Efek hepatoprotektif pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L. terhadap aktivitas ALT-AST serum pada tikus betina terinduksi karbon tetraklorida.

(1)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif dan dosis efektif pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L. terhadap tikus

putih betina galur Wistar terinduksi karbon tetrklorida.

Penelitian ini bersifat eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus betina galur Wistar, umur 2-3 bulan, dengan berat ±120-200 gram dibagi secara acak menjadi 6 kelompok. Kelompok I (kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal dan setelah jam ke-24 diambil darahnya.

Kelompok II (kontrol negatif) diberi olive oil 2 mL/kgBB secara intraperitoneal

dan setelah jam ke-24 diambil darahnya. Kelompok III (kontrol perlakuan) diberi infusa herba Bidens pilosa L. dosis 2 g/kgBB secara per oral, kemudian setelah 6

jam diambil darahnya. Kelompok IV, V, dan VI (kelompok perlakuan) masing- masing diberi infusa herba Bidens pilosa L. dengan dosis 0,5; 1 ;dan 2 g/kgBB,

kemudian 6 jam setelah pemberian infusa secara per oral dilakukan pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Pada jam ke-24

setelah pemberian karbon tetraklorida, kelompok perlakuan diambil darahnya melalui sinus orbitalis mata tikus. Data serum ALT dan AST yang didapat, dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk untuk melihat distribusi datanya kemudian

dilanjutkan analisis dengan uji One Way Anova untuk mengetahui perbedaan

aktivitas ALT dan AST serum antar kelompok.

Hasil penelitian menunjukkan adanya efek hepatoprotektif dari infusa herba Bidens pilosa L. dengan %hepatoprotektif dari peringkat dosis 1 hingga 3

berdasarkan serum ALT secara berurutan sebesar 73,38; 89,93; dan 62,63% dan berdasarkan serum AST sebesar 40,9; 57,3; dan 34,17%. Dari data pengukuran diperoleh dosis efektif pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L.

sebesar 1 g/KgBB.

Kata kunci : Hepatoprotektif, Bidens pilosa L., infusa, karbon tetraklorida, jangka pendek, ALT, AST.


(2)

ABSTRACT

The aim of study research were to prove the hepatoprotective of Bidens pilosa L. herb infusion and the effective dose in short term period in female

Wistar rats induced carbon tetrachloride.

This research was purely experimental research with randomized complete direct sampling design. This research used 30 female Wistar rats, aged 2-3 month and 120-200 gram weight. Group I was carbon tetrachloride hepatotoxin control dose 2 mL/kgBW intraperitoneally and group II was olive oil control given 2 mL/kgBW intraperitoneally then after 24 hour their blood was drawn. Group III was control treatment given 2 g/kgBW infusion of Bidens pilosa

L. herb orally, then after 6 hour, their blood was drawn. Group IV-VI were the treatment group for infusion of Bidens pilosa L. herb with dose 0.5, 1, and 2

g/kgBW orally and then 6 hours after treatment given hepatotoxic dose of carbon tetrachloride at a dose of 2 mL/kgBW intraperitioneally. At the 24 hour after administration CCl4, all groups had blood drawn at the orbital sinus region for

measured of ALT and AST serum activity. Data of ALT and AST serum which obtained were analyzed using Shapiro-Wilk test to look at data distribution and One Way ANOVA test was used to determine the differences in ALT and AST

serum of each group.

The result of this study shown, that the infusion Bidens pilosa L. herbs

had hepatoprotective effect with %hepatoprotective ALT serum were 73.38, 89.93, and 62.63%. The %hepatoprotective AST serum were 40.9, 57.3, and 34.17%. Based on those data, the most effective dose from infusion of Bidens pilosa L. in short term period was 1 g/kgBW.

Keywords : Hepatoprotective, Bidens pilosa L., infuse, carbon tetrachloride, short


(3)

EFEK HEPATOPROTEKTIF PEMBERIAN JANGKA PENDEK INFUSA HERBA Bidens pilosa L. TERHADAP AKTIVITAS ALT-AST SERUM

PADA TIKUS BETINA TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Prasetyo Handy Kurniawan NIM : 118114108

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

EFEK HEPATOPROTEKTIF PEMBERIAN JANGKA PENDEK INFUSA HERBA Bidens pilosa L. TERHADAP AKTIVITAS ALT-AST SERUM

PADA TIKUS BETINA TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Prasetyo Handy Kurniawan NIM : 118114108

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Education is a weapon whose effects depend on who holds it in

his hands and at whom it is aimed

-Stalin Joseph-

Kupersembahkan karya kecil ini untuk : Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan pertolongan-Nya di dalam hidupku Papa, Mama, Kakak dan Adik tercinta yang senantiasa memberi doa, dukungan semangat dan kasih sayang Lenny Lawren atas doa, cinta, kesabaran, dan dukungan Sahabat-sahabatku terkasih Almamaterku tercinta


(8)

(9)

(10)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efek Hepatoprotektif pemberian Jangka Pendek Infusa Herba Bidens pilosa

L. terhadap Aktivitas ALT-AST Serum pada Tikus Betina Terinduksi Karbon Tetraklorida” ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi, tidak terlepas dari bantuan dan campur tangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Prof. Dr. CJ Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Pembimbing, atas segala arahan, bantuan, dukungan, motivasi, pengertian, kesabaran, dan ketulusannya selama membimbing penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi.

3. Ibu Phebe Hendra, Ph.D., Apt., selaku Dosen Penguji skripsi atas bantuan dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

4. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dosen Penguji skripsi atas bantuan dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.


(11)

viii

5. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M. Si., yang telah membantu peneliti dalam determinasi tanaman Bidens pilosa L.

6. Ibu Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt., sebagai Kepala Laboratorium Fakultas Farmasi terdahulu dan Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt., selaku Kepala Laboratorium Fakultas Farmasi saat ini yang telah memberi izin dalam penggunaan fasilitas laboratorium Imono, Farmakologi-Toksikologi, Biofarmasetika-Farmakokinetika, Biokimia, Farmakognosi-Fitokimia, dan Kimia Analisis demi terselesaikannya skripsi ini.

7. Seluruh Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, atas didikan, bimbingan, dan pendampingannya dalam proses perkuliahan.

8. Pak Supardjiman selaku laboran Laboratorium Farmakologi-Toksikologi, Pak Heruselaku laboran Laboratorium Biofarmasetika-Farmakokinetika, Pak Wagiran selaku laboran Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia, serta Pak Kayatno selaku laboran Laboratorium Biokimia atas kerja sama dan segala bantuan selama dilaboratorium.

9. Komite Etik Universitas Gadjah Mada, atas ijin penggunaan hewan uji dalam penelitian.

10. Alexander Budi Kuncoro, Apriyanto Gomes, Leonardo Susanto, dan Vina Alvionita Soesilo sebagai rekan tim Bidens pilosa L dalam

menjalankan penelitian yang dengan rela membantu kegiatan penelitian penulis.


(12)

ix

11. Seluruh warga FKK B angkatan 2011 dan kelas C serta semua teman Farmasi USD khususnya angkatan 2011.

12. Semua pihak yang telah membantu, memudahkan, dan memperlancar proses skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran dan masukan demi kemajuan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian, serta semua pihak, baik mahasiswa, lingkungan akademis, maupun masyarakat.

Yogyakarta, 7 Januari 2015


(13)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

INTISARI ... xix

ABSTRACT ... xx

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 4

2. Keaslian penelitian ... 4

3. Manfaat penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 6


(14)

xi

2. Tujuan khusus ... 6

BAB II. PENELAHAAN PUSTAKA ... 7

A. Herba Bidens pilosa L. ... 7

1. Deskripsi tanaman ... 7

2. Klasifikasi tanaman ... 7

3. Nama daerah ... 8

4. Penyebaran ... 8

5. Kandungan fitokimia ... 8

6. Khasiat dan kegunaan ... 10

B. Hati ... 11

1. Anatomi dan fisiologi hati ... 11

2. Kerusakan hati ... 12

3. Perlemakan hati ... 13

C. Hepatotoksin ... 14

D. Karbon Tetraklorida (CCl4) ... 15

1. Sinonim karbon tetraklorida ... 15

2. Sifat karbon tetraklorida ... 15

3. Penggunaan karbon tetraklorida ... 15

4. Metabolisme karbon tetraklorida ... 16

E. Metode Penyarian ... 18

F. Pengukuran serum Alanine Transaminase (ALT) dan Aspartate Transaminase (AST) ... 19


(15)

xii

H. Hipotesis ... 21

BAB III. METODE PENELITIAN... 22

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 22

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 22

1. Variabel utama ... 22

2. Variabel pengacau ... 22

3. Definisi operasional ... 23

C. Bahan Penelitian ... 24

1. Bahan utama ... 24

2. Bahan kimia ... 24

D. Alat Penelitian ... 26

E. Tata Cara Penelitian ... 26

1. Determinasi herba Bidens pilosa L. ... 26

2. Pengumpulan bahan uji ... 26

3. Pembuatan serbuk herba Bidens pilosa L. ... 27

4. Penetapan kadar air pada serbuk herba Bidens pilosa L. ... 27

5. Pembuatan infusa herba Bidens pilosa L. ... 27

6. Penetapan dosis infusa herba Bidens pilosa L. ... 28

7. Pembuatan larutan karbon tetraklorida dalam olive oil ... 28

8. Uji pendahuluan ... 28

9. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji ... 29

10.Pembuatan serum ... 30


(16)

xiii

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 30

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Penyiapan Bahan ... 32

1. Determinasi tanaman ... 32

2. Penetapan konsentrasi infusa ... 32

3. Hasil penetapan kadar air ... 34

B. Uji Pendahuluan... 34

1. Penetapan dosis hepatotoksin kabon tetraklorida... 34

2. Penetapan waktu pencuplikan darah hewan uji... 35

3. Penentuan dosis infusa herba Bidens pilosa L. ... 40

C. Hasil Uji Efek Hepatoprotektif Jangka Pendek Infusa Herba Bidens Pilosa L. pada Tikus Betina Terinduksi Karbon Tetraklorida ... 40

1. Kontrol negatif olive oil 2 mL/kgBB ... 44

2. Kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB ... 45

3. Kontrol perlakuan infusa herba Bidens pilosa L. 2 g/kgBB .... 46

4. Kelompok perlakuan infusa herba Bidens pilosa L. dosis 0,5; 1; 2 g/kgBB pada tikus betina terinduksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB ... 47

