Kajian Penyusunan Instrumen Evaluasi Pembangunan Perdesaan 2016
LAPORAN AKHIR
KEGIATAN KAJIAN PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI
PEMBANGUNAN PERDESAAN (LINGKUP DESA)
TAHUN 2016
DIREKTORAT
DAERAH TERTINGGAL, TRANSMIGRASI DAN PERDESAAN 2016
(2)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB-I PENDAHULUAN 1
1.1. LATAR BELAKANG 1
1.2. TUJUAN 5
1.3. SASARAN 5
1.4. KELUARAN 5
1.5. MANFAAT 5
1.6. RUANG LINGKUP 6
1.7. METODOLOGI 7
1.8. JADWAL KEGIATAN 10
1.9. SISTEMATIKA PENULISAN 10
BAB-II LANDASAN TEORI 12
2.1. PENGERTIAN DESA DALAM PERSKPEKTIF TEORITIS 12
2.2. PENGERTIAN PEMBANGUNAN PERDESAAN 15
2.3. UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA 17
2.4. PEMBANGUNAN DESA DENGAN PENDEKATAN 19
DESA MEMBANGUN
2.5. PEMBANGUNAN DESA DENGAN PENDEKATAN 20
(3)
BAB-III METODOLOGI 24
3.1. MODEL 24
3.2. PENDEKATAN 24
BAB-IV ANALISIS PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI 27
PEMBANGUNAN DESA (LINGKUP DESA)
4.1. PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PERDESAAN 27 DALAM RPJMN TAHUN 2015-2019
4.2. DIMENSI PEMBANGUNAN DESA 35
4.3. KUESIONER (INSTRUMEN) DATA DESA 38
4.4. PARADIGMA PEMBANGUNAN DESA DALAM DIMENSI 48 SOSIAL, POLITIK, BUDAYA DAN EKONOMI
BAB-V PENUTUP 67
5.1. KESIMPULAN 67
5.2. REKOMENDASI 68
(4)
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Jadwal Kegiatan Kajian Penyusunan Instrumen Evaluasi 10 Pembangunan Perdesaan (Lingkup Desa)
(5)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka Berfikir Penyusunan Instrumen Evaluasi 9 Pembangunan Perdesaan (Lingkup Desa)
Gambar 4.1 Skema Pendanaan Pembangunan Wilayah Perdesaan 33 (UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa)
(6)
BAB - I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (disingkat dengan UU Desa) mendefinisikan desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum maka desa mencakup pemerintahan dan sekaligus masyarakat sehingga merupakan pemerintahan yang berbasis masyarakat. Dengan demikian, desa dapat dipahami sebagai sebuah organisasi yang mengandung dua komponen terkait yaitu desa adat atau masyarakat berpemerintahan otonom asli (self-governing community) dan desapraja atau desa otonom atau pemerintahan lokal otonom (local self-government).
Dengan diberlakukannya UU Desa maka setiap desa yang ada di Indonesia diakui dan dihormati serta memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus setiap potensi yang dimilikinya secara mandiri sesuai kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan. Ada dorongan semangat dan upaya yang lebih besar untuk melakukan perubahan desa menuju kehidupan desa yang mandiri, sejahtera, berkeadilan dan demokratis secara berkelanjutan. Perubahan desa tersebut akan terjadi ketika masyarakat desa melakukan transformasi yang bersifat menyeluruh dan berkelanjutan yang bertumpu pada prakarsa dan kekuatan masyarakat desa tersebut untuk menyelesaikan berbagai permasalahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang selama ini dihadapi.
(7)
Transformasi yang bersifat sosial di desa akan menghasilkan desa yang mandiri, otonom, dan sejahtera serta memiliki tatanan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang bersendikan keserasian sosial, budaya demokratis, kemandirian dan keadilan ekonomi, kemapanan kelembagaan lokal dan kedaulatan politik.
Untuk mencapai kondisi kehidupan desa yang mandiri dan sejahtera secara berkelanjutan maka diperlukan pengaturan desa. Pengaturan desa bertujuan untuk mendorong prakarsa, gerakan sosial, dan partisipasi masyarakat desa dalam rangka pengelolaan dan pengembangan potensi dan aset desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; memajukan perekonomian masyarakat desa; serta mengatasi masalah kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi.
Sementara itu, selain UU Desa dan peraturan pelaksanaannya, pengaturan desa mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015–2019 untuk dipedomani oleh pemangku kepentingan terkait pembangunan desa dan kawasan perdesaan.
Didalam RPJMN Tahun 2015-2019, terdapat 6 (enam) isu strategis yang perlu diperhatikan dan diselesaikan oleh para pemangku kepentingan dalam rangka melaksanakan pembangunan desa dan kawasan perdesaan, yaitu: (1) tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat di perdesaan yang masih rendah; (2) ketersediaan sarana dan prasarana fisik maupun non-fisik di desa dan kawasan perdesaan yang belum memadai; (3) ketidakberdayaan masyarakat perdesaan akibat faktor ekonomi maupun non ekonomi; (4) pelaksanaan tata kelola pemerintahan Desa yang memerlukan penyesuaian dengan amanat UU Desa; (5) kualitas lingkungan hidup masyarakat desa memburuk dan sumber pangan yang terancam berkurang; dan (6) pengembangan potensi ekonomi lokal desa yang belum optimal akibat kurangnya akses dan modal dalamproses produksi, pengolahan, maupun pemasaran hasil produksi masyarakat desa.
(8)
Secara spesifik pengaturan desa sesuai dengan amanat UU Desa bertujuan untuk: (1) memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; (3) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya luhur masyarakat desa; (4) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk mengembangkan potensi desa dan aset desa untuk kesejahteraan bersama; (5) membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; (6) meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; (7) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan kesatuan sosial masyarakat desa sebagai bagian dari ketahanan nasional; (8) memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan (9) memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Membangun desa pada hakekatnya membangun negara. Apabila setiap desa mampu melaksanakan pembangunannya secara mandiri maka kemakmuran masyarakat desa akan mudah terwujud yang pada akhirnya kemakmuran masyarakat secara nasional juga dapat dicapai. Untuk mewujudkan tujuan pembangunan desa tersebut maka desa, yang dalam hal ini terdiri dari pemerintahan desa dan masyarakat desa, perlu secara bersama-sama mengenali semua potensi yang dimiliki desa dan membangun strategi untuk mengelola dan mengembangkan potensi desa tersebut agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain, pemerintah juga telah menetapkan sasaran/target dalam rangka membangun desa, sebagaimana yang termuat di dalam RPJMN Tahun 2015-2019, yaitu merubah desa tertinggal menjadi desa berkembang sebanyak 5000 desa dan merubah desa berkembang menjadi desa mandiri sebanyak 2000 desa.
(9)
Pembangunan desa merupakan konsep pembangunan multidimensional yang sifatnya kompleks. Kemajuan dan keberhasilan pembangunan desa perlu diukur dengan seksama. Pengukuran tingkat kemajuan pembangunan desa diharapkan tetap mengacu pada kompleksitas konsep tersebut meskipun perlu diupayakan adanya penyederhanaan dalam hal instrumen dan teknis pengukurannya. Dimensi, variabel, dan indikator yang digunakan sebagai alat ukur konsep pembangunan desa perlu disusun secara teliti sehingga secara komposit akan mampu menggambarkan tingkat kemajuan dan perkembangan pembangunan desa.
Dalam rangka mengukur tingkat kemajuan pembangunan desa sebagaimana yang telah diuraikan tersebut di atas, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/ Bappenas), akan mengembangkan dan menyusun instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa). Hal ini sejalan dengan fungsi Kementerian PPN/Bappenas, sebagaimana yang diamanatkan melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2015 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pada Pasal 3 Point a., yaitu "pengkajian, pengoordinasian, dan perumusan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan nasional, strategi pembangunan nasional, arah kebijakan sektoral, lintas sektor, dan lintas wilayah, kerangka ekonomi makro nasional dan regional, analisis investasi proyek infrastruktur, kerangka regulasi, kelembagaan, dan pendanaan, serta pemantauan, evaluasi dan pengendalian pelaksanaan pembangunan nasional."
Instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini perlu disusun dengan mengedepankan kesederhanaan dan kemudahan dalam penggunaannya meskipun harus tetap mengacu pada kompleksitas konsep pembangunan desa. Rumusan indikator yang digunakan diupayakan mampu semaksimal mungkin untuk menggambarkan kondisi nyata tingkat pembangunan desa yang dipotret pada suatu waktu. Indeks Pembangunan Desa (IPD) tahun 2014 yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2015 lalu merupakan indeks komposit yang dapat digunakan sebagai salah satu alat ukur awal (baseline) untuk meng-evaluasi tingkat kemajuan pembangunan desa yang senantiasa berubah secara dinamis dari tahun ke tahun.
(10)
1.2. TUJUAN
Tujuan kajian ini adalah untuk menyusun sebuah instrumen evaluasi pembangunan desa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat capaian keberhasilan pembangunan desa sebagaimana yang telah di targetkan di dalam RPJMN 2015-2019.
1.3. SASARAN
Sasaran kajian ini adalah tersusunya sebuah instrumen evaluasi pembangunan desa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat capaian keberhasilan pembangunan desa sebagaimana yang telah di targetkan di dalam RPJMN 2015-2019.
1.4. KELUARAN
Keluaran kajian ini adalah diperolehnya sebuah dokumen instrumen evaluasi pembangunan desa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat capaian keberhasilan pembangunan desa sebagaimana yang telah di targetkan di dalam RPJMN 2015-2019.
1.5. MANFAAT
Manfaat kajian ini adalah tersedianya sebuah alat ukur yang dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat capaian keberhasilan pembangunan desa sebagaimana yang telah di targetkan di dalam RPJMN 2015-2019.
(11)
1.6. RUANG LINGKUP
1.6.1 Lingkup Pelaksanaan
(1). Persiapan
(2). Rapat Rutin Tim Pelaksana
Pelaksanaan rapat rutin tim pelaksana, akan dilaksanakan di provinsi DKI Jakarta sebanyak 2 kali setiap bulannya, selama periode Januari s/d Desember 2016 dengan bentuk pelaksanaan halfday. Adapun tujuannya adalah untuk membahas permasalahan/kendala yang dihadapi selama berjalannya kegiatan ini.
