PERANAN HEDONIC SHOPPING VALUE DAN FASHION INVOLVEMENT TERHADAP PERILAKU IMPULSE BUYING DI MATAHARI DEPARTMENT STORE SURABAYA.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Oleh : MOH ARIEF TIRTANA

0612010261/FE/EM

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR


(2)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Jurusan Manajemen

Diajukan Oleh : MOH ARIEF TIRTANA

0612010261/FE/EM

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR


(3)

Oleh :

MOH ARIEF TIRTANA 0612010261/FE/EM

Abstraksi

Dinamika perekonomian bisnis ritel di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Sehingga akan memicu perkembangan gaya hidup dan pola berbelanja dimasyarakat (konsumen) yang memiliki ekspektasi yang lebih tinggi, meminta lebih banyak, menginginkan kualitas yang lebih tinggi dan konsisten, lebih banyak pilihan, toko yang lebih nyaman dan pelayanan yang bernilai, namun dengan membayar lebih murah, waktu lebih cepat, dengan usaha dan resiko lebih rendah. PT Matahari Department Store adalah department store yang pertama, terbesar, dan paling berkembang di Indonesia dan di kenal sebagai peritel handal untuk kategori pakaian dan mode, serta menawarkan barang-barang keperluan rumah tangga lainnya. PT Matahari Department Store (MDS) secara berkelanjutan mengembangkan konsep gerai Matahari New Generation (NG) untuk meningkatkan kualitas gerai dengan layanan pelanggan yang lebih baik, efisiensi operasional dan konsep modern serta suasana belanja terbaru bagi para konsumen. Permasalahan yang dihadapi, Matahari Department Store mampu memperlihatkan perkembangan penjualan yang fluktuatif. Tetapi, tidak mampu mencapai target yang di rencanakan dari pengoperasian bisnis Department Store. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh hedonic shopping value dan fashion involvement terhadap perilaku impulse buying pada Matahari Department Store di Surabaya.

Penelitian ini menggunakan data primer, dan sampel yang digunakan adalah konsumen yang pernah berbelanja minimal 1 (satu) kali, konsumen yang telah di anggap dewasa dengan usia 18 tahun keatas yang dinilai sebagai pembeli produktif (potensial). Teknik analisis yang digunakan adalah SEM, yang akan mempermudah untuk melihat peranan hedonic shopping value dan fashion involvement terhadap perilaku impulse buying yang akan diuji.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa Hedonic Shopping Value dan Fashion Involvement tidak berpengaruh terhadap perilaku Impulse Buying pada Matahari Department Store di Surabaya.

Keywords : Hedonic Shopping Value, Fashion Involvement, Impulse Buying


(4)

Dengan mengucap syukur ke hadirat ALLAH SWT, atas rahmat dan hidayahnya yang telah memberi segala kekuatan kepada peneliti, sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peranan Hedonic Shopping Value dan Fashion Involvement Terhadap Perilaku Impulse Buying di Matahari Department Store Surabaya”.

Penyusunan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat penyelesaian Studi Pendidikan Strata Satu, Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Pada kesempatan ini ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bimbingan, petunjuk serta bantuan baik sprituil maupun materiil, khususnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Sudarto, MP selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa timur.

2. Bapak Dr. Dhani Ichsanudin Nur. SE, MM, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran“ Jawa timur.

3. Bapak Dr. Muhadjir Anwar. SE, MM, selaku Ketua Jurusan Manajemen Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

4. Ibu Dra. Ec. Hj. Luky Susilowati, MP, selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan skripsi, sehingga peneliti bisa merampungkan skripsi ini.


(5)

6. Kepada kedua Orang Tuaku, Adik dan Kakak Tercinta yang telah memberikan semangat, doa, dan materiil.

7. Berbagai pihak yang turut membantu dan menyediakan waktunya demi terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa, apa yang telah disusun dalam skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu peneliti senantiasa mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca dan pihak lain.

Akhir kata, peneliti berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Surabaya, Desember 2010


(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dinamika perekonomian bisnis ritel di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan hal itu di karenakan potensi pasar di Indonesia masih cukup besar, seiring dengan masuknya beragam garmen dan aksesoris yang terus mengalami proses modernisasi dalam era globalisasi. Secara umum, dengan jumlah penduduk yang kurang lebih mencapai 230 juta jiwa, sehingga akan memicu perkembangan gaya hidup dan pola berbelanja di masyarakat (konsumen) yang memiliki ekspektasi yang lebih tinggi, meminta lebih banyak, menginginkan kualitas yang lebih tinggi dan konsisten, lebih banyak pilihan, toko yang lebih nyaman dan pelayanan yang bernilai, namun dengan membayar lebih murah, waktu lebih cepat, dengan usaha dan resiko lebih rendah. Di kutip dari (http: //haniyulianti.blogspot.com/2010/01/persaingan-department-store-premium.html).

Sejarah perkembangan bisnis ritel di Indonesia dengan potensi yang demikian besar dan semakin kuatnya pengaruh ritel di konsumen. Evolusi bisnis ritel di Indonesia sangat menarik untuk di ikuti. Sebelum tahun 1960-an, era perkembangan ritel tradisional dalam bentuk peritel atau independen dealer. Pada tahun 1960-an pula, era lahirnya ritel modern dalam bentuk department store (mass merchandiser), yang di tandai dengan pembukaan toko ritel pertama Sarinah di Jl. MH Thamrin, Jakarta. Pada tahun 1970-an sampai 1980-an, era


(7)

perkembangan ritel modern (mass merchadiser dan grosir) seperti Matahari, Hero, Golden Truly, Pasaraya Blok M dan Ramayana. Di kutip dari (http://gudanggupil.com/sejarah-evolusi-bisnis-ritel-di-Indonesia/ekonomi/)

Departement Store sebagian besar dari assortments yang di jual adalah merupakan non-basic items (bukan kebutuhan pokok), fashionables, dan branded items (bermerek) dengan lebih dari 80% pola consignment (konsinyasi), item-item grocery, kalaupun di jual, hanya sebagai pelengkap (complementary). Contohnya, Ramayana, Matahari, Sogo, Borobudur, dan Pasaraya (Sujana, 2005 : 18).

Department Store termasuk format ritel modern dengan menawarkan tempat yang luas dan bebas memilih produk yang di-dispaly (di jual), barang yang di jual banyak jenisnya dan lengkap ukurannya, sistem manajemen terkelola dengan baik dan menawarkan kenyamanan berbelanja, harga sudah tetap (fixed) dan mengadakan diskon besar-besaran sampai 70%. Di kutip dari (www.kabarbisnis.com), Senin (11/5/09)

PT Matahari Department Store adalah department store yang pertama, terbesar, dan paling berkembang di Indonesia dan di kenal sebagai peritel handal untuk kategori pakaian dan mode, serta menawarkan barang-barang keperluan rumah tangga lainnya. PT Matahari Department Store (MDS) secara berkelanjutan mengembangkan konsep gerai Matahari New Generation (NG) untuk meningkatkan kualitas gerai dengan layanan pelanggan yang lebih baik, efisiensi operasional dan konsep modern serta suasana belanja terbaru bagi para konsumen. Pada tahun 2009, PT MDS menerima penghargaan dan pengakuan seperti TOP BRAND AWARD dalam kategori department store; Service Quality Award


(8)

Excellence 2009 dan Indonesia’s Most Admired Companies 2009, yang semakin memperkokoh keberadaan MDS diantara korporasi yang dinamis dan di segani di wilayah Asia. Pencapaian ini tentunya mendukung PT Matahari Department Store untuk tetap mempertahankan posisi dan penetrasi pasar sebagai jaringan department store terkemuka di Indonesia karena Merek Matahari sangat di kenali oleh konsumen kelas menengah. Di samping itu Matahari Department Store juga membuktikan dapat di terima luas oleh pelanggan dengan berbagai latar belakang ekonomi. Kondisi ini sesuai dengan survei yang di laksanakan oleh Frontier Group, baru-baru ini menunjukkan bahwa merek Matahari memiliki kekuatan persepsi empat kali lipat di bandingkan dengan merek department store lain di Indonesia. Matahari Department Store di Surabaya berada di lima pusat perbelanjaan yang sangat dikenal dan akrab bagi warga kota Surabaya di antaranya Royal Plaza, Supermall Pakuwon, Galeria Delta, City Of Tomorrow, dan Tunjungan Plaza. Kesemuanya memiliki tata kelola perusahaan yang baik atau biasa di sebut dengan istilah GCG (Good Corporate Governance) di mana merupakan suatu strategi kekuatan dinamis yang terus berkembang seiring dengan perkembangan Matahari Department Store sebagai salah satu peritel Department Store terbesar di Indonesia yang harus berkompetisi di era globalisasi. Di kutip dari (www.202.155.2.90/corporate.../LPFF_Annual%20Report_2009.pdf).

Selain fenomena di atas, keadaan tersebut di dukung dengan data penjualan bersih yang mengalami pertumbuhan secara bertahap dari tahun ke tahun. Informasi awal di peroleh dari internet yang menunjukkan penjualan bersih


(9)

seluruh Matahari Department Store di Surabaya. Seperti yang terlihat dari tabel dibawah ini.

Tabel 1.1 : Data Penjualan Seluruh Matahari Department Store di Surabaya Pada Tahun 2006-2009.

Tahun

Target Penjualan

(Rp)

Realisasi Penjualan

(Rp)

Prosentase Pertumbuhan

(%)

Realisasi Penjualan

Dari Target Penjualan

(%) 2006 250.000.000.000 11.518.000.000 0,46% 2007 250.000.000.000 11.984.000.000 10,4% 0,47% 2008 250.000.000.000 11.400.000.000 9,51% 0,45% 2009 250.000.000.000 61.742.300.000 54,15% 2,46% Sumber :

http://www.202.155.2.90/corporate_actions/new_info_jsx/jenis_informasi/01_lap oran_keuangan/04_Annual%20Report/2009/Matahari%20Department%20Store% 20%28LPPF%29/LPPF_Annual%20Report_2009.pdf

Kondisi, di atas menggambarkan. Bahwa, sebenarnya Perseroan Matahari Department Store merencanakan dari pengoperasian bisnis department store dengan menargetkan penjualan sampai akhir tahun mencapai nilai sebesar Rp 250 miliar. Pernyataan ini mendukung, ungkapan yang di sampaikan Store Manager MDS Tunjungan Plaza Henry Lismono dalam pemberitaan di media massa. Beliau berujar, “pertumbuhan sales di semester II/2009 kita upayakan untuk seluruh gerai di Surabaya ditargetkan mencapai Rp 250 miliar, kita optimis bisa melampaui target”. Di kutip dari (www.surya.co.id) pada hari Sabtu, 1 Agustus 2009. Tetapi sebaliknya, yang tersaji dalam laporan audit keuangan 31 desember 2009, menunjukkan perkembangan data penjualan yang fluktuatif. Selama tahun 2006 dan 2007 ada prosentase kenaikan 10,4 % dengan jumlah Rp


(10)

11.518.000.000,- menjadi sebesar Rp 11.984.000.000,-. Karena tidak mampu mempertahankan, akhirnya di penghujung tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 11.400.000.000,- dengan angka prosentase 9,51%. Namun, secara drastis di tahun 2009 mampu meningkatkan kembali nilai penjualan sebesar 61.742.300.000,- atau setara dengan prosentase 54,51%. Dapat di simpulkan, Meskipun, mampu memperlihatkan perkembangan penjualan yang fluktuatif. Tetapi, tidak mampu mencapai target yang di rencanakan dari pengoperasian bisnis Department Store.