D. Rangkuman Pembahasan ... 55

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 58


(17)

xiv

LAMPIRAN ... 64 BIOGRAFI PENULIS ... 90


(18)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Tingkat relatif peningkatan enzim serum pada beberapa kasus kerusakan hati oleh racun ... 17 Tabel II. Komposisi dan konsentrasi reagen ALT ... 25 Tabel III. Komposisi dan konsentrasi reagen AST ... 25 Tabel IV. Aktivitas serum ALT-AST setelah pemberian karbon

tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 , 48 jam ... 36 Tabel V. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT setelah pemberian

karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam ke 0, 24, 48 jam ... 37 Tabel VI. Perbedaan kenaikan aktivitas serum AST setelah pemberian

karbon tetraklorida dosis 2mL/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam ke 0, 24, 48 ... 39 Tabel VII. Purata ± SE aktivitas serum ALT dan AST, serta % efek

hepatoprotektif tikus perlakuan infusa herba Bidens pilosa L.

terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ... 41 Tabel VIII. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap

perlakuan infusa herba Bidens pilosa L. berdasarkan serum


(19)

xvi

Tabel IX. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap perlakuan infusa herba Bidens pilosa L. berdasarkan serum

AST pada variasi dosis tertentu ... 43 Tabel X. Aktivitas serum ALT-AST tanpa perlakuan (jam-0) dengan

perlakuan kontrol negatif (jam 24) ... 44 Tabel XI. Perbandingan aktivitas serum ALT tanpa perlakuan (jam-0)

dengan perlakuan kontrol negatif (jam-24) ... 45 Tabel XII. Perbandingan aktivitas serum AST tanpa perlakuan (jam-0)


(20)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Herba Bidens pilosa L. ... 7

Gambar 2. Struktur Metabolit Herba Bidens pilosa L. ... 9

Gambar 3. Struktur Mikroskopik Hati ... 11

Gambar 4. Struktur Karbon tetraklorida ... 15

Gambar 5. Mekanisme toksisitas karbon tetraklorida ... 17

Gambar 6. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu 0, 24, 48 jam ... 37

Gambar 7. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu 0, 24 ,48 jam ... 39

Gambar 8. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT tikus perlakuan infusa herba Bidens pilosa L. terinduksi karbon tetraklorida ... 42

Gambar 9. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST tikus perlakuan infusa herba Bidens pilosa L. terinduksi karbon tetraklorida ... 43


(21)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto Serbuk Herba Bidens pilosa L. ... 65

Lampiran 2. Foto Pembuatan Infusa Herba Bidens pilosa L. ... 65

Lampiran 3. Foto Infusa Herba Bidens pilosa L. ... 65

Lampiran 4. Surat Determinasi Herba Bidens pilosa L. ... 66

Lampiran 5. Surat Medical and Health Research Ethics Committee (MHREC) ... 67

Lampiran 6. Hasil analisis statistik aktivitas serum ALT dan AST pada uji pendahuluan waktu pencuplikan darah hewan uji setelah induki karbon tetraklorida 2 mL/kgBB ... 68

Lampiran 7. Hasil analisis statistik data ALT dan AST pada kelompok kontrol olive oil dosis 2 mL/kgBB ... 73

Lampiran 8. Hasil analisis statistik data kontrol CCl4, kontrol olive oil, kontrol infusa, dan perlakuan infusa herba Bidens pilosa L. dosis 0,5 g/kgBB; 1 g/kgBB; dan 2 g/kgBB ... 77

Lampiran 9. Perhitungan %hepatoprotektif ... 87

Lampiran 10. Penetapan kadar air serbuk herba Bidens pilosa L. ... 88


(22)

xix INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif dan dosis efektif pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L. terhadap tikus

putih betina galur Wistar terinduksi karbon tetrklorida.

Penelitian ini bersifat eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus betina galur Wistar, umur 2-3 bulan, dengan berat ±120-200 gram dibagi secara acak menjadi 6 kelompok. Kelompok I (kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal dan setelah jam ke-24 diambil darahnya.

Kelompok II (kontrol negatif) diberi olive oil 2 mL/kgBB secara intraperitoneal

dan setelah jam ke-24 diambil darahnya. Kelompok III (kontrol perlakuan) diberi infusa herba Bidens pilosa L. dosis 2 g/kgBB secara per oral, kemudian setelah 6

jam diambil darahnya. Kelompok IV, V, dan VI (kelompok perlakuan) masing- masing diberi infusa herba Bidens pilosa L. dengan dosis 0,5; 1 ;dan 2 g/kgBB,

kemudian 6 jam setelah pemberian infusa secara per oral dilakukan pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Pada jam ke-24

setelah pemberian karbon tetraklorida, kelompok perlakuan diambil darahnya melalui sinus orbitalis mata tikus. Data serum ALT dan AST yang didapat, dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk untuk melihat distribusi datanya kemudian

dilanjutkan analisis dengan uji One Way Anova untuk mengetahui perbedaan

aktivitas ALT dan AST serum antar kelompok.

Hasil penelitian menunjukkan adanya efek hepatoprotektif dari infusa herba Bidens pilosa L. dengan %hepatoprotektif dari peringkat dosis 1 hingga 3

berdasarkan serum ALT secara berurutan sebesar 73,38; 89,93; dan 62,63% dan berdasarkan serum AST sebesar 40,9; 57,3; dan 34,17%. Dari data pengukuran diperoleh dosis efektif pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L.

sebesar 1 g/KgBB.

Kata kunci : Hepatoprotektif, Bidens pilosa L., infusa, karbon tetraklorida, jangka pendek, ALT, AST.


(23)

xx ABSTRACT

The aim of study research were to prove the hepatoprotective of Bidens pilosa L. herb infusion and the effective dose in short term period in female

Wistar rats induced carbon tetrachloride.

This research was purely experimental research with randomized complete direct sampling design. This research used 30 female Wistar rats, aged 2-3 month and 120-200 gram weight. Group I was carbon tetrachloride hepatotoxin control dose 2 mL/kgBW intraperitoneally and group II was olive oil control given 2 mL/kgBW intraperitoneally then after 24 hour their blood was drawn. Group III was control treatment given 2 g/kgBW infusion of Bidens pilosa

L. herb orally, then after 6 hour, their blood was drawn. Group IV-VI were the treatment group for infusion of Bidens pilosa L. herb with dose 0.5, 1, and 2

g/kgBW orally and then 6 hours after treatment given hepatotoxic dose of carbon tetrachloride at a dose of 2 mL/kgBW intraperitioneally. At the 24 hour after administration CCl4, all groups had blood drawn at the orbital sinus region for

measured of ALT and AST serum activity. Data of ALT and AST serum which obtained were analyzed using Shapiro-Wilk test to look at data distribution and One Way ANOVA test was used to determine the differences in ALT and AST

serum of each group.

The result of this study shown, that the infusion Bidens pilosa L. herbs

had hepatoprotective effect with %hepatoprotective ALT serum were 73.38, 89.93, and 62.63%. The %hepatoprotective AST serum were 40.9, 57.3, and 34.17%. Based on those data, the most effective dose from infusion of Bidens pilosa L. in short term period was 1 g/kgBW.

Keywords : Hepatoprotective, Bidens pilosa L., infuse, carbon tetrachloride, short


(24)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Hati merupakan organ metabolisme terbesar dan kompleks yang terletak di bawah kerangka iga. Salah satu fungsi hati adalah menjaga homeostatis metabolik dengan mendetoksifikasi senyawa-senyawa yang masuk ke dalam tubuh. Jika hati mengalami kerusakan atau kelainan maka fungsinya dalam tubuh akan terganggu. Salah satu kelainan atau kerusakan organ hati yang sering dijumpai adalah perlemakan hati (steatosis).

Penyakit perlemakan hati berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi dua, yaitu perlemakan hati diperantarai alkohol dan perlemakan hati yang tidak diperantarai alkohol. Penyakit perlemakan hati yang tidak diperantarai alkohol disebut nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD). Pada sebagian pasien yang

menderita NAFLD dikaitkan dengan faktor resiko sindrom metabolit seperti obesitas, diabetes mellitus, dan dislipidemia. Secara histologi NAFLD dibagi menjadi nonalcoholic fatty liver (NAFL) dan nonalcoholic steatohepatitis

(NASH). NAFL didefinisikan steatosis hati tanpa adanya kerusakan hepatosit

(ballooning). NASH didefinisikan sebagai steatosis hati dan peradangan dengan

kerusakan hepatosit (ballooning) dengan atau tanpa fibrosis (Chalasani, et al.,

2012).

NAFLD menjadi penyakit hati yang paling umum di seluruh dunia. Prevalensi dari NAFLD pada populasi di negara-negara bagian Barat diperkirakan 20-30% dan di negara-negara Asia prevalensi NAFLD sekitar 15%. Di Indonesia


(25)

sendiri prevalensi NAFLD mencapai 30% (Hasan, Gani, and Machmud., 2002).

Sekitar 2-3% dari populasi umum diperkirakan memiliki nonalcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan hepatocarcinoma (Bellentani, Scaglioni, Marino, and Bedogni, 2010).

Indonesia adalah negara dengan biodiversitas tinggi yang memiliki 30.000 jenis tumbuhan dan 7.000 di antaranya merupakan tanaman obat (Sampurno, 2003). Herba Bidens pilosa L. adalah salah satu tanaman di antaranya

yang berasal dari Amerika Selatan dan sekarang ditemukan di hampir semua negara wilayah tropis dan subtropis di seluruh dunia termasuk Indonesia. Seluruh bagian herba Bidens pilosa L., termasuk akar, batang, daun dan bunga baik dalam

bentuk segar ataupun kering sering digunakan sebagai bahan obat tradisional dan hampir semua bagian pada herba Bidens pilosa L. memiliki kandungan flavonoid

(Bartolome, Villaseñor, Yang, 2013).

Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa produk alami, mengandung antioksidan akan mengurangi peroksidasi lipid yang disebabkan oleh karbon tetraklorida(Khan and Ahmed, 2009). Di Taiwan herba Bidens pilosa L.

yang memiliki kandungan antioksidan telah terbukti efektif untuk menyembuhkan hepatitis (Lee, Peng, Chang, Huang, and Chyau, 2013). Berdasarkan penelitian Yuan, et al. (2008) ekstrak Bidens pilosa L. memiliki kadar flavonoid tinggi dan

berpotensi sebagai hepatoprotektor. Penelitian di Brazil menunjukan bahwa aktivitas antioksidan dari herba Bidens pilosa L. sebagian besar diwakili oleh

senyawa golongan flavonoid (Cortés-Rojas, Chagas-Paula, Da Costa, Souza, Oliveira, 2013).


(26)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa sebanyak 5,6 miliar orang didunia ini, 80% populasi telah memanfaatkan jamu untuk menjaga kesehatan primer (Bartolome, et al., 2013). Di Indonesia, sebagian besar

pemanfaatan tanaman obat sebagai jamu dilakukan dengan cara merebus tanaman obat yang kemudian air rebusan tersebut dikonsumsi. Proses pembuatan sediaan farmasi yang mendekati dengan rebusan adalah infundasi karena dalam prosesnya sama-sama mendapat pemanasan dengan penyari air.