(3). Focus Group Discussion (FGD) di Provinsi DKI Jakarta
Pelaksanaan FGD akan dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 3 kali selama periode Januari s/d Desember 2016 dengan bentuk pelaksanaan halfday. Adapun tujuannya adalah untuk memperoleh masukan dari stakeholder/narasumber di tingkat pusat terhadap kegiatan ini.
(4). Focus Group Discussion (FGD) di Daerah
Pelaksanaan FGD akan dilaksanakan di provinsi Papua Barat dan provinsi Maluku Utara sebanyak 1 kali selama periode Januari s/d Desember 2016 dengan bentuk pelaksanaan fullfday. Adapun tujuannya adalah untuk memperoleh masukan dari stakeholder/ narasumber di daerah terhadap draft instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini.
(12)
(5). Kunjungan Lapangan ke Daerah
Kunjungan lapangan akan dilaksanakan di provinsi Papua Barat dan provinsi Maluku Utara sebanyak 1 kali selama periode Januari s/d Desember 2016. Adapun tujuannya adalah untuk melaksanakan FGD dengan stakeholder/narasumber di daerah dan sekaligus melakukan uji coba kuesioner.
(6). Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan dan analisis data, akan dilaksanakan sepanjang kurun waktu dari bulan Januari s/d November 2016. Adapun tujuan dari pengumpulan dan analisis data ini, adalah untuk merumuskan data-data apa saja yang diperlukan untuk dapat mengetahui tingkat perkembangan pembangunan desa secara tahunan.
(7). Penyusunan Laporan
Penyusunan laporan terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu tahap pertama adalah menyusun laporan awal, tahap kedua menyusun laporan antara dan tahap ketiga adalah menyusun laporan akhir.
1.6.2 Lingkup Kegiatan
Lingkup kegiatan kajian perkembangan pembangunan desa ini, adalah pada desa-desa yang termasuk ke dalam lingkup desa tertingal, desa berkembang dan desa mandiri, sebagaimana yang terdapat di dalam dokumen Indeks Pembangunan Desa (IPD) tahun 2015. Sementara itu lingkup unit analisisnya adalah desa-desa yang berada di provinsi Papua Barat dan provinsi Maluku Utara.
(13)
1.7. METODOLOGI
Metode analisis yang dipergunakan dalam menyusun instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini, adalah menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Sumber data utama yang dianalisis ada kuesioner Potensi Desa (Podes) tahun 2014 dan juga beberapa dokumen/referensi terkait lainnya. Adapun keluaran hasil analisis tersebut berupa kuesioner baru yang sudah disempurnakan atau disebut sebagai instrumen evaluasi pembangunan perdesaan.
Mengacu kepada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 - 2019, Buku-II, Bab-VIII, Point 8.2.5 disebutkan bahwa: sasaran pembangunan desa dan kawasan perdesaan adalah mengurangi jumlah desa tertinggal sampai 5.000 desa dan meningkatkan jumlah desa mandiri sedikitnya 2.000 desa.
Dalam upaya mewujudkan sasaran tersebut di atas, Pemerintah kemudian menjabarkan sasaran tersebut secara tahunan, dan pada tahun 2015 (tahun awal pelaksanaan), pemerintah mentargetkan sasarannya adalah mengurangi jumlah desa tertinggal sampai 500 desa dan meningkatkan jumlah desa mandiri sedikitnya 200 desa. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat capaian keberhasilan pembangunan desa, diperlukan suatu instrumen pengukuran yang memadai untuk menggambarkan perkembangan pembangunan desa dari tahun ke tahunnya (before and after).
IPD 2015 yang datanya bersumber dari Podes 2014 dapat digunakan sebagai baseline untuk mengetahui tingkat capaian pembangunan desa sebagaimana yang diamanatkan di dalam RPJMN 2015-2019. Oleh karena data Podes baru akan di update pada tahun 2018, maka diperlukan proxy untuk melihat perkembangan desa secara tahunan.
(14)
Secara skematis, kerangka berfikir kajian penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini, di gambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.1
Kerangka Berfikir Penyusunan Instrumen Evaluasi Pembangunan Perdesaan (Lingkup Desa)
(15)
1.8. JADWAL KEGIATAN
Pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan selama 12 (dua belas) bulan, terhitung dari bulan Januari s/d Desember 2016 dengan jadwal pelaksanaan kegiatan sebagai berikut:
Tabel 1.1
Jadwal Kegiatan Kajian Penyusunan Instrumen Evaluasi Pembangunan Perdesaan (Lingkup Desa)
NO. KEGIATAN
TAHUN 2016
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
1. Persiapan
2. Rapat Rutin Tim Pelaksana
3. FGD di Prov. DKI Jakarta
4. FGD/Fieldtrip ke Prov. Papua Barat
5. FGD/Fieldtrip ke Prov. Maluku Utara
6. Pengumpulan dan Analisis Data
7. Penyusunan Laporan
1.9. SISTEMATIKA PENULISAN
Kajian penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini, disusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan tentang latar belakang, tujuan, sasaran, keluaran, manfaat, ruang lingkup, metodologi, kerangka berfikir dan jadwal kegiatan serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memaparkan tentang pengertian desa dalam perskpektif teoritis, pengertian pembangunan perdesaan, UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, pembangunan desa dengan pendekatan desa membangun, pembangunan desa dengan pendekatan membangun desa.
(16)
BAB III METODOLOGI
Bab ini memaparkan tentang model dan juga pendekatan yang dipergunakan dalam rangka penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa).
BAB IV ANALISIS PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI PEMBANGUNAN DESA (LINGKUP DESA)
Bab ini memaparkan tentang pembangunan desa dan kawasan perdesaan dalam RPJMN tahun 2015-2019, dimensi pembangunan desa, kuesioner (instrumen) data desa, dan paradigma pembangunan desa dalam dimensi sosial, politik, budaya dan ekonomi
BAB V PENUTUP
Bab ini memaparkan tentang kesimpulan dan rekomendasi dalam rangka penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa).
(17)
BAB - II LANDASAN TEORI
2.1. PENGERTIAN DESA DALAM PERSKPEKTIF TEORITIS
Dalam upaya memahami desa maka perlu dipahami beberapa konsep yang berkaitan dengan desa meliputi : rural, urban, suburban atau rurban, village, town dan city. Rural dalam Kamus Lengkap )nggris )ndonesia, )ndonesia-lnggeris suntingan S. WoJowasito dan W.J.S Poerwodarminto diartikan seperti desa, seperti di desa dan urban diartikan kota, seperti di kota . Rural atau yang secara umum diterjemahkan menjadi pedesaan bukanlah desa village). Demikian pula urban atau yang umum diterjemahkan menjadi perkotaan, juga bukan kota (town, city).
Dengan demikian hakekatnya konsep rural dan urban lebih menunjuk kepada karakteristik masyarakatnya, sedangkan village, town, dan city sering mengacu kepada suatu unit teritorial. Village, town dan city sering dipertegas identitasnya sebagai suatu unit teritorial-administratif atau berkaitan dengan kekotaprajaan (municipality). Dalam kaitan ini suatu daerah dan komunitas pedesaan (rural area and community) dapat mencakup sejumlah desa (village).
Sedangkan Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat : . (al ini dilakukan untuk membedakannya dari masyarakat berburu dan meramu (suku terasing) yang senantiasa berpindah tempat sesuai wilayah tempat tanaman masak atau hewan perburuan berada. Desa, sebaliknya, berisi orang-orang yang bisa melakukan domestikasi ternak atau bercocok tanam tanpa perlu berpindah tempat lagi. Dengan demikian akumulasi kekayaan semakin nyata.
(18)
Egon E. Bergel (1955:121) Mendefinisikan desa sebagai setiap permukiman para petani (peasants). Ini merupakan cara pandang lama yang melihat desa secara homogen sebagai tempat berkumpulanya petani. Pada kenyataannya desa sejak lama sudah bersifat heterogen dalam aspek ekonomi, sosial dan politik, meskipun tdaik sekompleks perkotaan.
Paul H. Landis (1948:12-13), mendefinisikan desa dengan cara memilah menjadi tiga macam sesuai dengan tujuan analitiknya. Untuk tujuan analisa statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2.500 orang. Untuk tujuan analisa sosial-psikologik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan serba informal diantara sesama warganya. Sedangkan untuk tujuan analisa ekonomik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung kepada pertanian. Pandangan ini tidak sepenuhnya cocok untuk wilayah desa di Indonesia yang bisa mencakup penduduk lebih dari 6.000 orang dan tidak semata-mata mengacu kepada ekonomi pertanian. Walaupun demikian, kondisi sosial-psikologik masih akrab dan cenderung informal.
Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman (dalam T.L. Smith dan P.E. Zop. 1970) mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desa dan kota, dengan mendasarkan pada : mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan, differensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial dan solidaritas sosial. Dalam hal ini perdesaan dicirikan oleh masyarakat yang didominasi mata pencaharian di bidang pertanian, dengan ukuran komunitas kecil, tingkat kepadatan penduduk rendah, lingkungan alam relatif masih mengarahkan pola tingkah laku penduduk, diferensiasi dan stratifikasi sosial masyarakat sederhana, interaksi sosial masih kuat, dan solidaritas sosial masih tinggi.
(19)
Menurut Rouceck dan Warren (1962), masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) besarnya peranan kelompok primer tatap muka berbasis hubungan kekeluargaan dan ketetanggaan; (2) faktor geografik yang menentukan sebagai dasar pembentukan kelompok/asosiasi; (3) hubungan lebih bersifat intim dan awet; (4) homogen; (5) mobilitas sosial rendah; (6) keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi; (7) populasi anak dalam proporsi yang besar.
Sedangkan karakteristik kota adalah sebagai berikut: (1) besarnya peranan kelompok sekunder berbasis kepentingan; (2) anonimitas merupakan ciri kehidupan masyarakatnya; (3) heterogen; (4) mobilitas sosial tinggi; (5) tergantung pada spesialisasi; (6) hubungan antara orang satu dengan yang lain lebih didasarkan atas kepentingan daripada kedaerahan; (7) lebih banyak tersedia lembaga atau fasilitas untuk mendapatkan barang dan pelayanan; (8) lebih banyak mengubah lingkungan.
