas comprendre la simple langue conventionnelle.

(Tidak dapat memahami sama sekali percakapan sederhana yang diajukan)

A de grandes difficultés à suivre ce qu’on lui dit. Ne peut

comprendre qu’une

conversation générale, et à condition qu’on lui parle lentement et qu’on multiplie les répétitions.

(Terdapat banyak kesulitan dalam melakukan percakapan, tdak memahami percakapan secara umum)

Comprend la plus grande partie de ce qu’on lui dit à vitesse plus lente que la normale et avec des répétitions.

(Memahami percakapan

normal dengan baik, namun masih perlu pengulangan)  Comprend presque tout à

vitesse normale, bien qu’il soit quelque fois nécessaire de

1

2

3


(42)

répéter.

(Memahami percakapan

hampir mendekati normal, namun kadang-kadang masih perlu pengulangan)

Semble comprendre sans aucune difficulté.

(Memahami percakapan tanpa kesulitan sama sekali)

5

4. Media Pembelajaran

a. Definisi Media Pembelajaran

Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti

„tengah‟, „perantara‟ atau „penghangat‟. Gerlach & Ely (via Arsyad, 2011: 3)

mengatakan apabila dipahami secara garis besar, maka media adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun sutau kondisi atau membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media. Arsyad (2011:7-9) menyimpulkan bahwa media pembelajaran adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar dan berfungsi untuk memperjelas makna pesan yang disampaikan, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran. Media pembelajaran adalah sarana untuk meningkatkan kegiatan proses belajar mengajar.

Sejalan dengan pendapat Gagne (dalam Sadiman, dkk. 2011:6) berpendapat bahwa “media merupakan berbagai jenis komponen dalam lingkungan peserta didik yang dapat merangsang untuk belajar”. Romiszowski (dalam Harjanto 2011:247) merumuskan media pengajaran “…. as the carries of messages; from some transmitting source (which may be a human being or an imtimate object), to receiver of the message (which is our case is the learner)”.


(43)

Pendapat ini menjelaskan bahwa media sebagai pembawa pesan, dari beberapa sumber transmisi (yang mungkin menjadi manusia atau benda), ke penerima pesan yang merupakan pembelajar).

Menurut Cuq (2003:162), berpendapat bahwa pengertian media sebagai berikut.

"… le média d’enseignement est tous les support (comme la presse, la

radio, la télévision, le film, et maintenant Internet ou dit aussi e-médias), authentiques ou conçus à des fins didactiques, et servant à l’enseignement (de la langue) ou à l’auto-apprentissage. Et il suppose qu’un ensemble de documents ou d’activités est organisé en fonction d’un objectif d’enseignement ou d’apprentissage".

Pernyataan di atas mempunyai pengertian bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang mendukungnya (seperti surat kabar, radio, televisi, film, dan sekarang terdapat internet atau juga disebut media elektronik), semua dirancang untuk tujuan pendidikan, dan digunakan untuk pembelajaran (bahasa) atau belajar secara mandiri. Dan itu mendukung sebuah kesatuan dari dokumen atau aktifitas yang terorganisir dalam fungsi dari sebuah tujuan pengajaran dan pembelajaran.

Dalam proses belajar mengajar, dua unsur yang penting adalah strategi dan media pembelajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan. Sesuai dengan batasan tersebut, Makruf (2009:124-125) menjelakan bahwa pengertian media pembelajaran sebagai berikut.

“Media adalah hal-hal yang dapat membantu menyampaikan pesan dari

pemberi pesan (pengajar) kepada penerima pesan (siswa). Media pembelajaran biasanya berupa benda fisik yang didesain secara khusus maupun digunakan apa adanya dengan tujuan menyampaikan pesan pembelajaran. Bentuk media pembelajaran didesain secara menarik dan mewakili pesan yang ingin disampaikan”.


(44)

Sejalan dengan pernyataan di atas, Daryanto (2013:6) menjelaskan bahwa pengertian media pembelajaran sebagai berikut.

“Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar.”

