Metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta.

(1)

ABSTRAK

METODE PENGAJARAN YANG DIGUNAKAN GURU DI SEKOLAH DASAR INKLUSI SE-KOTA YOGYAKARTA

Veronica Mayang Sari Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2016

Pemerintah saat ini mulai merencanakan program sekolah inklusi. Tujuannya agar siswa berkebutuhan khusus dapat mengenyam pendidikan yang sama dengan siswa yang tidak berkebutuhan secara khusus. Guru perlu menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan siswa supaya mampu mengembangkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Ada empat metode pengajaran yaitu metode pengajaran langsung, pengajaran tidak langsung, pengajaran scaffolding, dan pengajaran latihan mandiri. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Data diperoleh dengan membagikan instrumen berupa kuesioner kepada 42 guru sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta. Kuesioner divalidasi oleh dua orang validator dan memperoleh nilai rata-rata 4, sehingga layak dibagikan kepada responden. Ada 27 instrumen yang kembali sebab tidak semua guru mengampu siswa berkebutuhan khusus di kelasnya.

Dari hasil olah data 27 kuesioner, metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta adalah 26.1% guru menggunakan metode pengajaran langsung, 24.9% guru menggunakan pengajaran tidak langsung, 24.9% guru menggunakan pengajaran scaffolding, dan 24.1% guru menggunakan pengajaran latihan mandiri. Jadi, metode pengajaran yang lebih banyak digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta adalah metode pengajaran langsung. Metode pengajaran langsung adalah proses pengajaran yang dilakukan oleh guru untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa berkebutuhan khusus maupun siswa yang tidak berkebutuhan secara khusus; melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang guru dalam proses pembelajaran.


(2)

ABSTRACT

TEACHING METHOD WHO USE THE TEACHER ON INCLUSION OF PRIMARY SCHOOL AT YOGYAKARTA CITY

Veronica Mayang Sari Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2016

The government is currently have a planning about inclusion school. The aim is that the student can get an equal education with the students who have no disabilities specifically. Teachers need to use teaching methods appropriate to the conditions and the ability of students to be able to develop the potential of each student. There are four teaching methods, direct teaching method, indirectly teaching method, scaffolding teaching method, and independently practice teaching method. The aim of this research to map the teaching methods who used the teachers in inclusion of primary schools at Yogyakarta city.

This research is quantitative descriptive. Data obtained by distributing 42 instruments questionnaires to the teacher in inclusion of primary schools at Yogyakarta city. The questionnaire was validated by two people validator and get average score of 4, so it's worth distributed to respondents. There are 27 instruments were returned because not all teachers have students with special needs in their class.

From the results of processing 27 questionnaires data, teaching methods who used the teachers in inclusion of primary schools at Yogyakarta city is 26.1% of teachers use direct teaching method, 24.9% of teachers use indirectly teaching method, 24.9% of teachers use scaffolding teaching method, and 24.1% of teachers use independently practice teaching method. Thus, the teaching methods who used more in inclusion of primary schools at Yogyakarta city is direct teaching methods. Direct teaching method is the process of teach by the teachers to help students develop the ability of cognitive, affective, and psychomotor special needs students and students with disabilities who are not specifically; through direct interaction with learning resources are designed the teachers in the learning process.


(3)

i

METODE PENGAJARAN YANG DIGUNAKAN GURU DI SEKOLAH DASAR INKLUSI SE-KOTA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh:

Veronica Mayang Sari NIM: 121134011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

PERSEMBAHAN Skripsi ini dipersembahkan untuk:

1. Allah Bapa, Tuhan Yesus, serta Bunda Maria yang selalu mengarahkan dan menuntun langkah dengan berkatNya.

2. Kedua orangtua, Bp. Antonius Suparmadi dan Ibu Angela Winanti Wulan Asri, serta Kakak Albertus Widiawan Prasetya yang selalu memberikan semangat, dorongan, dan mendoakan.

3. Almh. kakak tercinta Theresia Rolis Krismawati. 4. Hendrikus Listyarto yang selalu memberikan motivasi. 5. Keluarga Bp. A.M Soepoyo yang selalu mendoakan.

6. Seluruh keluarga besar Bp. FX. Samijono yang selalu memotivasi. 7. Sahabatku Yohana Puji Asri yang selalu membantu setiap kesulitan. 8. Teman-teman penelitian kolaboratif yang selalu memotivasi: Lisara, Eka,

Ayu, dan Laurent.


(7)

v

MOTTO

“By just a little kindness, say thankyou sincerely, and you will see

a big happiness from a small smile.”


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 11 Agustus 2016 Peneliti,


(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Veronica Mayang Sari

NIM : 121134011

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

METODE PENGAJARAN YANG DIGUNAKAN GURU DI SEKOLAH DASAR INKLUSI SE-KOTA YOGYAKARTA

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu memnta izin dari saya atau memberikan royalti, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 11 Agustus 2016 Yang menyatakan


(10)

viii

ABSTRAK

METODE PENGAJARAN YANG DIGUNAKAN GURU DI SEKOLAH DASAR INKLUSI SE-KOTA YOGYAKARTA

Veronica Mayang Sari Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2016

Pemerintah saat ini mulai merencanakan program sekolah inklusi. Tujuannya agar siswa berkebutuhan khusus dapat mengenyam pendidikan yang sama dengan siswa yang tidak berkebutuhan secara khusus. Guru perlu menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan siswa supaya mampu mengembangkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Ada empat metode pengajaran yaitu metode pengajaran langsung, pengajaran tidak langsung, pengajaran scaffolding, dan pengajaran latihan mandiri. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Data diperoleh dengan membagikan instrumen berupa kuesioner kepada 42 guru sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta. Kuesioner divalidasi oleh dua orang validator dan memperoleh nilai rata-rata 4, sehingga layak dibagikan kepada responden. Ada 27 instrumen yang kembali sebab tidak semua guru mengampu siswa berkebutuhan khusus di kelasnya.

Dari hasil olah data 27 kuesioner, metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta adalah 26.1% guru menggunakan metode pengajaran langsung, 24.9% guru menggunakan pengajaran tidak langsung, 24.9% guru menggunakan pengajaran scaffolding, dan 24.1% guru menggunakan pengajaran latihan mandiri. Jadi, metode pengajaran yang lebih banyak digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta adalah metode pengajaran langsung. Metode pengajaran langsung adalah proses pengajaran yang dilakukan oleh guru untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa berkebutuhan khusus maupun siswa yang tidak berkebutuhan secara khusus; melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang guru dalam proses pembelajaran.


(11)

ix

ABSTRACT

TEACHING METHOD WHO USE THE TEACHER ON INCLUSION OF PRIMARY SCHOOL AT YOGYAKARTA CITY

Veronica Mayang Sari Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2016

The government is currently have a planning about inclusion school. The aim is that the student can get an equal education with the students who have no disabilities specifically. Teachers need to use teaching methods appropriate to the conditions and the ability of students to be able to develop the potential of each student. There are four teaching methods, direct teaching method, indirectly teaching method, scaffolding teaching method, and independently practice teaching method. The aim of this research to map the teaching methods who used the teachers in inclusion of primary schools at Yogyakarta city.

This research is quantitative descriptive. Data obtained by distributing 42 instruments questionnaires to the teacher in inclusion of primary schools at Yogyakarta city. The questionnaire was validated by two people validator and get average score of 4, so it's worth distributed to respondents. There are 27 instruments were returned because not all teachers have students with special needs in their class.

From the results of processing 27 questionnaires data, teaching methods who used the teachers in inclusion of primary schools at Yogyakarta city is 26.1% of teachers use direct teaching method, 24.9% of teachers use indirectly teaching method, 24.9% of teachers use scaffolding teaching method, and 24.1% of teachers use independently practice teaching method. Thus, the teaching methods who used more in inclusion of primary schools at Yogyakarta city is direct teaching methods. Direct teaching method is the process of teach by the teachers to help students develop the ability of cognitive, affective, and psychomotor special needs students and students with disabilities who are not specifically; through direct interaction with learning resources are designed the teachers in the learning process.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Metode Pengajaran yang digunakan Guru di Sekolah Dasar Inklusi se-kota Yogyakarta” ini dengan baik.

Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Peneliti mengucapkan terima kasih atas bantuan dari beberapa pihak dalam penyusunan skripsi ini. Perkenankanlah peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma.

3. Apri Damai Sagita Krissandi, S.S., M.Pd., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma.

4. Dra. Ign. Esti Sumarah, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan memberikan motivasi, saran, dan kritik yang sangat berguna selama penelitian.


(13)

xi

5. Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S.Psi., M.Psi., selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan motivasi, saran, dan kritik yang sangat berguna selama penelitian.

6. Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta. 7. Kepala Sekolah Dasar inklusi se-kota Yogyakarta yang telah memberikan

izin untuk melakukan penelitian di SD yang bersangkutan.

8. Bapak dan Ibu wali kelas I – VI SD inklusi se-kota Yogyakarta yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mengisi instrumen kuesioner yang telah peneliti buat.

9. Validator instrumen penelitian yang memberikan kritik dan saran dalam penyusunan instrumen penelitian.

10. Kedua orangtua, Bp. Antonius Suparmadi dan Ibu Angela Winanti Wulan Asri, serta Kakak Albertus Widiawan Prasetya yang selalu memberikan semangat, dorongan, dan mendoakan.