Dengan bersikap kritis terhadap kesimpulan para ahli di atas, pengertian perdesaan yang perlu diambil di sini merupakan wilayah yang terdiri dari satu atau lebih desa, yang dicirikan oleh pemukiman yang didominasi ekonomi berbasis rumah tangga atau usaha kecil yang memiliki struktur modal dan cara kerja tertentu, pranata dan organisasi kecil yang masih mempertimbangkan hubungan genealogis dan teritorial, memiliki diferensiasi dan stratifikasi sosial yang sederhana sehingga spesialisasi belum berkembang, serta menganut sistem politik patrimonial yang masih mempertimbangkan person. Perdesaan hanya mungkin dilihat dalam hubungannya dengan perkotaan, karena secara universal desa-desa yang muncul selalu memiliki hubungan dengan kota.
Wujud desa-desa di Indonesia beragam seiring dengan kebhinekaan Indonesia, sehingga sangat sulit untuk membuat suatu generalisasi karakteristik desa di Indonesia yang khas dan membedakannya dari desa-desa negara lain. Istilah desa semula hanya dikenal di Jawa, Madura dan Bali. Desa dan dusun berasal dari bahasa sanskerta yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Sutardjo Kartohadikoesoemo mendefinisikan desa sebagai, suatu kesatuan hukum,
(20)
dimana bertempat tinggal suatu masyarakat, yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri . Sedangkan di wilayah lainnya terdapat nama lokal untuk daerah kesatuan hukum semacam desa di Jawa tersebut, contohnya Nagari di Sumatera Barat, Huta di Tapanuli, Wanua di Minahasa, Gaukang di Makasar dan sebagainya.
2.2. PENGERTIAN PEMBANGUNAN PERDESAAN
Pembangunan berarti perubahan yang disengaja atau direncanakan untuk mengubah keadaan yang tidak dikehendaki kearah yang dikehendaki (Raharjo, 1995). Pembangunan mengandung pengertian progresif atau gerak yang maju dan menuju kesejahteraan, bukan retrogesif atau gerak yang mundur. Pembangunan masyarakat desa memiliki beberapa pengertian antara lain:
(1). Pembangunan masyarakat desa berarti pembangunan masyarakat tradisional menjadi manusia modern (Horton dan Hunt, 1976. Alex Inkeles. 1965);
(2). Pembangunan masyarakat desa berarti membangun swadaya masyarakat dan rasa percaya diri pada diri sendiri (Mukerjee dalam Bhattacharyya, 1972);
(3). Pembangunan perdesaan tidak lain dari pembangunan usaha tani atau membangun pertanian (Mosher, 1974, Bertrand, 1958).
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, mengenai kaitan desa dengan kota maupun wilayah yang lebih luas, maka pembangunan perdesaan adalah bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan nasional merupakan sublimasi dan atau akumulasi dari pembangunan perdesaan. Oleh sebab itu, pembangunan nasional harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat perdesaan, dan pembangunan desa juga harus mempertimbangkan kepentingan nasional.
Pembangunan perdesaan di sini adalah pembangunan masyarakat dan lingkunaan perdesaan, dalam rangka mencapai kesejahteraan, pemerataan, dan keadilan seluruh warga perdesaan.
(21)
Dalam kaitan dengan pemberdayaan masyarakat, pembangunan masyarakat perdesaan adalah penguatan kelembagaan sosial sesuai virtue yang dimiliki, penguatan ekonomi penduduk, dan penguatan sumberdaya manusia perdesaan. Penguatan kelembagaan sosial meliputi penguatan tata nilai setempat, social capital masyarakat, dan organisasi masyarakat setempat. Penguatan ekonomi meliputi pengelolaan faktor-faktor produksi, peningkatan produksi, peningkatan pendapatan, dan peningkatan tabungan masyarakat. Penguatan sumberdaya manusia meliputi penguatan pendidikan penduduk, keterampilan penduduk, iman dan taqwa penduduk, kesehatan penduduk, dan sikap mental penduduk.
Sedangkan pembangunan lingkungan perdesaan adalah penyediaan sarana dan prasarana permukiman perdesaan, seperti prasarana transportasi, prasarana penerangan, prasarana komunikasi, prasarana air bersih, prasarana pembuangan limbah domestik, prasarana pendidikan, prasarana kesehatan, dan prasarana sosial lainnya.
Pembangunan perdesaan dalam lingkup pemberdayaan masyarakat tentunya mengarah kepada peningkatan kemandirian ekonomi, peningkatan demokratisasi, dan peningkatan kemampuan organisasi atau lembaga lokal. Dengan demikian pembangunan perdesaan bukan tanggungjawab pemerintah saja, tetapi juga tanggungjawab masyarakat perdesaan. Hal-hal yang menjadi urusan masyarakat dan dapat dipecahkan oleh masyarakat perdesaan, maka menjadi tanggungjawab masyarakat perdesaan sendiri. Peran pemerintah hanya memfasilitasi dalam membuka akses ekonomi, sosial dan politik, serta membagi wewenangnya dalam mengelola perdesaan.
(22)
2.3. UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mendefinisikan desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah sehingga keberadaan desa diakui sebagai entitas kesatuan masyarakat hukum adat yang berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang selama ini dikenal sebagai daerah. Sebagai wujud nyata keberadaannya, desa memiliki wilayah hukum dengan batas wilayah yang jelas. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur urusan pemerintahan desa dan mengurus kepentingan masyarakat desa. Sementara itu, pemerintahan desa merupakan penyelenggaran urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum melaksanakan pemerintahan desa untuk kepentingan masyarakat desa harus berdasarkan pada tiga hal yaitu: prakarsa masyarakat desa yang demokratis, hak asal usul sebagai entitas yang sudah ada dan memiliki susunan asli jauh sebelum NKRI lahir, atau hak sebagai masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Penyelenggaraan pemerintahan tersebut diakui, dihormati, dan sejalan dengan sistem pemerintahan NKRI.
(23)
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan ini, maka desa mengandung dua komponen yaitu pemerintah desa dan masyarakat desa. Pemerintah desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain yang dibantu oleh perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Perangkat desa yang dimaksud meliputi: Sekretariat Desa, Pelaksana Kewilayahan, dan Pelaksana Teknis yang semaunya bertugas membantu melaksanakan tugas dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa dalam menjalankan pemerintahan desa.
Dalam rangka mengambil keputusan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pemerintah desa melaksanakan musyawarah desa sebagai forum permusyawaratan yang diikuti oleh pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan unsur masyarakat desa. Hal-hal yang dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat strategis antara lain: (1) penataan desa; (2) perencanaan desa; (3) kerja sama desa; (4) rencana investasi yang masuk ke desa; (5) pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa); (6) penambahan dan pelepasan aset desa; dan (7) kejadian luar biasa.
Sementara itu, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, pemerintah desa memerlukan kerja sama dengan BPD untuk mendapatkan aspirasi masyarakat desa serta membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa.
Akhirnya, desa sebagai kesatuan masyarakat hukum memiliki lima kewajiban penting. Kelima kewajiban desa tersebut antara lain: (1) melindungi dan menjaga persatuan, kesatuan, serta kerukunan masyarakat desa dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan NKRI; (2) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat desa; (3) mengembangkan kehidupan demokrasi; (4) mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa; dan (5) memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa.
(24)
2.4. PEMBANGUNAN DESA DENGAN PENDEKATAN DESA MEMBANGUN
Dalam rangka mengurus kepentingan masyarakat Desa maka Desa berwenang untuk melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pembangunan Desa merupakan upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Sementara itu, pemberdayaan masyarakat desa merupakan upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa dengan meningkatkan penegetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Kewenangan desa tersebut meliputi: (1) kewenangan berdasarkan hak asal usul; (2) kewenangan lokal berskala desa; (3) kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan. Kewenangan ke-(1) dan ke-(2) merupakan kewenangan desa dalam konsep desa membangun, sementara itu kewenangan ke-(3) merupakan kewenangan desa dalam konsep membangun desa.
Pembangunan Desa dilaksanakan untuk memenuhi setidaknya empat kebutuhan masyarakat desa yaitu: (1) kebutuhan primer berupa sandang, pangan, dan papan; (2) pelayanan dasar berupa pendidikan, kesehatan, transportasi, energi, dsb; (3) lingkungan berupa kohesivitas sosial, keamanan, ketertiban, dsb; dan (4) kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Berdasarkan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat desa tersebut, pembangunan desa dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
(25)
Dalam konteks ini, pembangunan desa dapat dilaksanakan dengan mengkombinasikan dua pendekatan pembangunan yaitu desa membangun dan membangun desa dengan tetap mengacu pada semangat yang diamanatkan oleh UU Desa.
2.5. PEMBANGUNAN DESA DENGAN PENDEKATAN MEMBANGUN DESA
Pembangunan desa yang mengacu pada pendekatan membangun desa merupakan sebuah konsep pembangunan yang berbasis kondisi kawasan perdesaan (rural) yang perlu dilaksanakan dengan memperhatikan ciri khas kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang tinggal dan menetap di kawasan perdesaan. Masyarakat di wilayah perdesaan pada umumnya masih memiliki dan melestarikan berbagai kearifan lokal yang sangat terkait dengan kondisi geografis dan demografis, karakteristik sosial, ekonomi, budaya, serta kelembagaan desa. Sementara itu, masyarakat di wilayah perdesaan pada umumnya masih menghadapi berbagai keterbatasan akses terhadap beberapa fasilitas antara lain: infrastruktur pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan), infrastruktur perekonomian (perdagangan, akomodasi, dan keuangan) untuk memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, dan papan), infrastruktur energi, serta infrastruktur transportasi, komunikasi, dan informasi. Permasalahan lain yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah perdesaan yaitu relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia dan multidimensionalitas kemiskinan.