Dari berbagai pendapat para ahli tentang media dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran merupakan alat saluran komunikasi pembawa pesan (informasi) yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran untuk mempermudah proses penyampaian materi agar mudah dipahami oleh peserta didik. Media pembelajaran merupakan berbagai jenis komponen dalam lingkungan peserta didik yang mampu merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan peserta didik untuk belajar. Jadi segala hal yang dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran dapat dikatakan sebagai media pembelajaran.

b. Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran

Peran media dalam pembelajaran sangatlah penting terutama bagi peserta didik. Minat dan motivasi belajar peserta didik dapat ditumbuhkan dengan

SISWA GURU MEDIA PESAN

METODE

Gambar 1 : Fungsi media dalam pembelajaran (Makruf, 2009: 124-125)


(45)

menggunakan media pembelajaran yang menarik. Proses belajar yang membosankan di dalam kelas juga dapat dihilangkan dengan menggunakan media yang menyenangkan bagi peserta didik.

Manfaat media yang terpenting adalah sebagai saluran untuk menyampaikan informasi atau materi pembelajaran secara verbalistis (ceramah) serta merangsang perhatian dan mengaktifkan peserta didik. Penyampaian materi secara verbalistis dapat membuat peserta didik cepat bosan, hal ini dikarenakan guru dalam menyampaikan setiap topik secara monoton. Selain itu membuat peserta didik cenderung pasif, interaksi guru dan siswa hanya dilakukan satu arah. Kemp dan Dayton (via Arsyad, 2011: 21) mengemukakan dampak positif dari penggunaan media pembelajaran, yaitu penyampain materi dalam pelajaran menjadi lebih baku, pembelajaran bisa lebih menarik peserta didik, pembelajaran menjadi lebih interaktif, lama waktu pembelajaran yang diperlukan dapat dipersingkat, kualitas hasil belajar meningkat, pembelajaran dapat diberikan kapan dan dimana saja, sikap positif peserta didik terhadap apa yang mereka pelajari dan proses belajar dapat ditingkatkan, peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif. Manfaat dari penggunaan media pembelajaran akan dapat dirasakan secara optimal apabila guru ampu memilih dan menggunakan media tersebut sesuai dengan tujuan dan fungsinya.

Sadiman (2011: 17-18) memaparkan manfaat dari media pembelajaran, yaitu (1) memperjelas penyajian pesan, (2) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, (3) sikap pasif anak didik dapat diatasi dengan penggunaan


(46)

media yang tepat dan bervariasi, dan (4) media pembelajaran dapat memberikan rangsangan, pengalaman, dan persepsi yang sama dalam diri anak.

c. Ciri dan Jenis Media Pembelajaran

Media pembelajaran dapat diklasifikasikan menurut tujuan dan pengelompokannya. Media pembelajaran memiliki karakteristik yang dapat dilihat, diraba, didengar dan diamati menggunakan panca indera. Gerlach & Ely (dalam Arsyad, 2011: 12) mengemukakan ciri media yaitu (1) ciri fiksatif (fixative property): kemampuan media merekam, menyimpan, melestarikan dan merekonstrusi suatu peristiwa atau objek. Dengan ciri fiksasi ini, media berupa suatu rekaman kejadian atau objek yang terjadi pada suatu waktu tertentu diubah tanpa mengenal waktu, (2) ciri manipulatif (manipulative property): Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat dijadikan dalam waktu dua atau tiga menit dengan teknik pengambilan gambar tipe-lapse recording, selain kejadian tersebut dapat dipercepat suatu juga dapat diperlambat pada saat menayangkan kembali hasil atau rekaman video, (3) ciri distributif (distributive property): suatu objek atau kejadian diubah melalui ruang, sehingga secara bersamaan kejadian tersebut disajikan kepada sejumlah peserta didik dengan stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian itu.

Media pembelajaran memiliki banyak jenis dan macamnya. Beberapa ahli memiliki pendapat yang berbeda tentang klasifikasi media. Ada yang mengklasifikasi berdasarkan jenis medianya namun ada juga yang mengklasifikasikannya berdasarkan perkembangan teknologi.


(47)

Berdasarkan sifatnya pembelajaran diklasifikasikan menjadi individual, berkelompok dan masal. Sadiman, dkk. (2011:189) menyatakan bahwa ada beberapa pola-pola pemanfaatan media pembelajaran yang dapat dilakukan, yaitu: (1) pemanfaatan media dalam situasi kelas (classroom setting), (2) pemanfaatan media di luar situasi kelas.

Pemanfaatan media dalam situasi kelas harus dipadukan dengan proses belajar mengajar dalam situasi kelas agar terjadi keseimbangan antara media pembelajaran dan proses pembelajaran. Media pembelajaran yang dipilih untuk proses pembelajaran haruslah mencakup tujuan, materi, dan strategi pembelajarannya.

