PENGGUNAAN METODE LATIHAN (DRILL) PADA PEMBELAJARAN PENGEMBANGAN DIRI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPAKAIAN ANAK CEREBRAL PALSY KELAS V DI SLB NEGERI 1 BANTUL YOGYAKARTA.

(1)

PENGGUNAAN METODE LATIHAN (DRILL) PADA PEMBELAJARAN PENGEMBANGAN DIRI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

BERPAKAIAN ANAK CEREBRAL PALSY KELAS V DI SLB NEGERI 1 BANTUL YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk memenuhi sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Rijal Nurdiana NIM. 11103241016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri”


(6)

PERSEMBAHAN

Seiring rasa hormat dan kerendahan hati, Sebuah karya ini kupersembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku : Bapak Hadri Supriadi, BA dan Ibu Aah Marpuah, S.Pd. 2. Almamaterku, Universitas Negeri Yogyakarta.


(7)

PENGGUNAAN METODE LATIHAN (DRILL) PADA PEMBELAJARAN PENGEMBANGAN DIRI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

BERPAKAIAN ANAK CEREBRAL PALSY KELAS V DI SLB NEGERI 1 BANTUL YOGYAKARTA

Oleh Rijal Nurdiana NIM 11103241016

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengembangan diri berpakaian melalui penggunaan metode latihan (drill) pada anak cerebral palsy kelas V di SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) dengan desain penelitian Kemmis dan McTaggart yang terdiri dari empat tahapan yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi.Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus.Subjek penelitian terdiri dari tiga orang anak cerebral palsy kelas V di SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta.Pengumpulan data dilakukan dengan tes kemampuan berpakaian, observasi, dan dokumentasi sebagai data pelengkap.Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan metode latihan (drill) dapat meningkatkan kemampuan berpakaian anak cerebral palsy kelas V di SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta.Ketiga subjek antusias dan bersemangat mengikuti pembelajaran pengembangan diri berpakaian. Subjek selalu memperhatikan dan mengikuti instruksi guru untuk latihan memakai pakaian secara bertahap dan berulang-ulang sehingga kemampuan pengembangan diri berpakaian subjek menjadi meningkat. Hal tersebut dibuktikan dengan meningkatnya hasil tes kemampuan berpakaian yang telah memenuhi kriteria ketuntasan minimal yaitu 60%. Peningkatan kemampuan pengembangan diri berpakaian anak cerebral palsy dapat dilihat dari persentase pencapaian yang diperoleh pada kemampuan pra tindakan (pre-test), post-test siklus I, dan post-test siklus II. Subjek AM pada kemampuan pra tindakan (pre-test) persentase pencapaian 53%, meningkat menjadi 67% pada post-test siklus I, meningkat lagi menjadi 75% pada post-test

siklus II. Subjek DP pada kemampuan pra tindakan (pre-test) persentase pencapaian 45%, meningkat menjadi 63% pada post-test siklus I, meningkat lagi menjadi 73% pada post-test siklus II. Subjek MF pada kemampuan pra tindakan (pre-test) persentase pencapaian 43%, meningkat menjadi 55% pada post-test siklus I, meningkat lagi menjadi 65% pada post-test siklus II.

Kata kunci: kemampuan pengembangan diri berpakaian, metode latihan (drill), anak cerebral palsy


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, innayah dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul “Penggunaan Metode Latihan (Drill) Pada Pembelajaran Pengembangan Diri Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpakaian Anak

Cerebral Palsy Kelas V Di SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta” tahun ajaran 2014/2015 dapat terselesaikan dengan baik dan lancar.Penulisan dan penelitian tugas akhir skripsi ini dilaksanakan guna melengkapi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana pendidikan di Fakutas IlmuPendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa keberhasilan ini bukanlah keberhasilan individu semata, namun berkat bantuan dan bimbingan dari semua pihak, oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat.

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dari masa awal study sampai dengan terselesaikannya tugas akhir skripsi ini.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan, yang telah memberikan izin penelitian dan memberikan dukungan demi terselesaikannya tugas akhir skripsi ini.


(9)

4. Bapak Dr. Edi Purwanta, M.Pd. selaku dosen pembimbing I dan Ibu Nurdayati Praptiningrum, M.Pd. selaku dosen pembimbing II yang telah banyak menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan saran dalam penyusunan tugas akhir skripsi ini.

5. Ibu Dr. Mumpuniarti, M.pd. selaku penasehat akademik yang telah memberikan semangat sehingga penulis mampu memenuhi janji tertulis. 6. Seluruh bapak dan ibu dosen pembina PLB FIP UNY yang telah memberikan

bimbingan, sehingga penulis memperoleh keterampilan untuk melayani ABK. 7. Bapak Muh. Basuni, M.Pd.selaku Kepala SLB Negeri 1 Bantul yang telah

memberikan izin penelitian.

8. Ibu Nanik Hayati, M.Pd.I selaku guru kelas V di SLB Negeri 1 Bantul yang telah memberikan bantuan dan kerjasama serta kesediaannya memberikan informasi.

9. Bapak dan Ibu guru jurusan tunadaksa SLB Negeri 1 Bantul yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. 10. Kedua orang tua tercinta, Bapak Hadri Supriadi, dan Ibu Aah Marpuah,

kakakku Andriana dan Indriani, kakak iparku Sri Mulyati dan Dilla Okbanillah, serta kedua ponakanku tercinta Ghaida Nur Amalia dan Lauzah Hafsha Dzikrina terimakasih atas semua pengertian, kerja keras, kasih sayang, dukungan sertado’anya.

11. Teman-teman seperjuangan Sugianto, Gesit Ciptaningrum, Resti Lovita Gagad Ribowo, Cynthia Aristiyani, Dewi Juwita Susanti, Risa Umami, Amelia Fitriyati, Ai Mulyani, Yayu Yulianti dan teman-teman lain yang tidak


(10)

bisa disebutkan satu persatu terima kasih telah memberikan saran, semangat dan sumbangan pemikiran sehingga dapat terselesaikannya tugas akhir skripsi ini.