Pembangunan desa dalam pendekatan membangun desa dilaksanakan sebagai bentuk intervensi dalam rangka mengurangi tingkat kesejangan kemajuan antara wilayah perdesaan maupun antara wilayah perdesaan dan perkotaan sebagai akibat dari pembangunan ekonomi yang selama ini cenderung bias perkotaan (urban bias). Hingga saat ini, wilayah perkotaan cenderung dianggap telah mengalami kemajuan dalam berbagai bidang yang tercermin dari berbagai indikator pembangunan, sementara itu, wilayah perdesaan masih identik dengan berbagai keterbatasan dan keterbelakangan dalam banyak aspek kehidupan.
(26)
Pembangunan desa kemudian diharapkan menjadi solusi bagi dinamika dan perubahan sosial masyarakat desa yang menjadi lebih baik serta menjadikan desa sebagai basis perubahan dalam banyak aspek kehidupan masyarakat. Lebih jauh lagi, sumber pertumbuhan ekonomi diharapkan untuk lebih digerakkan ke wilayah perdesaan dengan maksud agar wilayah perdesaan menjadi tempat yang menarik sebagai tempat tinggal dan mencari penghidupan yang layak. Infrastruktur di wilayah perdesaan, seperti prasarana dan sarana pendidikan, kesehatan, perekonomian, energi, transportasi, komunikasi, dan informasi serta infrastruktur lain yang dibutuhkan oleh masayarakat di wilayah perdesaan harus dapat disediakan dalam jumlah dan kualitas yang memadai sehingga memungkinkan wilayah perdesaan menjadi berkembang dan maju.
Prioritas pembangunan berbasis kawasan perdesaan (rural-based development) disusun dengan mengacu pada tujuh area pembangunan meliputi: (1) pemenuhan standar pelayanan minimum untuk masyarakat yang tinggal di wilayah perdesaan sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan geografisnya; (2) pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di kawasan perdesaan; (3) penanggulangan kemiskinan dan pengembangan usaha ekonomi masyarakat di kawasan perdesaan dalam rangka pengembangan pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan; (4) pengembangan ekonomi kawasan perdesaan untuk lebih mendorong keterkaitan perdesaan-perkotaan secara berkesinambungan; (5) pembangunan sumber daya manusia, peningkatan keberdayaan, serta pemantapan demokrasi dan modal sosial masyarakat di kawasan perdesaan; (6) pengembangan kapasitas dan pendampingan aparatur pemerintahan Desa dan peningkatan fungsi kelembagaan Desa secara berkelanjutan; serta (7) pengawalan implementasi UU Desa secara sistematis, konsisten, dan berkelanjutan melalui koordinasi, fasilitasi, supervisi, dan pendampingan.
(27)
Terdapat dua hal menarik terkait dengan pembangunan desa hingga saat ini. Pertama, program dan kegiatan pembangunan desa dengan pendekatan membangun desa yang telah dilaksanakan oleh kementerian/lembaga, serta berbagai pemangku kepentingan terkait desa, ternyata jumlahnya sangat banyak dan beragam, namun beberapa program tersebut pada umumnya dianggap belum menjawab atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa, serta belum mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa). Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak desa di Indonesia yang masih belum memiliki RPJM Desa dan RKP Desa. Salah satu penyebab ketidaksinkronan pembangunan desa tersebut adalah karena Kementerian/Lembaga dan pemangku kepentingan terkait pembangunan desa tidak memiliki informasi yang memadai terkait kondisi dan kebutuhan desa di Indonesia yang jumlahnya mencapai melebihi 74.093 desa. Pengumpulan bukti–bukti empiris mengenai kondisi nyata desa di Indonesia menjadi suatu hal yang belum dapat dilakukan, mengingat adanya kendala terkait sumber daya manusia, waktu, dan anggaran yang dibutuhkan untuk itu yang jumlahnya akan sangat besar. Kendala tersebut tidak hanya dirasakan oleh pemerintah yang jangkauannya jauh terhadap seluruh desa, namun juga dirasakan oleh pemerintah daerah yang secara lokus lebih dekat ke desa dan masyarakat desa.
Kedua, saat ini pembangunan desa yang dilaksanakan di hampir seluruh desa di Indonesia belum didasarkan pada suatu acuan baku berupa standar pelayanan minimal desa. Standar Pelayanan Minimal Desa (SPM Desa) merupakan hak masyarakat desa terhadap pelayanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa. Sampai saat ini SPM Desa dengan lingkup nasional masih belum tersedia. Meskipun demikian, tidak ada salahnya apabila pemerintah daerah maupun pemerintah desa dapat menetapkan SPM Desa terhadap kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat desa.
(28)
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pemenuhan SPM Desa hingga saat ini antara lain: (1) kondisi dan kebutuhan masyarakat antara satu desa dengan desa lainnya yang berbeda–beda sehingga SPM Desa menjadi tidak dapat diseragamkan baik aspek maupun volumenya; (2) sumber daya yang masih terbatas baik sumber daya manusia maupun penganggarannya; dan (3) belum terbaginya kewenangan/ urusan dari pemerintah, pemerintah daerah, dan pemerintah desa dalam pemenuhan SPM Desa dengan mengacu pada UU Desa dan peraturan pelaksanaannya.
Adapun rujukan terkait aspek pemenuhan SPM Desa adalah UU Desa beserta peraturan pelaksanaannya dimana disebutkan bahwa pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
(29)
BAB - III METODOLOGI
3.1. MODEL
Pada prinsipnya model yang akan digunakan dalam kajian penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini, tidaklah jauh berbeda dengan model atau pendekatan yang digunakan dalam menyusun Indeks Pembangunan Desa (IPD) tahun 2015. Hal ini dikarenakan IPD merupakan baseline (titik awal status) desa yang akan menjadi object evaluasi, sehingga jika modelnya terlalu berbeda dengan model IPD dikhawatirkan akan sulit untuk mengukur tingkat perkembangan pembangunan desa dari tahun ke tahunnya. Hanya saja dalam penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini, lebih menitikberatkan pada upaya penyempurnaan kuesioner (instrumen) Podes yang beberapa datanya dirasa masih belum memadai untuk menggambarkan kondisi desa yang sebenarnya, dan dari hasil penyempurnaan kuesioner tersebut akan dilakukan uji coba ke beberapa daerah. Selanjutnya kuesioner (instrumen) ini akan menjadi bahan masukan bagi Badan Pusat Statistik (BPS) dalam melaksanakan survey Podes di tahun 2018.
3.2. PENDEKATAN
Pendekatan analisis yang dipergunakan dalam menyusun instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini, adalah menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Sumber data utama yang dianalisis ada kuesioner Potensi Desa (Podes) tahun 2014 dan juga beberapa dokumen/referensi terkait lainnya. Adapun keluaran hasil analisis tersebut berupa kuesioner baru yang sudah disempurnakan atau disebut sebagai instrumen evaluasi pembangunan perdesaan.
(30)
Selanjutnya kuesioner tersebut akan dilakukan uji coba pada pada beberapa desa yang menjadi lokasi sampling. Metode sampling yang digunakan adalah area sampling. Area sampling didefinisikan secara umum sebagai kumpulan prosedur dimana wilayah geografis dipilih sebagai unit antara untuk memilih unit sampel yang lebih rendah yang menjadi target suatu survei. Area sampling dipilih sebagai metode sampling dalam kajian ini dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
(01). Adanya pertimbangan efisiensi biaya pendataan lapangan (listing dan survei). (02). Adanya pertimbangan pemikiran bahwa unit-unit analisis yang tersebar secara spasial pada kawasan geografis yang sama cenderung memiliki karakteristik yang serupa.
(03). Metode sampling yang digunakan dalam kajian ini diupayakan sampling probabilitas (probability sampling). Area Sampling merupakan salah satu varian metode sampling multi tahap (multi-stages random sampling).
(04). Unit sampling yang menjadi target (ultimate sampling unit) adalah Desa.
Pemilihan sampel dalam kajian ini mengikuti struktur hierarki wilayah administrasi pemerintahan sebagai berikut: (1) Primary Sampling Units (PSU) merupakan wilayah geografis yang secara kolektif merepresentasikan seluruh cakupan wilayah survei. Wilayah geografis yang ditetapkan menjadi PSU adalah kabupaten/kota. Setiap kabupaten/kota memuat desa-desa yang telah terstratifikasi berdasarkan tingkat kemajuan desa sebagai desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal; dan (2) Ultimate Sampling Units (USU) merupakan unit analisis yang menjadi tujuan survei yaitu desa. Desa-desa yang menjadi target sampel pada setiap strata kemajuan desa di kabupaten/kota terpilih sebagai PSU kemudian dipilih dengan skenario alokasi sampel secara sistematik.
Adapun pemilihan sampel kabupaten/kota dan desa dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: (1) total sampel desa yang menjadi target sampel secara nasional sebanyak 4.763 tersebar di 405 kabupaten/kota; (2) PSU sebanyak 40 kabupaten/kota (10 persen dari kabupaten/kota target sampel). Pemilihan kabupaten/kota sebagai PSU didasarkan pada pendekatan Probability Proportional to Size (PPS). Variabel yang dipertimbangkan sebagai dasar penentuan size adalah
(31)
total desa yang menjadi target sampel di setiap kabupaten/kota. Suatu kabupaten/kota akan memiliki peluang terpilih sebagai PSU sangat bergantung pada muatan/total desa target sampel di wilayahnya; dan (3) USU berupa desa terpilih sampel sebanyak 10 persen dari total desa target sampel pada setiap strata kemajuan desa di kabupaten/kota terpilih sebagai PSU. Pada suatu kabupaten/kota terpilih sebagai sampel akan dipilih sebanyak 10 persen desa berkembang dan 10 persen desa tertinggal. Pemilihan Desa sebagai USU didasarkan pada pendekatan self-weighting, setiap desa mengalami skenario pemilihan sampel yang sama sehingga sekaligus memiliki peluang yang sama untuk terpilih sebagai desa sampel. Pemilihan sampel desa menggunakan skenario pemilihan sampel sistematik yang diberlakukan pada setiap strata kemajuan desa di wilayah kabupaten/kota PSU.