5. Media Sock Puppet

a. Pengertian Media Sock Puppet

Menurut Daryanto (2013:31) bentuk dan tujuan penggunaan model dapat dibedakan atas model perbandingan (misalnya globe), model yang disederhanakan, model irisan, model susunan, model utuh, boneka dan topeng. Sebagai media pendidikan dalam penggunaannya boneka dimainkan dalam bentuk sandiwara boneka.

Macam-macam boneka menurut Daryanto (2013:33) dibedakan atas: boneka jari (dimainkan dengan jari tangan), boneka tangan (satu tangan memainkan satu boneka), boneka tongkat seperti wayang-wayangan, boneka tali sering disebut marionette (cara menggerakkan dengan tali yang menghubungkan kepala, tangan dan kaki), boneka baying-bayang (shadow puppet) dimainkan dengan cara mempertontonkan gerak baying-bayang.


(48)

Sock puppet/boneka tangan adalah boneka yang digerakkan oleh tangan. Boneka ini digerakkan dengan memasukkan tangan seseorang ke bawah pakaian boneka, jadi sesuai dengan namanya “boneka tangan” cara memainkannya dengan memasukkan tangan ke dalamnya (Sudjana & Rivai, 2009:188). Gambar 2 merupakan salah satu contoh media sock puppet :

Gambar 2 : Contoh Media Sock Puppet

Bentuk Sock Puppet menyerupai sarung tangan, namun tentu saja boneka ini lebih menarik. Menurut Ahira melalui Sudaniti (2011:15) disebut sock puppet, karena cara memainkannya pun satu tangan kita hanya dapat memainkan satu boneka, dan boneka ini hanya terdiri dari kepala saja, sedangkan bagian badan dan kakinya hanya merupakan baju yang menutup lengan orang yang memainkannya. Selain itu, penggunaan benda-benda nyata atau makhluk hidup dalam pengajaran sering kali dianggap paling baik. Ada berbagai karakter boneka tangan yang ada di pasaran, misalnya binatang, buah-buahan, orang dan tokoh kartun yang popular dikalangan anak-anak.


(49)

b. Fungsi Media Sock Puppet

Menurut Daryanto (2013 :31) media boneka tangan (Sock Puppet) mempunyai beberapa fungsi, yaitu (1) pembelajaran dapat difokuskan pada bagian yang penting-penting saja, (2) dapat mempertunjukkan struktur dalam suatu obyek, (3) peserta didik memperoleh pengalaman yang konkret karena terlibat langsung dalam pembelajaran menggunakan media sock puppet.

c. Manfaat Media Sock Puppet

Penggunaan media sock puppet sangat memungkinkan peserta didik untuk menguasai konsep-konsep yang sedang diajarkan karena peserta didik turut serta dalam situasi yang sesungguhnya. Media sock puppet dapat menarik perhatian peserta didik dengan bantuan gerakan-gerakan, ekspresi dan intonasi.

Adapun beberapa manfaat dari media sock puppet dalam proses pembelajaran bahasa Prancis, sebagai berikut :

1) Menjadikan suasana dalam kelas lebih menyenangakan

2) Mengajak peserta didik terlibat penuh dalam proses pembelajaran 3) Membangun kreativitas setiap individu peserta didik

4) Menghilangkan stres dalam proses pembelajaran 5) Mencapai tujuan pembelajaran secara tidak sadar

6) Memfokuskan peserta didik dengan pembelajaran yang sedang berlangsung.

Dalam jurnal Perdana (2014) mengungkapkan manfaat media sock puppet

(boneka tangan) yaitu menarik perhatian peserta didik dalam proses belajar dan mengajar, sehingga memungkinkan hasil dari pembelajaran akan bertahan lebih


(50)

lama, media sock puppet (boneka tangan) memberikan pengalaman yang nyata pada peserta didik karena terlibat langsung dalam proses pembelajaran, ikut membantu dalam mempermudah pemahaman kosakata, membuat kegiatan belajar mengajar menjadi mendalam, efisien dan beranekaragam, sehingga dapat meningkatkan kualitas hasil belajar.

d. Kelebihan dan Kelemahan Media Sock Puppet

Penggunaan boneka dalam pendidikan telah populer sejak tahun 1940-an di Amerika. Di Indonesia, penggunaan boneka sudah asing lagi, misalnya penggunaan wayang golek (di Jawa Barat) digunakan untuk memainkan cerita Mahabarata dan Ramayana, boneka jari (dimainkan dengan jari tangan), boneka tangan (satu tangan memainkan satu boneka), boneka tongkat seperti wayang-wayangan, boneka tali sering disebut marionet (cara menggerakkan melalui tali yang menghubungkan kepala, tangan, dan kaki), boneka bayang-bayang (shadow puppet) dimainkan dengan cara mempertontonkan gerak bayang-bayangnya.