12. Teman-teman satu angkatan PLB kelas A 2011, terima kasih atas dukungan, kebersamaan, dan kenangan selama ini, kita lanjutkan perjuangan kita.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini.

Saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangatlah penulis harapkan.Semoga laporan ini dapat menjadi inspirasi dan sumber informasi untukmembangun dan memajukan dunia pendidikan khususnya PLB.


(11)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... ...i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ..ii

HALAMAN PERNYATAAN ... .iii

HALAMAN PENGESAHAN ... .vi

HALAMAN MOTTO ... ..v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... .viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... .xiv

DAFTAR GAMBAR ... ...xv

DAFTAR LAMPIRAN ... .xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Batasan Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Kegunaan Penelitian ... 9

G. Batasan Istilah ... 9

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Tentang Anak Cerebral Palsy ... 11

1. Pengertian Anak Cerebral Palsy ... 11

2. Karakteristik Anak Cerebral Palsy ... 13

B. Kajian Tentang Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian ... 16

1. Pengertian Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian ... 16

2. Tujuan Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian Anak Cerebral Palsy ... 18


(12)

3. Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian Anak Cerebral Palsy ... 20

4. Evaluasi Pembelajaran Pengembangan Diri Anak Cerebral Palsy ... 22

C. Kajian Tentang Metode Latihan (Drill) ... 25

1. Pengertian Metode Latihan (Drill) ... 25

2. Kelebihan dan Kelemahan Metode Latihan (Drill) ... 27

3. Tujuan Metode Latihan (Drill) ... 28

4. Pelaksanaan Metode Latihan (Drill) ... 30

D. Kerangka Pikir ... 32

E. Hipotesis ... 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 35

B. Desain Penelitian ... 36

C. Setting Penelitian ... 48

1. Tempat Penelitian ... 48

2. Waktu Penelitian ... 48

D. Subjek Penelitian ... 49

E. Teknik Pengumpulan Data ... 50

1. Observasi ... 50

2. Tes Kemampuan Berpakaian ... 51

3. Dokumentasi ... 52

F. Instrumen Penelitian ... 53

1. Panduan Observasi ... 54

2. Panduan Tes Kemampuan Berpakaian ... 56

G. Kriteria Keberhasilan ... 58

H. Uji Validitas Instrumen ... 58

I. Teknik Analisa Data ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 62

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 63

C. Deskripsi Kemampuan Pra Tindakan ... 65


(13)

1. Perencanaan Siklus I ... 70

2. Pelaksanaan Tindakan Siklus I ... 71

3. Deskripsi Hasil Post-test dan Observasi pada Tindakan Siklus I ... 78

4. Refleksi dan Hambatan Siklus I ... 91

E. Deskripsi Data Pelaksanaan Tindakan Siklus II ... 93

1. Perencanaan Siklus II ... 94

2. Pelaksanaan Tindakan Siklus II ... 94

3. Deskripsi Hasil Post-test dan Observasi pada Tindakan Siklus II ... 102

4. Refleksi Pelaksanaan Tindakan Siklus II ... 113

F. Pembuktian Hipotesis ... 115

G. Pembahasan Hasil Penelitian ... 117

H. Keterbatasan Penelitian ... 121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 123

DAFTAR PUSTAKA ... 124


(14)

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 1.Waktu dan kegiatan penelitian ... 49 Tabel 2. Kisi-kisi observasi pengembangan diri berpakaian ... 55 Tabel 3. Kisi-kisi tes kemampuan berpakaian... 57 Tabel 4. Hasil tes kemampuan pra tindakan pengembangan diri berpakaian anak

cerebral palsy ... 66 Tabel 5. Hasil post-test kemampuan berpakaian anak cerebral palsy kelas V

setelah diberikan tindakan siklus I ... 79 Tabel 6. Hasil post-test kemampuan berpakaian anak cerebral palsy setelah

diberikan tindakan siklus II ... 103 Tabel 7. Data hasil pre-test, post-test siklus I, dan post-test siklus II kemampuan

berpakaian anak cerebral palsy kelas V di SLB Negeri 1 Bantul ... 114 Tabel 8. Hasil kemampuan pra tindakan (pre-test), post-test siklus I, post-test


(15)

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 1. Alur pikir ... 34 Gambar 2. Desain penelitian tindakan kelas ... 36 Gambar 3.Grafik kemampuan pra tindakan (pre-test) anak cerebral palsy kelas v

di SLB Negeri 1 Bantul. ... 69 Gambar 4. Grafik peningkatan kemampuan berpakaian anak cerebral palsy pasca

tindakan (post-test) siklus I ... 81 Gambar 5. Grafik peningkatan kemampuan berpakaian anak cerebral palsy pasca

tindakan (post-test) siklus II ... 105 Gambar 6.Grafik hasil tes kemampuan berpakaian pra tindakan (pre-test), pasca


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Instrumen tes kemampuan berpakaian ... 128

Lampiran 2. Pedoman observasi siswa ... 130

Lampiran 3. Rencana pelaksanaan pembelajaran siklus I ... 132

Lampiran 4. Rencana pelaksanaan pembelajaran siklus II ... 148

Lampiran 5. Hasil tes kemampuan pra tindakan ... 164

Lampiran 6. Hasil tes pasca tindakan siklus I ... 170

Lampiran 7. Hasil tes pasca tindakan siklus II ... 176

Lampiran 8. Hasil observasi siswa siklus I ... 182

Lampiran 9. Hasil observasi siswa siklus II ... 212

Lampiran 10. Surat keterangan uji validitas Instrumen ... 242

Lampiran 11. Foto kegiatan ... 243

Lampiran 12. Surat izin penelitian FIP UNY ... 245

Lampiran 13. Surat izin penelitian secretariat daerah... 246

Lampiran 14. Surat izin penelitian BAPPEDA Bantul ... 247


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cerebral palsy merupakan salah satu jenis anak tunadaksa, yang menurut klasifikasinya termasuk anak tunadaksa yang mengalami gangguan pada sistem cerebral. Cerebral palsy is not a disease, but rather, a nonprogressive and noninfectious condition that effects body movement and muscle coordination (Smith dan Tyler, 2010:305). Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa cerebral palsy bukanlah suatu penyakit, melainkan kondisi nonprogressive dan tidak menular sehingga mempengaruhi gerakan tubuh dan koordinasi otot. Menurut Mohammad Efendi (2006:118) “cerebral palsy merupakan kelainan yang menyebabkan adanya gangguan pada aspek motorik karena adanya disfungsi otak”. Kelainan yang paling menonjol pada anak cerebral palsy yakni pada aspek motoriknya, akan tetapi juga mengalami gangguan penyerta lainnya seperti keterbatasan pada kemampuan sensorik, kecerdasan, gangguan bicara, komunikasi, serta gangguan emosi.