11. Almh. kakak Theresia Rolis Krismawati.

12. Hendrikus Listyarto yang selalu memberikan motivasi. 13. Keluarga Bp. A.M Soepoyo yang selalu mendoakan.

14. Seluruh keluarga besar Bp. FX. Samijono yang selalu memotivasi. 15. Sahabatku Yohana Puji Asri yang selalu membantu setiap kesulitan. 16. Teman-teman penelitian kolaboratif yang selalu berjuang dan saling


(14)

xii

17. Teman-teman PGSD E angkatan 2012 yang telah memberi dukungan dan doa selama pelaksanaan penelitian.

18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang dengan senang hati membantu, memotivasi, dan mendoakan.

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Semoga skripsi ini berguna bagi pembaca sekaligus menjadi sumber belajar bagi peneliti lain yang memiliki tujuan memperkembangkan pendidikan inklusi.

Yogyakarta, 11 Agustus 2016 Peneliti


(15)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR GRAFIK ... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 5

1.3 Rumusan Masalah ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.6 Definisi Operasional ... 6

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Landasan Teori ... 8

2.1.1 Pendidikan Inklusi ... 8

2.1.2 Sekolah Dasar Inklusi... 19

2.1.3 Metode Pengajaran ... 20

2.1.4 Sekolah dasar Inklusi se-kota Yogyakarta ... 29

2.1.5 Kecerdasan Ganda ... 30

2.1.6 Christy Brown: ABK yang Sukses ... 31

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan ... 33

2.3 Kerangka Berpikir ... 37

2.4 Hipotesis Penelitian ... 38

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 39

3.2 Setting Penelitian ... 40


(16)

xiv

3.4 Populasi dan Sampel ... 41

3.4.1 Populasi ... 41

3.4.2 Sampel ... 41

3.4.3 Teknik Sampling ... 42

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.6 Instrumen Penelitian ... 43

3.7 Teknik Pengujian Instrumen ... 45

1. Validitas ... 46

2. Reliabilitas ... 49

3.8 Teknik Analisis Data ... 51

3.9 Jadwal Penelitian ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Penelitian ... 54

4.2 Tingkat Pengembalian Kuesioner ... 55

4.3 Hasil Penelitian ... 55

4.3.1 Deskripsi Hasil Penelitian ... 55

4.3.2 Pemetaan Metode Pengajaran ... 57

4.4 Pembahasan ... 58

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 63

5.2 Keterbatasan Pengembangan ... 64

5.3 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar SD Negeri inklusi se-kota Yogyakarta... 29

Tabel 3.1 Kisi-kisi Kuesioner ... 44

Tabel 3.2 Kriteria Revisi Pernyataan ... 47

Tabel 3.3 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas Konstruk ... 48

Tabel 3.4 Koefisien Reliabilitas ... 50

Tabel 3.5 Hasil Reliabilitas Instrumen Kuesioner... 50

Tabel 3.6 Contoh Coding ... 52

Tabel 3.7 Jadwal Penelitian ... 53


(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Kuesioner ... 69

Lampiran 2a. Hasil Uji Validitas Konstruk Instrumen Kuesioner... 71

Lampiran 2b. Hasil Reliabilitas Instrumen Kuesioner ... 72

Lampiran 3. Rincian Persentase Penggunaan Metode Pengajaran ... 73

Lampiran 4. Rincian Skoring Item Jawaban Responden ... 77

Lampiran 5a. Lembar Validasi dari Dosen Validator 1 ... 78

Lampiran 5b. Lembar Validasi dari Dosen Validator 2 ... 80

Lampiran 6a. Sampel Instrumen Kuesioner yang diisi oleh Responden ... 82

Lampiran 6b. Sampel Instrumen Kuesioner yang diisi oleh Responden ... 84

Lampiran 6c. Sampel Instrumen Kuesioner yang diisi oleh Responden ... 86

Lampiran 7. Surat Permohonan Izin Pengambilan Data Penelitian dari Universitas Sanata Dharma ... 88

Lampiran 8. Surat Izin Melakukan Penelitian dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta ... 89


(19)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Literatur map dari Penelitian yang Relevan ... 36


(20)

xviii

DAFTAR GRAFIK

Halaman Grafik 4.1 Persentase Metode Pengajaran ...58


(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

Pada bagian Bab I, peneliti membahas tentang latar belakang yang menjadi landasan diadakannya penelitian ini, identifikasi masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional. 1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan inklusi adalah pendidikan khusus bagi siswa-siswa yang mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Siswa-siswa tersebut disebut dengan anak berkebutuhan khusus (ABK). Menurut Kirk dan Gallagher (2000), ABK adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak yang tidak berkebutuhan secara khusus. Perbedaan dari anak lainnya dalam perihal karakteristik mental, kemampuan sensori, kemampuan komunikasi, perilaku sosial, serta karakterisitik fisik. Itu sebabnya mereka memerlukan pendidikan khusus, karena anak tersebut memiliki perbedaan yang sangat mencolok dari anak pada umumnya. Pemerintah memfasilitasi pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut dengan mengadakan sekolah-sekolah inklusi.

Sekolah inklusi adalah sekolah yang melayani siswa berkebutuhan khusus untuk dapat belajar bersama siswa yang tidak berkebutuhan secara khusus. Pemerintah Kota Yogyakarta juga memiliki sekolah inklusi. Ada 27 sekolah dasar yang dianggap mampu untuk menerapkan pendidikan inklusi bagi siswa


(22)

2

berkebutuhan khusus. Sekolah dasar inklusi tersebut, masing-masing tersebar di beberapa kecamatan di Kota Yogyakarta, antara lain di Kecamatan Gondokusuman, Wirobrajan, Umbulharjo, Mantrijeron, Kotagede, dan Mergangsan. Guru di sekolah inklusi perlu mengetahui metode pengajaran yang sesuai sehingga siswa berkebutuhan khusus mampu menerima ilmu pengetahuan sama halnya dengan siswa yang tidak berkebutuhan secara khusus. Sekolah inklusi melayani anak-anak berkebutuhan khusus dengan kategori slow learner, hiperaktif, disgrafia, dan disleksia.

Guru perlu memiliki kemampuan menggunakan metode pengajaran agar dapat mengembangkan potensi siswanya. Siregar (2010) memaparkan bahwa metode pengajaran adalah cara yang digunakan guru untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Ada empat metode pengajaran yaitu metode pengajaran langsung, pengajaran tidak langsung, pengajaran scaffolding, dan pengajaran latihan mandiri. Metode pengajaran langsung adalah proses pengajaran yang dilakukan oleh guru untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa berkebutuhan khusus maupun siswa yang tidak berkebutuhan secara khusus; melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang guru dalam proses pembelajaran. Dalam metode pengajaran langsung, guru berperan sebagai penyampai materi, menyediakan latihan dengan bimbingan dan memberikan umpan balik.

Berbeda dengan metode pengajaran langsung. Metode pengajaran tidak langsung adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru sebagai fasilitator. Menurut Jarolimek (dalam Friend, 2015), metode pengajaran tidak


(23)

3

langsung disebut juga sebagai pengajaran inkuiri atau pengajaran penemuan. Guru harus mampu mengajak siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran agar siswa dapat menggali ide-ide atau gagasan tentang kehidupannya, lingkungan sekolah, dan hubungannya dengan orang-orang lain.

Metode scaffolding, menurut Rosenshine & Meister (dalam Friend, 2015) adalah suatu teknik pemberian dukungan/bimbingan yang dilakukan oleh guru kepada siswa supaya dapat belajar secara terstruktur. Bimbingan dilakukan dengan memberikan dorongan bagi siswa agar dapat belajar secara mandiri. Pemberian dukungan belajar tersebut dapat berupa nasihat, peringatan, petunjuk, dan menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pembelajaran sehingga memungkinkan siswa untuk mampu mengembangkan potensinya. Guru perlu mengatur tingkat kesulitan pembelajaran untuk membantu siswa memperkembangkan kemampuannya. Guru perlu mendampingi siswa untuk dapat bertanggungjawab.

Metode pengajaran yang selanjutnya adalah metode pengajaran latihan mandiri. Metode pengajaran latihan mandiri adalah metode yang digunakan guru untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan siswa dalam belajar tanpa bergantung pada bantuan guru ataupun siswa lain (Friend, 2015). Metode pengajaran latihan mandiri, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih sejumlah kecil keterampilan, sehingga siswa dapat memperkembangkan kemampuannya. Guru perlu memberikan tugas-tugas kepada siswa agar siswa dapat bekerja secara mandiri dengan melibatkan berbagai macam sumber belajar.


(24)

4

Peneliti tertarik untuk memperoleh data mengenai metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta. Oleh karena itu peneliti menyusun instrumen berkaitan dengan metode pengajaran, aspek pertama adalah pengajaran langsung, indikatornya (1) memberikan latihan dengan bimbingan, (2) penyampaian materi, dan (3) memberikan umpan balik. Aspek kedua yaitu pengajaran tidak langsung, indikatornya (1) guru sebagai fasilitator, dan (2) berpusat pada siswa. Pengajaran scaffolding, indikatornya (1) mengatur tingkat kesulitan materi pelajaran, (2) memanfaatkan model pembelajaran yang beragam, dan (3) melatih tanggung jawab. Aspek keempat, pengajaran latihan mandiri, indikatornya (1) memfasilitasi siswa untuk dapat bekerja mandiri, (2) melatih siswa untuk berlatih sejumlah kecil keterampilan, dan (3) memberi latihan agar siswa dapat memperkembangkan kemampuan.