Penelitian yang dilakukan oleh Ariyanti (2007) menguji aktivitas antioksidan dari fraksi air ekstrak metanolik herba Bidens pilosa L. dan diketahui

pada fraksi air terdapat kandungan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan. Ekstrak air dari herba Bidens pilosa L. memiliki efek hepatoprotektif terhadap

penyakit kolestasis pada tikus muda yang berumur 21 hari (Suzigan, Battochio, Coelho, and Coelho, 2009). Berdasarkan kedua penelitian tersebut herba Bidens pilosa L. dalam pelarut air memiliki aktivitas antioksidan dan hepatoprotektif.

Oleh karena itu, penggunaan infusa herba Bidens pilosa L. yang juga

menggunakan air sebagai pelarut diharapkan memiliki efek serupa.

Penelitian terbaru menunjukkan fraksi etil asestat herba Bidens pilosa L.

mengandung derivat flavonoid yang teridentifikasi quercetin memiliki aktivitas

hepatoprotektif terhadap kerusakan hati pada mencit terinduksi karbon tetraklorida (Kviecinski, et al., 2011). Proses pemanasan pada infundasi akan

meningkatan kelarutan senyawa-senyawa fenolik serta flavonoid yang kurang larut air. Salah satunya adalah metabolit sekunder quercetin dalam herba Bidens pilosa L. akan lebih mudah terlarut dalam air panas (Xu, Chen, Xhang, Jiang, Ye,


(27)

2008). Kandungan flavonoid yang tersari dalam infusa diharapkan memiliki efek hepatoprotektif terhadap kerusakan hati yang disebabkan oleh senyawa model karbon tetraklorida.

Senyawa karbon tetraklorida (CCl4) merupakan pelarut industri yang

sering digunakan sebagai senyawa model untuk menginduksi perlemakan hati. CCl4 dimetabolisme oleh mikrosomal hati sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) dan

akan membentuk radikal bebas triklorometil (•CCl3) (Jeon, et al., 2003). Ketika

radikal bebas triklorometil bereaksi dengan oksigen akan membentuk radikal triklorometilperoksi yang lebih reaktif. Radikal bebas triklorometil dan radikal triklorometilperoksi akan merusak membran lipid endoplasma diawali dengan peroksidasi lipid. Peningkatan radikal bebas karbon tetraklorida akan berpengaruh pada berbagai perubahan patologis hati (Cemek, et al., 2010).

Kerusakan sel-sel hati (hepatosit) atau kenaikan permeabilitas membran akan melepaskan enzim-enzim transaminase seperti ALT menuju ke aliran darah. Serum ALT merupakan indikator yang sensitif untuk kerusakan hati akut, walaupun ALT lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan AST, tetapi kedua enzim ini sering diukur secara bersamaan untuk mengevaluasi kelainan hati. (Bairwa, Kumar, Sharma, and Roy, 2010).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L. sebagai efek

hepatoprotektif pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dengan melihat aktivitas serum ALT dan AST dan untuk mengetahui dosis efektif pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L. dalam memberikan efek hepatoprotektif.


(28)

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Apakah pemberian perlakuan jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L.

memiliki pengaruh hepatoprotektif terhadap penurunan aktivitas serum ALT dan AST pada tikus putih betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida? b. Berapakah dosis paling efektif pemberian jangka pendek infusa herba

Bidens pilosa L. pada tikus putih betina galur Wistar terinduksi karbon

tetraklorida? 2. Keaslian penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Kviecinski, et al. (2011) melihat aktivitas

antioksidan dan efek hepatoprotektif dari fraksi etil asestat herba Bidenspilosa L.

yang mengandung quercetin–derivat flavonoid. Pada penelitian tersebut diketahui

bahwa herba Bidens pilosa L. memiliki efek hepatoprotektif pada mencit.

Penelitian Cortés-Rojas et al. (2013) yang meneliti senyawa bioaktif herba Bidens pilosa L. didapatkan hasil yang menunjukan kandungan flavonoid pada herba Bidens pilosa L. bertanggung jawab terhadap aktivitas antioksidan. Penelitian

Suzigan, et al. (2009) melakukan uji hepatoprotektif terhadap penyakit kolestasis

dengan pemberian ekstrak air pada tikus berumur 21 hari.

Sejauh studi pustaka yang dilakukan oleh peneliti, penelitian tentang efek hepatoprotektif pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L.

terhadap aktivitas serum ALT dan AST tikus putih betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida belum pernah dilakukan.


(29)

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kefarmasian mengenai infusa herba Bidens pilosa L. yang

memiliki efek hepatoprotektif jangka pendek. b. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat terkait dosis efektif pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L. dalam menghasilkan efek

hepatoprotektif.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Untuk membuktikan pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L. memiliki efek hepatoprotektif dengan menurunkan aktivitas serum ALT

dan AST pada tikus putih betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. 2. Tujuan khusus

a. Mengetahui efek hepatoprotektif pemberian jangka pendek infusa herba

Bidens pilosa L. terhadap penurunan aktivitas serum ALT dan AST pada

tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

b. Mengetahui dosis efektif pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L. dalam memberikan efek hepatoprotektif pada tikus betina galur


(30)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Herba Bidens pilosa L. 1. Deskripsi tanaman

Gambar 1. Herba Bidens pilosa L. (Bairwa, et al., 2010)

Herba Bidens pilosa L. (gambar 1) merupakan tanaman terna (berbatang

lunak) yang berasal dari Amerika namun dinaturalisasi di Indonesia. Tanaman ini tumbuh pada ketinggian 250-2.500 meter dpl. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 150 cm dengan batang berbentuk segi empat berwarna hijau. Daun terbagi tiga, berbentuk bulat telur dengan tepi bergerigi. Bunga bertangkai panjang, mahkota bunga berwarna putih dengan putik berwarna kuning (Redaksi AgroMedia, 2008). 2. Klasifikasi tanaman

Kingdom : Plantae


(31)

Superdivision : Spermatophyta Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Subclass : Asteridae Order : Asterales Family : Asteraceae

Genus : Bidens

Species : Bidens pilosa L.

(Agriculture USDA, 2014). 3. Nama daerah

Nama lokal herba Bidens pilosa L. di daerah Sunda adalah ajeran, dan

hareuga, sedangkan di Jawa, herba Bidens pilosa L. dikenal dengan nama

jarongan, ketul, dan petul (Redaksi AgroMedia, 2008). 4. Penyebaran

Herba Bidens pilosa L. tersebar di hampir semua daerah tropis dan

subtropis, antara lain Amerika, Afrika, Asia, dan Oceania (Arthur, Naidoo, and Coopoosamy, 2012).

5. Kandungan fitokimia

Kandungan herba Bidens pilosa L. adalah poliasetilen, flavonoid, sterol,

terpenoid, dan hidrokarbon. Flavonoid merupakan metabolit yang paling dominan pada herba Bidens pilosa L. yang dibagi kembali menjadi auron, kalkon, flavanon,


(32)

ditemukan dalam herba Bidens pilosa L. adalah auron, okaninglycoside,

centaurein, luteolin, quercetin, dan isoquercetin (gambar 2) (Bairwa, et al., 2010).

Gambar 2. Struktur Flavonoid Herba Bidens pilosa L. (Bairwa, et al., 2010) Berdasarkan penelitian Bartolome, et al. (2013), dari 116 publikasi

mengenai eksplorasi dan penggunaan herba Bidens pilosa L. ditemukan 201


(33)

menjadi 12 golongan, yaitu 70 aliphatic, 60 flavonoid, 25 terpenoid, 19 phenylpropanoid, 13 aromatic, 8 porphiryns dan 6 golongan lainnya.

Herba Bidens pilosa L. memiliki kandungan flavonoid yang dominan,

tetapi dari 60 flavonoid yang telah teridentifikasi hanya tujuh yang telah dipelajari memiliki aktivitas biologis. Beberapa nama flavonoid yang telah dipelajari memiliki aktivitas biologis, yaitu centaureidin, centaurien, luteolin, butein, quercetin 3-O-ß-D-galactopyranoside, quercetin 3,3’-dimethyl eter, dan jacein

(Bartolome, et al., 2013).

6. Khasiat dan kegunaan

Di Martinique, dekokta herba Bidens pilosa L. digunakan untuk

mengobat inflamasi dan hipoglikemik. Orang-orang Zulu memanfatkan rebusan herba Bidens pilosa L. untuk pengobatan disentri, diare dan kolik. Di negara Cina, Bidens pilosa L. telah populer digunakan sebagai bahan teh herbal atau obat

tradisional untuk mengobati berbagai gangguan, seperti diabetes, peradangan, enteritis, disentri basiler dan faringitis (Chiang, Chang, Chang, Yang, Shyur, 2007). Di Brasil, herba Bidens pilosa L. secara luas telah digunakan sebagai oleh

masyarakat setempat untuk mengobati berbagai penyakit seperti demam, angina, diabetes, edema, infeksi dan peradangan (Silva, et al., 2011). Suku Amazon

Indian telah menggunakan herba Bidens pilosa L. sebagai obat tradisional

antimalaria dan antitumor (Kviecinski, et al., 2008). Selain itu, di Amazon dan

Brasil selatan, rebusan hydroalcoholic akar Bidens pilosa L. berguna dalam


(34)

B. Hati 1. Anatomi dan fisiologi hati

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat rata-rata sekitar 1500 g atau sekitar 2,5% dari berat badan orang dewasa normal. Bentuk hati menyesuaikan struktur di sekitarnya (Price dan Wilson, 2005). Hati terletak di regio hypochondrium kanan dan epigastrium, dan secara keseluruhan

hati tertutup oleh dinding thorax. (Wibowo dan Paryana, 2009). Bagian atas hati

berbentuk cembung dan terletak di bagian kanan bawah diafragma dan sebagian di sebelah kiri bawah. Bagian bawah hati berbentuk cekung dan melindungi pankreas, ginjal kanan, lambung, dan usus (Price dan Wilson, 2005).

Hati terdiri dari dua lobus utama, yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral. Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler yang dinamakan sinusoid. Sel Kupffer (gambar 3) yang terdapat pada dinding sinusoid hati,

berfungsi sebagai sel endotel untuk memfagositosis mikroorganisme dalam vena porta sebelum darah menyebar melewati seluruh sinusoid (Husadha, 1996).


(35)

Hati mempunyai peranan yang vital dalam kelangsungan hidup, hampir setiap metabolisme dalam tubuh dilakukan oleh hati dengan 500 aktivitas yang berbeda. Fungsi utama dari hati adalah untuk membentuk dan mensekresi empedu. Selain itu, hati berperan dalam metabolisme protein, lemak dan karbohidrat. Fungsi metabolisme lainnya adalah untuk penyimpanan vitamin, besi, dan tembaga, konjugasi dan eksresi steroid adrenal, dan detoksifikasi beberapa senyawa eksogen dan endogen. Detoksifikasi dilakukan secara enzimatis melalui reaksi oksidasi, hidrolisis, reduksi, atau konjugasi senyawa-senyawa berbahaya bagi tubuh kemudian mengubahnya menjadi bentuk yang tidak aktif (Price dan Wilson, 2005).