Gangguan motorik yang terjadi pada anak cerebral palsy menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan yang menggunakan kemampuan motorik khususnya kegiatan sehari-hari anak yaitu bantu diri

(Activity Daily Living). Anak cerebral palsy kurang mampu melakukan kegiatan sehari-harinya seperti makan, minum, berpakaian, dan mandi secara mandiri, akibatnya anak cerebral palsy kurang memiliki kemandirian dalam mengurus dirinya sendiri.


(18)

Kemandirian tidak tumbuh dengan sendirinya, akan tetapi diperlukan usaha dari masing-masing individu. Kemandirian merupakan salah satu kebutuhan penting bagi manusia, tidak terkecuali dengan anak cerebral palsy. Sependapat dengan Yusuf Hadi Miarso (2004:595) menjelaskan bahwa “kemampuan untuk mandiri ini penting karena keberhasilan dalam kehidupan akan diukur dari kesanggupan bertindak dan berpikir sendiri, tidak tergantung kepada rang lain”. Meskipun memiliki keterbatasan motorik, anak cerebral palsy masih dapat diajarkan atau dilatih untuk mengurus dirinya sendiri dengan keterampilan sederhana, yang dimaksudkan agar anak dapat mandiri, sehingga tidak bergantung pada orang lain.

Pembelajaran pengembangan diri merupakan program khusus di sekolah luar biasa. Pembelajaran pengembangan diri merupakan proses penyampaian informasi atau pengetahuan dimana terjadi interaksi antara guru dengan siswa dalam mengamati dan memahami sesuatu yang dipelajari untuk mencapai tujuan. Tujuan tersebut berupa kemampuan mengurus dirinya sendiri atau melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri agar tidak bergantung pada orang lain dan dapat hidup seperti orang pada umumnya. Aktivitas sehari-hari yang dimaksud adalah kebiasan-kebiasaan rutin yang biasa dilakukan seseorang seperti berpakaian, makan, istirahat, memelihara kesehatan, kemampuan untuk buang air kecil dan besar di tempat tertentu (kamar mandi, WC).

Menurut Endang Rochyadi dan Zaenal Alimin, (2005:119) “keterampilan mengurus diri meliputi aspek-aspek menolong dan merawat


(19)

diri; dalam hal menolong diri seperti berpakaian, makan, minum dan

toileting”. Bagi anak normal, hal tersebut sangat mudah, namun bagi anak

cerebral palsy hal ini perlu diajarkan, dan dipraktekan. Berpakaian merupakan salah satu kegiatan pengembangan diri yang tidak mudah dilakukan oleh anak cerebral palsy. Hal ini dikarenakan anak cerebral palsy

mengalami permasalahan motorik yang berdampak pada kesulitan berpakaian. Tujuan dari pembelajaran pengembangan diri berpakaian pada anak cerebral palsy yaitu agar dapat mengenakan pakaian sendiri sehingga tidak bergantung pada orang lain.

Berpakaian merupakan suatu rangkaian mulai dari memasukan tangan ke lubang lengan pakaian sampai memeriksa kembali apakah setiap kancing sudah masuk pada lawannya (merapikan pakaian). Merapikan pakaian dalam kegiatan ini memasukan semua kancing tepat pada lubang kancing lawannya dan lengan baju sejajar. Pada anak cerebral palsy kegiatan pengembangan diri berpakaian bukan merupkan hal yang mudah, hal ini dikarenakan anak

cerebral palsy mempunyai keterbatasan dalam kemampuan motorik.

Pembelajaran pengembangan diri berpakaian pada anak cerebral palsy

tentunya tidak semudah mengajarkannya pada anak normal. Bagi anak normal dengan fisik yang sempurna secara anatomis maupun fisik, kegiatan sehari-hari ini dapat dilatih sejak dini. Anak cerebral palsy mengalami gangguan pada koordinasi motorik yang mengakibatkan anak mengalami beberapa kesulitan dalam menggunakan alat geraknya sehingga dalam berpakaian tidak dapat semudah dan secepat anak normal. Keterbatasan


(20)

motorik yang dimiliki anak cerebral palsy tersebut membuat pembelajaran ini membutuhkan kesabaran dan adanya variasi dan kombinasi metode.

Berpakaian merupakan rangkaian kegiatan pengembangan diri yang sangat kompleks dibanding dengan kegiatan lainnya. Dalam kegiatan tersebut anak cerebral palsy membutuhkan koordinasi anggota gerak dan kemampuan anggota badan lainnya. Koordinasi ini meliputi koordinasi antara anggota gerak tangan, mata, serta melibatkan kemampuan untuk mengetahui sisi kanan dan sisi kiri. Dibandingkan dengan anak normal, dalam berpakaian anak cerebral palsy membutuhkan waktu yang lama. Kegiatan berpakaian pada dasarnya dapat diajarkan oleh orangtua di rumah maupun guru di sekolah.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di SLB 1 Bantul pada bulan Agustus 2014, diketahui bahwa orangtua masih mengalami kesulitan dalam mengajarkan memakai pakaian kepada anak. Kondisi anak cerebral palsy yang kompleks dengan gangguan motoriknya membuat orangtua mengalami kesulitan dalam mengajarkan anak berpakaian, sehingga dalam mengenakan pakaian anak masih belum mandiri dan lebih bergantung pada orang lain. Disisi lain, anak memiliki gerakan motorik tak terkendali dan gerakan yang kaku.