Instrumen tersebut peneliti berikan kepada 42 guru di SD inklusi se-kota Yogyakarta agar peneliti memperoleh data untuk dapat memetakan metode pengajaran yang digunakan oleh guru-guru tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini berjudul “Metode Pengajaran yang digunakan Guru di Sekolah Dasar Inklusi se-kota Yogyakarta”.


(25)

5

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi masalah yang ada, yaitu:

1.2.1 Menemukan metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta.

1.2.2 Memetakan metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1.3.1 Metode pengajaran apa yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta?

1.3.2 Bagaimana hasil pemetaan metode pengajaran dari setiap sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1.4.1 Untuk mengetahui metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta.

1.4.2 Untuk mengetahui hasil pemetaan metode pengajaran dari setiap sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta.


(26)

6

1.5 Manfaat Penelitian A. Manfaat Praktis 1.5.1 Bagi Sekolah

Sekolah memperoleh data mengenai metode pengajaran yang khas digunakan oleh guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta. 1.5.2 Bagi Guru

Guru mendapatkan informasi mengenai metode pengajaran yang diberikan pada siswa berkebutuhan khusus.

1.5.3 Bagi peneliti

Peneliti dapat melakukan penelitian kuantitatif di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta untuk dapat memetakan tentang metode pengajaran yang digunakan guru.

B. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta tentang metode pengajaran.

1.6 Definisi Operasional

Pada penelitian ini, peneliti memberikan pengertian-pengertian agar memudahkan pembaca dan tidak menimbulkan kesalahpahaman pembaca. Pengertian-pengertian tersebut adalah sebagai berikut:

1.7.1 Pendidikan inklusi merupakan bagian dari pendidikan khusus yang diperuntukkan bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran karena kondisi dan kebutuhan masing-masing siswa berbeda.


(27)

7

1.7.2 Sekolah Dasar inklusi adalah sekolah yang melayani siswa berkebutuhan khusus untuk dapat belajar bersama siswa yang tidak berkebutuhan secara khusus.

1.7.3 Metode pengajaran adalah cara yang digunakan guru untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.


(28)

8

BAB II KAJIAN TEORI

Pada Bab II ini membahas empat subbab yaitu landasan teori, hasil penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi adalah pendidikan khusus bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pandangan layanan pendidikan bagi para penyandang cacat adalah layanan pendidikan dengan menggunakan pendekatan humanis (Garnida, 2015). Pandangan ini sangat menghargai manusia sebagai manusia yang sama dan memiliki kesempatan yang sama besarnya dengan manusia lainnya untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan inklusi sebagai wadah ideal yang diharapkan dapat mengakomodasi pendidikan bagi semua, terutama anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus selama ini masih belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan layaknya seperti anak yang tidak berkebutuhan secara khusus. Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan Direktorat Pembinaan SLB, 2007 (dalam Garnida, 2015), sebagai wadah yang ideal pendidikan inklusi memiliki empat karakteristik makna, yaitu:


(29)

9

1. Pendidikan inklusi adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak.

2. Pendidikan inklusi berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan anak dalam belajar.

3. Pendidikan inklusi membawa makna bahwa anak mendapat kesempatan untuk hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya.

Pendidikan inklusi secara formal ditegaskan dalam pernyataan Salamanca (dalam Garnida, 2015) pada konferensi dunia tentang pendidikan khusus tahun 1994 yang menyatakan bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”.

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980) tugas perkembangan pada anak-anak adalah sebagai berikut:

a) Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum.

b) Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh.

c) Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya. d) Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat.


(30)

10

e) Mengembangkan ketrampilan-ketrampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung.

f) Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari.

g) Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, serta tata dan tingkatan nilai.

h) Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-lembaga.

i) Mencapai kebebasan individu.

Dari beberapa pendapat tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus tanpa memandang kondisi fisik, emosi, intelektual, dan kondisi lainnya, untuk bersama-sama siswa yang tidak berkebutuhan khusus dalam memperoleh pelayanan pendidikan di sekolah reguler.

2.1.1.2 Tujuan Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut (Garnida, 2015):

1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua siswa (termasuk siswa berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.

2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar. 3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah


(31)

11

4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.

5. Memenuhi amanat UUD 1945, khususnya pasal 32 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat 2 yang berbunyi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. UU nomor 20 tahun 2003 tentang SPN, khususnya pasal 5 ayat1 yang berbunyi “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 51 yang berbunyi “anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa”.

2.1.1.3 Karakteristik Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi menempatkan siswa berkebutuhan khusus tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Menurut Sunardi (dalam Ilahi, 2013), tujuan dari inklusi sendiri adalah layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus pada waktu yang sama dengan siswa yang tidak berkebutuhan secara khusus. Karakter pendidikan inklusi yakni terbuka dan menerima tanpa syarat anak Indonesia yang berkeinginan kuat untuk mengembangkan kreativitas dan keterampilan mereka dalam satu wadah yang sudah direncanakan dengan matang. Pendidikan inklusi memiliki empat karakter makna menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2004 (dalam Garnida, 2015), antara lain: (a) proses yang berjalan terus dalam usahanya


(32)

12

menemukan cara merespon keragaman individu; (b) memperdulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan siswa dalam belajar; (c) siswa yang hadir di sekolah, berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya; dan (d) diperuntukkan utamanya bagi siswa yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.

2.1.1.4 Prinsip Dasar Pendidikan Inklusi

Prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah sebagai berikut (Suparno, 2010):

1. Humanisme artinya bahwa sistem pendidikan inklusi mengutamakan nilai kemanusiaan, menempatkan siswa sebagai manusia yang merupakan makhluk kodrati, bagian dari alam dan makhluk sosial dengan berbagai potensinya masing-masing.

2. Uniberalisme artinya bahwa sistem pendidikan inklusi menempatkan setiap siswa sebagai makhluk yang unik, sehingga setiap siswa diakui keberadaannya dengan segala kondisi dan potensinya, dan hal ini merupakan kesempurnaan mereka masing-masing, sehingga mereka harus mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan kondisi dan potensinya. 3. Pluralisme dan non diskriminatif artinya bahwa setiap individu adalah

berbeda antara yang satu dengan yang lain. Pendidikan inklusi menyelenggarakan proses pembelajaran bersama tanpa mendiskriminasikan individu atas dasar suku/etnis/ras, agama, latar


(33)

13

belakang sosial, ekonomi, politik, jenis kelamin, kemampuan fisik dan atau mental.

4. Demokratis artinya sistem pendidikan inklusi menempatkan siswa sebagai partisipan pendidikan yaitu bahwa siswa menjadi pelaku aktif dan ikut dalam proses pengambilan keputusan tentang hal yang akan mereka lakukan. Proses pembelajaran juga merupakan implementasi dari partisipasi dan keputusan bersama antara guru, administrator sekolah, siswa, orang tua, serta masyarakat lingkungan sekitar.

5. Menghormati hak asasi manusia artinya sistem pendidikan inklusi memberikan kesempatan kepada semua anak bangsa tanpa membedakan dan bahkan memfasilitasi setiap individu dengan memperhatikan perbedaan kondisi dan potensinya.

6. Pendidikan untuk semua artinya setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak.

7. Belajar hidup bersama dan bersosialisasi setiap anak berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik.

8. Integrasi pada lingkungan artinya setiap anak berhak menyatu dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis.

9. Penerimaan terhadap perbedaan artinya setiap anak berhak dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan.

2.1.1.5 Fungsi Pendidikan Inklusi

Layanan pendidikan inklusi membantu untuk memastikan bahwa anak-anak dengan dan tanpa mengalami hambatan dapat hidup dan tumbuh bersama.


(34)

14

Sesuai disiplin ilmu, fungsi pendidikan khusus dibagi menjadi 3 menurut Alimin (dalam Garnida, 2015), yaitu:

1. Fungsi Preventif

Melalui pendidikan inklusif guru melakukan upaya pencegahan agar tidak muncul hambatan-hambatan yang lainnya pada siswa berkebutuhan khusus.

2. Fungsi Intervensi

Pendidikan inklusif menangani siswa berkebutuhan khusus agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya.

3. Fungsi Kompensasi

Pendidikan inklusif membantu siswa berkebutuhan khusus untuk menangani kekurangan yang ada pada dirinya dengan menggantikan dengan fungsi lainnya.

Guru menjadi subjek dalam penerapan fungsi pendidikan inklusi bagi siswa berkebutuhan khusus. Oleh sebab itu, guru diharapkan untuk benar-benar mamahami dan mampu menerapkan fungsi pendidikan inklusi dalam proses pembelajaran sehingga guru di sekolah inklusi dapat membantu siswa berkebutuhan khusus untuk tumbuh dan mengembangkan potensi yang dimilikinya.