Adanya kontribusi penjualan yang berfluktuasi selama empat tahun berturut-turut, merupakan partisipasi para konsumen dari hasil tindakan pembelian yang berkesan atas nilai dan kualitas mode di-display (di jual). Di antaranya, kontribusi terbesar penjualan pada baju pria dan remaja pria, posisi kedua adalah produk beauty. Sementara produk ladies penjualannya mulai turun mengingat kompetitor yang bermain di segmen ini sudah sangat banyak, ungkap Henry Lismono Store Manager MDS Tunjungan Plaza yang di kutip (www.surya.co.id). Mengingat, betapa pentingnya peran para konsumen dalam menghasilkan pendapatan dan faktor motivasi yang di munculkan para konsumen di saat berbelanja akan kebutuhan yang dekat dengan diri sendiri dalam mendukung penampilan pribadinya melalui perasaan senang (hedonic) dan penuh keterlibatan (involvement). Maka dari itu, secara konsisten sangat mengharapkan dukungan berkelanjutan para konsumen untuk tetap berbelanja di seluruh gerai Matahari Department Store.


(11)

Menurut Rahmawati (2009) menunjukkan bahwa variabel hedonic shopping value dan positive emotion secara parsial mempengaruhi perilaku impulse buying seseorang yang berbelanja di department store. Hal ini bermakna bahwa konsumen lebih mungkin terlibat dalam perilaku impulse buying ketika mereka termotivasi akan kebutuhan dan keinginan hedonism, seperti kesenangan, fantasi, dan sosial atau kepuasan emosional. Di samping itu, ketika seseorang memiliki emosi yang meningkat dalam potensi belanja maka akan mendorong terjadinya perilaku impulse buying. Sementara Park et al, (2006) menegaskan bahwa fashion involvement dan positive emotions secara langsung mempengaruhi fashion yang berorientasi pembelian impuls. Bagi konsumen, ketika berbelanja fashion yang berorientasi pembelian impuls akan mendukung asosiasi kuat keterlibatan produk dengan kecenderungan pembelian impuls untuk produk-produk spesifik (pakaian dan aksesoris) atau fashion involvement dan faktor positive emotions (puas dan bersemangat).

Melihat begitu pentingnya merasakan kesenangan (hedonic) dengan penuh keterlibatan (involvement) dalam berbelanja produk yang menjadi pertimbangan. Maka menarik untuk di kaji tentang “Pengaruh Hedonic Shopping Value dan Fashion Involvement Terhadap Perilaku Impulse Buying pada Matahari Department Store di Surabaya”.


(12)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pertanyaan penelitian yang di ajukan:

1. Apakah hedonic shopping value (X1) berpengaruh terhadap perilaku impulse buying (Y) pada Matahari Department Store di Surabaya ?

2. Apakah fashion involvement (X2) berpengaruh terhadap perilaku impulse buying (Y) pada Matahari Department Store di Surabaya ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk membuktikan pengaruh hedonic shopping value (X1) terhadap perilaku impulse buying (Y) pada Matahari Department Store di Surabaya. 2. Untuk membuktikan pengaruh fashion involvement (X2) terhadap perilaku

impulse buying (Y) pada Matahari Department Store di Surabaya.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini juga di harapkan dapat memberikan sumbangan untuk kajian teoritis, sebagai upaya mengembangkan dan melengkapi penelitian serupa lebih lanjut.

2. Bagi peneliti dapat meningkatkan daya nalar, memperluas wawasan ilmiah pengetahuan, terutama dalam bidang manajemen pemasaran.


(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini telah dilakukan oleh Rahmawati, (2009) dengan judul penelitian “ Hubungan Antara Hedonic Shopping Value, Positive Emotion, dan Perilaku Impulse Buying Pada Konsumen Ritel di Surabaya”. Dalam penelitian ini permasalahan yang di ajukan adalah 1). Apakah Hedonic Shopping Value dan Positive Emotion mempunyai pengaruh terhadap Impulse Buying. 2). Apakah Positive Emotion merupakan variabel mediasi antara Hedonic Shopping Value terhadap Impulse Buying. Teknik analisis yang di gunakan adalah Regresi dan Hierarchcycal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari dua Hyphothesis yang di lakukan semua membuktikan kebenaran.

Penelitian selanjutnya di lakukan oleh, Park et al, (2006). Dengan judul penelitian “A structural model of fashion-oriented impulse buying behaviour”. Permasalahan yang di ajukan adalah : menguji hubungan kausal antara Fashion Involvement, Positive Emotion, Hedonic Shopping Value, dan Impuls Buying dalam konteks belanja. Teknik analisis yang di gunakan adalah sebuah model persamaan struktural matriks korelasi dengan maksimum likelihood di perkirakan oleh LISREL 8,53. Hasil penelitian yang di dapat bahwa Fashion Involvement dan Positive Emotion memiliki dampak positif pada perilaku konsumen


(14)

pembelian Impuls berorientasi fashion dengan Fashion Involvement memiliki pengaruh terbesar. Kecenderungan Hedonic Shopping Value sebagai mediator yang penting dalam menentukan perilaku pembelian impuls berorientasi fashion.

2.2. Pemasaran

2.2.1. Arti dan Pentingnya Pemasaran

Pemasaran merupakan salah satu kegiatan-kegiatan pokok yang di lakukan oleh perusahaan dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Pemasaran perusahaan harus dapat memberikan kepuasan konsumen agar mempunyai pandangan baik terhadap perusahaan. Berhasil tidaknya dalam tujuan bisnis pada keahlian mereka dalam bidang lain. Selain itu juga, tergantung pada kemampuan mereka untuk mengkombinasikan perusahaan agar berjalan dengan lancar. Sebenarnya proses-proses pemasaran itu di nilai jauh sejak barang-barang di produksi, tidak di mulai pada saat produksi itu selesai, juga tidak berakhir dengan penjualan.

Perusahaan dalam menjalankan aktifitas bisnisnya di dukung oleh fungsi bisnis utama yaitu pemasaran, dan operasi produksi, serta beberapa fungsi penunjang lainnya seperti keuangan, dan sumber daya manusia. Dalam menjalankan kegiatan pemasaran suatu perusahaan melakukan pengkoordinasian agar tujuan dan sasaran yang di harapkan dalam bidang pemasaran khususnya dapat tercapai secara efektif dan efisien. Pengamatan perilaku konsumen menjadi dasar pertimbangan yang penting dalam proses penetapan strategi pemasaran. Hal ini karena umumnya banyak perusahaan dalam menjalankan usahanya dengan


(15)

menekankan pada falsafah pemasaran yang berorientasi pada konsumen. Menurut Kotler (1997 : 17) konsep pemasaran menyatakan bahwa kunci untuk meraih tujuan organisasi adalah menjadi lebih efektif dari para pesaing dalam memadukan kegiatan pemasaran guna menetapkan dan memuaskan kebutuhan dan keinginan pemasaran.

Menurut Setiadi (2003 : 9) strategi pemasaran adalah suatu rencana yang didesain untuk mempengaruhi pertukaran dalam mencapai tujuan organisasi. Biasanya strategi pemasaran di arahkan untuk meningkatkan kemungkinan atau frekuensi perilaku kosumen, seperti peningkatan pada toko tertentu atau pembelian produk tertentu. Hal ini dapat tercapai dengan mengembangkan dan menyajikan bauran pemasaran yang diarahkan pada sasaran yang dipilih. Suatu bauran terdiri dari elemen produk, promosi, distribusi, dan harga.

Kegiatan pemasaran beroperasi didalam suatu lingkungan yang terus menerus berkembang sebagai konsekuensi sosial dari perusahaan, tetapi juga dibatasi oleh sumber-sumber dari perusahaan itu sendiri dan peraturan yang ada. Bagi perusahaan, perubahan lingkungan dapat merupakan tantangan baru yang harus mendapatkan perhatian yang lebih dengan penyelesaian yang baru pula atau sebaliknya dapat berupa suatu peluang atau kesempatan mengembangkan usahanya juga. Sehubungan dengan itu tugas manager adalah memilih dan menentukan kegiatan pemasaran yang dapat membantu dalam pencapaian tujuan perusahaan serta dalam menyesuaikan diri dengan perubahan linkungan, kegiatan pemasaran ini harus di koordinasikan dan di kelola dengan cara yang baik.


(16)

Alasan paling mendasar untuk mempelajari pemasaran adalah bahwa pemasaran memainkan peran besar ke dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Pemasar merancang penelitian dan gagasan baru yang menimbulkan barang dan jasa baru. Pemasaran memberikan kesempatan bagi pelanggan untuk memilih produk yang di sukainya. Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan yang di lakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya untuk berkembang dan mendapatkan laba. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang bergerak di bidang yang sama, mengakibatkan bermacam ragam pilihan barang dan jasa yang ada, sejalan dengan itu timbullah persaingan yang semakin tajam di antara perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus dapat menyalurkan barang dan jasa yang dapat memenuhi keinginan kebutuhan dan keinginan konsumen dengan harga sesuai dengan barang dan jasa yang ditawarkan tersebut.

2.2.2. Pengertian Pemasaran

Dari definisi yang ada, maka dapat di lihat pengertian pemasaran. Beberapa definisi pemasaran dari para ahli yaitu :

Di definisikan secara luas, pemasaran adalah proses sosial dan manajerial di mana pribadi atau organisasi memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan pertukaran nilai dengan yang lain. Dalam konteks bisnis yang lebih sempit, pemasaran mencakup menciptakan hubungan pertukaran muatan nilai dengan pelanggan yang menguntungkan. Karena itu, kita mendefinisikan pemasaran (marketing) sebagai proses dimana perusahaan


(17)

menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan, dengan tujuan menangkap nilai dari pelanggan sebagai imbalannya (Kotler dan Amstrong, 2006:6).

Menurut Stanton (1985 : 3) pemasaran adalah sesuatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang di tujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial.

Menurut AMA (American Marketing Association) yang di kutip oleh Alma (2004 : 3) pemasaran adalah proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penentuan harga, promosi dan pendistribusian barang/jasa dan ide tersebut kepada pelanggan dengan tujuan perusahaan.

Dari definisi diatas dapatlah di tetapkan bahwa pemasaran mencakup kegiatan perusahaan yang di awali dengan proses mengidentifikasi kebutuhan konsumen, penentuan produk, produksi, menyatukan harga serta promosi yang akan di pakai dan penyaluran produk yang di arahkan untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran.

2.2.3. Konsep Pemasaran dan Orientasi pada Konsumen

Perusahaan yang sudah mengenal bahwa pemasaran adalah merupakan faktor yang penting untuk mencapai sukses usahanya, akan mengetahui adanya cara dan falsafah baru ini di sebut kosep pemasaran yang bertujuan memberikan kepuasan terhadap keinginan dan kebutuhan konsumen atau berorientasi pada konsumen (consumer oriented)


(18)

Apabila orientasi dari konsep-konsep tersebut bertolak pada produk perusahaan dan memandang sebagai tugas perusahaan adalah penjualan dan promosi untuk menstimulir volume penjualan yang menguntungkan. Maka konsep suatu perusahaan harus di mulai dengan usaha mengenal dan merumuskan keinginan dan kebutuhan dari konsumen, kemudian perusahaan itu harus merumuskan dan menyusun suatu kombinasi dari kebijakan produk, harga promosi, dan distribusi sebaik-baiknya agar kebutuhan para konsumennya dapat terpenuhi secara maksimal.

Jadi, secara definitif dapat di katakan bahwa : konsep pemasaran adalah suatu falsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan kebutuhan konsumen merupakan syarat ekonomi dan sosial bagi kelangsungan hidup perusahaan (Swastha dan Irawan, 1990 : 8) tiga unsur pokok konsep pemasaran :

1. Orientasi Konsumen

a. Menentukan kebutuhan pokok dari pembeli yang ingin di penuhi dan dilayani.

b. Menentukan kelompok pembeli yang akan di jadikan sasaran penjualan. c. Menentukan produksi dan program pemasarannya.

d. Mengadakan penelitian pada konsumen untuk mengukur, menilai, dan menafsirkan pendapat, sikap dan perilaku mereka.