Hasil observasi yang telah dilakukan di SLB 1 Bantul diketahui anak

cerebral palsy kelas V mengalami kekakuan atau spastik pada tangan, yang mengakibatkan anak mengalami kesulitan pada saat memakai pakaian seperti memasukan tangan ke lubang lengan pakaian, membetulkan krah pakaian,


(21)

dan mengancingkan pakaian. Terbukti pada saat kancing baju yang dipakai anak ada yang lepas, anak belum mampu membetulkan kancing baju yang lepas tersebut secara benar dan mandiri, masih di bantu oleh orang lain.

Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti dan wawancara dengan guru kelas saat pembelajaran pengembangan diri berpakaian di kelas V SLB Negeri 1 Bantul, guru tidak menjelaskan tentang tata cara atau langkah-langkah berpakaian secara detail. Setelah pembelajaran pengembangan diri berpakaian selesai, guru mengingatkan siswa tentang apa yang sudah diajarkan. Selain anak cerebral palsy kelas V di SLB Negeri 1 Bantul belum mengenal bagian-bagian pakaian seperti bagian depan dan belakang pakaian, bagian lengan kanan dan kiri, kerah, kancing, dan lubang kancing serta belum mengetahui tata cara berpakaian yang baik dan benar.

Berbagai permasalahan di atas jika tidak diperbaiki maka akan berdampak pada terhambatnya kemandirian anak. Berdasarkan fakta dan masalah yang ada di kelas V D1 SLB Negeri 1 Bantul maka peneliti dan guru sepakat bahwa kemampuan bina diri berpakaian anak cerebral palsy masih rendah, anak belum mengenal bagian-bagian pakaian, selain anak belum mampu menggunakan pakaian secara benar dan mandiri tanpa bantuan orang lain. Hal ini terlihat ketika kancing baju anak ada yang lepas, anak belum mampu membetulkannya sendiri, masih memanggil orangtua atau guru untuk membetulkannya. Kemampuan pengembangan diri berpakaian anak cerebral palsy kelas V D1 di SLB Negeri 1 Bantul perlu ditingkatkan, karena anak akan hidup di masyarakat dan lingkungan keluarga.


(22)

Peneliti mendiskusikan masalah rendahnya kemampuan anak dalam hal pengembangan diri khususnya berpakaian dengan guru kelas. Dari hasil diskusi, peneliti dan guru memberikan upaya pemecahan masalah dalam meningkatkan kemampuan berpakaian anak cerebral palsy dengan menerapkan metode latihan atau (drill) tata cara berpakaian secara bertahap dan berulang-ulang dengan tujuan memperbaiki dan mengajarkan tata cara ataupun langkah-langkah berpakaian yang baik dan benar pada anak. Tindakan yang akan dilakukan terkait dengan masalah pengembangan diri khususnya bina diri berpakaian anal cerebral palsy adalah dengan metode latihan (drill).

Metode latihan (drill) disebut juga metode training, yaitu suatu cara mengajar dengan menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu (Jamal Ma’mur Asmani, 2012:37). Syaiful Sagala (2006: 219) mengemukakan bahwa “metode latihan merupakan suatu cara mengajar yang baik untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Juga sebagai sarana untuk memperoleh ketangkasan, ketepatan, kesempatan, dan keterampilan”. Melalui metode latihan dalam pembelajaran pengembangan diri berpakaian, diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berpakaian anak cerebral palsy, sehingga siswa dapat melakukan pengembangan diri memakai pakaian secara mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Tahapan yang ada pada metode latihan (drill) pembelajaran tata cara berpakaian yaitu mengenal bagian-bagian pakaian, memakai pakaian, dan mengancingkan pakaian. Dengan metode latihan (drill) anak diajak langsung untuk mempraktekan


(23)

bagaimana cara berpakaian secara berulang-ulang. Latihan yang dilakukan secara berulang-ulang diharapkan anak lebih terampil dalam berpakaian seiring berjalannya waktu.

Penelitian yang relevan dalam penelitian ini antara lain yang dilakukan oleh Aulia Widya Putri (2012) dalam penelitiannya berjudul “Peningkatan Keterampilan Mencuci Rambut Anak Tunagrahita Kategori Sedang Melalui Metode Latihan (Drill)”. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui adanya peningkatan keterampilan mencuci rambut dengan penggunaan metode latihan (drill). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penerapan metode latihan (drill) dapat meningkatkan keterampilan mencuci rambut anak tunagrahita kategori sedang.

Berdasarkan berbagai penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapi oleh anak dan hasil penelitian tentang penggunaan metode latihan (drill) sebagai metode pembelajaran, penulis ingin mengadakan penelitian yaitu penggunaan metode latihan (drill) pada pembelajaran pengembangan diri untuk meningkatkan kemampuan berpakaian anak cerebral palsy kelas V di SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta.


(24)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah pada penelitian ini yaitu:

1. Pengetahuan anak tentang bagian-bagian pakaian dan cara berpakaian yang baik dan benar masih kurang.

2. Tata cara atau langkah-langkah berpakaian belum diajarkan secara detail. 3. Kemampuan pengembangan diri berpakaian anak cerebral palsy masih

rendah, sehingga masih bergantung pada orang lain.

4. Metode yang digunakan dalam pembelajaran pengembangan diri khususnya pengembangan diri berpakaian kurang tepat.

C. Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada masalah yaitu kemampuan pengembangan diri berpakaian anak cerebral palsy kelas V di SLB Negeri 1 Bantul masih rendah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: “apakah penggunaan metode latihan (drill) dapat meningkatkan kemampuan pengembangan diri berpakaian anak cerebral palsy kelas V di SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta?”.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengembangan diri berpakaian anak cerebral palsy dengan metode latihan (drill).