2.1.1.6 Anak berkebutuhan khusus (ABK)

Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak yang tidak berkebutuhan secara khusus. Kirk dan Gallagher (2000) berpendapat bahwa anak berkebutuhan


(35)

15

khusus (the exceptional child) ialah anak yang memiliki perbedaan dari anak lainnya dalam perihal; karakteristik mental, kemampuan sensori, kemampuan komunikasi, perilaku sosial, serta karakterisitik fisik. Sedangkan Hallan (2001) mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan pendidikan khusus, disebabkan karena anak tersebut memiliki perbedaan yang sangat mencolok dari anak pada umumnya. Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki karakteristik berbeda dengan anak yang tidak berkebutuhan secara khusus, baik dari segi fisik maupun mental, dimana anak-anak tersebut membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus untuk dapat mengembangkan potensinya. Setiap anak berkebutuhan khusus mengalami perkembangan hambatan belajar yang berbeda-beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak disebabkan oleh tiga hal, yaitu:

1. Faktor lingkungan

2. Faktor dalam diri anak sendiri

3. Kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak

Menurut Garnida (2015), anak berkebutuhan khusus dikelompokkan sebagai berikut:

1. Anak dengan gangguan penglihatan (tunanetra) a. Anak kurang awas (low vision)

b. Anak tunanetra total (totally blind)


(36)

16

a. Anak kurang dengar (hard of hearing) b. Anak tuli (deaf)

3. Anak dengan gangguan kecerdasan (tunagrahita)

a. Anak dengan gangguan kecerdasan (intelektual) di bawah rata-rata (tunagrahita)

1) Anak tunagrahita ringan (IQ 50 - 70) 2) Anak tunagrahita sedang (IQ 25 - 49) 3) Anak tunagrahita berat (IQ 25 – ke bawah) b. Anak dengan kemampuan intelegensi di atas rata-rata

1) Giffted, yaitu anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata

2) Talented, yaitu anak yang memiliki keberbakatan khusus 4. Anak dengan gangguan anggota gerak (tunadaksa)

a. Anak layuh anggota gerak tubuh (polio)

b. Anak dengan gangguan fungsi syaraf otak (cerebral palcy) 5. Anak dengan gangguan perilaku dan emosi (tunalaras)

a. Anak dengan gangguan perilaku

1) Anak dengan gangguan perilaku taraf ringan 2) Anak dengan gangguan perilaku taraf sedang 3) Anak dengan gangguan perilaku taraf berat b. Anak dengan gangguan emosi

1) Anak dengan gangguan emosi taraf ringan 2) Anak dengan gangguan emosi taraf sedang


(37)

17

3) Anak dengan gangguan emosi taraf berat 6. Anak gangguan belajar spesifik

a. Anak yang mengalami gangguan perkembangan (developmental learning disabilities), mencakup gangguan motorik dan persepsi, bahasa dan komunikasi, memori, dan perilaku sosial.

b. Anak yang mengalami gangguan akademik (membaca, menulis, dan berhitung).

7. Anak lamban belajar (slow learner)

a. Anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah anak normal.

b. Anak yang menyelesaikan tugas-tugas akademik terlambat dibandingkan teman-teman seusianya (memerlukan waktu lebih lama).

8. Anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa (CIBI)

a. Kemampuan berpikir kritis dapat mengarah ke arah sikap meragukan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. b. Kemampuan kreatif dan minat untuk melakukan hal-hal yang baru,

bisa menyebabkan mereka tidak menyukai atau cepat bosan terhadap tugas-tugas rutin.

c. Perilaku yang ulet dan terarah pada tujuan, dapat menjurus ke keinginan untuk memaksakan atau mempertahankan pendapatnya. d. Kepekaan yang tinggi, dapat membuat mereka menjadi mudah


(38)

18

e. Semangat, kesiagaan mental, dan inisiatifnya yang tinggi, dapat membuat kurang sabar dan kurang tenggang rasa jika tidak ada kegiatan atau jika kurang tampak kemajuan dalam kegiatan yang sedang berlangsung.

f. Dengan kemampuan dan minatnya yang beraneka ragam, mereka membutuhkan keluwesan serta dukungan untuk dapat menjajaki dan mengembangkan minatnya.

g. Keinginan mereka untuk mandiri dalam belajar dan bekerja, serta kebutuhannya akan kebebasan, dapat menimbulkan konflik karena tidak mudah menyesuaikan diri atau tunduk terhadap tekanan dari orang tua, sekolah, atau teman-temannya. Ia juga bisa merasa ditolak atau kurang dimengerti oleh lingkungannya.

h. Sikap acuh tak acuh dan malas, dapat timbul karena pengajaran yang diberikan di sekolah kurang mengundang tantangan baginya. 9. Anak Autis

a. Autistic Disorder, hambatan verbal dan non verbal yang sangat parah; perilaku yang tidak biasa, yang biasanya disebut “autisme”. b. Asperger Syndrome, secara relatif memiliki bahasa verbal yang

bagus, dengan masalah bahasa non verbal yang agak ringan; minat dan keterkaitan yang terbatas.

c. Rett’s Disorder, kelainan syaraf yang bersifat degeneratif (mengalami kemunduran) yang sangat langka pada anak perempuan.


(39)

19

d. Childhood Disintegrative Disorder, kelainan yang sangat langka yang perlu kehati-hatian dalam membedakannya dengan kondisi degeneratif syaraf.

2.1.2 Sekolah Dasar Inklusi

Pendidikan inklusi mulai diterapkan di sekolah umum. Menurut Thompson (2010), pendidikan yang efektif bergantung pada lingkungan tempat siswa tersebut belajar dan memenuhi kebutuhan sosial, emosional, dan pembelajaran mereka. Hal ini sesuai dengan pasal 32 UUD 1945 ayat 1, yang berbunyi Pendidikan inklusi merupakan pendidikan bagi siswa yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa” (dalam Wiyani, 2014). Pemerintah memberikan salah satu pelayanan pendidikan khusus yaitu berupa sekolah inklusi.

Menurut Ilahi (2013), sekolah dasar inklusi adalah sekolah reguler yang mengakomodasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama. Sekolah Dasar inklusi adalah sekolah yang melayani siswa berkebutuhan khusus untuk dapat belajar bersama siswa yang tidak berkebutuhan secara khusus. Tujuan didirikannya sekolah inklusi adalah membantu siswa berkebutuhan khusus agar dapat menerima materi dengan maksimal dalam proses pembelajaran, seperti halnya siswa yang tidak berkebutuhan secara khusus.


(40)

20

2.1.3 Metode Pengajaran

Guru di sekolah inklusi perlu memahami metode pengajaran yang sesuai bagi siswanya. Metode pengajaran digunakan guru untuk mempersiapkan metode apa dan bagaimana agar siswa tertarik mengikuti pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Menurut Siregar (2010), metode pengajaran adalah cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Djamarah bahwa metode pengajaran adalah salah satu alat untuk mencapai suatu tujuan (dalam Zain, 2010). Pendapat ini sama halnya dengan pendapat yang diungkapkan oleh Bahri bahwa metode pengajaran sebagai cara yang digunakan guru sehingga dalam menjalankan fungsinya, metode merupakan alat untuk mencapai tujuan pembelajaran (dalam Siregar, 2010). Raharjo menambahkan bahwa tujuan pembelajaran akan tercapai secara maksimal apabila seorang guru menggunakan metode pengajaran dengan tepat (dalam Siregar, 2010). Metode pengajaran yang digunakan harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa metode pengajaran adalah cara yang digunakan guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Metode pengajaran dirancang dengan tujuan melibatkan siswa aktif selama proses pembelajaran berlangsung.

Guru menggunakan empat metode pengajaran di kelas yang meliputi pengajaran langsung, pengajaran tidak langsung, pengajaran latihan mandiri, dan pengajaran scaffolding. Secara umum, di sekolah inklusi lebih menekankan penggunaan metode pengajaran scaffolding untuk membantu siswa


(41)

21

berkebutuhan khusus dalam menerima dan menyerap materi ajar (Friend, 2015).

a. Pengajaran Langsung

Rosenshine & Steven (dalam Friend, 2015) mengungkapkan salah satu macam metode pengajaran yaitu metode pengajaran langsung. Menurutnya, pengajaran langsung terdiri dari enam elemen kunci, yaitu:

1. Mengulas dan memeriksa kembali hasil pekerjaan kemarin: dalam tahap ini guru mengajukan pertanyaan untuk mengungkap pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki siswa.

2. Menampilkan muatan atau keterampilan baru: pada tahap ini guru meyampaikan materi, menyajikan informasi, mendemonstrasikan konsep pembelajaran dengan menggunakan ilustrasi dan contoh konkret untuk menyoroti poin-poin penting.

3. Menyediakan latihan dengan bimbingan: bimbingan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menilai tingkat pemahaman siswa dan mengoreksi kesalahan konsep.

4. Memberikan umpan balik dan koreksi: guru mereview terhadap hal-hal yang dilakukan siswa serta memberikan umpan balik terhadap respon siswa yang benar dan mengulang keterampilan jika diperlukan.

5. Menyediakan latihan mandiri: dalam tahap ini, guru dapat memberikan tugas mandiri kepada siswa untuk meningkatkan pemahamannya terhadap materi yang sudah dipelajari.


(42)

22

6. Sering-sering mengulas kembali: guru memberikan ulasan mengenai materi yang sebelumnya sudah dipelajari, baik ulasan mengenai tugas pekerjaan rumah maupun ulangan.

Beberapa situasi yang memungkinkan model pembelajaran langsung cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran seperti berikut ini:

1. Ketika guru ingin mengenalkan suatu bidang pembelajaran yang baru dan memberikan garis besar pelajaran dengan mendefinisikan konsep-konsep kunci.