2. Volume Penjualan yang Menguntungkan

Ini merupakan tujuan dari konsep pemasaran, artinya laba itu dapat di peroleh dengan melalui pemuasan konsumen. Dengan laba ini, perusahaan dapat tumbuh dan berkembang, dapat menggunakan kemampuan yang lebih besar,


(19)

dapat memberikan tingkat kepuasan yang lebih besar pada konsumen, serta dapat memperkuat kondisi perekonomian secara keseluruhan. Jadi, laba merupakan pencerminan dari usaha-usaha perusahaan yang berhasil memberikan kepuasan kepada konsumen. untuk memberikan kepuasan tersebut, perusahaan dapat menyediakan atau menjual barang dan jasa yang paling baik dengan harga yang layak.

3 Koordinasi dan Integrasi Seluruh Kegiatan Pemasaran

Dalam perusahaan perlu di lakukan untuk memberikan kepuasan konsumen. Juga, perlu di hindari adanya pertentangan di dalam perusahaan maupun antara perusahaan dengan pasarnya. Jadi, setiap orang dan setiap bagian dalam perusahaan turut berkecimping dalam suatu usaha yang terkoordinir untuk memberikan kepuasan konsumen, sehingga tujuan konsumen dapat di realisir.

2.3. Perilaku Konsumen

2.3.1. Pengertian Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen (consumer behaviour) di definisikan sebagai studi tentang unit pembelian (buying units) dan proses pertukaran yang melibatkan perolehan, konsumsi dan pembuangan barang, jasa, pengalaman, serta ide-ide (Mowen dan Minor, 2002:6)

Definisi perilaku konsumen menurut AMA (American Marketing Association) yang dikutip oleh Setiadi (2003) perilaku konsumen merupakan interaksi dinamis antara afeksi dan kognisi, perilaku dan lingkungannya dimana manusia melakukan kegiatan pertukaran dalam hidup mereka. Perilaku konsumen


(20)

adalah dinamis itu berarti bahwa perilaku seorang konsumen, grup konsumen ataupun masyarakat luas selalu berubah dan bergerak sepanjang waktu. Salah satu implikasinya adalah bahwa generalisasi perilaku konsumen biasanya terbatas untuk jangka waktu tertentu, produk dan individu atau grup tertentu.

Menurut Schifman & Kanuk (1994 : 7) perilaku konsumen di artikan sebagai perilaku yang di perhatikan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka.

Adapun kesimpulan dari perilaku konsumen adalah serangkaian tindakan yang di lakukan konsumen yang di dahului maupun di ikuti oleh proses pembuatan keputusan dalam mendapatkan dan menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kepuasan dan kebutuhannya.

2.3.2. Macam Peranan dalam Perilaku Konsumen

Untuk dapat mengetahui sebab konsumen membeli barang atau jasa tentu dapat di terangkan secara langsung dari hasil pengamatan saja. Tetapi di butuhkan analisa perilaku konsumen yang lebih dalam untuk membahas mengapa dan bagaimana perilaku konsumen tersebut, sehingga perusahaan dapat mengembalikan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barangnya secara baik.


(21)

Tabel 2.1. Macam Peranan dalam Perilaku Konsumen

No Peranan Keterangan

1. Iniator

Orang yang pertama kali menyarankan membeli suatu produk atau jasa tertentu.

2. Influencer

Orang yang pandangan atau nasihatnya memberi bobot dalam pengambilan keputusan akhir.

3. Decider

Orang yang sangat menentukan sebagian atau keseluruhan keputusan pembelian, apakah membeli, apa yang di beli, kapan hendak membeli, dengan bagaimana cara membeli dan di mana akan membeli.

4. Buyer Orang yang akan melakukan pembelian nyata.

5. User

Orang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa.

Sumber : Simamora, Panduan Riset Perilaku Konsumen (2002 : 15).

2.4. Keputusan Pembelian

2.4.1. Pengertian Keputusan Pembelian

Pengertian keputusan dapat di artikan sebagai suatu proses penilaian dan pemilihan dari berbagai alternatif sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu dengan menetapkan suatu pilihan yang di anggap paling menguntungkan.

Peter dan Olson (1999 : 162) Pengambilan keputusan konsumen adalah suatu proses pengintegrasian yang mengkombinasikan pengetahuan untuk


(22)

mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif dan memilih salah satu di antaranya.

Menurut Setiadi (2003 : 18) dua faktor yang berada di antara niat pembelian dan keputusan pembelian adalah :

1. Pendirian negatif orang lain terhadap alternatif yang di sukai seseorang. 2. Motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain.

2.4.2. Proses Keputusan Pembelian Konsumen

Stimulus eksternal Situasi Respon

Sumber : Ma’ruf (2005 : 63).

2.4.3. Teknik Pendekatan Untuk Mempengaruhi Keputusan Konsumen

Menurut Setiadi (2003 : 20), para pemasar harus juga mengerti berbagai partisipasi dalam proses pembelian dan pengaruh-pengaruh utama dalam perilaku membeli konsumen. Para pemasar dapat merancang program pemsaran yang lebih efektif bagi pemasaran mereka. Ada beberapa teknik pendekatan yang dapat di lakukan untuk mempengaruhi keputusan konsumen, yaitu :

a. Teknik Pendekatan Stimulus Respon Lingkungan Pemasaran

Ekonomi Merchandise Budaya Harga

Sosial Lokasi

Teknologi Iklan/Promosi Atmosfer

Service

Karakteristik Konsumen Proses Keputusan Membeli

Pilihan produk/ merek

Pilihan gerai Timing belanja Besarnya belanja


(23)

Teknik ini merupakan teknik penyampaian ide-ide atau pengetahuan tentang suatu produk dan merek kepada konsumen agar konsumen tertarik atau termotivasi untuk mengambil keputusan membeli produk-produk yang di sampaikan itu. Dengan kata lain, pemilik toko atau pramuniaga memberikan stimulus beberapa produk-produk yang ada dalam toko, kemudian di harapkan konsumen dapat merespon secara positif. Misalnya seorang ibu menanyakan pakaian untuk bayi, maka pramuniaga memberikan informasi tentang merek, kualitas dan warna berbagai macam pakaian bayi. Kemudian konsumen di arahkan untuk membeli di antara alternatif yang cenderung mendapat perhatian atau tanggapan positif dari ibu tersebut. Dengan demikian ibu akan lebih mudah mengambil keputusan.

b. Teknik Pendekatan Humanistik

Teknik ini merupakan teknik pendekatan yang bersifat manusiawi. Dalam teknik ini keputusan membeli sepenuhnya di serahkan kepada konsumen yang bersangkutan. Pemilik toko atau pramuniaga hanya lebih bersifat menyediakan berbagai jenis produk, merek, warna, kualitas dan memberi informasi tentang mafaat, kebaikan dan kelemahan yang terdapat pada masing-masing produk yang tersedia.

c. Teknik Pendekatan Kombinasi antara Stimulus-Respon dan Humanistik Teknik ini merupakan teknik pendekatan dan hasil kombinasi antara teknik stimulus-respon dan teknik humanistik. Pemilik toko atau pramuniaga dalam menghadapi konsumen lebih bersifat mengkondisikan


(24)

perilaku yang memungkinkan konsumen termotivasi untuk membeli, namun keputusan membeli sepenuhnya di serahkan pada konsumen. Misalnya barang-barang di susun dengan berbagai bentuk yang menarik konsumen, display barang di susun teratur yang memungkinkan menjadi pusat perhatian konsumen, produk di tampilkan dengan berbagai merek yang menarik.

d. Teknik Pendekatan dengan Komunikasi yang Persuasif

Teknik ini merupakan teknik pendekatan dengan menggunakan komunikasi persuasive melalui rumus AIDDAS : A = Attention (perhatian), I = Interest (minat), D = Desire (hasrat), D = Decision (keputusan), A = Action (tindakan), S = Satisfaction (kepuasan).

Pertama kali perlu di bangkitkan perhatian konsumen terhadap suatu produk agar timbul minatnya, kemudian kembangkan hasratnya untuk membeli produk tersebut. Setelah itu di arahkan konsumen untuk mengambil keputusan membeli produk yang sesuai kebutuhannya, dengan harapan konsumen merasa puas setelah membeli.

2.5. Usaha Eceran (Retailling)

2.5.1. Pengertian Usaha Eceran (Retailling)

Retailing atau usaha eceran menurut Bellenger dan Goldstucker (1983 : 4) “al theachivities involved in selling goods or services directly to final consumer for their personal, non business use”. Atau dapat di katakan bahwa retailing adalah semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang atau jasa langsung


(25)

kepada konsumen akhir untuk penggunaan yang sifatnya pribadi, bukan untuk di perdagangkan lagi.

Menurut Dunne et al (1992 : 3) yang menyebutkan bahwa retailing adalah semua aktifitas bisnis yang melakukan kegiatan penjualan barang maupun jasa kepada konsumen akhir, dengan kata lain retailling merupakan tingkat akhir dari aliran produk produsen ke konsumen. Sedangkan pengusaha eceran adalah perusahaan atau organisasi yang penjualannya terutama berasal dari penjualan secara eceran.

Hal yang sama di kemukakan oleh Kotler (1997 : 170) yang menyebutkan bahwa retailing adalah semua kegiatan yang terlibat dalam penjualan barang atau jasa secara langsung ke konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis.

2.6. Impulse Buying (Pembelian Impulse)

2.6.1. Pengertian Impulse Buying (Pembelian Impulse)

Menurut Engel (1995 : 202-203) bahwa pembelian berdasar impulse terjadi ketika konsumen mengalami desakan tiba-tiba, yang biasanya kuat dan menetap untuk membeli sesuatu dengan segera. Juga pembelian berdasar impulse cenderung terjadi dengan perhatian yang berkurang pada akibatnya.

Menurut (Han et al, 1991 dalam Park et al, 2006) pembelian impuls di klasifikasikan empat jenis, sebagai berikut:

1. Pembelian impulse di rencanakan, 2. Mengingatkan membeli impulse,


(26)

3. fashion berorientasi impulse buying dan, 4. Murni pembelian impulse.

Konsekuensi impulse buying adalah adanya rasa senang dan perasaan yang lebih baik. Hal ini di sebabkan karena proses belanja yang di lakukan telah memberikan kesenangan tersendiri, sehingga impulse buying dapat memberikan suatu hedonic reward bagi pelakunya. Hal ini di jelaskan oleh (Piron, 1991) bahwa pembelian tidak terencana adalah perilaku pembelian yang di lakukan tanpa adanya niat pembelian sebelum memasuki toko. Sehingga impulse buying yang merupakan sinonim dari pembelian tidak terencana adalah juga aktivitas pembelian yang di lakukan tanpa niat pembelian sebelum memasuki toko.

Menurut (Beatty dan Ferrel, 1998), secara lengkap menjelaskan jika impulse buying merupakan pembelian tiba-tiba dan di lakukan dengan segera tanpa tujuan pra-belanja untuk membeli sebuah produk tertentu terlebih dahulu atau untuk memenuhi kebutuhan pembelian produk yang sudah di rencanakan sebelumnya. Perilaku tersebut terjadi begitu saja karena adanya dorongan untuk membeli secara spontan dan tanpa banyak pemikiran. Sehingga konsumen tidak memikirkan konsekuensi dari pembelian yang di lakukan, konsumen di sini memikirkan konsekuensi setelah terjadinya keputusan pembelian (pasca purchases).