Terkait dengan pernyataan di atas Setyarini dalam jurnalnya (2010) menyebutkan bahwa media sock puppet memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dan kelemahan media sock puppet ialah :

1) Lebih mudah memahami pelajaran, khususnya kosakata baru dan pengucapannya;

2) Media sock puppet menawarkan peserta didik untuk mengeksplorasi diri melalui beberapa aktivitas verbal maupun non-verbal.


(51)

4) Siswa dapat bereksplorasi dengan beragam puppet dan mendapatkan pengalaman dalam menggunakan bahasa sesuai topik yang sedang mereka pelajari.

5) Efisien terhadap waktu, tempat, biaya dan persiapan karena tidak harus digunakan dalam panggung yang besar.

6) Tidak perlu memerlukan keterampilan yang rumit karena dapat dimainkan oleh siapa saja.

7) Dapat mengembangkan imajinasi dan aktvitas siswa dalam suasana gembira.

Lanjut Setyarini dalam jurnalnya (2010) menyatakan adapun kelemahan dari media sock puppet, yaitu kelas yang besar merupakan kendala bagi guru yang mengelola kelas, peserta didik sulit diajak untuk berkonsentrasi dan mengikuti instruksi yang diberikan oleh guru, perbedaan keragaman peserta didik sehingga guru harus memahami secara individu, guru harus mempersiapkan media sock puppet, gerakan dan kegiatan kelasnya.

Berdasarkan pendapat di atas tentang kelebihan dan kelemahan media sock puppet dapat ditarik kesimpulan yaitu :

1) Kelebihan :

a) Dengan media sock puppet peserta didik akan lebih mudah mengenal kosakata baru dalam bahasa Prancis serta pengucapannya.

b) Media sock puppet dapat membangkitkan motivasi belajar peserta didik.


(52)

c) Media sock puppet dapat menciptakan suasan pembelajaran yang menyenangkan, karena kelas menjadi lebih komunikatif, interaktif serta kondusif

d) Media sock puppet dapat mengembangkan daya imajinasi peserta didik sehingga peserta didik menjadi lebih kreatif.

e) Peserta didik tidak harus mempunyai keterampilan khusus dalam memainkan media sock puppet.

f) Media sock puppet dapat dimainkan di luar kelas maupun di dalam kelas, karena tidak membutuhkan panggung yang besar untuk memainkannya sehingga lebih efisien dalam hal waktu dan tempat. 2) Kelemahan :

a) Media sock puppet tidak bisa digunakan secara mendadak, sehingga harus disiapkan terlebih dahulu jauh-jauh hari.

b) Peserta didik yang sudah mendapatkan media sock puppet untuk proses pembelajaran susah untuk berkonsentrasi karena asik memainkan dengan temannya, sehingga pengajar akan kesulitan jika tidak mengenal keragaman peserta didik.

c) Semakin besar kelas dan semakin banyak jumlah peserta didik, maka pengajar akan kesulitan dalam mengelola kelas.

Lebih lanjut dalam jurnal Setyarini (2010), ada beberapa solusi yang ditawarkan untuk mengatasi kelemahan dalam penerapan media Sock Puppet yaitu sebagai berikut.


(53)

1) setiap mengajar, guru dibantu oleh guru lainnya dan kelas dibagi menjadi dua kelompok yang lebih kecil, sehingga lebih mudah menangani peserta didik untuk lebih berkonsentrasi pada pembelajaran.