(25)

F. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sacara teoritis dan praktis. Adapun manfaat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan menambah khasanah keilmuan dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang pendidikan luar biasa, terutama yang berhubungan dengan pembelajaran pengembangan diri khususnya pengembangan diri berpakaian bagi anak

cerebral palsy. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi siswa hasil penelitian ini dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan pengembangan diri berpakaian.

b. Bagi guru maka penelitian ini sebagai salah satu rujukan untuk merencanakan proses pembelajaran, serta salah satu bahan refleksi dalam meningkatkan pembelajaran pengembangan diri khususnya berpakaian.

c. Bagi sekolah sebagai bahan pertimbangan sekolah dalam penetapan kebijakan pelaksanaan kurikulum sekolah dengan pemanfaatan metode dalam pembelajaran pengembangan diri.

G. Definisi Operasional

1. Metode latihan (drill) adalah suatu teknik/metode yang diartikan sebagai suatu cara mengajar di mana siswa melakukan kegiatan-kegiatan latihan secara berulang-ulang, agar siswa memiliki ketangkasan atau keterampilan


(26)

yang lebih tinggi dari apa yang telah telah dipelajari sebelumnya. Latihan yang praktis, mudah dilakukan serta teratur melaksanakannya membantu anak dalam meningkatkan penguasaan keterampilan.

2. Pembelajaran pengembangan diri berpakaian adalah serangkaian kegiatan melatih dan mengajarkan anak tentang keterampilan berpakaian dengan pembinaan dan latihan terencana dan terprogram terhadap individu/anak yang membutuhkan layanan khusus, yaitu individu yang mengalami kesulitan mengurus diri, dalam hal ini yaitu berpakaian. Sehingga dengan ini anak cerebral palsy dapat berkatifitas sehari-hari tanpa bantuan, dengan tujuan meminimalisir dan atau menghilangkan ketergantungan terhadap bantuan orang lain dalam melakukan aktifitasnya khususnya memakai pakaian. Pakaian yang digunakan dalam pengembangan diri berpakaian adalah kemeja berkancing.

3. Anak cerebral palsy adalah anak yang memiliki kelainan yang menyebabkan gangguan pada aspek motorik karena adanya disfungsi otak, sehingga anak mengalami gangguan gerak yang mengakibatkan terganggunya aktivitas bina diri, terutama pada saat berpakaian. Subyek dalam penelitian ini adalah anak cerebral palsy kelas V di SLB Negeri 1 Bantul. Anak mengalami gangguan pada aspek motorik serta spastic pada salah satu tangannya, sehingga mengakibatkan anak mengalami kesulitan dalam pengembangan diri khususnya berpakaian.


(27)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Tentang Anak Cerebral palsy 1. Pengertian Anak Cerebral palsy

Anak cerebral palsy merupakan individu dengan gangguan fisik. Adanya gangguan fisik tersebut yang menurut penggolongannya anak

cerebral palsy tergolong anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral. Menurut A. Salim Choiri (1995: 36) “Menurut asal katanya terdiri atas dua kata yaitu cerebral, cerebrum, yang berarti otak, dan palsy yang berarti kekakuan”. Menurut Hallahan, Kaufman, dan Pullen (2009:494) “cerebral palsy is not a disease. It’s a nonprogressive neurological injury. It’s a disorder of muscle control and coordination caused by injury to brain before or during birth or in early childhood”. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa cerebral palsy bukan merupakan suatu penyakit, melainkan adanya kerusakan syaraf yang tidak dapat disembuhkan. Ketidakteraturan hubungan dan pengendalian otot yang disebabkan oleh kerusakan pada otak sebelum atau selama dilahirkan atau di awal masa kanak-kanak.

Mohammad Efendi (2006:118) mengemukakan bahwa “gangguan fisik pada anak cerebral palsy disebabkan oleh adanya disfungsi otak yang menyebabkan adanya gangguan pada aspek motorik”. Kelainan syaraf motorik yang terjadi pada anak cerebral palsy mengakibatkan


(28)

adanya kelainan pada sistem gerak. Menurut Martin (Hallahan & Kauffman, 2009:498).

“Cerebral palsy is a disorder of movement and posture. It is caused by a brain injury that occurred before birth, during birth, or during the first few years after birth. The injury hinders the brain’s ability to control the muscles of the body properly. The brain tells our muscles how to move and controls the tension of the muscles. Without the proper messages coming from the brain, infants with cerebral palsy have difficulty learning basic motor skills such as crawling, sitting up, or walking.”

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa cerebral palsy adalah kelainan gerakan dan postur tubuh. Ini dikarenakan luka pada otak yang terjadi sebelum kelahiran, selama kelahiran atau beberapa tahun setelah kelahiran. Kerusakan dalam otak merintangi kemampuan untuk mengontrol ketepatan otot tubuh. Otak memerintah otot bagaimana menggerakan dan mengontrol ketegangan otot. Tanpa tepatnya pesan yang datang dari otak, anak dengan kondisi cerebral palsy akan memiliki kesulitan dalam belajar, melakukan kemampuan gerak dasar seperti merangkak, duduk, dan berjalan. Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa cerebral palsy merupakan suatu kondisi kelainan gerak dan postur tubuh yang disebabkan kerusakan-kerusakan pada otak yang akan menganggu aktifitas motorik anak.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak

cerebral palsy adalah anak yang mengalami gangguan motorik yang disebabkan karena adanya disfungsi otak, sehingga mengalami gangguan gerak yang mengakibatkan terganggunya anak dalam melakukan kegiatan sehari-hari tidak terkecuali dalam berpakaian. Adanya kelainan pada pusat


(29)

motorik, menyebabkan anak cerebral palsy mengalami gangguan dalam mengontrol gerak, hal ini mengakibatkan beberapa kesulitan seperti duduk, berjalan, dan melakukan aktivitas pengembangan diri.