(27)

2.7. Hedonic Shopping Value

2.7.1. Pengertian Hedonic Shopping Value

Umumnya istilah hedonisme (hedonism) merujuk pada perolehan kesenangan melalui perasaan. Akan tetapi, dalam konteks perilaku konsumen istilah ini lebih kompleks, yaitu perasaan yang di cari konsumen mungkin bukanlah kesenangan yang seragam. Jenis konsumsi hedonik lainnya adalah keinginan untuk melakukan kegiatan waktu luang, yaitu semua kegiatan yang di cari untuk mengisi “waktu luang” atau “waktu non kerja” . Waktu luang adalah hal yang multidimensional, dan sejumlah kebutuhan yang berbeda akan mendorong orang untuk mencarinya (Mowen dan Minor, 2002 : 221-223).

Hedonic shopping value mencerminkan instrument yang menyajikan secara langsung manfaat dari suatu pengalaman dalam melakukan pembelanjaan, seperti kesenangan dan hal-hal baru. Hedonic shopping value atau nilai intrinsik yang lebih merefleksikan pengalaman keuntungan yang di nyatakan langsung sebagai pengalaman belanja (Samuel, 2005).

Menurut (Hirschman dan Holbrook, 1982) nilai hedonis lebih subyektif dan personal sebagai pertimbangan dan menghasilkan lebih dari senang dalam permainan. Terdapat 3 hal yang merepresentasikan aspek hedonik dalam mengkonsumsi yaitu : 3F (fantasies, feelings, dan fun).

Menurut (Babin et al, 1994) nilai hedonik di karakteristikan dengan tujuan diri (self purposeful) dan orientasi diri (self oroiented), di mana sifat dari nilai hedonik lebih abstrak. Hiburan (entertainment) dan eksplorasi (exploration) juga di sadari berkontribusi pada nilai hedonik.


(28)

Hedonism atau intrinsic, mencerminkan nilai manfaat yang lebih di berikan secara langsung dengan pengalaman belanja misalnya, menyenangkan, baru, dan menggambarkan potensi hiburan berbelanja yang bernilai emosional (Babin dan Darden, 1995).

Jadi, aktivitas belanja yang di lakukan oleh konsumen dapat memberikan rasa senang dan perasaan yang lebih baik. Rasa senang yang di alami oleh konsumen di karenakan karena aktivitas belanja yang menyenangkan dan memberikan rasa kecanduan bagi pelakunya dan proses pemenuhan kebutuhannya.

2.8. Fashion Involvement

2.8.1. Pengertian Fashion Involvement

Involvement adalah suatu sistem metrik yang sangat menolong menjelaskan perilaku konsumen dan segmen pasar konsumen (Kapferer dan Laurent, 1985; dan Martin, 1998; dalam Park et al, 2006).

Involvement adalah minat atau bagian motivasional yang di timbulkan oleh stimulus atau situasi tertentu, dan di tunjukkan melalui ciri penampilan (O’Cass, 2004 dalam Park et al, 2006).

Keterlibatan konsumen (consumer involvement) adalah pribadi yang dirasakan penting dan / atau minat konsumen terhadap perolehan, konsumsi, dan disposisi barang (fashion / pakaian), jasa, atau ide. Dengan semakin meningkatnya keterlibatan, konsumen memiliki motivasi yang lebih besar untuk memperhatikan,


(29)

memahami, dan mengelaborasi informasi tentang pembelian. (Mowen dan dan Minor, 2002 : 83-84)

Secara umum, involvement adalah secara konseptual merupakan interaksi konsumen dengan suatu produk. Dalam pemasaran, fashion involvement mengacu pada ketertarikan perhatian dengan kategori produk fashion (seperti pakaian). Fashion Involvement di gunakan terutama untuk meramalkan variabel tingkah laku yang berhubungan dengan produk pakaian seperti keterlibatan produk, perilaku pembelian, dan karakteristikan konsumen (Browne dan Karldenberg, 1997; Fairhust et al, 1989; Flynn dan Goldsmith, 1993; dalam Park et al, 2006)

Sebagai contoh, O Cass (2004) dalam Park et al (2006) menemukan bahwa fashion involvement pada pakaian berhubungan sangat erat dengan karakteristik pribadi (yaitu wanita dan kaum muda) dan pengetahuan fashion, yang mana pada gilirannya mempengaruhi kepercayaan konsumen di dalam membuat keputusan pembelian.

2.9. Hubungan Kausalitas

2.9.1. Pengaruh Hedonic Shopping Value terhadap Impulse Buying (Pembelian Impulse)

Ketika pengalaman berbelanja seseorang menjadi tujuan untuk memenuhi kepuasan kebutuhan yang bersifat hedonism, maka produk yang di pilih untuk di beli bukan berdasarkan rencana awal ketika menuju ke toko tersebut, melainkan karena impulse buying yang di sebabkan oleh pemenuhan kebutuhan yang bersifat


(30)

hedonism atau sebab lain di luar alasan ekonomi seperti karena rasa senang dan fantasi (Park et al , 2006).

Para peneliti tampaknya setuju bahwa terdapat hubungan positif antara pembelian impulse yang melibatkan komponen hedonis atau afektif (Cobb dan Hoyer,1986; Piron, 1991; Rook dan Fisher, 1995; Weinberg dan Gootwald, 1982 dalam Park et al 2006).

Karena tujuan dari pengalaman berbelanja adalah memberikan kepuasan kebutuhan hedonism, produk yang di beli selama ini di pilih tanpa perencanaan sebelumnya dan merupakan suatu pembelian impulse. Pembelian impulse memainkan peran penting dalam memenuhi hasrat hedonism terkait dengan konsumsi hedonism (Haussman, 2000).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat di simpulkan bahwa orang yang berbelanja karena kesenangannya ketika melihat suatu produk, kemudian ingin mendapatkannya karena merasakan kepuasan pada awalnya setelah berangan-berangan dari produk tersebut. Ada kecenderungan orang tersebut bersikap impulse buying. Jadi, semakin terdorong memunculkan hedonic shopping value maka semakin terjadi impulse buying (pembelian impulse).

2.9.2. Pengaruh Fashion Involvement terhadap Impulse Buying (Pembelian Impulse)

Fashion berorientasi pembelian impulse. Merupakan konsep keterlibatan konsumen dengan spesifikasi sebuah produk (Jones et al, 2003 dalam Park et al, 2006).


(31)

Fashion yang berorientasi pembelian impulse mengacu pada kesadaran seseorang atau persepsi fashionability yang di kaitkan dengan suatu desain atau gaya inovatif. Artinya, fashion berorientasi pembelian impulse terjadi ketika konsumen termotivasi melihat produk mode baru (pakaian). Awal penelitian perilaku pembelian impuls yang terkonsentrasi pada tipologi pembelian impulse, memprediksi tentang pemahaman peran keterlibatan fashion-oriented (Han et al, 1991 dalam Park et al, 2006).

Menurut Fairhust et al (1989) dan Seo et al ( 2001) dalam Park et al (2006), terdapat hubungan positif, fashion yang berorientasi pembelian impulse. Oleh karena itu, kita mengasumsikan konsumen dengan keterlibatan fashion yang tinggi lebih mungkin terlibat dalam fashion yang berorientasi pembelian impuls.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa konsumen membeli produk fashion dengan motivasi yang berlipat tanpa perkiraan sebelumnya, seperti pakaian untuk melengkapi dan mendukung fashion penampilan pribadinya salah satunya di wujudkan dengan pembelian impuls. Jadi, semakin tertarik memenuhi fashion involvement maka semakin terjadi impulse buying (pembelian impulse).

2.10. Model Konseptual

Dari penjelasan sebagaimana di uraikan dapat di ringkas menjadi sebuah kerangka konseptual seperti gambar di bawah ini yang sekaligus menjadi kerangka acuan peneliti dan menjadi dasar untuk merumuskan hipotesis penelitian.


(32)

Hipotesis

1. Di duga hedonic shopping value berpengaruh positif terhadap impulse buying (pembelian impulse).

2. Di duga fashion involvement berpengaruh positif terhadap impulse buying (pembelian impulse).

Hedonic Shopping

Value (X1)

Impulse Buying

(Y)

Fashion Involvement


(33)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 3.1.1. Definisi Operasional

Yang dimaksud dengan definisi operasional adalah pernyataan tentang definisi dan pengukuran variabel-variabel penelitian secara operasional berdasarkan teori yang ada dalam pengalaman empiris. Dalam usulan penelitian ini definisi operasionalnya terdiri dari :

Hedonic Shopping Value (X1): Umumnya istilah hedonisme (hedonism) merujuk pada perolehan kesenangan melalui perasaan. Akan tetapi, dalam konteks perilaku konsumen istilah ini lebih kompleks, yaitu perasaan yang dicari konsumen mungkin bukanlah kesenangan yang seragam. Jenis konsumsi hedonik lainnya adalah keinginan untuk melakukan kegiatan waktu luang, yaitu semua kegiatan yang dicari untuk mengisi “waktu luang” atau “waktu non kerja” . Waktu luang adalah hal yang multidimensional, dan sejumlah kebutuhan yang berbeda akan mendorong orang untuk mencarinya. Indikator yang digunakan dalam mengukur variabel hedonic shopping value sebagaimana dikembangkan oleh (Mowen dan Minor, 2002 : 221-223) meliputi:

 (X1.1) Keinginan.

Di sini kegiatan dipandang oleh konsumen sebagai penghargaan untuk dirinya sendiri.


(34)

 (X1.2) Kegiatan.

Di sini kegiatan begitu mengasyikkan sehingga orang melupakan semua hal tentang kehidupan sehari-hari ketika sedang melakukannya.

 (X1.3) Kebebasan.

Di sini kegiatan dilakukan sama sekali tanpa paksaan. Orang memiliki kebebasan yang dirasakan (perceived freedom) untuk melakukan atau tidak melakukannya.

 (X1.4) Penguasaan.

Di sini orang berusaha untuk mempelajari hal-hal yang baik atau menangani beberapa kendala. Idenya adalah untuk menguji diri sendiri atau mengatasi lingkungan.

 (X1.5) Dorongan (araousal)

Kebutuhan akan dorongan adalah motivator utama dari kegiatan waktu luang. Pengisian waktu luang dengan hal-hal yang baru, kompleks, dan berisiko secara temporer dapat meningkatkan tingkat dorongan dalam diri konsumen, yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan.

Fashion Involvement (X2): Keterlibatan konsumen (consumer involvement) adalah pribadi yang dirasakan penting dan / atau minat konsumen terhadap perolehan, konsumsi, dan disposisi barang (dalam hal ini fashion / pakaian), jasa, atau ide. Dengan semakin meningkatnya keterlibatan, konsumen memiliki motivasi yang lebih besar untuk memperhatikan, memahami, dan mengelaborasi informasi tentang pembelian. Indikator yang digunakan dalam


(35)

mengukur variabel fashion involvement sebagaimana dikembangkan oleh (Mowen dan Minor, 2002 : 83-84) meliputi:

 (X2.1) Situasional

Terjadi selama periode waktu yang pendek dan diasosiasikan dengan situasi yang spesifik, seperti kebutuhan untuk mengganti sebuah produk yang telah rusak.

 (X2.2) Abadi

Terjadi ketika konsumen menunjukkan minat yang tinggi dan konsisten terhadap sebuah produk dan seringkali menghabiskan waktunya untuk memikirkan tentang produk tersebut.

 (X2.3) Tanggapan

Kompleksitas pemrosesan informasi dan tingkat pengambilan keputusan oleh konsumen.