2) Menambah jam pelajaran menjadi 2x pertemuan, sehingga guru mendapatkan waktu cukup dalam menampilkan drama menggunakan media Sock Puppet dan tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. 3) Sebagai upaya meningkatkan kompetensi guru dan mengenal inovasi

dalam pembelajaran.

e. Cara Membuat Media Sock Puppet

Sock Puppet adalah boneka tangan yang terbuat dari kaos kaki yang cara memainkannya dengan tangan. Sock puppet dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan selera warna yang diinginkan. Sock puppet ada yang berbetuk hewan dan ada pula yang berbentuk manusia. Sock puppet dibuat dengan kaos kaki dan kain flanel, adapun alat dan bahan yang dibutuhkan untuk membuat Sock puppet yaitu kaos kaki, gunting, jarum, benang, pensil, lem, pita, kain flanel atau kain perca. Bentuk dapat dirancang sesuai dengan pola atau tokoh yang diinginkan, untuk warna tentu saja ditentukan sebelum kain dipotong dan dijahit untuk menjadi Sock puppet yang diinginkan. Untuk bagian dalam boneka tentunya berongga karena akan dimasuki tangan untuk menggerakannya. Berikut ini langkah-langkan membuat Sock puppet.


(54)

1) Siapkan bahan-bahan untuk membuat Sock puppet

Gambar 3 : Bahan-bahan pembuatan Sock puppet

2) Gunting tengah-tengah bagian ujung kaos kaki, kemudian bentuk kertas sehingga menutupi bagian kaos kaki yang telah digunting sehingga membentuk menyerupai mulut, kertas dilem dengan kaos kaki. Selanjutnya bentuk kain flanel dengan bentuk yang sama dengan kertas. Tempelkan di bagian kertas tadi, kemudian jahit dengan kaos kaki.

Gambar 4 : Bentuk Sock puppet

3) Lanjutkan dengan memberi hiasan pada Sock puppet sesuai selera,


(55)

Gambar 5 : Hasil media Sock puppet

6. Cara Penggunaan Media Sock Puppet

Agar boneka dapat menjadi media instruksional yang efektif, maka menurut Daryanto (2013:37) perlu memperhatikan beberapa hal dalam penggunaan boneka tangan (Sock Puppet) , yang antara lain :

“(1) tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara jelas, (2) harus diawali dengan pembuatan naskah atau penentuan naskah ceritanya, (3) harus lebih banyak mementingkan gerak dari pada verbal (4) waktu bermain berdurasi 10-15 menit, (5) diselingi dengan nyanyian, (6) cerita disesuaikan dengan perkembangan anak, (7) diikuti dengan kegiatan tanya jawab, (8) siswa diberi peluang untuk memainkannya”.

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan media

sock puppet sangat memungkinkan peserta didik untuk menguasai konsep-konsep yang sedang diajarkan karena peserta didik turut serta dalam situasi yang sesungguhnya. Sock puppet dapat menarik perhatian peserta didik dengan bantuan gerakan-gerakan, ekspresi dan intonasi.


(56)

7. Media Sock Puppet dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara

Media sock puppet merupakan media pembelajaran yang dapat digunakan di dalam pembelajaran bahasa Prancis khususnya pada keterampilan berbicara. Kaitannya dengan permasalahan pembelajaran bahasa yang telah diungkapkan pada latar belakang masalah, Tarigan (2009:24) menuturkan bahwa proses-proses untuk mengembangkan kemampuan berbicara menunjukkan perlunya pengaturan bahan bagi penampilan lisan. Menurut Raemiza (http://ra3miza.wordpress.com) media sock puppet merupakan media yang paling efektif untuk mengembangkan perbendaharaan kata, melatih diri untuk mendengarkan dan berbicara. Selain itu, peserta didik akan lebih perhatian dan berkonsentrasi.

Media sock puppet yang diadaptasikan dalam pembelajaran khususnya pada keterampilan berbicara bahasa Prancis dapat membantu peserta didik lebih semangat dan lebih tertarik pada pembelajaran bahasa Prancis. Media sock puppet

dapat mendorong dan meningkatkan kebersamaan serta dapat memotivasi karena menarik dan menyenangkan.