2. Karakteristik Anak Cerebral Palsy

Karakteristik anak cerebral palsy berhubungan dengan kelainan atau gangguan yang ditimbulkannya. Musjafak Assjari (1995:66) mengemukakan “Karakteristik anak tunadaksa secara khusus dapat dibedakan dari sudut kelainan (1) system cerebral dan (2) system

musculus skeletal”. Subjek yang mengalami kelainan sistem cerebral

adalah anak cerebral palsy . Secara spesifik anak cerebral palsy

mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Gangguan Motorik

Anak cerebral palsy mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan

extrapyramidal. Kedua sistem ini berfungsi mengatur sistem motorik manusia sehingga anak-anak cerebral palsy mengalami gangguan fungsi motoriknya. Gangguan motorik berupa kekakuan, kelumpuhan, gerakan-gerakan yang tidak dapat dikendalikan, gerakan ritmis, dan gangguan keseimbangan. Gangguan motorik yang terjadi pada anak

cerebral palsy juga menyebabkan kesulitan untuk berpindah tempat, bergerak, dan berjalan. Kesulitan tersebut terjadi karena salah satu atau kedua kakinya lumpuh


(30)

b. Gangguan Sensoris

Anak cerebral palsy sering ditemui menderita gangguan sensoris. Gangguan sensoris yang dimaksudkan yaitu kelainan penglihatan, pendengaran, dan kemampuan kesan gerak raba.

c. Tingkat Kecerdasan

Anak cerebral palsy memiliki tingkat kecerdasan yang berentang, hal ini dipengaruhi oleh letak kerusakan pada otak dan berat ringannya kerusakan otak. Menurut Hardman (Musjafak Assjari, 1995:68), sebagian cerebral palsy , sekitar 45% mengalami kelatarbelakangan mental, 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan di atas rata-rata sedangkan sisanya sedikit di bawah rata-rata. Kecerdasan merupakan modal utama untuk seorang anak menerima pembelajaran.

d. Kemampuan Persepsi

Sebagian anak cerebral palsy mengalami kelainan persepsi dikarenakan kesalahan menafsirkan dan menganalisis rangsang yang diterima otak melalui syaraf sensoris. Syaraf penghubung dan jaringan syaraf otak pada anak cerebral palsy mengalami gangguan atau kerusakan sehingga proses persepsi terganggu.

e. Kemampuan Kognisi

Anak cerebral palsy mengalami hambatan dalam kognisi sebagai akibat dari kelainan otak sehingga menganggu fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan dan bahasanya. Hal ini


(31)

menghambat kemampuan anak dalam menyimpan, menganalisis, dan mengaplikasikan pengetahuan yang susah di dapat.

f. Kemampuan Berbicara

Anak cerebral palsy mengalami gangguan bicara disebabkan oleh kelainan motorik otot-otot bicara dan kurangnya proses interaksi dengan lingkungan. Otot-otot bicara yang lumpuh atau kaku seperti lidah, bibir, dan rahang bawah akan menganggu pembentukan artikulasi yang benar.

g. Simbolisasi

Simbolisasi merupakan bentuk tertinggi dari kemampuan mental dan memerlukan konsentrasi secara abstrak. Pada anak cerebral palsy simbol yang diterima melalui pendengaran, penglihatan tidak dapat dimengerti dengan baik dikarenakan rusaknya jaringan syaraf penghubungnya.

h. Emosi dan Penyesuaian Sosial

Anak cerebral palsy kurang memiliki konsep diri yang baik. Konsep diri ini bukan bawaan tetapi diperoleh anak melalui interaksi lingkungan keluarga dan masyarakat. Sikap penolakan dari keluarga dan masyarakat akan membuat emosi dan penyesuaian diri anak terhadap lingkungan terganggu.


(32)

B. Kajian Tentang Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian 1. Pengertian Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian

Pembelajaran pengembangan diri diajarkan atau dilatihkan pada anak berkebutuhan khusus mengingat dua aspek yang melatar belakanginya. Latar belakang yang utama yaitu aspek kemandirian yang berkaitan dengan aspek kesehatan, dan latar belakang lainnya yaitu berkaitan dengan kematangan sosial budaya. Beberapa kegiatan rutin yang perlu diajarkan meliputi kegiatan keterampilan mandi, makan, menggosok gigi, dan ke kamar kecil (toilet) merupakan kegiatan yang erat kaitannya dengan aspek kesehatan seseorang. Kegiatan atau keterampilan bermobilisasi (mobilitas), berpakaian, dan merias diri (grooming) selain berkaitan dengan aspek kesehatan juga berkaitan dengan aspek sosial budaya (Rini Hildayani, 2007:69).

Pembelajaran bina diri adalah serangkaian kegiatan pembinaan dan latihan yang dilakukan oleh guru professional dalam pendidikan khusus, secara terencana dan terprogram terhadap individu yang membutuhkan layanan khusus, sehingga dapat melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, dengan tujuan meminimalisasi ketergantungan terhadap bantuan orang lain dalam melakukan aktivitas (Rini Hildayani, 2007:72). Pendapat lain dikemukakan oleh Gunarhadi (2005: 120)

“Pembelajaran bina diri adalah proses komunikatif, interaktif antara sumber belajar, guru, dan siswa untuk suatu keterampilan yang berkaitan dengan mengurus badannya sendiri atau diri sendiri (mandi, makan, kebersihan, dan lain-lain) yang nantinya menuju pada tujuan akhir yang ingin dicapai yaitu agar anak dapat melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain”.


(33)

Berdasarkan pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa pembelajaran pengembangan diri ialah suatu kegiatan pembinaan dan latihan yang dilakukan secara terencana dan terprogram terhadap individu yang memerlukan layanan khusus. Dalam pembelajaran pengembangan diri siswa diberikan suatu keterampilan yang berkaitan dengan mengurus dirinya sendiri dengan tujuan agar anak dapat melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain. Dari beberapa pembelajaran pengembangan diri terdapat pembelajaran pengembangan diri berpakaian, yaitu pembelajaran yang mengajarkan anak cerebral palsy mengenai kemandirian melakukan keterampilan memakai pakaian.