Impulse buying (Y): Bahwa pembelian berdasar impulse terjadi ketika konsumen mengalami desakan tiba-tiba, yang biasanya kuat dan menetap untuk membeli sesuatu dengan segera. Juga pembelian berdasar impulse cenderung terjadi dengan perhatian yang berkurang pada akibatnya. Indikator yang digunakan dalam mengukur variabel Impulse buying sebagaimana dikembangkan oleh (Engel, 1995 : 202-203) meliputi:

 (Y1.1) Spontanitas.

Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli sekarang, sering sebagai respons terhadap stimuli visual yang langsung ditempat jualan.


(36)

 (Y1.2) Kekuatan, Kompulsi, Intensitas.

Mungkin ada motivasi untuk mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika.

 (Y1.3) Kegairahan dan Stimulasi.

Desakan mendadak untuk membeli sering disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan,” “menggetarkan, “ atau “liar.”

 (Y1.4) Ketidakpedulian Akan Akibat.

Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan.

3.1.2. Pengukuran variabel

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala interval, dengan menggunakan metode pengukuran semantic differential scale (pembeda skala) yaitu metode penelitian yang menggunakan tujuh butir yang menyatakan secara verbal dua kutub penilaian yang ekstrem. Analisis ini di gunakan dengan meminta responden untuk menyatakan pendapatnya tentang serangkaian pertanyaan yang berkaitan dengan obyek yang di teliti dalam bentuk nilai yang berada dalam rentang dua sisi. Dalam penelitian setiap pernyataan masing-masing di ukur dalam 7 skala dan ujung-ujungnya di tutup dengan kata sifat yang secara kontras berlawanan. Ketujuh skala yang di pakai dalam penelitian ini mengikuti pola sebagai berikut :


(37)

1 7 Sangat tidak setuju Sangat setuju

 Jawaban dengan nilai 1 berarti sangat tidak membenarkan pernyataan yang diberikan.

 Jawaban dengan nilai 7 berarti sangat membenarkan pernyataan yang diberikan.

3.2. Teknik Penentuan Sampel

a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah konsumen yang berbelanja produk di Matahari Department Store di Surabaya.

b. Sampel

Menurut Ferdinand (2002 : 231), untuk penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling yang di ambil secara random dengan jenis purposive sampling dalam quota sampling, di mana pemilihan sampel di lakukan berdasarkan kuota yaitu jumlah tertinggi untuk setiap kategori dalam populasi sasaran. Kuota responden dapat di lakukan berdasarkan jenis industri atau skala perusahaan. Karakteristik atau kriteria sampel dalam penelitian ini terbatas pada jenis orang tertentu yang dapat memberikan informasi yang di inginkan karena mereka adalah satu-satunya yang memilikinya atau memenuhi beberapa kriteria yang di


(38)

miliki oleh sampel. Karakteristik atau kriteria sampel dalam penelitian ini adalah:

1. Konsumen yang pernah berbelanja minimal 1 (satu) kali, di Matahari Department Store Kota Surabaya.

2. Konsumen yang telah di anggap dewasa dengan usia 18 tahun keatas yang di nilai sebagai pembeli produktif (potensial) dan mengerti tentang apa yang di maksudkan didalam penelitian.

Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 100-200 responden, sehubungan dengan di gunakan structural equation modelling (SEM), maka jumlah sampel yang di gunakan berdasarkan pertimbangan pedoman pengukuran sampel menurut Ferdinand (2002: 48), adalah sebagai berikut:

a. 100-200 sampel untuk teknik maksimum like hood estimation

b. Tergantung pada jumlah parameter yang di estimasi, pedomannya adalah 5-10 kali jumlah parameter yang di estimasi.

c. Tergantung pada jumlah indikator yang di gunakan dalam sebuah variabel laten. Jumlah sampel adalah jumlah indikator dikali 5 sampai 10, bila terdapat 20 indikator, besarnya sampel adalah 100-200.

Sedangkan jenis pengambilan sampel di dasari oleh analisis SEM bahwa besarnya yaitu 5 atau 10 kali parameter yang di estimasi. Pada penelitian ini sebanyak 12 indikator parameter yang di estimasi, sehingga besarnya sampel yang harus di peroleh adalah 12 di kalikan dengan 10 maka hasil yang di peroleh yaitu 120 responden.


(39)

3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.3.1. Jenis Data

 Data Primer

Data primer yang diolah dalam penelitian ini di peroleh dengan menyebarkan kuesioner kepada konsumen yang berbelanja produk Matahari Department Store di Kota Surabaya.

 Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan dari sumber yang telah ada. Data penjualan pada tahun 2006-2009 di Matahari Department Store Surabaya.

(www.202.155.2.90/corporate.../LPFF_Annual%20Report_2009.pdf)

3.3.2. Sumber Data

Sumber data yang di gunakan dalam analisis ini adalah data yang di ambil langsung dari konsumen yang berbelanja produk Matahari Department Store di Surabaya dengan cara menyebarkan kuesioner.

3.3.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mencari dan mengumpulkan data di lakukan dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut :

a. Observasi

Merupakan pengamatan langsung pada perusahaan untuk mendapatkan bukti-bukti yang berkaitan dengan obyek penelitian.


(40)

b. Kuesioner

Yaitu pengumpulan data di lakukan dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan kepada konsumen yang berbelanja produk di Matahari Department Store di Surabaya. Untuk diisi agar memperoleh jawaban langsung dari konsumen.

3.4. Teknik Analisis dan Uji Hipotesis 3.4.1. Teknik Analisis

Analisis yang di gunakan dalam penelitian ini adalah Stuctural Equation Modelling (SEM) merupakan sekumpulan teknik yang memungkinkan pengujian suatu hubungan antara variabel dependen yang di estimasi secara simultan. Metode ini bukan di tujukan untuk menghasilkan teori melainkan “menginformasikan” teori. Analisis Structural Equation Modelling (SEM) pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Hedonic Shopping Value, Fashion Involvement terhadap keputusan Impulse Buying. Penaksiran pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variable terikatnya menggunakan koefisien jalur. Dengan demikian, analisis yang relevan dan di gunakan dalam penelitian ini adalah SEM (Structural Equation Modelling). Contoh model pengukuran di lakukan sebagai berikut :

X1.1 = Hedonic Shopping Value + er_1 X1.2 = Hedonic Shopping Value + er_2 X1.3 = Hedonic Shopping Value + er_3 X1.4 = Hedonic Shopping value + er_4


(41)

X1.5 = Hedonic Shopping Value + er_5

Bila persamaan di atas di nyatakan dalam sebuah pengukuran model diuji maka unidimensionalitasnya melalui Confirmatory Faktor Analisis, maka model pengukuran dengan Hedonic Shopping Value akan nampak sebagai berikut :

Gambar 3.1. Contoh Model pengukuran Hedonic Shopping Value.

Keterangan :

X1.1 Pertanyaan tentang keinginan berbelanja. X1.2 Pertanyaan tentang kegiatan berbelanja. X1.3 Pertanyaan tentang kebebasan berbelanja. X1.4 Pertanyaan tentang penguasaan berbelanja. X1.5 Pertanyaan tentang dorongan (arousal) berbelanja. Demikian juga faktor lain seperti Fashion Involvement.

X1.1

X1.2

X1.3

X1.4

HEDONIC SHOPPING

VALUE


(42)

3.4.2. Outliers

Oulier adalah observasi yang muncul dengan nilai-nilai ekstrim baik secara univariate maupun multivariate yang muncul karena kombinasi karakteristik unik yang di milikinya dan terlihat sangat jauh berbeda dari observasi-observasi lainnya. Dapat di adakan treatment khusus pada outliers ini asal di ketahui munculnya outlier itu. Outliers pada dasarnya dapat muncul dalam empat kategori.

 Pertama, outlier muncul karena kesalahan prosedur seperti kesalahan dalam memasukkan data atau kesalahan dalam mengkoding data. Misalnya 8 diketik 80 sehingga jauh berbeda dengan nilai-nilai lainnya dalam rentang jawaban responden antara 1-10 jika hal semacam ini lolos maka akan menjadi sebuah nilai ekstrim.

 Kedua, outlier dapat muncul karena keadaan yang benar-benar khusus yang memungkinkan profil datanya lain dari pada yang lain, tetapi peneliti mempunyai penjelasan mengenai penyebab munculnya nilai ekstrim.

 Ketiga, outlier dapat muncul karena adanya sesuatu alasan, tetapi peneliti tidak dapat mengetahui penyebabnya atau tidak ada penjelasan mengenai nilai ekstrim itu.

 Keempat, outlier dapat muncul dalam range nilai yang ada, tetapi bila di kombinasi dengan variabel lainnya, kombinasinya menjadi tidak lazim atau sangat ekstrim. Inilah yang disebut multivariate outlier.


(43)

3.4.3. Evaluasi dan Outlier

1. Mengamati nilai Z-acore : ketentuannya di antara ±3,0 non outlier.

2. Multivariate outlier di uji dengan kriteria jarak Mahalanobis pada tingkat p < 0,001. jarak di uji dengan Chi-Square [χ²] pada df sebesar jumlah variabel bebasnya. Ketentuan : bila Mahalanobis › dari nilai χ² adalah Multivariate outlier.

3.4.4. Uji validitas dan Reliabilitas

Validitas menyangkut tingkat akurasi yang di capai oleh sebuah indikator dalam menilai sesuatu atau akuratnya pengukuran atas apa yang seharusnya di ukur. Sedangkan yang di maksud dengan reliabilitas ukuran mengenai konsistensi internal dari indikator-indikator sebuah konstruk yang menunjukkan derajat sampai di mana masing-masing indikator itu menghasilkan sebuah konstruk /faktor laten yang umum.

Construct reliability dan Variance-extracted di hitung dengan rumus berikut :

Construct Reliability = [Σ Standardize Loading]²

[Σ Standardize Loading]²+Σεj] Variance Extrated = Σ[Standardize Loading2]

Σ[Standardize Loading²]+Σεj] (Ferdinand, 2002: 62-64).

Dimana :

 Std. Loading di peroleh langsung dari standardized loading untuk tiap-tiap indikator (di ambil dari computer, AMOS 4.01, dengan melihat nilai


(44)

estimasi setiap construct standardize regression weights terhadap setiap butir sebagai indikatornya. Sementara εj dapat di hitung dengan formula εj = 1–[ Standardize Loading] secara umum, nilai construct reliability

yang dapat di terima adalah ≥ 0,7 dan variance extracted ≥ 0,5 (Hair et al., 1995).

3.4.5. Uji Normalitas

Untuk menguji normalitas distribusi data-data yang di gunakan dalam analisis, peneliti dapat menggunakan uji-uji statistik. Uji yang paling mudah adalah dengan mengamati skewness value dari data yang di gunakan, yang biasanya di sajikan dalam statistik deskriptif dari hampir semua program statistik. Nilai statistik untuk menguji normalitas itu disebut z-value yang di hasilkan melalui rumus berikut ini :

Nilai Z – Score = Skewness

6/ N

Bila nilai –z lebih besar dari nilai kritis, maka dapat di duga bahwa distribusi data adalah tidak normal. Nilai kritis dapat di tentukan berdasarkan tingkat signifikansi yang di kehendaki. Misalnya, bila nilai yang di hitung lebih besar dari ± 2,58 berarti kita dapat menolak asumsi mengenai normalitas dari distribusi pada tingkat 0,01 (1%). Nilai kritis lainnya yang umum di gunakan adalah nilai kritis sebesar ± 1,96 yang berarti bahwa asumsi normalitas di tolak pada tingkat signifikansi 0,05 (5%), sumber (Ferdinand, 2002 :95).


(45)

3.4.6. Multicollinierity dan Singularity

Untuk melihat apakah pada data penelitian terdapat multikollinieritas dan singularitas dalam kombinasi-kombinasi variabel, maka perlu mengamati determinan variabel kovarian sampelnya. Determinan yang benar-benar kecil mengindikasikan adanya multikollinieritas dan singularitas, sehingga data tidak dapat di gunakan untuk analisis yang sedang di lakukan. (Ferdinand, 2002 : 108).