2. Kerusakan hati

Kerusakan hati disebabkan karena adanya kerusakan yang parah pada sel-sel hepatosit atau kerusakan berulang sel parenkim. Hati memiliki kapasitas cadangan sehingga manifestasi klinis dari kerusakan hati baru akan muncul ketika telah terjadi kerusakan hati yang mencapai 80%-90%. Kerusakan hati dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kerusakan hati akut, kerusakan hati kronis dan disfungsi hati tanpa nekrosis yang tampak (Crawford dan Liu, 2010).

Berdasarkan manifestasi klinis yang terjadi dan pola spesifik pada histopatologi, kerusakan sel hati dapat dibagi lebih lanjut sebagai berikut:

a. Nekrosis sentrolobuler

Sering terjadi pada induksi obat hepatotoksik yang bergantung pada dosis. Nekrosis sentrolobuler biasanya terjadi karena produksi


(36)

metabolit beracun dari suatu senyawa. Kerusakan yang terjadi menyebar ke luar mulai dari tengah lobus.

b. Perlemakan hati (Steatosis)

Merupakan suatu kerusakan sel hati akut yang ditandai dengan penumpukan lemak pada sel-sel hati. Obat-obat dapat menyebabkan terjadinya steatonecrosis dengan cara mempengaruhi proses oksidasi

asam lemak di dalam mitokondria. c. Phospholipidosis

Merupakan akumulasi dari fosfolipid sebagai pengganti asam lemak. Fosfolipid biasanya menelan badan lisosom dari sel hati.

d. Kematian sel (nekrosis) hepatoselular tergeneralisasi

Nekrosis hepatoselular tergeneralisasi hampir mirip perubahan karena adanya infeksi hati oleh virus yang umum. Waktu terjadinya gejala biasanya terjadi setelah satu minggu atau lebih setelah pemejanan zat beracun (Kirchain and Allen, 2008).

3. Perlemakan hati

Perlemakan hati dapat ditandai dengan adanya timbunan lemak melebihi 5% dari berat hati atau mengenai lebih dari separuh jaringan di sel hati. Perlemakan ini terjadi akibat akumulasi lipid terutama dalam bentuk trigliserida pada hepatosit yang merupakan akibat kelebihan suplai asam lemak dari jaringan adiposa. Gangguan ini dapat terjadi karena beberapa hal antara lain, gangguan pada sintesis protein atau pada konjugasi trigliserida dan protein, penurunan


(37)

sintesis fosfolipid, gangguan pada trasfer VLDL melalui membran sel, dan gangguan beta oksidasi lipid pada mitokondria (Hodgson, 2010).

Penumpukan lemak pada hati dapat menimbulkan beberapa hal yang tidak diinginkan antara lain (1) peningkatan apoptosis, (2) peningkatan regulasi

TNF-α yang merupakan faktor pro-inflammatory dan pro-steatotic, (3) disfungsi

mitokondria yang dapat meningkatkan reactive oxygen species (ROS) dan

menginduksi peroksidasi lipid pada membran sel, (4) menginduksi CYP2E1 yang menghasilkan ROS, dan (5) menginduksi faktor pro-inflammatory seperti COX-2

dan TNF-α (Tolman and Dalpiaz, 2007).

C. Hepatotoksin

Obat-obat atau senyawa yang dapat menyebabkan kerusakan hati diklasifikasi menjadi dua, yaitu hepatotoksin teramalkan (intrinsik) dan tak teramalkan (idiosinkratik) (Hodgson, 2011). Hepatotoksin teramalkan merupakan senyawa yang dapat merusak hati jika diberikan dalam jumlah yang cukup untuk menimbulkan efek toksik. Jadi jenis hepatotoksin ini bergantung dari jumlah dosis pemberian senyawa. Parasetamol dan karbon tetraklorida merupakan contoh hepatotoksin teramalkan (Forrest, 2006).

Hepatotoksin tak teramalkan merupakan senyawa toksik pada hati yang hanya memberikan efek toksik orang-orang tertentu. Kejadian toksisitasnya tiap individu akan berbeda-beda dan hepatotoksin jenis ini tidak bergantung pada dosis pemberian. Contoh senyawa yang termasuk jenis ini adalah isoniazid dan clorpromazine (Forrest, 2006).


(38)

D. Karbon tetraklorida 1. Sinonim karbon tetraklorida

Nama lain dari karbon tetraklorida adalah karbona, freon 10, metana tetraklorida, perklorometana, tetraklorometana, tetraklorokarbon, dan tetrafinol. 2. Sifat karbon tetraklorida (CCl4)

Gambar 4. Struktur karbon tetraklorida

(Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995)

Karbon tetraklorida (CCl4) adalah senyawa golongan halogen alifatik

berupa cairan tak berwarna, tidak terbakar, berbau khas. Berat molekul karbon tetraklorida adalah 153,84; titik didih 77oC dan titik beku -23oC (Budavari, O'Neil, Smith, Heckelman (1989); Lide and Frederikse, 1993). Struktur karbon tetraklorida terdiri dari atom C yang mengikat arom Cl (gambar 4) (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995). Kelarutan karbon tetraklorida 1 mL dalam 2000 mL air, sangat mudah larut dalam alkohol, benzena, kloroform, eter, karbon disulfida, dan minyak (Budavari, et al.,1989)

3. Penggunaan karbon tetraklorida (CCl4)

Karbon tetraklorida digunakan sebagai pelarut untuk laboratorium dan industri sebagai perantara dalam sintesis triklorofluorometana dan diklorodifluorometana. Selain itu, karbon tetraklorida juga digunakan untuk


(39)

fumigasi atau pengasapan di pertanian, sebagai agen pembersih dan anti cacing (Royal Society of Chemistry, 1989).

4. Metabolisme karbon tetraklorida (CCl4)

Karbon tetraklorida akan mengalami reduksi dehalogenasi di hati melalui aktivasi enzim pemetabolisme sitokrom P450, terutama CYP2EI yang dapat membentuk radikal bebas triklorometil (•CCl3). Enzim sikotrom CYP2EI akan

mereduksi dan mengkatalis adisi elektron yang mengakibatkan hilangnya satu ion klorin sehingga terbentuk radikal bebas triklorometil (•CCl3). Radikal bebas

triklorometil merupakan metabolit reaktif dan akan bertambah reaktif jika bereaksi dengan oksigen akan membentuk radikal triklorometilperoksi (•OOCCl3)

(Gregus and Klaaseen, 2001).

Ikatan kovalen dari radikal bebas triklorometil •CCl3 akan memulai

penghambatan sekresi lipoprotein dan proses perlemakan hati (steatosis),

sedangkan reaksi dengan oksigen yang membentuk radikal triklorometilperoksi (gambar 5) akan memulai peroksidasi lipid (Weber, Boll , and Stampfl, 2003). Radikal triklorometilperoksi yang bereaksi dengan enzim gluthation (GSH)

membentuk phosgene. Metabolit ini merupakan intermediet yang bersifat sangat

reaktif dan dapat bereaksi dengan makromolekul seluler untuk menginduksi terjadinya kerusakan sel (Hodgson, 2010). Metabolit radikal dari karbon tetraklorida akan membentuk ikatan kovalen dengan jaringan sekitar seperti pada jaringan lemak sampai pada protein subseluler. Senyawa radikal ini kemudian dapat melakukan peroksidasi pada lipid sehingga mengawali terjadinya steatosis


(40)

Gambar 5. Mekanisme toksisitas karbon tetraklorida (Timbrell, 2008). Peroksidasi pada lipid akan menyebabkan gangguan integritas membran sel hati. Kerusakan membran sel pada hati akan menyebabkan terlepasnya enzim-enzim transaminase antara lain enzim-enzim Alanine transaminase (ALT) yang akan

menuju ke peredaran darah (Zimmerman, 1999).

Tabel I. Tingkat relatif peningkatan enzim serum pada beberapa kasus kerusakan hati oleh racun (Zimmerman, 1999)

Toxicant

Lesion Degree of increasse in serum

enzyme levels Zona

Necrosis Steatosis AST ALT

OCT, SDH

CCl4 + + 4+ 3+ 4+

Thioacetamide + - 4+ 3+ 4+

Tetracycline - + 2 + 1+

Ethionine - + + - +


(41)

Karbon tetraklorida dapat meningkatkan kerusakan hati dengan jenis perlemakan hati. Kerusakan hati yang dikarenakan karbon tetraklorida dapat dilihat dari kenaikan aktivitas serum ALT dan AST yang terukur (tabel I). Karbon tetraklorida dapat meningkatkan aktivitas serum ALT sebesar 3 kali normal dan aktivitas serum AST sebesar 4 kali normal (Zimmerman, 1999).

E. Metode Penyarian

Ekstrasi merupakan sediaan pekat yang didapat dengan cara mengekstrasi zat aktif yang berasal dari simplisia nabati atau hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah di tetapkan (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, 1995).

Metode ekstrasi dapat dibedakan menjadi infundasi, maserasi, perlokasi, dan penyarian berkesinambungan. Cairan penyari yang dapat digunakan adalah air, eter atau campuran etanol dan air. Infundasi adalah metode ekstraksi untuk mendapatkan sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90ºC selama 15 menit. Infusa dibuat dengan mencampur simplisia dengan derajat halus yang sesuai dalam panci yang berisi air secukupnya, panaskan diatas tangas air selama 15 menit yang mulai dihitung ketika mencapai suhu 90ºC sambil sesekali diaduk. Setelah 15 menit, infusa diserkai selagi panas melalui kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, 1979).


(42)

F. Pengukuran Serum ALT-AST

Untuk mengidentifikasi kerusakan hati, dapat digunakan enzim serum didasarkan spesifikasi dan sensitivitas berbagai tipe kerusakan hati. Beberapa enzim lain yang dapat digunakan sebagai penanda untuk mengetahui adanya kerusakan hati adalah enzim-enzim golongan hidrogenase seperti laktat dehidrogenase, glutamat dehidrogenase, isositrat dehidrogenase, dan malat dehidrogenase. Enzim-enzim tersebut jarang digunakan untuk mendeteksi kerusakan hati dan kurang sensitif dibandingkan kombinasi AST dan ALT (Hodgson, 2010).

Alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST)

serum merupakan dua enzim yang paling sering berikatan dengan kerusakan hepatoselular. ALT memiliki fungsi memindahkan antara alanin dan asam alfa-ketoglutamat. AST berfungsi memerantarai reaksi antara asam aspartat dan asam alfa-ketoglutamat. Sejumlah AST terdapat di hati, miokardium, otot rangka serta eritrosit dalam kadar sedang. Pada konsentrasi tinggi ALT terdapat di hati sedangkan pada konsentrasi sedang terdapat pada ginjal, jantung serta otot rangka (Sacher dan McPherson, 2002).