(32)
BAB - IV
ANALISIS PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI PEMBANGUNAN DESA (LINGKUP DESA)
4.1. PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PERDESAAN
DALAM RPJMN TAHUN 2015-2019
4.1.1. Isu Strategis Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan
Pembangunan desa dan kawasan perdesaan secara komprehensif merupakan faktor penting bagi pembangunan daerah, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan antarwilayah. Perkembangan jumlah desa di Indonesia meningkat pesat, dari 72.9442 desa pada tahun 2012 (Sumber Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri) menjadi 74.0933 desa tahun 2014 (Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Per Semester I Bulan Juni 2014). Sayangnya jumlah yang selalu meningkat ini tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keterisolasian wilayah karena keterbatasan akses, baik transportasi, telekomunikasi, pendidikan, kesehatan, maupun permukiman, terutama di desa-desa di kawasan perbatasan, daerah tertinggal, dan pulau-pulau kecil terluar, menjadi penyebab tingginya tingkat kemiskinan di desa.
Secara ringkas, isu-isu strategis pembangunan desa dan kawasan perdesaan yang perlu diselesaikan adalah: (1) tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat di perdesaan yang masih rendah; (2) ketersediaan sarana dan prasarana fisik maupun non-fisik di desa dan kawasan perdesaan yang belum memadai; (3) ketidakberdayaan masyarakat perdesaan akibat faktor ekonomi maupun non ekonomi; (4) pelaksanaan tata kelola pemerintahan Desa yang memerlukan penyesuaian dengan amanat Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa; dan (5) kualitas lingkungan hidup masyarakat desa memburuk dan sumber pangan yang terancam berkurang.
(33)
Pengembangan potensi ekonomi lokal desa yang belum optimal akibat kurangnya akses dan modal dalam proses produksi, pengolahan, maupun pemasaran hasil produksi masyarakat desa.
4.1.2. Sasaran Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan
Sasaran pembangunan desa dan kawasan perdesaan adalah mengurangi jumlah desa tertinggal sampai 5.000 desa dan meningkatkan jumlah desa mandiri sedikitnya 2.000 desa.
4.1.3. Arah Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan
Arah kebijakan pembangunan desa dan kawasan perdesaan tahun 2015-2019 adalah sebagai berikut:
(1). Penguatan Pemerintahan Desa, melalui Pengembangan kapasitas dan pendampingan aparatur pemerintah desa dan kelembagaan pemerintahan desa secara berkelanjutan dengan strategi:
- Meningkatkan kapasitas pemerintah desa dan Badan Permusyawarat-an Desa melalui fasilitasi, pelatihPermusyawarat-an, dPermusyawarat-an pendampingPermusyawarat-an dalam:
* perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pembangunan desa; * pengelolaan aset dan keuangan desa;
* penetapan batas desa secara digital;
- Reformasi pelayanan publik termasuk pelayanan di luar jam kantor oleh desa, kelurahan, dan kecamatan;
- Meningkatkan ketersediaan sarana prasarana pemerintahan desa; - Mengembangkan kerjasama antar desa;
- Melaksanakan penataan desa;
(34)
(2). Pembangunan Desa, mencakup:
- Pemenuhan Standar Pelayanan Minimum Desa sesuai dengan kondisi geografis Desa, melalui strategi: menyusun dan memastikan terlaksananya Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) SPM Desa (antara lain perumahan, permukiman, pendidikan, kesehatan, perhubungan antar permukiman ke pusat pelayanan pendidikan, pusat pelayanan kesehatan, dan pusat kegiatan ekonomi, pengairan, listrik dan telekomunikasi).
- Penanggulangan kemiskinan dan pengembangan usaha ekonomi masyarakat Desa, melalui strategi:
* penataan dan penguatan BUMDesa untuk mendukung ketersediaan sarana prasarana produksi khususnya benih, pupuk, pengolahan produk pertanian dan perikanan skala rumah tangga desa;
* fasilitasi, pembinaan, maupun pendampingan dalam pengembangan usaha, bantuan permodalan/kredit, kesempatan berusaha, pemasaran dan kewirausahaan;
* meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam pemanfaatan dan pengembangan Teknologi Tepat Guna Perdesaan;
- Pembangunan sumber daya manusia, peningkatan keberdayaan, dan pembentukan modal sosial budaya masyarakat Desa melalui strategi: * mengembangkan pendidikan berbasis ketrampilan dan
kewirausahaan;
* mendorong peran aktif masyarakat dalam pendidikan dan kesehatan;
* mengembangkan kapasitas dan pendampingan lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat secara berkelanjutan; * menguatkan partisipasi masyarakat dengan pengarusutamaan
gender termasuk anak, pemuda,lansia dan penyandang disabilitas dalam pembangunan desa;
(35)
* menguatkan kapasitas masyarakat desa dan masyarakat adat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam lahan dan perairan, serta lingkungan hidup desa termasuk desa pesisir secara berkelanjutan;
* meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan masyarakat desa dalam meningkatkan ketahanan ekonomi, sosial, lingkungan keamanan dan politik;
* meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring pembangunan desa;
* meningkatkan partisipasi dan kapasitas tenaga kerja (TKI/TKW) di desa.
(3). Pembangunan Kawasan Perdesaan, mencakup:
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup berkelanjutan, serta penataan ruang kawasan perdesaan melalui strategi:
* menjamin pelaksanaan distribusi lahan kepada desa-desa dan distribusi hak atas tanah bagi petani, buruh lahan, dan nelayan; * menata ruang kawasan perdesaan untuk melindungi lahan
pertanian dan menekan alih fungsi lahan produktif dan lahan konservasi;
* menyiapkan dan melaksanakan kebijakan untuk membebaskan desa dari kantong-kantong hutan dan perkebunan;
* menyiapkan dan melaksanakan kebijakan tentang akses dan hak desa untuk mengelola sumber daya alam berskala lokal termasuk pengelolaan hutan negara oleh desa berorientasi keseimbangan lingkungan hidup dan berwawasan mitigasi bencana untuk meningkatkan produksi pangan dan mewujudkan ketahanan pangan;
* menyiapkan dan melaksanakan kebijakan-regulasi baru tentang shareholding antara pemerintah, investor, dan desa dalam pengelolaan sumber daya alam;
(36)
* menjalankan program-program investasi pembangunan perdesaan dengan pola shareholding melibatkan desa dan warga desa sebagai pemegang saham;
* merehabilitasi kawasan perdesaan yang tercemar dan terkena dampak bencana khususnya di daerah pesisir dan daerah aliran sungai.
- Pengembangan ekonomi kawasan perdesaan untuk mendorong keterkaitan desa-kota dengan strategi:
* mewujudkan dan mengembangkan sentra produksi, sentra industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan, serta destinasi pariwisata;
* meningkatkan akses transportasi desa dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lokal/wilayah;
* mengembangkan kerjasama antardesa, antardaerah, dan antarpemerintah swasta termasuk kerjasama pengelolaan BUMDesa, khususnya di luar Jawa-Bali;
* membangun agribisnis kerakyatan melalui pembangunan bank khusus untuk pertanian, UMKM, dan Koperasi;
* membangun sarana bisnis/pusat bisnis di perdesaan;
* mengembangkan komunitas teknologi informasi dan komunikasi bagi petani untuk berinteraksi denga pelaku ekonomi lainnya dalam kegiatan produksi panen, penjualan, distribusi, dan lain-lain.
(4). Pengawalan implementasi UU Desa secara sistematis, konsisten, dan berkelanjutan melalui koordinasi, fasilitasi, supervisi, dan pendampingan dengan strategi:
- Konsolidasi satuan kerja lintas Kementerian/Lembaga;
- Memastikan berbagai perangkat peraturan pelaksanaan UU Desa sejalan dengan substansi, jiwa, dan semangat UU Desa, termasuk penyusunan PP Sistem Keuangan Desa;
(37)
- Memastikan distribusi Dana Desa dan Alokasi Dana Desa berjalan secara efektif, berjenjang, dan bertahap;
- Mempersiapkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa adat.
4.1.4. Kerangka Pendanaan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan
Kerangka pendanaan pembangunan desa dan kawasan perdesaan memiliki kaitan yang sangat erat dengan diterbitkannya UU No. 6/2014 tentang Desa. Dalam UU tersebut, asas rekognisi (pengakuan terhadap hak asal usul) dan subsidiaritas (penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa), menjadikan Desa memiliki kewenangan lebih besar dalam kesatuan kewenangan, perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan.
Kerangka pendanaan pembangunan desa dan kawasan perdesaan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kemandirian Desa meliputi percepatan pemenuhan kebutuhan pelayanan umum dan pelayanan dasar, penyelenggaraan pemerintahan, peningkatan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan ekonomi di perdesaan sesuai dengan kearifan lokal. Pada periode pembangunan tahun 2015-2019, arahan kerangka pendanaan pembangunan desa dan kawasan perdesaan memanfaatkan sumber pendanaan dalam negeri, meliputi pembiayaan dari pemerintah (APBN), Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (APBD) serta masyarakat maupun sektor swasta. UU No. 6/2014 tentang Desa mengamanatkan dialokasikannya anggaran untuk desa dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Dalam UU tersebut, pendapatan Desa bersumber dari:
(38)
(1). Hasil usaha, hasil aset, swadaya, partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan desa;
(2). Alokasi APBN;
(3). Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
(4). Alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
(5). Bantuan keuangan dari ABPD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota; (6). Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat;
(7). Lain-lain pendapatan desa yang sah.
Gambar 4.1
Skema Pendanaan Pembangunan Wilayah Perdesaan (UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa)
Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa. Program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa. Berdasarkan hal tersebut, maka arah kebijakan pengelolaan keuangan Desa adalah:
(39)
(1). Melaksanakan pengelolaan Dana Desa secara tertib taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan, transparan, akuntabel, efisien, efektif, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan aspek keadilan dan kepatutan; (2). Meningkatkan sinkronisasi dengan kegiatan pembangunan di tingkat
nasional. provinsi, kabupaten/kota;
(3). Melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas pemanfaatan APB Desa sesuai dengan ketentuan berlaku;
(4). Mewujudkan sinergi antara perencanaan dan penganggaran di desa dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh masyarakat Desa dengan semangat gotong royong dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa. Untuk itu, pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa. Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa.