Berikut langkah-langkah penerapan media sock puppet dalam pembelajaran keterampilan berbicara.

a. Guru menjelaskan materi yang akan dibahas sesuai tema.

b. Guru memperkenalkan dan menjelaskan media sock puppet kepada peserta didik.

c. Guru memberikan contoh berdialog menggunakan media sock puppet


(57)

d. Guru menjelaskan aturan permainan menggunakan media sock puppet,

yaitu setiap peserta didik membuat dialog percakapan yang dilakukan dua orang, kemudian mereka maju kedepan dan menggunakan dua

sock puppet, jadi setiap peserta didik maju dan memerankan menjadi dua karakter.

e. Peserta didik yang maju diundi secara acak agar lebih adil.

f. Setelah peserta didik selesai melakukan dialog didepan, guru mengambil undian nama peserta didik kembali untuk menyuruh mereka mempresentasikan kembali dialog yang telah temannya presentasikan, hal tersebut bertujuan agak peserta didik tetap fokus mengikuti pembelajaran.

g. Peserta didik ketiga kembali diundi untuk melakukan dialog di depan kelas, dan peserta didik keempat ditunjuk untuk mempresentasikan kembali dialog peserta didik ketiga yang telah maju.

h. Permainan dilakukan sampai semua peserta didik mendapatkan giliran. i. Peserta didik yang telah menyelesaikan praktik keterampilan berbicara

bahasa Prancis dinilai dan mendapatkan poin.

B. Penelitian Yang Relevan

Beberapa hasil penelitian yang relevan terhadap hasil belajar peserta didik setelah diterapkan pembelajaran dengan media sock puppet antara lain :

1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Klara Delimasa G, Ngadino, Samidi (2013) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Media Boneka Tangan Dapat Meningkatkan Keterampilan Berbicara” yang menyatakan bahwa


(58)

dengan menggunakan media boneka tangan terbukti dapat meningkatkan keterampilan bercerita pada peserta didik kelas II SDN Gumilir 02 Cilacap, peningkatan keterampilan bercerita tersebut dibuktikan dengan adanya pe-ningkatan nilai rata-rata keterampilan bercerita. Dari data yang didapat pada waktu pratindakan diperoleh nilai rata-rata kelas adalah 66, pada siklus I meningkat yaitu rata-rata kelas menjadi 77. Kemudian pada siklus II perolehan nilai rata-rata kelas meningkat lagi menjadi 85.

2. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Tri Wiratna, Jenny IS Poerwanti, Samidi(2011) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Penggunaan Media Boneka Tangan Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara Dengan Basa Krama Alus” yang menyatakan bahwa hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus dapat disimpulkan bahwa kemampuan berbicara dengan basa krama alus melalui penggunaan media boneka tangan serta efektivitas pembelajaran dapat meningkat. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata pra siklus hanya 58,6, siklus I 71,03, dan siklus II meningkat menjadi 82,6. Jumlah peserta didik dan persentase ketuntasan pada pra siklus sebanyak 6 peserta didik (40%), siklus I sebanyak 10 peserta didik (66,7%), dan siklus II sebanyak 13 peserta didik (86,7%). Skor observasi efektivitas pembelajaran pada prasiklus mencapai 9 (kurang), siklus I mencapai 11,28 (sedang), dan siklus II mencapai 15,3 (baik).

Dari hasil-hasil penelitian tersebut ada persamaan dengan penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti yaitu: (1) jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang menerapkan media boneka tangan/sock puppet; (2)


(59)

hasil penelitiannya yaitu meningkatkan keterampilan berbicara yang merupakan salah satu aspek perkembangan bahasa peserta didik. Adapun perbedaannya yaitu setting yang dilaksanakan pada penelitian ini adalah peserta didik sekolah menengah atas kelas XII IPS 5 SMA N 1 Mertoyudan Magelang Tahun Pelajaran 2013/2014.

C. Kerangka Pikir

Bahasa Prancis merupakan salah satu bahasa asing yang diajarkan di beberapa SMA. SMK dan MA di Indonesia. Dalam pembelajaran Bahasa Prancis, peserta didik dituntut untuk menguasai empat keterampilan dasar berbahasa yaitu, mendengarkan (compréhension orale), berbicara (expression orale), membaca (comprehension écrite) dan menulis (expression écrite). Dari keempat keterampilan tersebut, salah satu keterampilan yang penting untuk dikuasai yaitu keterampilan berbicara selain tiga keterampilan yang sama pentingnya untuk dikuasai, karena pada dasarnya dalam mempelajari bahasa empat keterampilan tersebut berhubungan erat satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Namun, fakta yang terlihat dilapangan masih banyak peserta didik di SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang yang kesulitan belajar bahasa Prancis, karena minimnya pemahaman dan pengaplikasian materi bahasa Prancis yang diajarkan oleh guru bahasa Prancis, sehingga target yang dicantumkan dalam kurikulum belum sesuai.