2. Ketika guru ingin mengajari siswa suatu keterampilan atau prosedur yang memiliki struktur yang jelas dan pasti.

3. Ketika guru ingin memastikan bahwa siswa telah menguasai keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan dalam kegiatan yang berpusat pada siswa, seperti memecahkan masalah (problem solving).

4. Ketika guru ingin menumbuhkan ketertarikan siswa pada suatu topik. 5. Ketika guru harus menunjukkan teknik atau prosedur tertentu sebelum

siswa melakukan suatu kegiatan praktik.

6. Ketika lingkungan mengajar tidak sesuai dengan strategi yang berpusat pada siswa.

Metode pengajaran langsung bergantung pada kemampuan refleksi guru untuk dapat terus menerus mengevaluasi dan memperbaiki pembelajaran yang diberikan bagi siswa.


(43)

23

b. Pengajaran Tidak Langsung

Metode pengajaran tidak langsung merupakan hasil pemikiran Carl Roger dan tokoh lain yang mengembangkan konseling indirect. Roger (dalam Sholeh, 2014) mengaplikasikan strategi konseling tersebut dalam pembelajaran. Pembelajaran tidak langsung lebih banyak berpusat pada siswa, dan guru hanya berperan sebagai fasilitator. Dalam kegiatan pembelajaran, guru membantu siswa menggali ide-ide atau gagasan tentang kehidupannya, lingkungan sekolah, dan hubungannya dengan orang-orang lain. Metode pengajaran tidak langsung ini sangat cocok ketika berada dalam keadaan seperti berikut:

1. Pembelajaran yang menitikberatkan pada hasil, akibat dan efek pembelajaran terhadap siswa, baik menyangkut pemikiran, tingkah laku, nilai dan karakter.

2. Siswa membutuhkan penyelidikan atau penemuan sesuatu untuk kebaikan dari pembelajaran yang akan datang.

3. Ada lebih dari satu jawaban yang tepat. 4. Ingatan yang lebih tajam dari konsep.

5. Pengembangan ego dan motivasi intrinsik dapat diharapkan. 6. Keputusan harus dibuat atau masalah-masalah harus dipecahkan.

Agar siswa mendapatkan hasil yang maksimal selama proses pembelajaran tidak langsung, maka penting bagi seorang guru untuk terlebih dahulu mengajarkan keterampilan dan proses penting yang dibutuhkan siswa untuk mencapai pembelajaran yang diinginkan.


(44)

24

c. Scaffolding

Metode pengajaran yang selanjutnya ialah scaffolding. Archer (dalam Friend, 2015) berpendapat bahwa scaffolding adalah pendekatan yang telah lama digunakan dan berhasil membantu siswa dalam mengembangkan bermacam-macam kemampuan, mulai dari kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut pendapat Rosenshine & Meister, scaffolding merupakan “bentuk dukungan yang disediakan guru atau siswa lain untuk membantu siswa menjembatani jarak antara kemampuan mereka yang sekarang dengan target yang dituju” (dalam Friend, 2015). Sebelum menggunakan scaffolding, guru mula-mula mencari tahu apakah siswa-siswinya memiliki pengetahuan dasar yang diperlukan untuk mempelajari keterampilan yang akan diajarkan, dengan cara sebagai berikut:

a. Memberikan strategi kognitif yang baru: guru memperkenalkan strategi yang konkret. Pertama-tama guru memperkenalkan strategi pemecahan masalah dengan mendefinisikan masalah, mengajukan hipotesis untuk menjelaskan masalah, mengumpulkan data untuk mengevaluasi hipotesis, mengevaluasi bukti, dan membuatkesimpulan.

b. Mengatur tingkat kesulitan selama latihan terbimbing: siswa mulai melatih strategi baru dengan materi pelajaran yang sudah disederhanakan sehingga mudah untuk mempelajarinya.

c. Menyediakan konteks yang beraneka ragam untuk latihan siswa: proses pembelajaran tidak hanya berlangsung di dalam kelas, melainkan di luar


(45)

25

kelas atau dibuat kelompok kooperatif sehingga masing-masing siswa dapat membantu teman lain yang belum paham.

d. Menyediakan umpan balik: guru membuat daftar ceklist evaluasi berdasarkan pada pemecahan masalah. Siswa mengajukan pertanyaan kepada dirinya sendiri untuk mengevaluasi kemampuan diri siswa.

e. Meningkatkan tanggung jawab siswa: siswa diberikan tugas mandiri, namun dengan meminimalisir bantuan dari guru atau teman lain.

f. Menyediakan latihan mandiri: guru memberikan tugas individu kepada siswa untuk membantu mereka dalam menerapkan hal yang telah mereka pahami tehadap situasi baru.

Menurut Archer & Hughes, scaffolding sangat membantu bagi siswa berkebutuhan khusus yang cenderung mengalami permasalahan dalam memperhatikan, mengingat, dan mengatur informasi secara berarti (dalam Friend, 2015). Adinegara (dalam Mardiyan, 2013) mengemukakan scaffolding sebagai pemberian bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian siswa tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar, segera setelah ia dapat melakukannya sendiri. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, dan menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pembelajaran sehingga memungkinkan siswa tumbuh mandiri dan mengembangkan potensinya. Scaffolding sebagai suatu teknik bantuan belajar yang dilakukan pada saat siswa merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tugas-tugas belajarnya. Pembelajaran scaffolding dapat ditempuh melalui tahapan berikut:


(46)

26

1. Melaksanakan asesmen kemampuan awal dan taraf perkembangan setiap siswa untuk menentukan Zone of Proximal Developmental (ZPD), yakni wilayah perkembangan siswa yang masih berpotensi dan berpeluang untuk ditingkatkan serta dioptimalkan melalui bantuan guru, teman, atau lingkungan pembelajaran tertentu, termasuk di dalamnya pemanfaatan teknologi.

2. Menjabarkan tugas-tugas dan aktivitas belajar secara rinci sehingga dapat membantu siswa melihat zona yang perlu di-scaffold.

3. Menyajikan struktur atau tugas belajar secara jelas dan bertahap sesuai taraf perkembangan siswa, yang dapat dilakukan melalui: penjelasan, dorongan (motivasi), dan pemberian contoh (modelling).

4. Mendorong siswa untuk menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.

Dari beberapa pendapat tokoh tersebut, disimpulkan bahwa scaffolding adalah dukungan/bimbingan belajar yang diberikan guru kepada siswa agar dapat belajar secara mandiri. Pemberian dukungan belajar ini tidak dilakukan secara terus menerus tetapi seiring dengan terjadinya peningkatan kemampuan siswa berkebutuhan khusus, secara berangsur-angsur guru harus mengurangi dan melepaskan siswa untuk belajar secara mandiri. Jika siswa belum mampu mencapai kemandirian dalam belajarnya, maka guru kembali ke sistem dukungan awal untuk membantu siswa memperoleh kemajuan sampai mereka benar-benar mampu mencapai kemandirian.


(47)

27

d. Pengajaran Latihan Mandiri

Metode pengajaran berikutnya adalah metode pengajaran latihan mandiri. Metode pengajaran latihan mandiri adalah cara digunakan guru untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan siswa dalam belajar tanpa bantuan orang lain, sehingga siswa tidak bergantung pada guru ataupun siswa lain untuk dapat belajar. Tujuan utama dari latihan adalah membantu siswa untuk memperhalus atau memperkuat keterampilan mereka pada sejumlah bidang (Friend, 2015). Berikut tujuh garis pedoman untuk menerapkan kegiatan latihan secara efektif di kelas:

1. Siswa sebaiknya hanya melatih keterampilan atau bahasan yang telah dipelajari sebelumnya, tugas yang terlalu sulit dapat berujung pada tingginya perilaku siswa untuk mengabaikan tugas.

2. Latihan akan lebih efektif ketika siswa mempunyai hasrat untuk mempelajari apa yang mereka latih.

3. Latihan harus bersifat individual, dalam hal ini latihan diatur sedemikian rupa agar setiap siswa mampu bekerja secara mandiri.

4. Latihan harus spesifik dan tersistem, hal ini khususnya penting bagi siswa berkebutuhan khusus yang memerlukan lebih banyak latihan agar dapat menguasai keterampilan akademis.

5. Siswa harus lebih banyak berlatih untuk sejumlah kecil keterampilan dibandingkan sedikit berlatih untuk banyak keterampilan.

6. Latihan harus diatur sedemikian rupa agar siswa mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi.


(48)

28

7. Latihan harus diatur agar siswa maupun guru sama-sama segera memperoleh umpan balik.

Latihan mandiri berupaya untuk mengembangkan kebebasan pada siswa dalam mendapatkan informasi dan pengetahuan yang tidak dikendalikan guru maupun siswa lain. Terlebih dahulu siswa akan memahami isi pelajaran yang dibaca atau dilihatnya melalui media cetak dan non cetak. Siswa yang melakukan belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas, seperti membaca sendiri, belajar secara individu, dan latihan-latihan individu.