Pembangunan kawasan perdesaan dilakukan dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta mengikutsertakan Pemerintah Desa dan masyarakat Desa. Selain itu, pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kerja sama antarDesa.
(40)
4.2. DIMENSI PEMBANGUNAN DESA
Tujuan yang hendak dicapai dari pelaksanaan pembangunan desa dalam kerangka UU Desa adalah terciptanya kondisi kehidupan desa yang mandiri dan sejahtera secara berkelanjutan. Sayangnya, konsep desa yang mandiri dan sejahtera secara berkelanjutan tersebut tidak disertai dengan ukuran yang jelas. Akibatnya, hingga saat ini muncul berbagai penafsiran yang beragam terkait kriteria desa yang ideal tersebut. Berbagai penafsiran indikator tersebut pada dasarnya dapat diterima selama indikator yang disusun memang mampu menggambarkan sedekat mungkin dengan gambaran konseptual desa ideal yang ingin diwujudkan oleh desa dalam semangat dan amanat UU Desa. Berikut ini merupakan gambaran umum kondisi desa mandiri yang mungkin dapat digunakan yaitu:
1. Adanya kemampuan desa untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat desa dengan kekuatan yang dimilikinya;
2. Adanya pemerintahan desa yang memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengelola pembangunan desa yang didukung oleh kemandirian dalam perencanaan dan penganggaran seluruh program dan kegiatan pembangunan desa dan dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan;
3. Adanya pemerintahan desa yang menjunjung tinggi aspirasi dan partisipasi masyarakat secara adil dan merata tanpa diskriminasi terhadap penduduk miskin, perempuan, dan penduduk yang termarginalkan;
4. Adanya sumber daya pembangunan desa yang dikelola secara optimal transparan dan akuntabel untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh masyarakat Desa.
(41)
Indeks Pembangunan Desa (IPD) 2014 yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2015 pada dasarnya telah merujuk UU Desa (khususnya pasal 74 dan pasal 78) dalam menentukan indikator sebagai pilar perhitungannya. UU Desa pasal 74 disebutkan bahwa paling tidak ada empat kebutuhan masyarakat desa yang perlu dipenuhi dalam pembangunan desa yaitu: (1) kebutuhan dasar/primer; (2) pelayanan dasar; (3) lingkungan; dan (4) kegiatan pemberdayaan masyarakat desa.
Pada bagian penjelasan dalam UU Desa, kebutuhan dasar didefinisikan sebagai kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Pelayanan dasar yang dimaksud meliputi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Sedangkan dalam pasal 78 disebutkan tujuan pembangunan desa untuk meningkatkan: (1) kesejahteraan masyarakat desa; (2) kualitas hidup manusia; dan (3) penanggulangan kemiskinan.
Tujuan pembangunan desa tersebut diwujudkan melalui: (1) pemenuhan kebutuhan dasar; (2) pembangunan sarana desa; (3) pembangunan prasarana desa; (4) pengembangan potensi ekonomi lokal; dan (5) pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Karena adanya keterbatasan data, maka hal-hal yang termaktub dalam pasal 74 dan pasal 78 tersebut pada akhirnya disintesiskan menjadi lima indikatror utama dalam IPD yaitu pelayanan dasar; kondisi infrastruktur; aksesibilitas/transportasi; pelayanan umum; dan penyelenggaraan pemerintahan.
4.2.1 Pelayanan Dasar
Pelayanan dasar yang dirumuskan di dalam IPD meliputi ketersediaan dan akses terhadap fasilitas pendidikan seperti TK, SD, SMP, SMA dan akses terhadap fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, rumah sakit bersalin, puskesmas, puskesmas pembantu, poliklinik/balai pengobatan, tempat praktek dokter, tempat praktek bidan, poskesdes, polindes, dan apotek.
(42)
4.2.2. Kondisi Infrastruktur
Kondisi infrastruktur meliputi akses terhadap fasilitas ekonomi seperti kelompok pertokoan, minimarket atau toko kelontong, pasar, restoran, rumah makan atau warung/kedai makanan, hotel atau penginapan, dan bank; akses terhadap fasilitas energi seperti listrik, penerangan jalan, dan bahan bakar; akses terhadap fasilitas kesehatan dan sanitasi seperti sumber air minum, sumber air mandi, dan fasilitas buang air besar; serta akses terhadap fasilitas komunikasi dan informasi seperti komunikasi menggunakan telepon seluler, internet dan pengiriman pos atau barang.
4.2.3. Aksesibilitas/transportasi
Aksesibilitas/transportasi meliputi sarana transportasi (lalu lintas dan kualitas jalan, aksesibilitas jalan, ketersediaan angkutan umum, dan operasional angkutan umum) dan aksesibilitas transportasi (waktu tempuh per kilometer transportasi ke kantor Camat, biaya per kilometer transportasi ke kantor Camat, waktu tempuh per kilometer transportasi ke kantor Bupati/Walikota, dan biaya per kilometer transportasi ke kantor Bupati/Walikota).
4.2.4. Pelayanan Publik
Pelayanan publik dengan variabel seperti penanganan kejadian luar biasa (KLB), penanganan gizi buruk, fasilitas olah raga, dan kegiatan olah raga.
4.2.5. Penyelenggaraan Pemerintahan
Penyelenggaraan pemerintahan meliputi kemandirian seperti kelengkapan pemerintahan desa, otonomi desa, dan aset/kekayaan desa dan kualitas sumber daya manusia seperti kualitas sumber daya manusia (SDM) dari Kepala Desa dan Sekretaris Desa.
(43)
4.3. KUESIONER (INSTRUMEN) DATA DESA
Upaya pengumpulan data desa yang mampu menggambarkan kondisi, dinamika, dan perubahan desa dirasa perlu segera dilakukan. Upaya ini dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kendala keterbatasan data desa yang dibutuhkan untuk memantau dan mengevaluasi perkembangan desa secara berkesinambungan. Harapannya, kendala keterbatasan data yang dialami selama pengembangan IPD tahun 2015 dapat segera diatasi.
Kajian penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini dilakukan untuk menghasilkan instrumen pengumpulan data di tingkat desa. Instrumen tersebut diharapkan mampu mencakup semua kebutuhan data bagi keperluan penyusunan indikator input, proses, output, atau bahkan dampak (outcome) yang terkait dengan upaya pembangunan desa yang diamanatkan dan dimandatkan oleh UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Akhirnya IPD yang pernah dihasilkan akan dapat diperbarui cakupan sintesisnya sesegera mungkin.
Berdasarkan hasil analisis dan kajian literatur yang telah diselaraskan dengan kebutuhan data dan informasi, sebagaimana yang diamanatkan di dalam pasal 74 dan 78 UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, maka instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini disajikan sebagai berikut:
(44)
Tabel 4.1
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
4.4. PARADIGMA PEMBANGUNAN DESA DALAM DIMENSI SOSIAL, POLITIK, BUDAYA DAN EKONOMI
Pada bagian awal bab ini, telah diuraikan bahwa tujuan yang hendak dicapai dari pelaksanaan pembangunan desa dalam kerangka UU Desa adalah terciptanya kondisi kehidupan desa yang mandiri dan sejahtera secara berkelanjutan. Sayangnya, konsep desa yang mandiri dan sejahtera secara berkelanjutan tersebut tidak disertai dengan ukuran yang jelas. Akibatnya, hingga saat ini muncul berbagai penafsiran yang beragam terkait kriteria desa yang ideal tersebut. Berbagai penafsiran indikator tersebut pada dasarnya dapat diterima selama indikator yang disusun memang mampu menggambarkan sedekat mungkin dengan gambaran konseptual desa ideal yang ingin diwujudkan oleh desa dalam semangat dan amanat UU Desa.
Dari hasil analisis terhadap IPD tahun 2015, maka dipandang perlu untuk mempertajam aspek informasi yang terkandung di dalam dokumen tersebut. IPD tahun 2015 dapat mengidentifikasi status desa tertinggal, berkembang dan mandiri, namun belum dapat menggambarkan tingkat kekuatan dan kelemahan masing-masing desa. Setiap desa memiliki kekuatan dan kelemahan yang berbeda, baik dari asek sosial, politik, budaya maupun fisik dan ekonomi. Dalam konteks ini maka pendekatan pembangunan perdesaan haruslah memperhatikan faktor-faktor kekuatan dan kelamahan masing-masing desa agar tujuan pembangunan desa sebagaimana yang diamanatkan di dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa dapat diwujudkan. Selain itu, dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing desa akan sangat berguna dalam rangka merumuskan berbagai macam kebijakan untuk menyusun program dan kegiatan yang sesuai bagi setiap desa, baik yang akan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun oleh desa itu sendiri.
(54)
4.4.1 Pembangunan Desa Dalam Dimensi Sosial, Politik dan Budaya
Dimensi budaya perlu dinilai sebagai upaya untuk menunjukkan peluang kesinambungan pembangunan (development sustainability). Budaya berisi pandangan untuk menilai, cara melihat realitas, sekaligus pedoman untuk berpikir dan bertindak. Makna kebudayaan ini telah tersimpan dalam-dalam, sehingga sulit untuk berubah. Dengan kata lain, budaya merupakan refleksi masyarakat desa atas perilakunya selama ini. Hal ini berguna untuk menunjukkan keberlanjutan pada tingkat yang paling mendasar atau imanen.
Dalam konteks ini, suatu budaya yang mendukung pembangunan menjadi benteng yang teguh untuk menjaga kesinambungan pembangunan tersebut. Permasalahan dalam wujud keberadaan budaya yang tidak sejalan dengan pembangunan antara lain bisa diatasi dengan penyusunan budaya baru atau berarti pemberian makna baru terhadap realitas.
Superstruktur ideologis menurut Harris meliputi cara-cara yang telah terpolakan, yang dengan cara tersebut anggota masyarakat berpikir, melakukan konseptualisasi, menilai dan merasa (Sanderson, 1993). Dalam konteks ini, faktor ini disebut sebagai faktor budaya atau antropologis.