Agar pelaksanaan pembelajaran bahasa Prancis berjalan sesuai tujuan, Untuk itu peneliti berupaya untuk melakukan perbaikan pembelajaran dengan menggunakan media yang baru yang belum pernah digunakan disekolah itu yaitu media sock puppet. Dengan menggunakan media ini diharapkan peserta didik


(1)

control continu, le résultat d’évaluation et la note d’observation. Le but de cette recherche est de décrire les étapes d’apprentissage en profitant le média Sock Puppet comme un effort d’améliorer la compétence d’expression orale du français des apprenants de la classe XII IPS 5 SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang. Le modèle de cette recherche se réfère au modèle de la recherche développé par Kemmis et Mc Taggart en 1998. Les étapes du modèle sont la planification, la réalisation, l’observation et la réflexion (Arikunto, 2010 : 132).

À la planification, on a disposé les instruments que l’on aura utilisé des étapes d’enseignement de l’expression orale qui auront employé. Dans cette étape, l’enseignant de français à SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang joue comme l’expert qui aide la rechercheuse à planifier la recherche. Ensuite, on a donné le pre-test I et le post-test I d’expression orale aux apprenants. Ces deux tests ont pour but de découvrir la compétence de l’expression orale des apprenants avant le traitement de la recherche.

À la démarche de la réalisation, l’enseignant a pratiqué le plan qui avait été disposé par la chercheuse. Ceci est le média Sock Puppet dans l’apprentissage de la compétence d’expression orale du français. Ce média est considéré comme le support pédagogique pour améliorer la qualité de l’apprentissage du français surtout la compétence d’expression orale des apprenants de la classe XII IPS 5 SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang.

À l’étape de l’observation, la rechercheus s’est mis dans la classe et observait les activités des apprenants au cours du processus d’apprentissage de la compétence d’expression orale du français. Les activités qui ont été observées


(2)

sont l’atmosphère de la classe et la réponse des apprenants qui montrent leur motivation et leur attitude.

À la démarche de la réflexion, l’enseignant et la chercheuse ont essayé d’évaluer le résultat et le progrès dans chaque cycle. L’enseignant et la chercheuse ont ensuite proposé la meilleure amélioration et des étapes perfectionnées pour le cycle suivant. Les critères de la réussite de cette recherche sont 1) la note du test de l’expression orale de 75 (pour 100% des apprenants qui obtient la note > 75), 2) la réponse positive des apprenants qui montrent leur motivation et leur attitude pour créer l’atmosphère agréable dans la classe.

IV. Résultats et Discussion

Le sujet de la recherche est 27 lycéens de XII IPS 5 SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang, se compose en 12 filles et 15 garçons. Avant de réaliser la recherche s’effectuée en deux cycles, on a fait des entretiens avec le professeur de français et on a observé les apprenants au cours de l’apprentissage de français pour découvrir les problèmes dans l’apprentissage du français à SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang. On a fait aussi le pre-test pour savoir la compétence d’expression orale des apprenants. Les résultats de l’interview, l’observation et le pre-test ont indiqué que la compétence d’expression orale et la motivation des apprenants de la classe XII IPS 5 SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang étaient moins élévées que les autres classes.

Le premier cycle s’est déroulé au mois d’octobre 2014. L’enseignants et la chercheuse se sont accordés en apprenant sur le sujet « les goûts». Ce cycle s’est effectué en quatre rencontres. Les appreants faisaient le dialogue simple sur le


(3)

sujet des goûts et des dégoûts. Ensuite, ils jouaient le dialogue avec deux Sock Puppet. Alors, les autres apprenants présentaient les goûts et les dégoûts de leurs amis. Au premier cycle, l’apprentissage a amélioré la note des apprenants.

Après avoir passé le premier cycle, 23 apprenants (85%) ont acquis la note plus élévée que le niveau de la maîtrise minimale requise au test de l’expression orale et le score moyen de ce pre-test a amélioré de 58,81 au 78,67. Le progrès est 19,86. Le traitement en utilisant le média Sock Puppet a également amélioré la motivation et l’attitude positive des apprenants ainsi que l’atmosphère dans la classe au cours de l’apprentissage. On pouvait la remarquer à travers de leur proactivité dans les commentaires et leur progressivité en répondrant les questions posées par l’enseignant.