3.4.7. Pengujian Hipotesis dan Hubungan Kausal

Pengaruh langsung (koefisien jalur) di amati dari bobot regresi terstandar, dengan pengujian signifikan pembanding nilai CR (critical ratio) atau p (probability) yang sama dengan nilai t hitung. Apabila t hitung lebih besar dari t tabel maka signifikan.

3.4.8. Pengujian Model Dengan Two-Step Approach

Two-Step Approach to structural equation modelling (SEM) di gunakan untuk mengatasi masalah sampel data yang kecil jika di bandingkan dengan jumlah butir instrumentasi yang di gunakan dan keakuratan reliabilitas indikator-indikator terbaik dapat di capai dalam Two-Step Approach ini (Hartline dan Ferrel, 1996). Two-Step Approach bertujuan untuk menghindari interaksi antar model pengukuran dan model structural pada One Step Approach (Hair et al., 1995). Menurut Anderson dan Gerbing (1988), Two Step Approach to SEM adalah estimasi terhadap structural model. Cara yang di lakukan dalam menganalisis SEM dengan Two-Step Approach adalah sebagi berikut :


(46)

a. Menjumlahkan skala butir-butir setiap konstrak. Jika terdapat skala menjadi sebuah indikator tersebut distandardisasi (Z-score) dengan mean = 0, standard deviasi = 1, yang tujuannya adalah untuk mengeliminasi pengaruh-pengaruh skala yang berbeda-beda tersebut (Hair et al., 1995) b. Menetapkan error (ε) dan lambda (λ) terms, error terms dapat di hitung

dengan rumus 0,1 di kali σ² dan lambda terms dengan rumus 0,95 kali σ (Anderson dan Gerbing, 1988). Perhitungan construct reliability (α) telah di jelaskan pada bagian sebelumnya dan standard deviasi (σ) dapat di hitung dengan bantuan program aplikasi statistik SPSS, setelah (ε) dan lambda (λ) terms di ketahui, skor-skor tersebut di masukkan sebagai parameter fix pada analisis model pengukuran SEM.

Gambar 3.2. diagram jalur Two-Step Approach

Keterangan symbol-symbol sebagai berikut :

: Faktor variable / constuct / latent variable / unopserved variable yaitu sebuah variable bentukan, yang di bentuk

X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5

HEDONIC SHOPPING

VALUE (X1)

X1.1 X1.2 X1.3

Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 FASHION

INVOLVEMENT (X2)

IMPULSE BUYING


(47)

melalui indikator-indikator yang di amati dalam dunia nyata.

: Variable terukur / observed variable / indikator variable yaitu, variable yang datanya harus melalui observasi, misalnya melalui instrument-instrument survey.

Keterangan :

CX1 = Indikator Hedonic Shopping Value yang sudah di komposit. CX2 = Indikator Fashion Involvment yang sudah di komposit. CY1 = Indikator Impulse Buying yang sudah di komposit. Er_i = error.

3.5. Evaluasi Model

Menurut Hair et al., 1995 menjelaskan bahwa pola “confirmatory” menunjukkan prosedur yang di rancang untuk mengevaluasi utilitas hipotesis-hipotesis dengan pengujian fit antara model dan data empiris. Jika model teoritis menggambarkan “good fit” dengan data, maka model di anggap sebagai yang di perkuat. Sebaliknya suatu model teoritis tidak di perkuat jika teori tersebut mempunyai suatu “poor fit” dengan data. Amos dapat menguji apakah model “good fit” atau “poor fit”. Jadi, “good fit” model yang di uji sangat penting dalam penggunaan structural equation modelling.

Pengujian terhadap model yang di kembangkan dengan berbagai kriteria Goodness of fit, yakni Chi-Square, RMSEA, GFI, TLI, CFI, AFGFI, CMIN/DF. Keterangan :


(48)

1. χ²- Chi Square Statistik

Alat uji paling fundamental untuk mengukur overall fit adalah likehood ratio chi-square ini bersifat sangat sensitive terhadap besarnya sampel yang di gunakan. Karenanya bila jumlah sampel cukup besar (lebih dari 2000, statistic chi-square ini harus di dampingi oleh alat uji lain. Model yang di uji akan di anggap baik atau memuaskan bila nilai chi-squarenya rendah. Semakin kecilo nilai χ² semakin baik model itu. Karena tujuan analisis adalah mengembangkan dan menguji sebuah model yang sesuai dengan data, maka yang di butuhkan justru sebuah nilai χ² yang kecil dan signifikan.

χ² bersifat sangat sensitive terhadap besarnya sampel yaitu terhadap sampel yang terlalu kecil maupun yang terlalu besar. Penggunaan chi-square hanya sesuai sampel antara 100-200. Bila ukuran luar tentang itu, uji signifikan akan menjadi kurang reliabel oleh karena itu pengujian ini perlu di lengkapi dengan uji yang lain.

2. RMSEA-THE ROOT MEAN SQUARE ERORR OF

AXPRIMATION

RMSEA adalah sebuah indeks yang dapat di gunakan mengkompensasi chi-square statistic dalam sampel yang besar. Nilai RMSEA menunjukkan goodness-of-fit yang dapat di harapkan bila model di estimasi dalam populasi. Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama dengan 0,08 merupakan indeks untuk dapat di terimanya degress of freedom.


(49)

3. GFI-GOODNESS of FIT INDEKS

GFI adalah analog dari R dalam regresi berganda. Indeks kesesuaian ini akan menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam matriks covariance sampel yang di jelaskan oleh covariance matriks populasi yang terestimasi. GFI adalah sebuah ukuran non-statistika yang mempunyai rentang nilai antara 0 (poor fit) sampai dengan 0,1 (perfect fit). Nilai yang tinggi dalam indeks ini menunjukkan sebuah “better fit”.

4. AGFI = ADJUST GOODNESS of FIT INDEX

AGFI =GF/df tingkat penerimaan yang di rekomendasikan adalah AGFI mempunyai nilai yang sama dengan atau lebih besar dari 0,09. GFI maupun AGFI adalah kriteria yang memperhitungkan proporsi tertimbang dari varians dalam sebuah matriks covariance sampel. Nilai sebesar dapat dapat di interpretasikan sebagai tingkatan yang baik (good overall model fit) sedangkan besarnya nilai antara 0,09-0,95 menunjukkan tingkatan cukup (adequate fit)

5. CMIN/DF

Sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat fitnya sebuah model. Dalam hal ini CMIN/DF tidak lain adalah chi-square, χ² dibagi DFnya sehingga di sebut χ² relatif. Nilai χ² relatif kurang dari 2,0 atau bahkan kurang dari 3,0 adalah indikasi dari acceptable fit antara model dan data. Nilai χ² relatif yang tinggi menandakan adanya perbedaan yang signifikan antara matriks covarians yang di observasikan dan diestimasi.


(50)

6. TLI-TUCKER LEWIS INDEKS

TLI adalah sebuah model yang di uji terhadap sebuah baseline model. Nilai yang di rekomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya sebuah model adalah penerimaan ≥ 0,95 dan nilai yang sangat mendekati 1 menunjukkan a very good fit.

7. CFI-COMPARATIVE FIT INDEX

Besarnya indeks ini adalah pada rentang nilai sebesar 0-1, di mana semakin mendekati 1, mengidentifikasikan tingkat fit yang paling tinggi (a very good fit). Nilai yang di rekomendasikan adalah CFI 0,95. Keunggulan dari indeks ini besarnya tidak di pengaruhi oleh ukuran sampel karena itu sangat baik untuk mengukur tingkat penerimaan sebuah model. Indeks CFI adalah identik dengan relatif non indeks (RNI).


(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Umum perusahaan.

4.1.1. Sejarah Singkat dan Perkembangan Perusahaan.

Cikal bakal dari Matahari Group adalah sebuah toko yang terletak di Jalan Pasar Baru 110 Jakarta. Yakni toko Mickey Mouse yang didirikan pada tanggal 24 Oktober 1958.

Dalam perkembangannya toko yang dikelola oleh keluarga matahari ini sangat mengalami kemajuan pesat. Sampai saat ini, Matahari Group berada dihampir seluruh pusat pertokoan di kota besar di Indonesia. Termasuk Matahari Group di Kota Surabaya yang pertama kalinya diwakili oleh Matahari Department Store Tunjungan Plaza. Mulai berdiri dan beroperasi pada tanggal 27 Oktober 1986.

1. Tujuan Perusahaan.

Tujuan perusahaan dibagi menjadi dua yaitu : I. Tujuan Ekonomi

 Memberikan kepuasan pada konsumen dalam berbelanja melalui penyediaan baranga yang lengkap dan bermutu tinggi, pelayanan yang baik dan harga yang lebih murah.

 Mencapai omzet penjualan yang tinggi dan menjaring konsumen sebanyak mungkin.


(52)

 Mendapatkan laba dalam jangka panjang.

 Mengembangkan perusahaan. II. Tujuan Sosial

 Ikut meningkatkan perekonomian bangsa.

 Membantu menyerap tenaga kerja. 2. Produk.

 Produk yang di jual Matahari Department Store merupakan produk yang berkualitas baik.

 Matahari Department Store lebih menitik beratkan pada penjualan garment dan produk dari bahan kulit seperti sepatu, tas dan lain-lain. Meskipun demikian dalam upayanya untuk memberikan kepuasan pada konsumen Matahari Department Store, berusaha menyediakan paroduk selengkap mungkin. Sebagai berikut :

 Pakaian pria  Pakaian wanita  T-shirt club  Sepatu pria  Sepatu wanita  Acsessoris

 Pakaian anak-anak  Mainan anak-anak  Perlengkapan bayi  Elektrik


(53)

 Bunga  Porselin  Super bazaar  Pakaian sport  Sepatu sport  Alat musik  Video rental  Jam

3. Harga.

Harga di sini mempunyai peranan yang cukup penting, dan ini di sadari oleh pimpinan Matahari Department Store. Karenanya informasi mengenai harga barang amat di perlukan setiap saat.

Sejauh ini perusahaan sudah berusaha menetapkan harga yang relatif lebih rendah untuk barang-barang yang di jual, namun di sadari juga, bahwa tidak semua barang yang ada dapat di jual dengan harga yang lebih rendah di bandingkan dengan harga yang sudah di tetapkan oleh perusahaan saingan.

Dalam hal ini perusahaan menetapkan harga jual atas dasar mark-up pricing, yaitu harga jual di peroleh sebagai hasil penjumlahan dari prosentasi tambahan tertentu untuk keuntungan yang di iginkan di tambah dengan harga belinya.

Dengan demikian, perusahaan menilai bahwa ia cukup mampu untuk menetapkan harga yang sesuai, baik di tijau dari konsumen, pesaing maupun untuk kepentingan intern perusahaan sendiri.


(54)

4. Pelayanan

Pelayanan merupakan salah satu faktor yang cukup penting dealam menunjang suatu pusat perbelanjaan

Dalam hal ini sangat di sadari oleh pimpinan Matahari Department Store, untuk itu Matahari Department Store berusaha memberikan pelayanan yang terbaik bagi konsumen.

Dalam hal ini di wujudkan dalam :

 Penampilan pramuniaga yang selalu rapi dan ramah.

 Kesiapan dari pramuniaga dalam memberikan informasi yang di butuhkan oleh konsumen.

 Pelayanan dari kasir yang cukup cepat. 5. Promosi.

Matahari Department Store menggunakan surat kabar, radio, reklame, dan brosur sebagai media informasi dari promosinya.

Selain itu Matahari Department Store pada waktu tertentu, seperti menjelang lebaran, hari natal dan tahun baru memberikan discount sebesar 10%-20%.