Berdasarkan keempat metode pengajaran tersebut, diperoleh beberapa indikator yang nantinya akan digunakan sebagai pedoman dalam pembuatan item pernyataan. Keempat metode pengajaran tersebut dijadikan acuan sebagai aspek dalam penyusunan instrumen penelitian ini. Aspek pertama yaitu pengajaran langsung, indikatornya (1) memberikan latihan dengan bimbingan, (2) penyampaian materi, dan (3) memberikan umpan balik. Aspek kedua yaitu pengajaran tidak langsung, indikatornya (1) guru sebagai fasilitator, dan (2) berpusat pada siswa. Metode pengajaran scaffolding, indikatornya (1) mengatur tingkat kesulitan materi pelajaran, (2) memanfaatkan model pembelajaran yang beragam, dan (3) melatih tanggung jawab. Aspek keempat, pengajaran latihan mandiri, indikatornya (1) memfasilitasi siswa untuk dapat bekerja mandiri, (2) melatih siswa untuk berlatih sejumlah kecil keterampilan, dan (3) memberi latihan agar siswa dapat memperkembangkan kemampuan.


(49)

29

2.1.4 Sekolah Dasar Inklusi se-kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta adalah kota yang menjadi objek penelitian metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi. Data yang didapat dari UPTD Kota Yogyakarta terdapat 27 SD, baik berstatus negeri maupun swasta yang tergolong dalam sekolah dasar inklusi. Dari 27 SD tersebut, hanya 7 SD yang berkenan untuk memberikan data kaitannya dengan pendidikan inklusi, dengan alasan beberapa sekolah dasar yang tercatat sebagai sekolah dasar inklusi belum mendapat surat keputusan dari Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta bahwa sekolahnya masuk ke dalam kategori sekolah dasar inklusi di Kota Yogyakarta. Ketujuh sekolah dasar tersebut terbagi di beberapa kecamatan se-kota Yogyakarta.

No. Sekolah Dasar Inklusi Jumlah dan Kategori Siswa ABK 1. SD Negeri Giwangan 3 siswa slow learner

2. SD Negeri Wirosaban 12 siswa slow learner 3. SD Negeri Pakel 1 siswa hiperaktif 4. SD Negeri Tamansari I 7 siswa slow learner

5. SD Negeri Juara 3 siswa disleksia dan 5 siswa slow learner 6. SD Negeri Baciro 6 siswa slow learner

7. SD Negeri Karanganyar 27 siswa slow learner Tabel 2.1 Daftar tujuh sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta

Di kecamatan Umbulharjo terdapat 3 SD inklusi, yaitu 1) SD Negeri Giwangan Yogyakarta, terletak di Jl. Tegalturi No.45 Umbulharjo, 2) SD Negeri Wirosaban yang terletak di Jl. Wiroyudo II, Sorosutan, Umbulharjo, dan 3) SD Negeri Pakel yang terletak di Jl. Tritunggal No.27 Umbulharjo. Di kecamatan Wirobrajan hanya terdapat satu SD inklusi yaitu SD Negeri Tamansari I, yang terletak di Jl. Kapt. Piere Tendean No.43 Yogyakarta. Di


(50)

30

kecamatan Gondokusuman terdapat pula dua SD inklusi yaitu SD Negeri Juara yang terletak di Jl. Gayam No. 9 Yogyakarta dan SD Negeri Baciro yang terletak di Jl. Mawar 17A Yogyakarta. SD inklusi yang selanjutnya berada di kecamatan Mergangsan, SD inklusi tersebut ialah SD Negeri Karanganyar yang terletak di Jl. Sisingamangaraja No.29A Yogyakarta. Sekolah dasar tersebut ditetapkan sebagai sekolah dasar inklusi oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, di mana sekolah tersebut dianggap mampu memberikan penanganan pada siswa berkebutuhan khusus (tanpa memandang suku, fisik, dan mental) yang ingin mengenyam bangku pendidikan di sekolah dasar pada umumnya bersama siswa yang tidak berkebutuhan secara khusus. Guru dari ketujuh SD tersebut berjumlah 42 orang. Sebagian besar siswa berkebutuhan khusus yang ada di sekolah dasar inklusi tersebut, meliputi kategori siswa slow learner, hiperaktif, disleksia, dan disgrafia dengan jumlah siswa yang berbeda-beda. Di SD Negeri Giwangan terdapat 3 siswa slow learner, SD Negeri Wirosaban terdapat 12 siswa slow learner, SD Negeri Pakel terdapat 1 siswa hiperaktif, SD Negeri Tamansari I terdapat 7 siswa slow learner, SD Negeri Juara terdapat 3 siswa disleksia dan 5 siswa slow learner, SD Negeri Baciro terdapat 6 siswa slow learner, dan di SD Negeri Karanganyar terdapat 27 siswa slow learner.

2.1.5 Kecerdasan Ganda

Setiap anak yang terlahir di dunia ini memiliki berbagai potensi di dalam dirinya. Gardner (2003) mengidentifikasi adanya sembilan macam potensi kecerdasan di dalam otak manusia. Jika diberi kesempatan dan


(51)

31

kebebasan, serta difasilitasi untuk berkembang, maka potensi-potensi tersebut dapat muncul menjadi bakat-bakat yang nyata. Apabila hal ini dipupuk terus menerus maka akan berkembang menjadi kecerdasan. Melalui kecerdasan inilah seseorang dapat menjadi profesional. Dalam kenyataannya, tidak semua potensi di dalam diri seseorang sama kuatnya dan tidak semuanya dapat dikembangkan menjadi kecerdasan. Hanya satu atau beberapa di antaranya yang dapat benar-benar berkembang optimal.

Howard Gardner, seorang profesor di bidang pendidikan dari Harvard University, Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul Multiple Intelligences, yang lazim diterjemahkan menjadi kecerdasan ganda, mengartikan inteligensi (kecerdasan) sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata (Widya Dharma, 2004). Kesembilan inteligensi yang dikemukakan oleh Gardner (2003) adalah kecerdasan bahasa, kecerdasan matematis-logis, kecerdasan ruang-visual, kecerdasan kinestetik-badani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal atau kecerdasan antar pribadi, kecerdasan intrapersonal atau kecerdasan diri pribadi, kecerdasan lingkungan, dan kecerdasan eksistensial.

2.1.6 Christy Brown: ABK yang Sukses

Setiap anak memiliki potensi dalam dirinya masing-masing tidak terkecuali anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus pun berhak mendapat pendidikan dan peluang untuk menjadi sukses apabila potensi yang ada dalam dirinya mampu diperkembangkan seoptimal mungkin, baik dengan


(52)

32

dukungan dari orangtua, lingkungan, maupun dengan bantuan tenaga pendidik yang ahli dalam bidangnya. Salah satu contoh anak berkebutuhan khusus yang mampu membuktikan kesuksesannya yaitu Christy Brown. Christy Brown ialah seorang pengarang, pelukis, dan penyair yang berasal dari Irlandia. Ia lahir pada 5 Juni 1932 di Crumlin, Dublin, Irlandia. Brown, panggilan akrabnya, terlahir di tengah keluarga yang berprofesi sebagai tukang batu. Sejak lahir, Brown menderita cerebral palsy yaitu kerusakan otak yang membuatnya tidak mampu bergerak dan berbicara secara normal, hanya kaki kirinya saja yang dapat bergerak.

Beruntung Brown memiliki ibu yang selalu memotivasi dan melatihnya untuk menulis dengan kaki kirinya. Pada usia 5 tahun, Brown mulai belajar menulis dengan kaki kirinya. Hingga ia berusia 17 tahun, ia tidak hanya mampu menulis tetapi juga dapat menciptakan lukisan. Brown tidak pernah belajar di kelas pendidikan formal. Hanya sesekali ia datang ke Santa Brendan, sekolah klinik di Sandymount untuk belajar. Di sana ia bertemu dengan seorang dokter yaitu dokter Robert Collis, beliau juga seorang penulis. Dokter Collis melihat bahwa Brown memiliki bakat menulis alami. Dokter Collis menyebut Brown sebagai novelis alami. Perlahan namun pasti, dengan tekun Brown menulis riwayat hidupnya yang berjudul “My Left Foot”. Dokter Coliis membantu Brown mempublikasikan autobiografinya tersebut dalam bentuk novel. Brown kemudian menjadi terkenal dan menikah dengan Mary Carr. Kehidupannya berubah menjadi bahagia dan lebih baik daripada masa kecilnya. Brown meninggal di usia 49 tahun, pada tanggal 6 September 1981.


(53)

33

Biografi Brown sempat diadaptasikan ke dalam film layar lebar yang dirilis pada tahun 1989.

Brown membuktikan bahwa dengan bimbingan dari ibunya dan Dokter Collis, tidak menyurutkan semangatnya untuk menjadi sukses dengan terus menggali potensi yang ia miliki. Sekalipun Brown mengalami kerusakan otak, namun Brown berhasil membuktikan dan mengembangkan kecerdasan ganda yang ada pada dirinya. Berkat pendampingan, Brown dapat mengembangkan kecerdasan lingusitik, ruang visual, serta interpersonal yang membuatnya berkembang dengan menjadi seorang pengarang, penyair, dan pelukis.

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan

Berikut tiga hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang berjudul “Metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se -kota Yogyakarta”.

1. Penelitian pertama yaitu penelitian yang dilakukan Alfrina pada tahun 2012 dalam penelitian yang berjudul “Pendidikan Inklusif Di Sekolah Dasar Kota Padang”.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai pendidikan inklusif di sekolah dasar kota Padang. Metodologi dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan rumus statistik persentase. Dari hasil penelitian, diperoleh gambaran bahwa 97,6% sekolah telah memiliki visi dan misi tentang pendidikan inklusif, 92,7% sekolah yang memiliki


(54)

34

lingkungan bersih, sehat dan terbuka, 68,2% guru yang memiliki keterampilan dan mengetahui penyakit pada anak, 51,2% guru telah memiliki kompetensi dengan mengikuti lokakarya pendidikan inklusif, 96,3% sekolah menerima peserta didik tanpa diskriminatif, 92,7% sekolah menggunakan kurikulum yang diadaptasikan, 59,8% sekolah menggunakan penilaian yang diadaptasikan dan 50% masyarakat yang siap mendukung pelaksanaan pendidikan inklusif. Ini berarti, jalannya pendidikan inklusif untuk Sekolah Dasar Kota Padang belum berjalan semaksimal mungkin.