Menurut Harris superstruktur terdiri atas ideologi umum, merujuk kepada karakteristik kepercayaan, nilai dan norma yang menonjol dalam suatu masyarakat atau dalam beberapa bagian dari suatu masyarakat (Sanderson, 1993). Faktor lainnya ialah agama, yang berisi kepercayaan dan nilai bersama yang bersinggungan dengan keyakinan akan adanya kekuatan dan kekuasaan sesuatu yang bersifat supernatural. Selain itu terdapat faktor ilmu pengetahuan adalah serangkaian teknik untuk memperoleh pengetahuan dengan mendasarkan kepada obsevasi dan pengalaman, yaitu pengumpulan bukti-bukti faktual, demonstrasi, pembuktian, dan sebagainya. Faktor lainnya ialah kesenian, yang berisi kesan-kesan atau pengungkapan simbolik yang mempunyai nilai estetis, emosional atau intelektual bagi para anggota suatu masyarakat atau bagian dari suatu masyarakat.Sedangkan faktor kesusastraan adalah kesenian yang diungkapkan dalam bentuk verbal.
(55)
Sementara itu, indikator struktur politik lokal dan kelembagaan berguna untuk mengetahui pola tindakan atau aksi kelompok atau masyarakat. Menurut Harris (dalam Sanderson, 1993) struktur sosial berisi pola-pola kehidupan sosial yang teratur yang dipakai di kalangan anggota suatu masyarakat, selain pola-pola sosial yang telah termasuk ke dalam infrastruktur. Stratifikasi sosial merujuk kepada adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang tidak sama kekayaan dan kekuasaannya. Stratifikasi etnis dan rasial merujuk kepada apakah kelompok masyarakat dibedakan berdasarkan karakteristik rasial atau etnis. Politik merujuk kepada cara-cara terorganisasi sebuah masyarakat dalam memelihara hukum dan aturan internal, juga cara-cara mengatur dan melakukan hubungan antar-masyarakat.
Mengingat fakta budaya tergolong paling sulit ditemukan, maka rincian faktornya dioperasionalkan secara lebih mudah. Ternyata hanya dua faktor budaya yang bisa diperoleh dari berbagai pustaka sosiologis dan antropologis, serta masing-masing bisa dibandingkan. Oleh sebab itu faktor budaya dianalisis bersama-sama faktor sosial dan politik, menjadi bernama faktor sosial, politik, dan budaya.
Adapun rincian faktor sosial, politik dan budaya untuk penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini disajikan sebagai berikut:
(01). Adat Berkarya
Adat berkarya berisi pandangan tentang karya manusia. Nilai tinggi dapat diberikan kepada desa yang memiliki adat yang menunjang individu untuk berkarya, contohnya terdapat penghargaan karya individu dalam bentuk pemberian nama, uang, nilai karya sebagai tanda kehidupan dan sebagainya. Sedangkan nilai rendah dapat diberikan kepada desa yang memiliki adat tidak menunjang individu untuk berkarya, contohnya tidak memberi kesempatan munculnya karya individu, nilai karya sebagai tanda kemaksiatan, dan sebagainya. Data mengenai adat berkarya diperoleh dari kajian-kajian antropologis dan sosiologis secara kualitatif.
(56)
(02). Faktor n-Ach
n-Ach (need of achievement, kebutuhan untuk maju) berisi penilaian psikologi masyarakat setempat yang tertuju kepada kebutuhan untuk mencapai kemajuan. Penilaian ini didasarkan kepada cerita-cerita rakyat atau pandangan umum yang telah diakui masyarakat suatu desa. Nilai tinggi dapat diberikan pada cerita dan pandangan yang mengedepankan rasionalitas. Sedangkan nilai rendah diberikan kepada desa yang memiliki cerita rakyat atau pandangan umum sepenuhnya mistis.
(03). Integrasi Masyarakat
Integrasi masyarakat berisi perkembangan lembaga keagamaan dalam satu tahun terakhir di desa. Integrasi masyarakat menjadi faktor penting bagi perkembangan kelembagaan ekonomi dan sosial. Desa yang terintegrasi sejak awal cenderung menuju kepada hasil pembangunan yang bisa dinikmati merata oleh masyarakat (Hayami dan Kikuchi, 1987). Hal ini bisa dipandang sebagai tanda pemberdayaan masyarakat desa secara keseluruhan. Sebaliknya desa yang tidak memiliki integrasi kuat, contohnya desa-desa yang terisi banyak migran, cenderung menghasilkan kesenjangan ekonomi dan sosial sebagai salah satu efek pembangunan desa.
Dalam konteks integrasi di desa, faktor agama memegang peranan penting sejak dahulu hingga sekarang (Geertz, 1963; Kuntowijoyo, 1991; Saifuddin, 1986). Oleh sebab itu salah satu tanda tingkat integrasi masyarakat desa digali dari perkembangan lembaga keagamaan pada tingkat desa. Penggunaan konsep proporsi (frekuensi terbanyak, secara kualitatif dominan) bisa membantu untuk mengetahui tingkat kemajuan di tingkat desa secara lebih mudah. Nilai tinggi dapat diberikan kepada desa dengan perkembangan lembaga keagamaan tetap atau meningkat. Sedangkan nilai rendah untuk desa dengan perkembangan lembaga keagamaan menurun. Lembaga keagamaan tersebut mencakup aktivitas kegiatan institusi sosial majelis ta'lim, kelompok pengajian, atau kelompok kebaktian.
(57)
Selain itu faktor integrasi masyarakat juga berisi keberadaan gotong royong di desa. Sebagaimana dikemukakan di atas, integrasi masyarakat menjadi faktor penting bagi perkembangan kelembagaan ekonomi dan sosial. Dalam konteks integrasi di desa, faktor gotong royong memegang peranan penting untuk meningkatkan lembaga lokal yang mampu berperan memenuhi kebutuhannya sendiri atau pemberdayaan diri (Uphoff, 1986). Dalam kegiatan ini individu di desa mengerjakan kegiatan untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat desa. Oleh sebab itu digunakan ukuran keberadaan aktivitas lembaga gotong royong. Nilai tinggi dapat diberikan kepada desa yang memiliki aktivitas gotong royong. Sedangkan nilai rendah diberikan kepada desa yang tidak memiliki aktivitas gotong royong.
Hal yang juga tidak kalah pentingnya dari faktor integrasi masyarakat ini adalah perkembangan satu atau lebih jenis kejahatan dalam satu tahun terakhir di desa. Uraian sebelumnya telah menjelaskan integrasi kemasyarakatan desa dilihat dari sudut pandang yang positif (semakin meningkat indikator maka semakin tinggi integrasi desa), maka di sini dilakukan tinjauan negatif yaitu indikator yang meningkat justru menunjukkan integrasi desa yang menurun. Contohnya peningkatan jumlah bunuh diri yang tidak terikat suatu sekte agama tertentu ternyata menunjukkan penurunan integrasi masyarakat setempat (Durkheim, 1952).
Satu contoh jenis kejahatan telah mencukupi untuk memberi tanda tingkat integrasi masyarakat. Oleh sebab itu digunakan konsep keberadaan yang cenderung tetap atau meningkat pada salah satu atau lebih jenis kejahatan di dalam desa. Nilai tinggi diberikan kepada desa dengan tidak ada seluruh jenis kejahatan, atau perkembangan seluruh jenis kejahatan menurun. Sedangkan nilai rendah untuk desa dengan perkembangan salah satu atau lebih jenis kejahatan tetap atau meningkat. Jenis kejahatan tersebut mencakup jenis kejahatan yang terjadi setahun yang terakhir dalam bentuk pencurian, perampokan, penjarahan, pembunuhan, penganiayaan, perkelahian massal, pembakaran, bunuh diri, dan kejahatan lain-lain.
(58)
(04). Fasilitas Pendidikan
Fasilitas pendidikan berisi ketersediaan sarana pendidikan di desa. Sarana pendidikan berperan penting dalam proses penurunan kemiskinan serta pemberdayaan masyarakat (Sen, 2000). Nilai tinggi diberikan untuk desa yang memiliki salah satu fasilitas pendidikan yang tercatat. Sedangkan nilai rendah untuk desa yang tidak memiliki satupun fasilitas pendidikan. Keseluruhan sarana pendidikan yang dinilai keberadaannya ialah banyaknya unit pendidikan negeri dan sederajat, atau banyaknya unit pendidikan swasta dan sederajat.
(05). Struktur Politik Lokal
Struktur politik lokal berisi proporsi politik demokratis di desa. Struktur politik lokal penting untuk dinilai mengingat demokrasi mampu mengalokasikan sumberdaya secara lebih terbuka (Sen, 2000). Hal ini meningkatkan peluang lapisan bawah di pedesaan untuk memanfaatkannya. Demokrasi juga mempermudah dialog, sehingga meningkatkan kecepatan penyebaran informasi tentang kesulitan pada lapisan bawah. Oleh sebab itu pula, digunakan ukuran keberadaan struktur politik yang demokratis. Nilai tinggi diberikan kepada desa yang memiliki struktur politik demokratis dominan. Sedangkan nilai rendah diberikan kepada desa yang tidak memiliki struktur demokratis dominan.
(06). Kekuasaan Dominan
Pola kekuasaan yang dominan berisi proporsi pola kekuasaan di desa. Pola kekuasaan dominan juga penting untuk dinilai mengingat berisi kemampuan untuk mengalokasikan sumberdaya di desa. Pola kekuasaan dominan juga berperan dalam menunjang kemajuan masyarakat. Dalam hal ini pola kekuasaan tradisional dan kharismatis tidak menunjang kemajuan secara berkelanjutan, sementara pola kekuasaan yang rasional atau berbasis wewenang legal mampu membawa masyarakat kepada kemajuan yang berkelanjutan (Gerth dan Mills, 1958).
(59)
Dengan demikian pola kekuasaan dapat berperan dalam meningkatkan atau menurunkan peluang lapisan bawah di pedesaan untuk memanfaatkan sumberdaya di lingkungannya. Oleh sebab itu pula, digunakan ukuran keberadaan suatu pola kekuasaan yang dominan di suatu desa. Nilai tinggi dapat diberikan kepada desa yang memiliki pola kekuasaan dominan rasional atau berbasis wewenang legal. Sedangkan nilai rendah dapat diberikan kepada desa yang tidak memiliki pola kekuasaan dominan di atas, atau memiliki pola kekuasaan dominan tradisional atau kharismatis.