Rostamailis (2005:198), mengemukakan bahwa “berpakaian (berbusana) bukan hanya menutupi tubuh saja, tetapi memerlukan keserasian atau kecocokan antara busana atau pakaian yang dipakai dengan si pemakai”. Berpakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia untuk menutupi, dan menghiasi tubuh sehingga berpenampilan menarik (Maria J. Wantah, 2007:186). Walaupun telah bersolek lengkap dengan menggunakan tata rias muka, rambut yang rapih, dan cantik tetapi pakaian yang dipakai tidak sesuai, maka akan mengurangi penampilan. Untuk itu, maka perlu menggunakan pakaian yang serasi dan sesuai dengan tempatnya. Berpakaian merupakan perwujudan dari sifat dasar manusia yang mempunyai rasa malu sehingga berusaha selalu menutupi tubuhnya.


(34)

Pakaian (busana) menurut bahasa adalah segala sesuatu yang menempel pada tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Menurut istilah, busana adalah pakaian yang kita kenakan setiap hari dari ujung rambut sampai ujung kaki beserta segala perlengkapannya, seperti tas, sepatu, dan segala macam perhiasan/aksesoris yang melekat padanya. Berpakaian merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena kalau tidak berpakaian, maka orang akan menganggap gila atau tidak sopan. Untuk membantu anak dalam meningkatkan kemampuan berpakaian, maka memerlukan waktu dan kesabaran dari orang tua.

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran pengembangan diri berpakaian adalah suatu rangkaian kegiatan mengajarkan anak bagaimana cara mengenakan pakaian untuk menutupi tubuh atau sesuatu yang menempel pada tubuh. Pembelajaran pengembangan diri berpakaian harus diterapkan pada anak cerebral palsy

yang mengalami kesulitan dalam mengurus diri yaitu memakai pakaian. Sehingga dengan ini mereka dapat beraktivitas sehari-hari tanpa bantuan, dengan tujuan meminimalisir dan atau menghilangkan ketergantungan terhadap bantuan orang lain dalam melakukan aktivitasnya khususnya dalam mengenakan pakaian.

2. Tujuan Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian Anak Cerebral palsy

Pembelajaran pengembangan diri sebenarnya merupakan latihan mengaktualkan kemampuan diri dalam kehidupan sehari-hari. Menurut


(35)

Maria J. Wantah (2007:13), pembelajaran bina diri diberikan agar anak dapat:

a. Hidup secara mandiri dan mampu menyesuaikan diri di tengah-tengah kehidupan keluarga.

b. Menyesuaikan diri dalam pergaulan dengan teman sebaya, baik di sekolah maupun di masyarakat.

c. Menjaga kebersihan dan kesehatan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain.

d. Mengurus keperluan dirinya sendiri dan dapat memecahkan masalah sederhana.

e. Membantu orangtua dalam mengurus rumah tangga, baik dalam kebersihan, ketertiban, dan pemeliharaan dalam rumah tangga.

Sedangkan menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Bina Diri (2007:6), menyebutkan bahwa “bina diri merupakan upaya pendidikan yang diberikan secara khusus untuk menumbuhkembangkan kemampuan motorik dan sikap percaya untuk melakukan kegiatan sehari-hari”. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi dari pembelajaran pengembangan diri adalah agar anak dapat hidup mandiri dan tidak tergantung pada orang lain yakni dapat mengurus dan membersihkan dirinya sendiri, memliki rasa percaya diri, dapat hidup wajar dan mampu menyesuaikan diri di tengah-tengah kehidupan keluarga, sekolah, dan masyarakat.


(36)

Pembelajaran pengembangan diri berpakaian sebagai proses belajar untuk melatih dan mengajari anak cerebral palsy tentang hal yang berhubungan dengan kemandirian anak dalam kehidupan sehari-hari. Kartini Kartono (2005: 243) menyatakan bahwa “kemandirian adalah kemampuan untuk berdiri sendiri di atas kaki sendiri, dengan keberanian dan tanggung jawab sendiri”. Sedangkan menurut Gendon Barus dalam Purwaka Hadi (2005: 267) kemandirian atau autonomy berarti kemampuan untuk memerintah diri sendiri, atau mengatur kepentingan sendiri. Oleh karena itu, anak cerebral palsy harus diberikan kesempatan untuk belajar secara optimal, kapan saja, dan dimana saja sehingga kemandirian anak dapat terlatih. Penerapannya terwujud dengan memberikan kesempatan pada anak cerebral palsy untuk mendengarkan, melihat, mengamati, dan melakukannya. Tujuan pembelajaran pengembangan diri berpakaian adalah agar anak cerebral palsy dapat melakukan keterampilan mengurus dirinya sendiri dengan mandiri tanpa bantuan orang lain dan agar anak bertanggungjawab pada hal yang berhubungan dengan dirinya sendiri, sebagai contoh ialah melakukan keterampilan berpakaian.

3. Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian Anak Cerebral Palsy Berdasarkan kurikulum bina diri dan bina gerak (Depdikbud, 1997) tata cara pembelajaran memakai baju sendiri bagi anak cerebral palsy


(37)

a. Mengenalkan bagian-bagian pakaian kepada anak yaitu bagian depan, bagian belakang, lubang lengan pakaian, kancing dan lubang kancing serta krah pakaian.

b. Memasukan tangan kanan ke lubang lengan bagian kanan pakaian. c. Memasukan tangan kiri ke lubang lengan bagian kiri pakaian,

kemudian menarik baju ke depan dan membetulkan letak bahu baju serta membetulkan krah.

d. Memasukan biji kancing ke lubang kancing pakaian yang sejajar secara berurutan dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas.

e. Memastikan setiap kancing masuk ke lubang yang sejajar.