Pendeteksian kerusakan hepatoselular yang sedang berlangsung dapat dilakukan dengan mengukur indek fungsional dan mengamati produk hepatosit yang rusak (Sacher dan McPherson, 2002). Kondisi stres oksidatif akibat radikal bebas akan meningkatkan permeabilitas membran dan nekrosis hepatosit (Pujar, Kashinakunti, Kalaganad, Dambala, Doddamani, 2010). Hal tersebut akan menyebabkan enzim-enzim intraseluler seperti ALT dan AST terlepas dari


(43)

membran plasma menuju pembuluh darah dan masuk ke aliran darah. Hal ini akan menyebabkan kenaikan jumlah enzim tersebut di dalam aliran darah sehingga dapat menandakan adanya kerusakan pada sel-sel hati (Dongare, Dhande, and Kadam 2013).

G. Landasan Teori

Hati merupakan salah satu organ penting dalam tubuh manusia karena memiliki peran metabolisme dan detoksifikasi rancun dalam tubuh. Ketika fungsi hati mengalami kerusakan, akan terjadi nekrosis dari sel-sel hepatosit. Kerusakan sel-sel hepatosit akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding sel dan melepaskan enzim enzim transaminase menuju aliran darah (Dongare, et al.,

2013).

Karbon tetraklorida adalah senyawa model yang biasa digunakan untuk menginduksi kerusakan hati dengan mekanisme perlemakan hati. Karbon tetraklorida akan dimetabolisme oleh sitokrom P450 2E1 menjadi senyawa radikal bebas triklorometil (CCl3) yang akan memulai reaksi berantai hingga

menyebabkan kerusakan sel hepatosit (Gregus and Klaaseen, 2001).

Kandungan fitokimia herba Bidens pilosa L. golongan polifenolik

memiliki peran penting dalam mempertahankan fungsi normal hati (Bairwa, et al.,

2010). Ketika hati mengalami kerusakan akibat peroksidasi lipid, senyawa-senyawa polifenolik sepertik flavonoid dan fenolik dapat membantu menetralkan senyawa-senyawa radikal penyebab peroksidasi lipid. Penelitian Cortés-Rojas, et al. (2013) menunjukan bahwa aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh herba Bidens pilosa L. disebabkan oleh kandungan flavonoid yang dominan. Pada hasil


(44)

penelitian Kviecinski, et al., (2011) didapatkan efek hepatoprotektif pemberian

fraksi etil asetat herba Bidens pilosa L. yang berasal dari kandungan quercetin.

Berdasarkan penelitian Ueno, Nakano, dan Hirono (1983) yang meneliti tentang distribusi dosis tunggal quercetin dan metabolitnya yang diberikan secara per oral

didalam tubuh tikus. Diketahui bahwa pemberian dosis tunggal senyawa quercetin

yang telah diberi label radioaktif memiliki konsentrasi tertinggi pada hati dan ginjal pada jam ke-6 setelah pemberian. Hal tersebut mendasari pemilihan waktu enam jam (jangka pendek) sebagai waktu praperlakuan sebelum diinduksi dengan karbon tetraklorida.

Penelitian ini menggunakan sediaan infusa herba Bidens pilosa L.

didasarkan pada kebiasaan masyarakat Indonesia memanfaatkan tanaman obat dengan cara direbus dan air rebusan tersebut dikonsumsi. Proses pembuatan tanaman obat hasil perebusan memiliki kemiripan dalam membuat sediaan infusa. Selain itu, proses pemanasan pada teknik infundasi juga akan membantu penyarian senyawa-senyawa polifenolik seperti flavonoid dalam herba Bidens pilosa L. yang bersifat polar hingga semipolar. Harapannya senyawa quercetin

dalam herba Bidens pilosa L. yang bersifat semipolar juga dapat tersari karena

berdasarkan penelitian Kviecinski, et al. (2011) senyawa quercetin bertanggung

jawab terhadap efek hepatoprotektif pada mencit.

H. Hipotesis

Pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L. mempunyai efek

hepatoprotektif ditandai penurunan aktivitas serum ALT-AST pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida .


(45)

22 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai efek hepatoprotektif pemberian jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L. terhadap aktivitas serum ALT-AST pada tikus

betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel utama

a. Variabel bebas

Variabel bebas penelitian ini adalah variasi dosis infusa herba Bidens pilosa L. jangka pendek pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon

tetraklorida.

b. Variabel tergantung

Variabel tergantung penelitian ini adalah efek hepatoprotektif infusa herba Bidens pilosa L. ditandai dengan penurunan aktivitas serum ALT

dan AST (U/I) tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida setelah pemberian infusa herba Bidens pilosa L. jangka pendek.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali Kondisi hewan uji yang digunakan, yaitu tikus dengan galur Wistar dengan jenis kelamin betina, berat badan ±120-200 g, umur 2-3 bulan. Cara pemberian hepatotoksin secara intraperitoneal


(46)

dengan selang waktu pemberian infusa herba Bidens pilosa L. selama

enam jam secara per oral. Kondisi herba Bidens pilosa L. saat panen

yang masih segar, tidak kering, berwarna hijau dan memiliki bagian lengkap diatas tanah (batang, daun, bunga, dan buah). Lokasi dan waktu panen herba Bidens pilosa L. disekitar tanah lapang sekitar Dusun

Jenengan, Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sleman yang dipanen pada bulan Juli 2014. Cara penyimpanan serbuk herba Bidens pilosa L. didalam

kotak kedap udara dan diberi silika gel. b. Variabel pengacau tak terkendali

Dalam penelitian tersebut, variabel pengacau tak terkendali adalah kondisi patologis tikus betina galur Wistar yang digunakan sebagai hewan uji.

3. Definisi operasional

a. Herba Bidens pilosa L. Didefinisikan semua bagian tumbuhan di atas

tanah (batang, daun, bunga, dan buah) Bidens pilosa L.

b. Infusa herba Bidens pilosa L. Didefinisikan sebagai infusa serbuk kering

herba Bidens pilosa L. dengan konsentrasi 16% yang didapatkan dari proses

infudasi 8,0 g serbuk kering herba Bidens pilosa L. dibasahi dengan 16 mL

kemudian ditambah 50,0 mL aquadest pada suhu 90°C selama 15 menit. c. Efek hepatoprotektif. Didefinisikan kemampuan infusa herba Bidens pilosa L. dalam melindungi hati dari hepatotoksin dengan penurunkan


(47)

aktivitas serum ALT dan AST pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

d. Jangka pendek. Didefinisikan sebagai selang waktu 6 jam pemberian praperlakuan infusa herba Bidens pilosa L. kepada hewan uji

e. Dosis efektif. Didefinisikan sebagai sejumlah gram per kilogram berat badan (g/kgBB) infusa herba Bidens pilosa L. terkecil yang memiliki

%hepatoprotektif dari aktivitas ALT paling mendekati 100% proteksi hati. C. Bahan Penelitian

1. Bahan utama

a. Bahan uji yang digunakan berupa herba Bidens pilosa L. yang diperoleh

dari tanah lapang sekitar Dusun Jenengan, Desa Maguwoharjo, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Sleman.

b. Hewan uji yang digunakan adalah tikus betina galur Wistar berumur 2-3 bulan dengan berat badan ±120-200 yang diperoleh dari Laboratorium Imono Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bahan kimia

a. Hepatotoksin yang digunakan adalah karbon tertraklorida (Merck®)

berupa cairan tidak berwarna dan berbau khas.

b. Kontrol negatif dan pelarut hepatotoksin yang digunakan adalah olive oil

yang dibeli dari PT. Brataco Chemika, Yogyakarta.

c. Pelarut untuk infusa adalah aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


(48)

d. Blanko pengukuran aktivitas serum ALT dan AST menggunakan aqua bidestilata yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

e. Reagen ALT yang digunakan adalah reagen ALT Diasys. Komposisi dan konsentrasi dari reagen ALT tercantum pada tabel II.

Tabel II. Komposisi dan konsentrasi reagen ALT

R1:

TRIS pH 7.15 140 mmol/L

L-Alanine 700 mmol/L

LDH

(lactate dehydrogenase) ≥ 2300 U/L

R2: 2-Oxoglutarate 85 mmol/L

NADH 1 mmol/L

Pyridoxal-5-phosphate

FS: Good’s buffer pH 9.6 100 mmol/L

f. Reagen AST yang digunakan adalah reagen ALT DiaSys. Komposisi dan

konsentrasi dari reagen AST tercantum pada tabel III. Tabel III. Komposisi dan konsentrasi reagen AST

R1:

TRIS pH 7.15 110 mmol/L

L-Aspartate 320 mmol/L

MDH (malate dehydrogenase)

≥ 800 U/L LDH

(lactate dehydrogenase)

≥ 1200 U/L

R2: 2-Oxoglutarate 65 mmol/L

NADH 1 mmol/L

Pyridoxal-5-phosphate FS:

Good’s buffer pH 9.6 100 mmol/L


(49)

D. Alat atau Instrumen Penelitian

Alat-alat yang digunakan untuk membuat serbuk antara lain oven, mesin penyerbuk, ayakan, dan timbangan analitik. Alat- alat yang digunakan untuk infundasi berupa seperangkat alat gelas berupa thermometer, Beaker glass, gelas

ukur, batang pengaduk, cawan porselen, panci enamel, penangas air, timbangan

analitik, stopwatch, dan kain flanel. Sedangkan alat untuk menguji efek

hepatoprotektif adalah seperangkat alat gelas berupa Beaker glass, gelas ukur,

tabung reaksi, labu ukur, pipet tetes, batang pengaduk (Pyrex Iwaki Glass®),

timbangan analitik Mettler Toledo®, sentrifuge Centurion Scientific®, vortex Genie Wilten®, spuit injeksi per oral, pipa kapiler, tabung Eppendorf, Vitalab

mikro (Microlab-200, Merck®), stopwatch,micropipette, dan blue tip.

E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi herba Bidens pilosa L.

Determinasi tanaman dilakukan dengan mencocokkan herbarium herba

Bidens pilosa L. yang diperoleh dari Dusun Jenengan dengan buku acuan “Flora

of Java” (Backer, 1963). Determinasi dilakukan oleh Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., Dosen Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta hingga tingkat spesies.

2. Pengumpulan bahan uji

Bahan uji yang akan dibuat menjadi serbuk adalah herba Bidens pilosa L.

yang masih segar, berwarna hijau, terhindar dari penyakit dan memiliki bagian tumbuhan lengkap diatas tanah (batang, daun, bunga dan buah). Herba Bidens pilosa L. dipanen dari tanah lapang Dusun Jenengan, Desa Maguwoharjo,


(50)

Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sleman pada bulan Juli 2014.