Setiap tahun pada bulan oktober untuk memperingati Anniversary Matahari Group, di lakukan promosi besar-besaran. Dengan menyediakan berbagai macam hadiah yang menarik seperti rumah, mobil dan hadiah-hadiah lainnya. Cara mendapatkan hadiah tersebut dengan mengisi kupon yang di peroleh apabila berbelanja sebesar Rp 10.000,- dan setiap kelipatannya di setiap toko


(55)

Matahari Group. Kupon tersebut akan di undi di Jakarta untuk menentukan pemenangnya.

6. Struktur Tata Kelola Perusahaan. I. Manager Store

II. Supervisor III. Staff

IV. Karyawan (pramuniaga, kasir, dan security).

Sumber : www.202.155.2.90/corporate.../LPFF_Annual%20Report_2009.pdf.

4.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah seluruh konsumen yang pernah merasakan berbelanja di Matahari Group Surabaya, minimal 1 kali. Baik, konsumen laki-laki/pria maupun perempuan/wanita yang tergolong sebagai pembeli potensial dengan usia minimal 18 tahun keatas. Serta, bersedia mengisi kuesioner yang diberikan oleh peneliti.

1. Analisis Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner kepada 120 orang responden diperoleh gambaran berdasar jenis kelamin adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1. Karakteristik Responden Berdasar Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah Prosentase (%)

1 Laki-laki 45 37,5

2 Perempuan 75 62,5

Total 120 100%


(56)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah berjenis kelamin wanita/perempuan yaitu sebanyak 75 orang (responden) atau sebesar 62,5%, sedangkan yang berjenis laki-laki/pria yaitu sebanyak 45 orang (responden) atau sebesar 37,5%.

2. Analisis Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner kepada 120 responden diperoleh gambaran berdasar umur adalah sebagai berikut :

Tabel 4.2. Karateristik Responden berdasarkan Umur

No Umur Jumlah Prosentase (%)

1 18-20 22 18,33

2 21-23 25 20,83

3 24-26 30 25

4 27-29 28 23,33

5 30 keatas 15 12,5

Total 120 100%

Sumber : Hasil Penyebaran Kuesioner.

Berdasarkan hasil tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar responden ini adalah mereka yang berumur antara 24 sampai 26 tahun yaitu sebanyak 30 orang (responden) atau sebesar 25%, responden yang berusia 27 sampai 29 tahun yaitu sebanyak 28 orang (responden) atau sebesar 23,33%, responden yang berusia 21 sampai 23 tahun yaitu sebanyak 25 orang (responden) atau sebesar 20,83%, sedangkan responden yang berusia 18 sampai 20 tahun yaitu sebanyak 22 orang (responden) atau sebesar 18,33%, dan terakhir responden yang berusia 30 tahun ke atas sebanyak 15 orang ( responden) atau sebesar 12,5%.

3. Analisis Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan/Profesi saat ini


(57)

Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner kepada 120 orang responden diperoleh karakteristik responden berdasar pekerjaan/profesi saat ini adalah sebagai berikut :

Tabel 4.3. Karakteristik Responden Berdasar Pekerjaan/Profesi saat ini

No Jenis Kelamin Jumlah Prosentase (%)

1 Pegawai Negeri 28 23,33

2 Wiraswasta 19 15,83

3 Pegawai Swasta 32 26,67

4 Pelajar/Mahasiswa 37 30,83

5 Lain-Lain 4 3,33

Total 120 100 %

Sumber : Hasil Penyebaran Kuesioner.

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini berprofesi sebagai pelajar atau mahasiswa yaitu sebanyak 37 orang (responden) atau sebesar 30,83%, responden yang berprofesi sebagai pegawai swasta yaitu sebanyak 32 orang (responden) atau sebesar 26,67%, responden yang berprofesi sebagai pegawai negeri sebanyak 28 orang (responden) atau sebesar 23,33%, sedangkan responden yang berprofesi sebagai wiraswasta sebanyak 19 orang (responden) atau sebesar 15,83%, dan terakhir yang lain-lain sebanyak 4 orang (responden) atau sebesar 3,33%.

4.3. Deskripsi Hasil Penelitian

4.3.1. Deskripsi Hedonic Shopping Value (X1)

Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang dilakukan kepada konsumen yang berbelanja di Matahari Department Store Surabaya berjumlah 120 orang responden, diperoleh jawaban sebagai berikut :


(58)

Tabel 4.4. Frekuensi Hasil Jawaban Responden untuk Hedonic Shopping Value (X1)

No Pernyataan Skor Jawaban Total

1 2 3 4 5 6 7

1 Anda, memperhatikan kepentingan diri sendiri saat berbelanja di Matahari Department Store.

0 1 3 17 43 41 15 120

0 0,8 % 2,5 % 14,2 % 35,8 % 34,2 % 12,5 % 100 % 2 Anda, melupakan urusan sehari-sehari saat berbelanja di Matahari Department Store.

0 1 3 14 43 45 14 120

0 0,8 % 2,5 % 11,7 % 35,8 % 37,5 % 11,7 % 100 % 3 Anda, melakukan tanpa paksaan saat berbelanja di Matahari Department Store.

0 1 5 11 36 49 18 120

0 0,8 % 4,2 % 9,2 % 30 % 40,8 % 15 % 100 % 4 Anda menempatkan kesenangan di dalam menentukan pilihan produk yang tepat, saat berbelanja di Matahari Department Store bagi diri sendiri.

0 1 5 21 44 35 14 120

0 0,8 % 4,2 % 17,5 % 36,7 % 29,1 % 11,7 % 100 % 5 Anda, menikmati waktu luang dengan berbelanja di Matahari Department Store.

0 1 7 15 33 49 15 120

0 0,8 % 5,8 % 12,5 % 27,5 % 40,9 % 12,5 % 100 %

Sumber : Hasil Penyebaran Kuesioner (diolah peneliti) pada lampiran 2

Indikator pertama dari Hedonic Shopping Value yaitu keinginan, mendapat respon terbanyak pada skor 5 dengan jumlah responden sebanyak 43 orang atau sebesar 35,8%. Kemudian terbanyak kedua terdapat pada skor 6 dengan jumlah responden 41 orang atau sebesar 34,2%. Sedangkan terbanyak ketiga terdapat pada skor 4 dengan jumlah responden 17 orang atau sebesar 14,2%.


(59)

Indikator kedua dari Hedonic Shopping Value yaitu kegiatan, mendapat respon terbanyak pada skor 6 dengan jumlah responden sebanyak 45 orang atau sebesar 37,5%. Kemudian terbanyak kedua terdapat pada skor 5 dengan jumlah responden sebanyak 43 orang atau sebesar 35,8%. Sedangkan terbanyak ketiga mendapat respon terbanyak pada skor 7 dengan jumlah responden sebanyak 14 orang atau sebesar 11,7%.

Indikator ketiga dari Hedonic Shopping Value yaitu kebebasan, mendapat respon terbanyak pada skor 6 dengan jumlah responden sebanyak 49 orang atau sebesar 40,8%. Kemudian terbanyak kedua terdapat pada skor 5 dengan jumlah responden sebanyak 36 orang atau sebesar 30%. Sedangkan terbanyak ketiga mendapat respon terbanyak pada skor 7 dengan jumlah responden sebanyak 18 orang atau sebesar 15%.

Indikator keempat dari Hedonic Shopping Value yaitu penguasaan, mendapat respon terbanyak pada skor 5 dengan jumlah responden sebanyak 44 orang atau sebesar 36,7%. Kemudian terbanyak kedua pada skor 6 dengan jumlah responden sebanyak 35 orang atau sebesar 29,1%. Sedangkan terbanyak ketiga pada skor 7 dengan jumlah responden sebanyak 14 orang atau sebesar 11,7%.

Indikator kelima dari Hedonic Shopping Value yaitu dorongan (araousal), mendapat respon terbanyak pada skor 6 dengan jumlah responden sebanyak 49 orang atau sebesar 40,9%. Kemudian terbanyak kedua pada skor 5 dengan jumlah responden sebanyak 33 atau sebesar 27,5%. Sedangkan terbanyak ketiga pada skor 7 dengan jumlah responden sebanyak 15 orang atau sebesar 12,5%.


(60)

4.3.2. Deskripsi Fashion Involvement (X2)

Tabel 4.5. Frekuensi Hasil Jawaban Responden untuk Fashion Involvement (X2)

No Pernyataan Skor Jawaban Total

1 2 3 4 5 6 7

1

Anda menyesuaikan mode pakaian yang sedang tren karena gaya hidup, dengan berbelanja di Matahari Department Store.

0 1 5 19 36 39 20 120

0 0,8

% 4,2 % 15,8 % 30 % 32,5 % 16,7 % 100 % 2 Anda membayangkan produk Matahari Department Store, ketika menunjukkan perhatian yang lebih dan merasa cocok.

0 1 2 13 41 44 19 120

0 0,8 % 1,7 % 10,8 % 34,2 % 36,7 % 15,8 % 100 % 3

Anda berbelanja di Matahari Department Store, karena adanya diskon besar-besaran dan berbagai promo mode pakaian yang bermerek.

0 1 4 9 45 47 14 120

0 0,8

% 3,3 % 7,5 % 37,5 % 39,2 % 11,7 % 100 %

Sumber : Hasil Penyebaran Kuesioner (diolah peneliti) pada lampiran 2

Indikator pertama dari Fashion Involvement (X2) yaitu situasional, mendapat respon terbanyak pada skor 6 dengan jumlah responden sebanyak 39 orang atau sebesar 32,5%. Kemudian terbanyak kedua pada skor 5 dengan jumlah responden 36 orang atau sebesar 30%. Sedangkan terbanyak ketiga pada skor 7 dengan jumlah responden 20 orang atau sebesar 16,7%.

Indikator kedua dari Fashion Involvement (X2) yaitu abadi, mendapat respon terbanyak pada skor 6 dengan jumlah responden 44 orang atau sebesar 36,7%. Kemudian terbanyak kedua pada skor 5 dengan jumlah responden 41


(61)

orang atau sebesar 34,2%. Sedangkan terbanyak ketiga pada skor 7 dengan jumlah responden 19 orang atau sebesar 15,8.

Indikator ketiga dari Fashion Involvement (X2) yaitu tanggapan, mendapat respon terbanyak pada skor 6 dengan jumlah responden 47 orang atau sebesar 39,2%. Kemudian terbanyak kedua pada skor 5 dengan jumlah responden 45 orang atau sebesar 37,5 %. Sedangkan terbanyak ketiga pada skor 7 dengan jumlah responden 14 orang atau sebesar 11,7%.


(62)

4.3.3 Deskripsi Impulse Buying (Y)

Tabel 4.6. Frekuensi Hasil Jawaban Responden untuk Impulse Buying (Y)

No Pernyataan Skor Jawaban Total

1 2 3 4 5 6 7

1 Anda, bereaksi untuk berbelanja saat Matahari Department Store selalu memajang berbagai produknya digerai.

0 1 2 18 38 45 15 120

0 % 0,8 % 1,6 % 15 % 32,6 % 37,5 % 12,5 % 100 % 2 Anda, ingin secepatnya membeli saat berbelanja di Matahari Department Store. 0

% 1 6 19 41 41 12 120

0 % 0,8 % 5 % 15,8 % 34,2 % 34,2 % 10 % 100 % 3 Anda, sangat bergairah memenuhi kebutuhan penampilan dengan berbelanja di Matahari Department Store.

0 1 3 20 38 43 15 120

0 % 0,8 % 2,5 % 16,7 % 31,7 % 35,8 % 12,5 % 100 % 4 Anda, akan mengabaikan rasa penyesalan setelah berbelanja di Matahari Department Store.