À la fin du premier cycle, on a discuté sur le problème d’application du média Sock Puppet avec l’enseignant. À travers de l’observation, on a trouvé les problèmes suivants: 1) lorsque les apprenants ont dû individuellement jouer un rôle monoloque en utilisant le média Sock Puppet, la plupart d’entre eux semblaient encore nerveux, 2) il manquait d’intonation et d’expression dans le dialogue joué.

Au deuxième cycle, l’enseignant et la chercheuse se sont accordés en apprenant sur le thème « Vive Les Vacances ! ». Ce cycle s’est déroulé en deux rencontres. Le professeur expliquait sur le thème « Vive Les Vacances ! ». Après que les apprenants comprennent bien, l’enseignant demandait aux apprenants de former des groups composés par 4 personnes. Chaque group a dû faire un


(4)

dialogue simple sur le sujet des goûts et de vive les vacances. Ensuite, ils présentaient leurs dialogues devant la classe en utilisant le média Sock Puppet.

Au deuxième cycle, 27 apprenants (100%) ont obtenu la note conformée à la valeur de la maîtrise minimale requise au test de l’expression orale et le score moyen du deuxième cycle a amélioré de 78,67 au 84,15. Le progrès est donc 5,48. Les apprenants ont obtenu la note plus élévée que 75 ( la note requise par la valeur de la maîtrise minimale). Cela signifie que l’application du média Sock Puppet a permis de réaliser la meilleur compétence de l’expression orale des apprenants. On a également remarqué que les apprenants soient plus motivés par le média Sock Puppet utilisé au cours de l’apprentissage de la compétence d’expression orale de français. En plus, les apprenants se sont plus concentrés dans la classe.

V. Conclusion et Suggestions

Basé sur les résultats de la recherche, on peut conclure que la mise en oeuvre de l’apprentissage du français en utilisant le média Sock Puppet est en mesure d’améliorer la compétence d’expression orale du français des apprenants de la classe XII IPS 5 SMA Negeri 1 Mertoyudan Magelang. Le processus d’apprentissage se fait en des étapes suivantes: 1) l’enseignant explique le matériel d’apprentissage, 2) l’enseignant donne l’exemple de dialogue simple avec l’intermédiaire du média Sock Puppet où l’enseignant joue avec l’intonation et incarne des différents charactères, 3) les apprenants créent des groupes de 4 personnes, 4) les apprenants font des dialogues simples, 5) la présentation en groupe du jeux des rôles avec Sock Puppet, 6) les apprenants ont gagné le récompense. L’amélioration sur la compétence d’expression orale du français des


(5)

apprenants est représentée par: 1) les données de l’observation qui se comprennent de la motivation des apprenants, l’attitude des apprenant, et l’atmosphère dans la classe. Ces trois indicateurs ont amélioré du premier cycle au deuxième cycle, 2) le score moyen du pre-test I au post-test II a amélioré de 58,81 à 84,15, 3) Il n’existe que deux apprenants (7,4%) qui ont obtenu le score conformémant à la valeur de la maîtrise minimal (KKM). Ce nombre a amélioré au post-test II où 27 apprenants (100%) ont réussi de passer KKM.

En considérant les conclusions ci-dessus, on arriveà la suggestion pour améliorer la compétence d’expression orale du français des apprenants comme suivantes :

1. Aux écoles

L’école doit fournir l'occasion aux enseignants à utiliser les nouveaux médias d'apprentissage qui sont vérifiquement testés pour aider l’apprentissage dans la classe. Il faut également ajouter les facilités qui soutiennent l’utilisation de médias comme l’alternative d’améliorer la qualité d’apprentissage dans l’école. 2. Aux enseignants

Les enseignants peuvent poursuivre l'utilisation de média Sock Puppet dans l'apprentissage d’expression orale afin que la compétence et la capacité des apprenants à parler français en classe, la motivation, et la participation des apprenants vont continuer à améliorer au cours de l’apprentissage. Les enseignants devraient également aider les apprenants à créer une bonne atmosphère pendant l’utilisation du média Sock Puppet dans l'apprentissage. Par


(6)

exemple, de bien vouloir beaucoup parler français en classe, l’enseignant pourrait encourager également les apprenants à s’exprimer en français.

3. Aux d’autres chercheurs

Les rechercheurs doivent en mesure profiter cette recherche comme une référence dans la conduite de recherches ultérieures et de maximiser les efforts pour améliorer la compétence d’expression orale et pour accroître la motivation et la participation des apprenants au cours de l’apprentissage de francais.