3. Pembuatan serbuk herba Bidens pilosa L.

Herba Bidens pilosa L. dicuci dengan air mengalir hingga bersih dan

diangin-anginkan hingga .Pengeringan dilakukan dengan oven pada suhu 50oC selama 48 jam. Setelah benar-benar kering, herba Bidens pilosa L. diserbuk

dengan alat penyerbuk dan diayak dengan ayakan mesh nomor 40 untuk

mendapatkan serbuk herba Bidens pilosa L. yang lebih halus dan homogen.

4. Penetapan kadar air pada serbuk herba Bidens pilosa L.

Serbuk kering herba Bidens pilosa L.yang sudah diayak, dimasukkan ke

dalam alat moisture balance sebanyak 5 g kemudian diratakan. Bobot serbuk

kering herba tersebut ditetapkan sebagai bobot sebelum pemanasan (bobot A), setelah itu dipanaskan pada suhu 1050C selama 15 menit. Serbuk kering herba

Bidens pilosa L. ditimbang kembali dan dihitung sebagai bobot setelah pemanasan

(bobot B). Kemudian dilakukan perhitungan terhadap selisih bobot A terhadap bobot B yang merupakan kadar air serbuk herba Bidens pilosa L.

5. Pembuatan infusa herba Bidens pilosa L.

Serbuk kering herba Bidens pilosa L. diambil sejumlah 8 g kemudian

dibasahkan dengan 16 mL aquadest dan kemudian ditambahkan dengan 50 mL aquadest didalam panci infundasi yang dilapis enamel. Penggunaan panci berbahan dasar logam reaktif seperti aluminium dihindari karena memungkinkan


(51)

terjadinya reaksi kelasi antara metabolit sekunder terutama flavonoid dengan logam aluminium (Buchweishaija, 2009; Nnanna, Obasi, Nwadiuko, Mejeh, Ekekwe, Udensi, 2012; Keservani and Sharma, 2014). Campuran ini kemudian dipanaskan di atas heater pada suhu 90°C selama 15 menit, waktu dihitung ketika

suhu pada campuran mencapai 90°C. Setelah 15 menit air hasil infundasi disaring dengan kain flanel. Apabila volume infusa belum mencapai 50 mL, ditambahkan aquadest panas kedalam ampas sisa dalam panci dan disaring ulang hingga volume mencapai 50 mL.

6. Penetapan dosis infusa herba Bidens pilosa L.

Dasar penetapan peringkat dosis adalah berat badan tertinggi tikus pada penelitian ini (200 gram), separuh dari volume pemberian maksimal secara peroral pada tikus (2,5 mL), dan konsentrasi maksimal yang merupakan hasil orientasi pembuatan infusa herba Bidens pilosa L. (16%). Penetapan dosis tertinggi infusa

adalah sebagai berikut : D x BB = C x ½V

D x 0,2 kgBB = 16 g/ 100 mL x 2,5 mL D = 2 g/kgBB (Dosis maksimum)

Peringkat dosis yang lainnya diperoleh dengan faktor kelipatan 2. Dosis II didapat dengan membagi dosis maksimum (2 g/kgBB) sebanyak 2 nilai dan dosis I didapat dengan membagi dosis maksimum sebanyak 4 nilai. Dengan demikian, dosis infusa herba Bidens pilosa L. yang akan digunakan dalam


(52)

7. Pembuatan larutan karbon tetraklorida dalam olive oil

Larutan karbon tetraklorida dalam olive oil dibuat dengan cara

mengambil volume karbon tetraklorida secara seksama, kemudian dilarutkan dengan olive oil dengan perbandingan 1 : 1 (Murugesan, et al., 2009).

8. Uji pendahuluan

a. Penetapan dosis hepatotoksik karbon tetraklorida

Penetapan dosis hepatotoksik karbon tetraklorida mengacu pada penelitian Murugesan, et al. (2009) dosis hepatotoksik 2,0 mL/kgBB

dalam olive oil dengan perbandingan 1 : 1 secara intraperitoneal.

Penelitian dari Wijayanti (2013) juga membuktikan bahwa karbon tetraklorida 2 mL/kgBB mampu meningkatkan aktivitas serum ALT dan AST pemberian secara intraperitoneal. Dosis ini mampu merusak sel-sel

hati pada tikus yang ditunjukkan melalui peningkatan aktivitas ALT-AST dan tidak menimbulkan kematian pada hewan uji.

b. Penetapan waktu pencuplikan darah

Penetapan waktu pencuplikan darah ditentukan melalui pencuplikan darah setelah diinduksi hepatotoksin dengan tiga kelompok (n=5) perlakuan waktu, yaitu pada jam ke - 0, 24, dan 48.

9. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji

Hewan uji sebanyak 30 ekor tikus betina galur Wistar dibagi secara acak dalam enam kelompok masing-masing lima ekor tikus. Kelompok I (kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida dalam olive oil (1:1) dengan dosis 2


(53)

mL/kgBB secara per oral. Kelompok I dan II diambil darahnya pada jam ke-24 setelah pemberian. Kelompok III (kontrol infusa) diberi infusa herba Bidens pilosa L. pada dosis tertinggi, kemudian setelah 6 jam diambil darahnya.

Kelompok IV, V, dan VI (kelompok perlakuan) masing- masing diberi infusa herba Bidens pilosa L. pada dosis 0,5; 1, dan 2 g/kgBB kemudian enam jam

setelah pemberian infusa dilakukan pemberian dosis hepatotoksin karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Pada jam ke-24 (hasil

penentuan waktu pencuplikan hepatotoksin), semua kelompok diambil darahnya pada daerah sinus orbitalis mata untuk pengukuran aktivitas serum ALT-AST.

10. Pembuatan serum

Darah tikus diambil melalui bagian sinus orbitalis mata tikus, kemudian ditampung dalam tabung Eppendorf. Darah didiamkan selama 15 menit dan

disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 8.000 rpm. Bagian supernatan diambil menggunakan mikro pipet dan disentrifugasi kembali selama 10 menit dengan kecepatan 8.000 rpm.

11. Pengukuran aktivitas serum ALT dan AST

Pengukuran aktivitas serum ALT dan AST (U/L) dilakukan dengan Vitalab mikro (Mikrolab-200) di Laboratorium Anatomi Fisiologi Manusia Fakultas Farmasi Santa Dharma Yogyakarta. Aktivitas serum diukur pada panjang gelombang 340 nm . Analisis serum ALT dilakukan dengan cara mencampur 100 μL serum dengan1000 μL reagen I, kemudian dicampurkan 250 μL reagen II dan dibaca resapan setelah satu menit. Untuk analisis serum AST serum dilakukan


(54)

dengan cara mencampur 100 μL serum dengan 1000 μL reagen I, kemudian dicampurkan 250 μL reagen II dan dibaca serapan setelah satu menit.

F. Tata Cara Analisis Hasil

Data aktivitas serum ALT dan AST diuji dengan Saphiro-Wilk untuk

mengetahui distribusi data dan analisis varian untuk melihat homogenitas varian antar kelompoknya sebagai syarat analisis parametrik. Apabila didapat distribusi data yang normal maka analisis dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way

ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan masing-masing kelompok. Kemudian dilanjutkan dengan uji Scheffe untuk melihat

perbedaan masing-masing antar kelompok bermakna (signifikan) (p<0,05) atau tidak bermakna (tidak signifikan) (p>0,05). Namun bila distribusi data yang didapatkan tidak normal, maka dilakukan analisis dengan uji Kruskal Wallis untuk

mengetahui perbedaan aktivitas serum ALT dan AST antar kelompok. Setelah itu dilanjutkkan dengan uji Mann Whitney untuk mengetahui perbedaan tiap

kelompok bermakna (signifikan) (p<0,05) atau tidak bermakna (tidak signifikan) (p>0,05).

Perhitungan persen efek hepatoprotektif terhadap hepatotoksin karbon tetraklorida diperoleh dengan rumus :


(55)

32 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek hepatoprotektif dan dosis efektif dari infusa herba Bidens pilosa L terhadap tikus betina galur Wistar

terinduksi karbon tetraklorida (CCl4). Untuk mengetahui seberapa besar efek

hepatoprotektif yang dihasilkan maka dilakukan pengujian dengan aktivitas ALT dan AST sebagai tolak ukur kuantitatif dalam penelitian ini.

A. Penyiapan Bahan 1. Determinasi tanaman

Determinasi herba Bidens pilosa L. yang didapat dari tanah lapang

sekitar dusun Jenengan untuk menjamin kebenaran tanaman yang diteliti. Determinasi dilakukan oleh Yohanes Dwiatmaka, M.Si dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Determinasi tanaman

Bidens pilosa L. menggunakan buku acuan karangan Backer (1963) hingga ke

tingkat spesies. Bagian tanaman yang dideterminasi antara lain batang, daun, biji, dan bunga. Hasil determinasi (lampiran 4) membuktikan bahwa batang, daun, buah, dan bunga yang digunakan pada penelitian ini adalah benar dari tanaman

Bidens pilosa L.

2. Penetapan konsentrasi infusa

Pada pembuatan infusa dilakukan penetapan konsentrasi maksimal yang dapat dibuat untuk menentukan dosis maksimal infusa herba Bidens pilosa L.


(56)

Bidens pilosa L. terbasahi dan terendam oleh perlarut air. Hasil dari pembuatan

infusa didapatkan konsentrasi maksimal sebesar 16% yang akan digunakan untuk menentukan dosis maksimal infusa herba Bidens pilosa L.

3. Hasil penetapan kadar air

Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui kadar air dalam serbuk herba Bidens pilosa L. dan untuk memenuhi persyaratan serbuk yang baik, yaitu

memiliki kadar air kurang dari 10% (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995). Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Gravimetri dengan menggunakan alat moisture balance. Serbuk dipanaskan pada suhu 105 oC

selama 15 menit di dalam alat, kemudian dilakukan perhitungan kadar air. Pengaturan suhu 105 oC selama 15 menit dilakukan untuk menguapkan kandungan air sehingga serbuk herba Bidens pilosa L. memenuhi persyaratan

strandarisasi non spesifik. Berdasarkan hasil yang diperoleh serbuk herba Bidens pilosa L. memiliki kadar air sebesar 8,614%. Hal ini menunjukan bahwa serbuk

herba Bidens pilosa L. memenuhi syarat serbuk yang baik dengan kadar air

kurang dari 10%.