0 1 3 13 38 45 20 120

0 % 0,8 % 2,5 % 10,8 % 31,7 % 37,5 % 16,7 % 100 %

Sumber : Hasil Penyebaran Kuesioner (diolah peneliti) pada lampiran 2

Indikator pertama dari Impulse Buying (Y) yaitu spontanitas, mendapat respon terbanyak pada skor 6 dengan jumlah responden sebanyak 45 orang atau sebesar 37,5%. Kemudian terbanyak kedua pada skor 5 dengan jumlah responden


(63)

38 orang atau sebesar 32, 6%. Sedangkan terbanyak ketiga pada skor 4 dengan jumlah respoden 18 orang atau sebesar 15%.

Indikator kedua dari Impulse Buying (Y) yaitu kekuatan, kompulsi, dan intensitas, mendapat respon terbanyak pada skor 6 dengan jumlah respoden 41 orang atau sebesar 34,2%. Kemudian terbanyak kedua pada skor 5 dengan jumlah respoden 41 orang atau sebesar 34,2%. Sedangkan terbanyak ketiga pada skor 4 dengan jumlah responden 19 orang atau sebesar 15,8%.

Indikator ketiga dari Impulse Buying (Y) yaitu kegairahan dan stimulasi, mendapat respon terbanyak pada skor 6 dengan jumlah responden 43 orang atau sebesar 35,8%. Kemudian terbanyak kedua pada skor 5 dengan jumlah responden 38 orang atau sebesar 31,7%. Sedangkan terbanyak ketiga pada skor 4 dengan jumlah responden 20 orang atau sebesar 16,7%.

Indikator keempat dari Impulse Buying (Y) yaitu ketidakpedulian akan akibat, mendapat respon terbanyak pada skor 6 dengan jumlah responden 45 orang atau sebesar 37,5%. Kemudian terbanyak kedua pada skor 5 dengan jumlah respoden 38 orang atau sebesar 31,7%. Sedangkan terbanyak ketiga pada skor 7 dengan jumlah responden 20 orang atau sebesar 16,7%.

4.4

.

Analisis Data 4.4.1. Evaluasi Outlier

Outlier adalah observasi atau data yang memiliki karakteristik unik yang terlihat sangat berbeda jauh dari observasi –observasi lainnya dan muncul dalam bentuk nilai ekstrim untuk sebuah variabel tunggal atau variabel kombinasi atau


(64)

multivariate (Hair et al, 1998). Evaluasi terhadap outlier multivariate (antar variabel) perlu dilakukan sebab walaupun data yang dianalisis menunjukkan tidak ada outliers pada tingkat univariate, tetapi observasi itu dapat menjadi outliers bila sudah saling dikombinasikan. Jarak antara Mahalanobis untuk tiap-tiap observasi dapat dihitung dan akan menunjukkan sebuah observasi dari rata-rata semua variabel dalam sebuah ruang multidimensional (Hair et al, 1998; Tabachnick & Fidel, 1996). Uji terhadap outliers multivariate dilakukan dengan menggunakan jarak Mahalanobis itu dievaluasi dengan menggunakan χ² (chi kuadrat) pada derajat bebas sebesar jumlah variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil uji outliers tampak pada tabel berikut.

Tabel 4.7. Outlier Data

Minimum Maximum Mean Std.

Deviation N Predicted Value 22,108 96,912 60,500 17,554 120 Std. Predicted Value -2,187 2,074 0,000 1,000 120 Standard Error of Predicted Value 5,433 17,397 10,118 2,516 120 Adjusted Predicted Value -4,591 98,436 59,927 18,761 120 Residual -66,439 73,892 0,000 30,031 120 Std. Residual -2,098 2,333 0,000 0,948 120 Stud. Residual -2,179 2,722 0,008 1,009 120 Deleted Residual -71,666 100,591 0,573 34,113 120 Stud. Deleted Residual -2,218 2,808 0,009 1,017 120 Mahalanobis Distance [MD] 2,510 34,915 11,900 6,710 120 Cook's Distance 0,000 0,206 0,011 0,024 120 Centered Leverage Value 0,021 0,293 0,100 0,056 120 (a) Dependent Variable : NO. RESP

Terdapat Outlier Apabila Mahalanobis Distance : > 32,909 =CHIINV(0,001.12)

Hasil evaluasi :

Terdapat outlier multivariat [antar variabel], karena MD Maksimum 34,915 ≥ 32,909

No Case 78 : 35,209 1 case outlier ini harus dieliminasi sehingga N pada analisis selanjutnya tinggal 120-1=119


(1)

71

bervariatif. Memaksa konsumen yang potensial dalam mengambil keputusan

pembelian dengan sikap hati-hati dan penuh pertimbangan. Karena, melihat dari

beberapa alasan. Diantaranya, sebelum membeli, pertama kali yang dilihat adalah

sensitifitas terhadap harga (pakaian), kemudian kualitas produk (pakaian), dan

barang kali masih setia dengan produk lama (pakaian). Meskipun, banyak alasan

yang menghinggapi. Tetapi, pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok

dalam mendukung penampilan pribadi. Maka, tetap akan membeli dan mengikuti

gaya hidup dengan perencanaan yang matang, melainkan tidak dengan

seketika/tiba-tiba (impulse). Mengingat, daya beli terhadap kualitas. Artinya,

masih menginkan kualitas tetapi dengan harga yang dapat dijangkau.

Matahari Department Store mampu menawarkan produk (pakaian) yang

berkualitas dengan trend masa kini dari beragam merek (konsinyasi). Bahkan,

berbagai promo dan kenikmatan diskon selalu digelar. Meskipun, itu menjadi

daya tarik tersendiri dan daya pikat yang luar biasa bagi konsumen. Secara umum,

untuk urusan harga masih ada perbedaan kemampuan dalam berbelanja mode


(2)

72

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan analisis SEM untuk

menguji “Peranan Hedonic Shopping Value dan Fashion Involvement terhadap

Perilaku Impulse Buying di Matahari Department Store Surabaya”. Maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Hedonic Shopping Value tidak berpengaruh terhadap Impulse Buying (pembelian impulse).

2. Fashion Involvement tidak berpengaruh terhadap Impulse Buying (pembelian impulse).

5.2. Saran

1. Keputusan pembelian impulse akan mudah muncul. Apabila, ada tawaran

menarik dari kualitas produk yang dilengkapi dengan beragam merek dan

disertai pilihan harga yang bervariatif atau bahkan dengan adanya promo

dan diskon.

2. Konsumen yang sebelumnya, belum pernah merasakan berbelanja yang

saat itu dikunjungi atau masih termasuk pengunjung. Maka, keputusan

pembelian impulse sangat mudah dirasakan. Karena, rasa penasaran dari keinginannya menikmati sebuah produk sangat tinggi.


(3)

73

3. Sebagai pertimbangan untuk penelitian berikutnya, disarankan agar

menggunakan variable lain atau variable tambahan yang belum

ditampilkan dalam penelitian ini yang dianggap mempunyai hubungan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alma, Buchari, 2004, Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Edisi Revisi, Penerbit CV, Alfabeta, Bandung.

Anderson, J.C. and D.W. Gerbing, 1988. Structural Equation Modeling in Practice A Review and Recommended Two Step Approach, Psycological Bulletin. 103 (3) : 411-423.

Babin, B.J.. et. Al., 1994, “Work and /or Fun : Measuring Hedonic and Utilitarian Shopping Value”, Journal of Consumer Research. Maret, Vol. 20, hal. 644-656.

Babin, J.B. and Darden, W.R. 1995, “Consumer Self-Regulation in a Retail Environment”, Journal of Retailing. Vol. 71 (1), hal. 47-70.

Bellenger, Danny N. dan Goldstucker, 1983, Retailing Basics. Richard D. Irwin. Inc, United States.

Beatty, S.E. and Ferrel, M.E. 1998. “Impulse Buying : Modelling Its Precursors”, Journal of Retailing. Vol. 74 (2), hal. 169-191.

Dunne P.L. et Al, 1992, Retailing Ohit : South-Western College Publishing Co.

Engel, James F, 1995, Perilaku Konsumen. Edisi Bahasa Indonesia, Jilid 2. Alih Bahasa Budjianto, Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta.

Ferdinand, Augusty, 2002, Metode Penelitian Manajemen Untuk penulisan skripsi, Tesis, dan Disertasi Ilmu Manajemen. Penerbit BP Undip, Semarang.

, Structural Equation Modelling Dalam Penelitian Manajemen. Penerbit BP Undip, Semarang.

Hair, J.F. et. Al, 1995, Multyvariate Data Analysis, Fourth Edition, Prentice – hall Internasional, Inc, New Jersey.


(5)

Hartline, Michael D. and O.C. Ferrel, 1996, “The Management of Costumer Contact Service Employes : An Empirical Investigation”, Journal of Marketing. 60 (4) : 52-70.

Haussman, Angela, 2000, “A Multi Method Invetigation of Consumer Motivations in Impulse Buying Behaviour”, Journal of Consumer Marketing. Vol. 17 (5), Hal. 403-419.

Hirschman, E.C. and M.B. Holbrook, 1982. “The Experiential Aspect of Consumption : Consumer Fantasies, Feelings, and Fun”, Journal of Consumer Research. September, Vol. 9, hal. 132-140.

Kotler, Philip, 1997, Manajemen Pemasaran : Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Kontrol. Edisi Bahasa Indonesia, Jilid 1. Alih Bahasa Hendra Teguh, dkk. Penerbit Prehallin do, Jakarta.

& Amstrong, Gary, 2006, Prinsip-Prinsip Pemasaran. Edisi Bahasa Indonesia. Edisi 12, Alih Bahasa Bob Samran, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Ma’ ruf, Hendri, 2005, Pemasaran Ritel. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Mowen, John C, dan Minor Michael, 2002, Perilaku Konsumen. Edisi Bahasa Indonesia, Jilid 2. Alih Bahasa Dwi Kartini Yahya, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Peter, J. Paul dan Olson, Jerry C, 1999, Perilaku Konsumen dan Strategi Pemasaran. Edisi Bahasa Indonesia. Edisi 4, Alih Bahasa Damos Sihombing, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Piron F. 1991, “Defining Impulse Purchasing “, Advances in Consumer Research. Vol. 18, hal. 509-514.

Samuel, Hatane, 2005, “Respon Lingkungan Belanja Sebagai Stimulus Pembelian Tidak Terencana Pada Toko Serba Ada (Toserba) (Studi Kasus Carrrefour Surabaya)“, Journal Manajemen dan Kewirausahaan. September, Vol. 7, hal. 140-158.

Schiffman, Leon G. dan Kanuk Leslie L, 1994, Consumer Behavior. Prentice – Hall, Inc, United States.


(6)

Setiadi, Nugroho J, 2003, Perilaku Konsumen : Konsep dan Implikasi Untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran. Edisi Pertama, Penerbit Prenada Media, Bogor.

Simamora, Bilson, 2002, Panduan Riset Perilaku Konsumen. penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Stanton, William J, 1985, Prinsip Pemasaran. Edisi Bahasa Indonesia, Alih Bahasa Yohanes Lamarto, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Sujana, Asep ST, 2005, Paradigma Baru Dalam Manajemen Ritel Modern. Penerbit PT. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Swastha, Basu dan Irawan, 1990, Manajemen Pemasaran Modern. Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Jurnal :

Park, E.J. et. Al, 2006, “A Structural Model of Fashion-Oriented Impulse Buying Behaviour”, Journal of Fashion Marketing and Management.

Rachmawati, Veronika, 2009, ”Hubungan Antara Hedonic Shopping Value, Positive Emotion, dan Impulse Buying Pada Konsumen Ritel”. Majalah Ekonomi.