(07). Sejarah Lingkup Lembaga Terpenting
Sejarah lingkup lembaga terpenting berisi pengalaman lembaga terpenting masyarakat untuk berkiprah di tingkat desa atau sampai atas-desa kecamatan, kabupaten, dan seterusnya). Lembaga terpenting di desa menjadi acuan warga desa sekaligus dalam bertindak, berpikir, dan bersikap. Ruang lingkup aktivitas lembaga terpenting tersebut dapat menunjukkan tanda kemampuan warga desa dalam memandang ruang publik yang lebih luas. Pandangan semacam ini berguna untuk menunjukkan peluang integrasi kepada struktur kemasyarakatan yang lebih luas (Geertz, 1974).
Dengan kata lain, hal ini juga menunjukkan peluang membuat sambungan antara pihak-pihak di tingkat desa dan tingkat atas desa kecamatan, kabupaten, dan seterusnya). Oleh sebab itu, penilaian yang digunakan berupa ukuran keberadaan sejarah ruang lingkup lembaga terpenting di suatu desa. Nilai tinggi diberikan kepada desa yang memiliki sejarah ruang lingkup lembaga terpenting hingga ke atas desa . Sedangkan nilai rendah diberikan kepada desa yang memiliki sejarah ruang lingkup lembaga terpenting hanya di tingkat desa.
(1)
BAB – V PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
Pembangunan desa merupakan konsep pembangunan multidimensional yang sifatnya kompleks. Kemajuan dan keberhasilan pembangunan desa perlu diukur dengan seksama. Pengukuran tingkat kemajuan pembangunan desa diharapkan tetap mengacu pada kompleksitas konsep tersebut meskipun perlu diupayakan adanya penyederhanaan dalam hal instrumen dan teknis pengukurannya. Dimensi, variabel, dan indikator yang digunakan sebagai alat ukur konsep pembangunan desa perlu disusun secara teliti sehingga secara komposit akan mampu menggambarkan tingkat kemajuan dan perkembangan pembangunan desa.
Dalam rangka mengukur tingkat kemajuan pembangunan desa sebagaimana yang telah diuraikan tersebut di atas, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/ Bappenas), akan mengembangkan dan menyusun instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa). Hal ini sejalan dengan fungsi Kementerian PPN/Bappenas, sebagaimana yang diamanatkan melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2015 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pada Pasal 3 Point a., yaitu "pengkajian, pengoordinasian, dan perumusan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan nasional, strategi pembangunan nasional, arah kebijakan sektoral, lintas sektor, dan lintas wilayah, kerangka ekonomi makro nasional dan regional, analisis investasi proyek infrastruktur, kerangka regulasi, kelembagaan, dan pendanaan, serta pemantauan, evaluasi dan pengendalian pelaksanaan pembangunan nasional."
(2)
Instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) perlu disusun dengan mengedepankan kesederhanaan dan kemudahan dalam penggunaannya meskipun harus tetap mengacu pada kompleksitas konsep pembangunan desa. Rumusan indikator yang digunakan diupayakan mampu semaksimal mungkin untuk menggambarkan kondisi nyata tingkat pembangunan desa yang dipotret pada suatu waktu. Indeks Pembangunan Desa (IPD) tahun 2015 yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2015 lalu merupakan indeks komposit yang dapat digunakan sebagai salah satu alat ukur awal (baseline) untuk meng-evaluasi tingkat kemajuan pembangunan desa yang senantiasa berubah secara dinamis dari tahun ke tahun.
Upaya memenuhi kebutuhan data desa yang mampu menggambarkan kondisi, dinamika, dan perubahan desa dirasa perlu segera dilakukan. Upaya ini dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kendala keterbatasan data desa yang dibutuhkan untuk memantau dan mengevaluasi perkembangan desa secara berkesinambungan. Harapannya, kendala keterbatasan data yang dialami selama pengembangan IPD tahun 2015 dapat segera diatasi. Oleh karenanya penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan data yang lebih memadai untuk menggambarkan kondisi desa
5.2. REKOMENDASI
Pertama, upaya untuk menguji instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup) desa yang telah dihasilkan, tidak dapat dilakukan uji coba ke beberapa daerah sampel. Hal ini dikarenakan adanya penghematan anggaran yang terjadi pada bulan Oktober 2016. Untuk itu diharapkan pada tahun 2017, instrumen ini kiranya dapat dilakukan uji coba kebeberapa daerah dan bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS).
Kedua, IPD tahun 2015 dapat mengidentifikasi status desa tertinggal, berkembang dan mandiri, namun belum dapat menggambarkan tingkat kekuatan dan kelemahan masing-masing desa. Setiap desa memiliki kekuatan dan kelemahan yang berbeda, baik dari asek sosial, politik, budaya maupun fisik dan ekonomi.
(3)
Dalam konteks ini maka pendekatan pembangunan perdesaan haruslah memperhatikan faktor-faktor kekuatan dan kelamahan masing-masing desa agar tujuan pembangunan desa sebagaimana yang diamanatkan di dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa dapat diwujudkan. Selain itu, dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing desa akan sangat berguna dalam rangka merumuskan berbagai macam kebijakan untuk menyusun program dan kegiatan yang sesuai bagi setiap desa, baik yang akan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun oleh desa itu sendiri.
Bagi desa-desa yang memiliki kecenderungan kekuatannya pada dimensi sosial, politik dan budaya, maka intervensi pembangunan dapat dilakukan melalui lembaga sosial, politik, dengan tetap menggunakan pendekatan budaya lokal. Bagi desa-desa yang memiliki kecenderungan kekuatannya pada faktor fisik dan ekonomi, maka intervensi pembangunan dapat dilakukan melalui lembaga ekonomi. Selain itu pembangunan dapat juga difokuskan kepada lembaga sosial dan politik, dengan tetap menggunakan pendekatan budaya lokal. Sementara itu, bagi desa-desa yang memiliki kekuatan pada kedua dimensi tersebut, maka intervensi pembangunan dapat dilakukan dari semua lembaga, dengan fokus pada peningkatan kualitas hasil-hasil pembangunan yang telah ada sebelumnya.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015–2019
Agusta, I. 2000. Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal. Jurnal Sosiologi Indonesia. _______. 2000. Sosiologi Industri: Landasan Analisis Agribisnis. Program Diploma
Manajer Agribisnis IPB. Bogor
Agusta, ) dan A. Tetiani. . Pemberdayaan Masyarakat Pesisir , dalam Kompas, 10 April.
Agusta, I. et.al. 2000. Laporan Akhir Evaluasi Program Pengembangan Kecamatan. Bappenas. Jakarta.
ANZDEC. 1997. Proyek Pengembangan Wilayah Terpadu dan Konservasi Sulawesi Tengah.
Aragon, L.V. . Japanese Time and the Mica Mine: Occupation Experiences in the Central Sulawesi (ighlands, dalam journal of Southeast Asian Studies Vol. XXVII No. 1.
Cernea, M.M. . Sosiologi untuk Proyek-proyek Pembangunan , dalam M.M. Cernea,ed. Mengutamakan Manusia dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. Terjemahan. UI Press. Jakarta. Collier, W.L., et al. 1996. Pendekatan Baru dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa :
Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun. Terjemahan. YOI. Jakarta. Cote, J. . Colonising Central Sulawesi, The Ethical Policy and )mperialist
Expansion , dalam )tinerario Vol. XX, No. .
Dick, H., et. al. 1993. Balanced Development, East Java in the New Order. Oxford University Press. Singapore.
Durkheim, E. 1952. Suicide, a Study in Sociology. Terjemahan. London. Geertz, C. 1974. Interpretartion of Culture. Free Press. New York. ________. 1960. The Religion of Java. Free Press. New York.
Geertz, H. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Terjemahan. Pustaka Pulsar. Jakarta.
(5)
Gerth, HH dan C.W. Mills. 1958. From Max Weber: Essays in Sociology. New York. Giddens, A. 1985. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis terhadap
Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. Terjemahan. UI Press. Jakarta. Hayami, Y. dan M. Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa. Terjemahan. LP3ES. Jakarta. Hidayah, Z. 1996. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. LP3ES. Jakarta.
Izarwisma. 1989. Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat Daerah Sulawesi Tengah. Depdikbud. Jakarta.
Jahi, A, ed. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Gramedia. Jakarta.
Jaringan Kerja Pemberdayaan Masyarakat. 1999. Executive Summary Monitoring Partisipasi dan Pemberdayaan dalam PPK. Makalah disampaikan dalam Semiloka Monitoring Partisipasi dan Pemberdayaan dalam Program Pengembangan Kecamatan 1999 di Jakarta.
Jary, D dan J. Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. HarperCollins. Glasgow, GB. Lerner, D. 1958. The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East.
Free Press. New York.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan. Bandung. Marzali, A. . Klasifikasi Tipologi Komunitas Desa di )ndonesia , dalam FKM
Masinambow, ed. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. YOI. Jakarta.
Mattulada, H.A. tt. Sejarah Kebudayaan To-Kaili (Orang Kaili). Badan Penerbit Universitas Tadulako. Palu.
Ponsioen, J.A. 1969. The Analysis of Social Change Reconsid¬ered, A Sociological Study. Mouton. The Hague.
Pusat P3R. 2000. Laporan Akhir Menuju Tumbuhnya Lembaga Ekonomi Desa yang Berkelanjutan di Jawa Barat. Pemda Jabar. Bandung.
Rusli, S. 1989. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES. Jakarta.
Saifuddin, A.F. 1986. Konflik dan Integrasi, Pernedaan Faham dalam Agama Islam. Rajawali Press. Jakarta.
Sajogyo. . )ndeks Mutu (idup , dalam Prisma No. Th. X))).
Sanderson, S.K. 1993 (1991). Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, Edisi Kedua. Terjemahan. Rajawali Press. Jakarta.
(6)
Sen, A. 2000. Demokrasi Bisa Memberantas Kemiskinan. Mizan. Bandung.
Ter Haar, B. 1983. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan. Pradnya Paramita. Jakarta.
Uphoff, N. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with Cases. Kumarian Press. Connecticut.