B. Uji Pendahuluan 1. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida

Pada penelitian ini digunakan karbon tetraklorida sebagai senyawa model hepatotoksin. Penentuan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida bertujuan untuk mengetahui dosis karbon tetraklorida yang dapat menimbulkan kerusakan hati ringan yaitu steatosis. Terjadinya steatosis ditandai dengan adanya peningkatan


(57)

dari nilai normal (Zimmerman, 1999). Pemberian hepatotoksin melalui

intraperitoneal dilakukan agar hepatotoksin dapat langsung terabsorpsi dengan

cepat menuju pembuluh darah melalui rongga peritoneal sehingga menimbulkan toksisitas dalam waktu yang singkat. Olive oil berfungsi sebagai pelarut karbon

tetraklorida karena bersifat non toksik dan dapat melarutkan senyawa nonpolar seperti karbon tetraklorida (Strickley, 2004). Dosis hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 2 mL/kgBB dalam olive oil (1:1) secara intraperitoneal mengacu pada penelitian Murugesan, et al. (2009).

Berdasarkan penelitian Murugesan, et al. (2009) diketahui bahwa dosis 2

mL/kgBB karbon tetraklorida dapat menimbulkan kerusakan hati steatosis tanpa

menyebabkan kematian dari hewan uji.

2. Penetapan waktu pencuplikan darah hewan uji

Penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji dilakukan untuk mengetahui waktu terjadinya kerusakan yang paling besar pada organ hati yang ditandai dengan peningkatan aktivitas serum ALT dan AST yang paling besar tanpa menyebabkan kematian hewan uji. Pencuplikan darah hewan uji dilakukan pada jam ke-0, 24, dan 48 setelah diinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Setelah itu, dilakukan pengukuran terhadap nilai aktivitas

serum ALT dan AST. Data aktivitas serum ALT dan AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada jam ke 0, 24 dan 48 dapat dilihat pada tabel IV. Peneliti tidak melakukan orientasi pencuplikan pada jam ke-72 karena pada jam ke-48 telah terjadi penurunan yang signifikan baik terhadap aktivitas serum ALT dan AST sehingga telah dapat dipastikan pada jam ke-72 aktivitas


(58)

serum ALT dan AST menurun. Dengan demikian pencuplikan pada jam ke-72 tidak perlu dilakukan karena yang diinginkan adalah waktu dimana karbon tetraklorida merusak hati paling berat ditunjukan dengan aktivitas serum ALT dan AST yang paling tinggi.

Tabel IV. Aktivitas serum ALT-AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 , 48 jam

Selang Waktu (jam)

Purata Aktivitas Serum ALT±SE (U/I)

Purata Aktivitas Serum AST±SE (U/I)

0 51,2 ± 3,7 109 ± 4,6

24 153,0 ± 2,1 425,6 ± 10,4

48 61,4 ± 2,4 150,6 ± 7

Keterangan : SE = Standar Error

Berdasarkan tabel IV nilai aktivitas serum ALT pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam adalah 51,2 ± 3,7; 153,0 ± 2,1 dan 61,4 ± 2,4 U/I. Dari gambar 6 dapat dilihat bahwa aktivitas serum ALT pada pencuplikan jam ke-24 dengan dosis karbon tetraklorida 2 mL/kgBB lebih tinggi dibandingkan dengan pencuplikan darah pada jam ke-0 dan 48. Aktivitas serum ALT pada jam ke-24 mengalami kenaikan 3 kali lipat dibandingkan dengan aktivitas serum pada jam ke-0. Pada pencuplikan ke-48, aktivitas serum ALT mendekati nilai normal. Data aktivitas serum ALT yang didapatkan dianalisis menggunakan uji Shapiro-Wilk

didapatkan distribusi normal (p>0,05) dan dengan levene test didapatkan variansi

homogen (p=0,263). Setelah itu dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way ANOVA) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara jam ke-0, 24, dan 48. Hasil analisis statistik aktivitas serum ALT antara jam ke-0 dengan jam ke-48 menunjukkan terdapat perbedaan bermakna (p=0,072), sedangkan antara jam ke-24 dengan jam ke-0 dan 48 terdapat perbedaan yang tidak bermakna (p<0,05). Hal


(59)

ini menunjukkan bahwa pada jam ke-24 terjadi kerusakan hati yang paling tinggi ditandai dari puncak tertinggi nilai aktivitas serum ALT dibandingkan dengan waktu pencuplikan lainnya. Hasil statistik aktivitas serum ALT pada pencuplikan darah jam ke-0, 24 dan 48 jam dapat dilihat di tabel V.

Tabel V. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam ke

0, 24, 48 jam

ALT Jam 0 Jam 24 Jam 48

Jam 0 BB BTB

Jam 24 BB BB

Jam 48 BTB BB

BB = Berbeda bermakna (p<0,05); BTB = Berbeda tidak bermakna (p>0,05)

Gambar 6. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu 0, 24, 48 jam

Berdasarkan tabel IV dan gambar 7 aktivitas serum AST yang paling tinggi juga terdapat pada kelompok pencuplikan jam ke-24. Hal ini dapat dilihat dari nilai aktivitas serum AST pada kelompok jam 0, 24 dan 48 secara berturut-turut 109 ± 4,6; 425,6 ± 10,4; dan 150,6 ± 7 U/I. Aktivitas kenaikan serum AST


(60)

pada jam ke-24 mengalami kenaikan sebesar 4 kali lipat dibandingkan aktivitas serum AST jam ke-0. Sedangkan pada jam ke-48 terjadi penurunan aktivitas serum AST. Pengujian aktivitas serum AST sama seperti aktivitas serum ALT, yaitu dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk didapatkan distribusi normal

(p>0,05) dan dengan levene test didapatkan variansi homogen (p=0,320). Analisis

statistik dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way ANOVA) dengan hasil aktivitas serum AST pada jam ke- 0 dan 48 menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap pencuplikan jam ke-24 (p<0,05). Pada pencuplikan jam ke-0 dengan jam ke-48 terjadi perbedaan bermakna (p=0,009), hal ini menunjukkan bahwa pada jam ke-48 aktivitas serum AST mulai mendekati normal (jam ke-0).

Penurunan aktivitas serum AST pada jam ke-48 berbeda dengan aktivitas serum ALT karena enzim AST tidak hanya dilepaskan oleh organ hati ketika mengalami stres oksidatif. Organ-organ lain seperti jantung, otot rangka juga dapat melepas enzim AST jika mengalami kerusakan serupa. Pemberian karbon tetraklorida secara intraperitoneal akan melalui rute sistemik yang

memungkinkan terjadinya stres oksidatif pada organ-organ lain selain hati, seperti otot jantung, otot rangka, ginjal, otak, paru-paru, leukosit, dan eritrosit yang dapat melepas serum AST (Pratt and Kaplan, 2000). Selain itu, penurunan aktivitas serum AST membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kembali ke kisaran normal, karena kapasitas regenerasi organ lain tidak memiliki kecepatan yang serupa dengan hati. Peningkatan aktivitas serum AST umumnya lebih besar dibanding aktivitas serum ALT dimana kenaikan aktivitas serum ALT mencapai tiga kali lipat dan kenaikan aktivitas serum AST empat kali lipat dari nilai


(61)

normalnya. Hal tersebut dikarenakan serum AST tidak spesifik dilepaskan oleh hati saja. Pada penelitian ini walaupun serum AST tidak spesifik pada kerusakan hati, pengamatan aktivitas AST dapat digunakan sebagai data pendukung. Hasil statistik aktivitas serum AST pada pencuplikan darah jam ke-0, 24 dan 48 jam dapat dilihat di tabel VI.

Tabel VI. Perbedaan kenaikan aktivitas serum AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam ke

0, 24, 48

AST Jam 0 Jam 24 Jam 48

Jam 0 BB BB

Jam 24 BB BB

Jam 48 BB BB

BB = Berbeda bermakna (p<0,05); BTB = Berbeda tidak bermakna (p>0,05)

Gambar 7. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu 0, 24 ,48 jam

Dari data diatas, kenaikan aktivitas serum ALT dan AST tertinggi terjadi pada jam ke-24 dan hasil analisis statistik menunjukkan aktivitas serum pada jam


(62)

ke-24 berbeda bermakna dengan jam ke-0 dan 48. Oleh karena itu, dalam penelitian ini waktu pengambilan cuplikan darah dilakukan pada jam ke-24 setelah pemberian hepatotoksin karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB.

3. Penentuan dosis infusa herba Bidens pilosa L.

Penetapan dosis infusa herba Bidens pilosa L. bertujuan untuk

menentukan peringkat dosis yang akan digunakan dalam penelitian ini. Penentuan dosis infusa herba Bidens pilosa L. didasarkan pada konsentrasi maksimal infusa

herba Bidens pilosa L. yang dapat dibuat (16%) dan setengah volume maksimal

rute per oral yang dapat diberikan pada tikus (2,5 mL). Dari konsentrasi tertinggi dan setengah volume maksimal rute per oral pada tikus diperoleh dosis maksimal infusa herba Bidens pilosa L. sebesar 2 g/kgBB. Kemudian ditentukan tiga

peringkat dosis infusa herba Bidens pilosa L., yaitu 0,5; 1; dan 2 g/kgBB.

C. Hasil uji efek hepatoprotektif jangka pendek infusa herba Bidens pilosa L. pada tikus betina terinduksi karbon tetraklorida

Efek hepatoprotektif infusa herba Bidens pilosa L. dievaluasi

berdasarkan pada penurunan aktivitas serum Alanin aminotransferase (ALT) dan Aspartat aminotransferase (AST) dengan pra-perlakuan pemberian tiga peringkat

dosis berbeda infusa herba Bidens pilosa L. selama enam jam sebelum diberikan

hepatotoksin karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB. Peringkat dosis yang diberikan terdiri dari tiga peringkat, dosis terendah sebesar 0,5 g/kgBB ; dosis tengah sebesar 1 g/kgBB dan dosis tertingi sebesar 2 g/kgBB.


(63)

Hasil penelitian efek hepatoprotektif infusa herba Bidens pilosa L.

berupa aktivitas serum ALT dan AST (U/I) terukur akan ditampilkan dalam bentuk purata ± SE dalam diagram batang dan tabel.

Tabel VII. Purata ± SE aktivitas serum ALT dan AST, serta % efek hepatoprotektif tikus perlakuan infusa herba Bidens pilosa terinduksi karbon

tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Kelompok

Purata ± SE (U/L) aktivitas serum ALT

Purata ± SE (U/L) aktivitas serum AST Persen Hepatoprotektif (serum ALT) Persen Hepatoprotektif (serum AST)

I 174,4 ± 2,9 409,6 ± 7,8 - -

II 57,2 ± 3,1 101,8 ± 3,8 - -

III 57,4 ± 2,9 105,6 ± 3,7 - -

IV 88,4 ± 2,5 283,6 ± 4,1 73,38 % 40,9 %

V 69 ± 3 233,2 ± 3,5 89,93 % 57,3 %

VI 101 ± 5 304,4 ± 5,5 62,63 % 34,17 %

Keterangan :

I : Kelompok kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB II : Kelompok kontrol negatif (olive oil dosis 2 mL/kgBB)

III : Kelompok kontrol perlakuan ( IHBP dosis 2 g/kgBB)

IV : Kelompok praperlakuan dosis I (IHBP 0,5 g/kg BB 6 jam + CCl4 2 mL/kgBB) V : Kelompok praperlakuan dosis II (IHBP 1 g/kg BB 6 jam + CCl4 2 mL/kgBB) VI : Kelompok praperlakuan dosis III (IHBP 2 g/kg BB 6 jam + CCl4 2 mL/kgBB) IHBP: Infusa herba Bidens pilosa L.