2. Penelitian kedua ialah penelitian yang dilakukan Fahrurrozi pada tahun 2012 dengan judul “Pengaruh Metode Pembelajaran Dan Gaya Kognitif Terhadap Kemampuan Menulis”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode pembelajaran dan gaya kognitif terhadap kemampuan menulis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik multi stage cluster random sampling. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kemampuan menulis antara kelompok yang belajar dengan metode quantum teaching dan kelompok yang belajar dengan metode ekspositori.

3. Penelitian ketiga ialah penelitian yang dilakukan Purwatiningtyas pada tahun 2014 dengan judul “Strategi pembelajaran anak lamban belajar (slow learners) di SD Negeri Giwangan Yogyakarta”.


(55)

35

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan strategi pembelajaran anak lamban belajar di SD Negeri Giwangan, ditinjau dari lima komponen strategi pembelajaran, meliputi: 1) kegiatan pembelajaran pendahuluan; 2) penyampaian informasi; 3) partisipasi siswa; 4) penilaian pembelajaran; dan 5) kegiatan lanjutan. Penelitian kualitatif dalam penelitian ini menggunakan metode studi kasus atau case-studies. Berdasarkan penelitian yang sudah peneliti lakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa guru kelas melaksanakan strategi pembelajaran anak lamban belajar sesuai kondisi di kelas masing-masing.

Berdasarkan fakta yang ditemukan dalam penelitian lain, relevansi dari ketiga penelitian tersebut adalah metode pengajaran yang digunakan di SD inklusi sangat menentukan hasil dari proses pembelajaran serta menunjukkan tercapai atau tidaknya tujuan yang hendak dicapai dalam suatu pembelajaran. Peneliti berupaya untuk melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta.


(56)

3

6

(Alfrina, 2012)

“Pendidikan Inklusif Di Sekolah Dasar Kota Padang”.

(Purwatiningtyas, 2014)

“Strategi Pembelajaran Anak Lamban Belajar (Slow Learners) Di Sekolah Inklusi SD Negeri Giwangan Yogyakarta ”.

(Fahrurrozi, 2012)

“Pengaruh Metode Pembelajaran Dan Gaya Kognitif Terhadap Kemampuan Menulis”.

Guru sebaiknya memperhatikan dan memilah strategi pembelajaran yang digunakan di kelas, dengan kemampuan masing-masing siswa.

Guru perlu memiliki kemampuan menguasai metode pengajaran.

Penelitian tersebut memberi inspirasi tentang pentingnya guru memperoleh lokakarya mengenai pendidikan inklusi.

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Metode Pengajaran yang digunakan Guru di Sekolah Dasar Inklusi Se-Kota Yogyakarta”.

Gambar 2.1 Literature Map Penelitian yang Relevan


(57)

37

2.3 Kerangka Berpikir

Guru perlu menguasai metode pengajaran yang digunakan untuk menyampaikan materi ajar kepada siswa. Metode pengajaran yang digunakan harus mampu mengoptimalkan cara berpikir dan kemampuan psikomotorik siswa berkebutuhan khusus untuk terus mengembangkan potensi yang dimilikinya. Melalui metode pengajaran, guru dapat menerangkan konsep dari pembelajaran yang akan dipelajari bersama. Oleh sebab itu, perlu diadakannya lokakarya bagi guru untuk mengetahui metode pengajaran yang bagaimana dalam menangani siswa berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi sehingga tujuan dari pendidikan inklusi untuk mengembangkan potensi siswa dapat tercapai.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti tersebut, mengarahkan peneliti untuk melakukan penelitian mengenai metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Peneliti membagikan instrumen pernyataan kepada guru sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta untuk diisi. Instrumen pernyataan dibuat berdasarkan aspek-aspek metode pengajaran.

Data dikumpulkan melalui pembagian kuesioner kepada guru sekolah dasar inklusi. Data yang didapat, diolah untuk dapat memetakan penggunaan metode pengajaran di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta. Pemetaan yang diperoleh menjadi bahan masukkan bagi guru bahwa perlu adanya lokakarya kaitannya dengan pendidikan inklusi guna mengembangkan potensi siswa


(58)

38

berkebutuhan khusus yang ada di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta. Guru perlu benar untuk mengetahui metode pengajaran yang khas dari sekolah inklusi. Metode pengajaran yang khas diterapkan di sekolah inklusi yaitu metode pengajaran scaffolding. Menurut Archer & Hughes , scaffolding sangat membantu bagi siswa berkebutuhan khusus yang cenderung mengalami permasalahan dalam memperhatikan, mengingat, dan mengatur informasi secara berarti (dalam Friend, 2015).

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode pengajaran yang digunakan oleh guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta yaitu metode pengajaran langsung, pengajaran tidak langsung, pengajaran latihan mandiri, dan pengajaran scaffolding.


(59)

39

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada Bab III, dibahas tentang metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Pembahasan metode penelitian yaitu mengenai jenis penelitian yang digunakan, setting penelitian, variabel penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik pengujian instrumen, dan teknik analisis data.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian dengan judul “Metode Pengajaran yang digunakan Guru di Sekolah Dasar Inklusi se-kota Yogyakarta” merupakan penelitian survei. Menurut Cohen dan Nomion (dalam Sukardi, 2003) menyatakan bahwa penelitian survei sebenarnya masih lebih tepat merupakan salah satu dari jenis penelitian kuantitatif deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah non eksperimental dengan cross sectional design melalui metode survei. Menurut Singarimbun (1985) dalam survei, informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner. Tukiran (2012) mengungkapkan bahwa penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok.

Dari beberapa pendapat tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian survei ialah pengumpulan data menggunakan kuesioner yang didapat dari responden untuk mengetahui dan menjelaskan peristiwa yang sudah atau tengah terjadi dan menjadi bahan dalam penelitian.


(60)

40

3.2 Setting Penelitian

Peneliti melaksanakan penelitian di sekolah dasar inklusi yang ada di Kota Yogyakarta sebanyak 7 SD. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2016 sampai dengan bulan Juni 2016. Penelitian dilaksanakan di SD Negeri Karanganyar, SD Tamansari I, SD Negeri Wirosaban, SD Negeri Pakel, SD Negeri Juara, SD Negeri Baciro, dan SD Negeri Giwangan.

3.3 Variabel Penelitian

Hatch dan Farhady (dalam Sugiyono, 2014) menjelaskan bahwa variabel penelitian dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang atau obyek, yang mempunyai “variasi” antara satu orang dengan yang lain atau satu obyek dengan obyek yang lain. Variabel juga diartikan sebagai gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati. Variabel merujuk pada karakteristik atau atribut seorang individu atau suatu organisasi yang dapat diukur atau diobservasi. Variabel biasanya bervariasi dalam dua atau lebih kategori atau dalam kontinuum skala yang dapat diukur atau dinilai berdasarkan satu skala (Creswell, 2007). Dari pendapat yang dipaparkan kedua tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel penelitian adalah karakteristik atau atribut seorang individu atau suatu organisasi yang dapat diukur atau diobservasi berdasarkan satu skala.

Jenis variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel independen dan variabel dependen:

1. Variabel bebas

Variabel bebas (independent variable), atau disebut juga variabel prediktor, merupakan variabel yang dapat mempengaruhi perubahan dalam variabel terikat


(61)

41

dan mempunyai hubungan yang positif atau negatif (Suharso, 2009). Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas yaitu guru sekolah dasar inklusi.

2. Variabel terikat

Variabel terikat (dependent variable), atau disebut variabel kriteria, menjadi perhatian utama (sebagai faktor yang berlaku dalam pengamatan) dan sekaligus menjadi sasaran dalam penelitian (Suharso, 2009). Pada penelitian ini, variabel terikatnya yaitu bentuk metode pengajaran.

3.4 Populasi dan Sampel 3.4.1 Populasi

Sugiyono (2014) menjelaskan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Pendapat yang sama juga diungkapkan Nawawi (dalam Mahdi & Mujahidin, 2003), bahwa populasi adalah semua objek penelitian yang bisa berwujud manusia, benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala, nilai tes atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian.

Dari beberapa pendapat tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa populasi adalah semua objek dalam suatu penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sekolah dasar inklusi yang ada di Kota Yogyakarta yang berjumlah 27 SD.

3.4.2 Sampel

Sampel menurut Sugiyono (2012) adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Arikunto (dalam Taniredja,


(62)

42

2011) berpendapat bahwa sampel dapat diartikan sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dari pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sampel ialah sebagian dari jumlah populasi yang ada. Sampel dari penelitian ini adalah sekolah dasar inklusi yang ada di Kota Yogyakarta sebanyak 7 SD, dengan guru yang berjumlah 27 orang, terkhusus sekolah dasar negeri. Sekolah dasar tersebut antara lain: SD Negeri Karanganyar, SD Tamansari I, SD Negeri Wirosaban, SD Negeri Pakel, SD Negeri Juara, SD Negeri Baciro, dan SD Negeri Giwangan.