SE : Standar Error CCl4 : karbon tetraklorida


(64)

Tabel VIII. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap perlakuan infusa herba Bidens pilosa L. berdasarkan

serum ALT pada variasi dosis tertentu

Kelompok Perlakuan Kontrol hepatotoksin CCl4 2mL/kgBB Kontrol negatif olive oil 2mL/kgBB Kontrol IHBP 2 g/kgBB IHBP 0,5 g/kgBB + CCl4 2mL/kgBB IHBP 1 g/kgBB + CCl4 2mL/kgBB IHBP 2 g/kgBB + CCl4 2mL/kgBB Kontrol hepatotoksin CCl4 2mL/kgBB

BB BB BB BB BB

Kontrol negatif

olive oil

2mL/kgBB

BB BTB BB BTB BB

Kontrol IHBP

2 g/kgBB BB BTB BB BTB BB

IHBP 0,5 g/kgBB + CCl4

2mL/kgBB

BB BB BB BB BTB

IHBP 1 g/kgBB + CCl4

2mL/kgBB

BB BTB BTB BB BB

IHBP 2 g/kgBB + CCl4

2mL/kgBB

BB BB BB BTB BB

Keterangan : IHPB = Infusa herba Bidens pilosa L. BB = Berbeda bermakna (p ≤ 0,05)

TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)

Gambar 8. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT tikus perlakuan infusa herba Bidens pilosa L. terinduksi karbon tetraklorida


(1)

ANOVA

AST

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 360103.900 5 72020.780 579.178 .000 Within Groups 2984.400 24 124.350

Total 363088.300 29

Multiple Comparisons

AST Scheffe

(I) Kelompok (J) Kelompok

Mean Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Kontrol CCl4 Kontrol Olive oil 307.80000* 7.05266 .000 282.2705 333.3295

Kontrol Infusa 304.00000* 7.05266 .000 278.4705 329.5295 Perlakuan Dosis I

(0,5 g/kgBB)

126.00000* 7.05266 .000 100.4705 151.5295

Perlakuan Dosis II (1 g/kgBB)

176.40000* 7.05266 .000 150.8705 201.9295

Perlakuan Dosis III (2 g/kgBB)

105.20000* 7.05266 .000 79.6705 130.7295

Kontrol Olive oil Kontrol CCl4

-307.80000*

7.05266 .000 -333.3295 -282.2705

Kontrol Infusa -3.80000 7.05266 .998 -29.3295 21.7295 Perlakuan Dosis I

(0,5 g/kgBB)

-181.80000*

7.05266 .000 -207.3295 -156.2705

Perlakuan Dosis II (1 g/kgBB)

-131.40000*

7.05266 .000 -156.9295 -105.8705

Perlakuan Dosis III (2 g/kgBB)

-202.60000*

7.05266 .000 -228.1295 -177.0705

Kontrol Infusa Kontrol CCl4 -304.00000*

7.05266 .000 -329.5295 -278.4705

Kontrol Olive oil 3.80000 7.05266 .998 -21.7295 29.3295

Perlakuan Dosis I (0,5 g/kgBB)

-178.00000*

7.05266 .000 -203.5295 -152.4705

Perlakuan Dosis II (1 g/kgBB)

-127.60000*


(2)

Perlakuan Dosis III (2 g/kgBB)

-198.80000*

7.05266 .000 -224.3295 -173.2705

Perlakuan Dosis I (0,5 g/kgBB)

Kontrol CCl4 -126.00000*

7.05266 .000 -151.5295 -100.4705

Kontrol Olive oil 181.80000* 7.05266 .000 156.2705 207.3295

Kontrol Infusa 178.00000* 7.05266 .000 152.4705 203.5295 Perlakuan Dosis II

(1 g/kgBB)

50.40000* 7.05266 .000 24.8705 75.9295

Perlakuan Dosis III (2 g/kgBB)

-20.80000 7.05266 .164 -46.3295 4.7295

Perlakuan Dosis II (1 g/kgBB)

Kontrol CCl4 -176.40000*

7.05266 .000 -201.9295 -150.8705

Kontrol Olive oil 131.40000* 7.05266 .000 105.8705 156.9295

Kontrol Infusa 127.60000* 7.05266 .000 102.0705 153.1295 Perlakuan Dosis I

(0,5 g/kgBB)

-50.40000* 7.05266 .000 -75.9295 -24.8705

Perlakuan Dosis III (2 g/kgBB)

-71.20000* 7.05266 .000 -96.7295 -45.6705

Perlakuan Dosis III (2 g/kgBB)

Kontrol CCl4 -105.20000*

7.05266 .000 -130.7295 -79.6705

Kontrol Olive oil 202.60000* 7.05266 .000 177.0705 228.1295

Kontrol Infusa 198.80000* 7.05266 .000 173.2705 224.3295 Perlakuan Dosis I

(0,5 g/kgBB)

20.80000 7.05266 .164 -4.7295 46.3295

Perlakuan Dosis II (1 g/kgBB)

71.20000* 7.05266 .000 45.6705 96.7295


(3)

Lampiran 9. Perhitungan %hepatoprotektif Rumus perhitungan efek hepatoprotektif

Dengan rumus tersebut maka perhitungan efek hepatoprotektif pada aktivitas serum ALT –AST adalah sebagai berikut:

 Kelompok Infusa Herba Bidens pilosa L. dosis 0,5 g/kgBB (p.o.) + induksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB (i.p.)

Serum ALT Serum AST

 Kelompok Infusa Herba Bidens pilosa L. dosis 1 g/kgBB (po) + induksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB (i.p.)

Serum ALT Serum AST

 Kelompok Infusa Herba Bidens pilosa L. dosis 2 g/kgBB (po) + induksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB (i.p.)


(4)

Lampiran 10. Penetapan kadar air serbuk herba Bidens pilosa L. Penetapan kadar air serbuk dilakukan dengan metode gravimetri menggunakan alat moisture balance. Pemanasan serbuk herba Bidens pilosa L. dilakukan pada suhu 1050 C selama 15 menit.

 Replikasi I

 Replikasi II

 Replikasi III =

Kadar air serbuk adalah 8,614 %. Kadar air ini sudah memenuhi persyaratan kurang dari 10%.

Lampiran 11. Perhitungan konversi dosis untuk manusia Nilai konversi tikus 200 g ke manusia = 56,0

Dosis untuk manusia = dosis tikus 200 g x nilai konversi tikus 200 g ke manusia Maka dapat ditetapkan dosis infusa herba Bidens pilosa L. untuk manusia adalah sebagai berikut :

Infusa herba Bidens pilosa L. 0,5 g/kgBB tikus 0,5 g/kgBB = 0,5 g/1000 gBB


(5)

0,1 g/ 200 gBB x 56,0 = 5,6 g/70 kgBB manusia Infusa herba Bidens pilosa L. 1 g/kgBB tikus 1 g/kgBB = 1 g/1000 gBB

= 0,2 g/200 gBB

0,2 g/ 200 gBB x 56,0 = 11,2 g/70 kgBB manusia Infusa herba Bidens pilosa L. 2 g/kgBB tikus 2 g/kgBB = 2 g/1000 gBB

= 0,4 g/200 gBB


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis Skripsi dengan Judul “Efek Hepatoprotektif

Pemberian Jangka Pendek Infusa Herba Bidens pilosa L. Terhadap Aktivitas ALT-AST Serum Pada Tikus Betina Terinduksi Karbon Tetraklorida” dengan nama lengkap Prasetyo Handy Kurniawan, merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak Suharjono Lestiono dan Ibu Hartini Singgih. Penulis dilahirkan di Magelang, pada tanggal 7 Mei 1993. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis, yaitu TK Pius Magelang (1997-1999), tingkat Sekolah Dasar di SD Tarakanita Magelang (1999-2005), tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Tarakanita Magelang (2005-2008), tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Tarakanita Magelang (2008-2011). Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Semasa menempuh pendidikan sarjana, penulis memiliki pengalaman sebagai asisten pratikum di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada laboratorium Compounding and Dispending Lab Work (2013), dan Farmakologi Toksikologi (2014). Penulis juga aktif dalam kegiatan kepanitiaan seperti Pharmacy Performance 2011 sebagai anggota seksi perlengkapan, Desa Mitra 2012 dan 2013 sebagai anggota seksi publikasi dekorasi dan dokumentasi, serta Aksi Hari Kesehatan dan Lingkungan Hidup tahun 2012 sebagai seksi acara.


Dokumen yang terkait

Efek hepatoprotektif pemberian jangka pendek fraksi air ekstrak etanolik herba Tempuyung (Sonchus arvensis L.) terhadap aktivitas ALT-AST SERUM pada tikus putih jantan terinduksi karbon tetraklorida.

0 2 125

Efek hepatoprotektif pemberian jangka pendek dekok herba Bidens pilosa L. terhadap aktivitas ALT-AST serum pada tikus betina terinduksi karbon tertraklorida.

1 1 112

Efek hepatoprotektif pemberian jangka panjang dekok herba Bidens pilosa L. terhadap aktivitas ALT-AST serum pada tikus betina terinduksi karbon tetraklorida.

1 2 99

Efek hepatoprotektif pemberian jangka panjang ekstrak etanol 70% Herba Sonchus arvensis Linn. terhadap aktivitas ALT-AST serum pada tikus putih jantan terinduksi karbon tetraklorida.

0 1 110

Pengaruh waktu pemberian infusa herba Bidens pilosa L. jangka pendek sebagai hepatoprotektif terhadap aktivitas ALT-AST serum pada tikus betina terinduksi karbon tetraklorida.

3 13 115

Efek hepatoprotektif pemberian jangka panjang infusa herba Bidens pilosa L. terhadap aktivitas ALT-AST serum pada tikus betina terinduksi karbon tetraklorida.

1 1 94

Efek hepatoprotektif pemberian jangka panjang ekstrak Etanol 50% HERBA Sonchus arvensis Linn. terhadap aktivitas ALT-AST serum pada tikus putih jantan terinduksi karbon tetraklorida.

1 6 112

Efek hepatoprotektif pemberian jangka pendek infusa herba Sonchus arvensis L. terhadap aktivitas AST-ALT pada tikus jantan Galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 5 100

Efek hepatoprotektif pemberian infusa kulit Persea americana Mill. terhadap ALT-AST tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 2 125

Efek hepatoprotektif jangka pendek dekok biji persea americana mill. terhadap aktivitas ALT-AST pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 0 115