3.4.3 Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive random sampling. Menurut Martono (dalam Sugiyono, 2012) purposive random sampling merupakan teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu. Pengambilan sampel pada penelitian ini berdasarkan dengan kesediaan masing-masing sekolah dasar inklusi untuk bersedia ataukah tidak dalam memberikan informasi mengenai pendidikan inklusi di sekolah dasar tersebut, kaitannya dengan metode pengajaran yang digunakan guru.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono (2012) teknik pengumpulan data merupakan “langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data”. Untuk mendapatkan data mengenai metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi, peneliti menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada guru sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta. Kuesioner berisi mengenai variabel-variabel indikator metode pengajaran di sekolah inklusi.


(63)

Guru-43

guru diminta untuk bersedia mengisi kuesioner dengan jangka waktu yang diberikan oleh peneliti selama 2 hari setelah penyebaran kuesioner.

Menurut Sugiyono (2012), teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Penelitian ini menggunakan kuesioner pernyataan tertutup. Tukiran (2012), mengungkapkan karakteristik pernyataan tertutup adalah semua pilihan jawaban dari pernyataan ini telah ditentukan oleh peneliti. Alasan peneliti menggunakan kuesioner pernyataan tertutup adalah untuk menghindari adanya pernyataan ragu-ragu dari responden atas pilihan jawaban yang disediakan.

3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat ukur yang digunakan dalam sebuah penelitian (Sugiyono, 2010). Secara umum instrumen penelitian ada tiga macam, yaitu tes, kuesioner, dan skala (Suharsaputra, 2014). Kuesioner digunakan untuk mengetahui metode pengajaran yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta. Lembar kuesioner bentuk metode pengajaran yang digunakan guru dalam penelitian ini memiliki empat indikator. Berikut tabel 3.1 menjelaskan kisi-kisi kuesioner bentuk metode pengajaran di sekolah dasar inklusi (item pernyataan kuesioner dapat dilihat pada lampiran 1):


(64)

44

No. Aspek Indikator Pernyataan No. Item

1. Metode pengajaran langsung Memberikan latihan dengan bimbingan.

1. Saya mengajukan pertanyaan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa. 2. Saya mengkoreksi

kesalahan konsep yang dipahami siswa.

1, 2

Penyampaian materi

3. Saya memberikan contoh konkret untuk menyoroti poin-poin penting dalam pembelajaran.

4. Saya menggunakan metode demonstrasi saat menyampaikan materi pembelajaran.

3, 4

Memberikan umpan balik

5. Saya memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai materi

yang telah

disampaikan. 5 2. Metode pengajaran tidak langsung Guru sebagai fasilitator.

6. Saya membimbing siswa memecahkan masalah yang ditemukan siswa dalam pembelajaran.

6

Berpusat pada siswa

7. Saya mengajak siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. 7 3. Metode latihan mandiri Memfasilitasi siswa untuk dapat bekerja mandiri.

8. Saya memberikan latihan di setiap akhir pelajaran yang harus dikerjakan siswa secara mandiri.

9. Saya mendorong

siswa untuk

bersemangat

mengerjakan tugas tanpa bantuan guru/ teman.

8, 9


(65)

45

Tabel 3.1 Kisi-kisi Kuesioner 3.7 Teknik Pengujian Instrumen

Sebelum diberikan kepada responden, instrumen penelitian perlu diuji coba terlebih dahulu, untuk menghindari isi pernyataan-pernyataan yang kurang jelas. Sugiyono (2014) memaparkan bahwa validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan oleh peneliti.

Terdapat dua macam validitas penelitian, yaitu validitas internal dan validitas eksternal. Validitas internal berkenaan dengan derajad akurasi desain penelitian

berlatih sejumlah kecil keterampilan.

latihan sederhana sesuai dengan keterampilan siswa.

Memberi latihan agar siswa dapat memperkembangkan kemampuan.

11. Saya memberi tugas kepada siswa untuk memperkembangkan kemampuannya. 12. Saya memberikan

latihan tambahan kepada siswa agar mereka dapat meningkatkan

kemampuannya.

11, 12

4. Metode scaffolding

Mengatur tingkat kesulitan materi pelajaran.

13. Saya menyusun materi pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.

13

Memanfaatkan model pembelajaran yang beragam.

14. Saya menggunakan model pembelajaran yang cocok dengan kemampuan siswa.

14

Melatih tanggung jawab.

15. Saya membantu siswa agar dapat mengumpulkan tugas tepat waktu.


(66)

46

dengan hasil yang dicapai. Validitas eksternal berhubungan dengan derajad akurasi apakah hasil penelitian dapat diterapkan dalam populasi dimana sampel diambil. Sugiyono (2014) menjelaskan bahwa instrumen dikatakan valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Dengan menggunakan instrumen yang valid dan reliabel dalam pengumpulan data, maka diharapkan hasil penelitian akan menjadi valid dan reliabel. Jadi, instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel.

Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu validitas konstruk, dan validitas isi. Dalam penelitian ini, validitas isi dalam penelitian dilakukan dengan menyerahkan kisi-kisi instrumen kepada para ahli untuk dimintakan pendapat tentang kesesuaian kisi-kisi, indikator, dan pernyataan yang telah dibuat.

1. Validitas Isi

Validitas isi dalam penelitian ini dilakukan oleh dosen. Kuesioner yang telah dikembalikan kemudian diolah untuk mengetahui perlu atau tidaknya dilakukan revisi. Validitas isi dilakukan dengan expert judgement pada orang yang ahli dalam mengukur konsep ini. Revisi pada instrument kuesioner perlu dilakukan untuk memperoleh kuesioner yang benar-benar sesuai dengan indikator. Kriteria revisi dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan kesepakatan dengan kelompok studi. Skala penilaian terhadap metode pengajaran yaitu: 4 (sudah baik), 3 (sudah baik, perlu perbaikan), 2 (tidak layak), dan 1 (sangat tidak layak).


(67)

47

Kriteria Revisi/Tidak Revisi

< 3 Revisi

≥ 3 Tidak Revisi

Tabel 3.2 Kriteria Revisi Pernyataan

Tabel 3.2 menjelaskan bahwa apabila rata-rata skor yang diperoleh dari masing-masing nomor item pada setiap indikator ≥ 3, berarti pernyataan tersebut tidak perlu untuk dilakukan revisi. Rata-rata skor < 3, maka pernyataan tersebut perlu dilakukan revisi.

Validasi pertama adalah validasi dari MM. Beliau sebagai dosen PGSD di Universitas Sanata Dharma. Hasil validasi dari beliau menunjukkan pada indikator nomor satu mengenai penggunaan bahasa diberi nilai 5 dan tidak diberi komentar. Pada indikator komponen kedua mengenai isi dari butir pernyataan diberi nilai 5 dan tidak diberi komentar. Validasi kedua adalah validasi dari SS. Beliau sebagai dosen PGSD di Universitas Sanata Dharma. Hasil validasi dari beliau menunjukkan pada indikator nomor satu yaitu mengenai penggunaan bahasa diberi nilai 4 dan tidak diberi komentar. Pada indikator komponen kedua mengenai isi dari butir pernyataan kuesioner diberi nilai 4 dengan komentar “sudah baik, perlu perbaikan”.

2. Validitas Konstruk

Validitas konstruk adalah kerangka dari suatu konsep dan yang berkaitan dengan kesanggupan suatu alat ukur dalam mengukur pengertian suatu konsep yang diukurnya (Suharsaputra, 2014). Validitas konstruk adalah validitas yang bertitik tolak dari konstruksi teoritik tentang faktor-faktor yang hendak diukur oleh suatu alat pengukur (Hadi, 2004). Secara sederhana dapat dikemukakan


(1)

(2)

86


(3)

(4)

88

Lampiran 7. Surat Permohonan Izin Pengambilan Data Penelitian dari Universitas Sanata Dharma


(5)

89

Lampiran 8. Surat Izin Melakukan Penelitian dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta


(6)

90

Biodata Penulis

Penulis bernama Veronica Mayang Sari, lahir di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 18 Mei 1994. Penulis adalah putri ketiga, tiga bersaudara dari pasangan Bp. Antonius Suparmadi dengan Ibu Angela Winanti Wulan Asri.

Penulis menyelesaikan pendidikan awal di TK Indriyasana II Klaten, pada tahun 2000. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Pangudi Luhur Soegijapranata Klaten, pada tahun 2006, kemudian penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Pangudi Luhur 1 Klaten dan lulus pada tahun 2009. Setelah menempuh pendidikan SMP, penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Padmawijaya Klaten dan lulus pada tahun 2012. Setelah tamat SMA, penulis melanjutkan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi dengan mengambil Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Ketika menjadi mahasiswi PGSD Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, penulis juga mengembangkan kemampuannya baik di bidang akademik maupun non akademik dengan mengikuti beberapa kegiatan kepanitian yang diselenggarakan pihak universitas. Beberapa kegiatan tersebut antara lain: Pelatihan Pengembangan Kepribadian Mahasiswa (PPKM) I dan II, Kursus Mahir Dasar Pramuka (KMD), English Club, Co-fasilitator PPKM II, mengikuti seminar diseminasi hasil magang IB-PYP, dan seminar pendidikan lainnya.