Menurut Maria. J Wantah (2007:192) melatih anak untuk mengenakan kemeja yaitu mengikuti langkah-langkah berikut:

a. Mengambil kemeja.

b. Memperhatikan model kemeja. c. Membuka kancing kemeja.

d. Anak memasukan tangan kanan ke lubang lengan bagian kanan, dan memasukan tangan kiri ke lubang lengan bagian kiri.

e. Anak merapikan kemeja dengan mempertemukan kelim bawah bagian kanan dan kiri sehingga menjadi sejajar.

f. Anak mengancingkan kancing kemeja ke lubang yang sejajar secara berurutan dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas.

Mengajarkan pengembangan diri berpakaian pada anak cerebral palsy dengan segala bentuk kelainannya membutuhkan cara-cara atau trik


(38)

khusus yang berbeda-beda sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki, tetapi pada dasarnya yang pertama harus diperhatikan adalah guru harus membuat anak mengerti bagaimana cara memakai pakaian yang benar.

4. Evaluasi Pembelajaran Pengembangan Diri Anak Cerebral palsy Secara istilah evaluasi dapat diartikan sebagai suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu. Menurut Nana Sudjana (2009: 3) “evaluasi merupakan proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (dalam Anas Sudijono, 2008:76) menjelaskan evalution refer to the act or process to determining the value of something. Penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa evaluasi sebagai suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Terdapat dua teknik dalam melaksanakan evaluasi yaitu teknik nontes dan tes. Menurut Suharsimi Arikunto (2012: 41) teknik nontes digolongkan menjadi 6 teknik yaitu; (1) skala bertingkat (rating scale), (2) Kuesioner (questionair), (3) daftar cocok (check list); (4) wawancara (interview); (5) Pengamatan (observation); (6) riwayat hidup. Pelaksanaan evaluasi pembelajaran pada anak cerebral palsy pada dasarnya sama halnya dengan anak-anak di sekolah regular, akan tetapi diperlukan modifikasi dalam pelaksanaannya, yang dimaksudkan supaya proses evaluasi dapat sesuai dengan kemampuan anak.


(39)

Pelaksanaan evaluasi pada anak berkebutuhan khusus yang juga berarti dapat dilakukan pada anak cerebral palsy menurut (Deddy Kustawan: 2010) dapat dilakukan melalui : tes tertulis, observasi, tes kinerja, penugasan, tes lisan, dan penilaian portofolio. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa evaluasi pembelajaran adalah suatu proses dalam memberikan nilai atau penentuan nilai berdasarkan dengan pertimbangan ataupun kriteria tertentu yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode evaluasi, diantaranya tes tertulis, observasi, tes kinerja dan lain sebagainya. Menurut Slamet Riadi, dkk (1984: 137) fungsi evaluasi adalah:

1) Petunjuk untuk bimbingan perkembangan murid seorang demi seorang, 2) Untuk mengetahui letak kelemahan dan kekuatan segi belajar murid pada umumnya, 3) Petunjuk untuk keperluan seleksi, pengelompokkan atau untuk penentuan keberhasilan seorang muruid, 4) Sebagai dasar untuk memperbaiki program pengajaran pada kurikulum sekolah.

Berdasarkan fungsi evaluasi yang telah diungkapkan, maka pelaksanaan evaluasi tidak semata-mata untuk menilai hasil belajar siswa, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk angka. Akan tetapi evaluasi dapat berfungsi sebagai indikator pencapaian siswa terkait dengan pemahaman materi, yang kemudian dapat digunakan sebagai rujukan dalam memberikan pembelajaran kepada siswa. Pelaksanaan evaluasi juga sebagai proses refleksi terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Berdasarkan kajian di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan evaluasi tes kinerja atau perbuatan. Pelaksanaan tes perbuatan berupa


(40)

aktifitas yang dilakukan subjek untuk dapat menyelesaikannya dengan baik dan benar. Evaluasi tes kinerja atau perbuatan ini berupa tes kemampuan berpakaian baik sebelum diberikan tindakan maupun setelah diberikan tindakan.

Menurut Sumiati dan Asra (2009: 204) terdapat tiga alat pada tes kinerja atau perbuatan untuk mengevaluasi yaitu “(1) daftar tugas yang harus diselesaikan; (2) bahan serta alat yang diperlukan; (3) lembaran pengamatan untuk mengamati siswa menyelesaikan tugas.” Sedangkan masih menurut Sumiati dan Asra (2009: 58) dikatakan bahwa “dicapainya keterampilan yang diperoleh seseorang ditandai oleh adanya kemampuan menampilkan bentuk-bentuk gerakan tertentu dalam melakukan suatu kegiatan.” Oleh karenanya, penilaian yang dilakukan dalam tes kemampuan berpakaian dalam penelitian ini didasarkan pada kemampuan anak melakukan kegiatan berpakaian. Kemampuan anak dalam melakukan langkah-langkah berpakaian sesuai urutan latihan yang ada di dalam metode latihan (drill) dibuat kedalam indikator-indikator dimana dalam setiap indikator tersebut diberikan skoring. Semakin tinggi capaian subjek di dalam indikator ketercapaian melakukan aktivitas maka semakin tinggi skor yang diberikan. Teknik penilaian akhir yang diberlakukan yaitu jumlah skor yang diperoleh subjek dibagi dengan jumlah total skor kemudian dikalikan 100.

Indikator keberhasilan penggunaan metode latihan (drill) dalam pembelajaran pengembangan diri berpakaian yaitu hasil pasca tindakan


(41)

lebih besar dari hasil pra tindakan serta hasil pasca tindakan lebih dari atau sama dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan yaitu 60% dari keseluruhan materi yang diberikan. Apabila kemampuan berpakaian anak meningkat, dengan mampu melakukan kegiatan berpakaian sesuai urutan yang ada dalam metode latihan (drill) secara mandiri dan memenuhi kriteria ketuntasan minimal sebesar 60%, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode latihan (drill) pada pembelajaran pengembangan diri dapat meningkatkan kemampuan berpakaian anak cerebral palsy kelas V di SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta.

C. Kajian Tentang Metode Latihan (Drill) 1. Pengertian Metode Latihan

Menurut Wina Sanjaya (2007:150) mengemukakan bahwa “metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana pembelajaaran yang sudah disusun agar tujuan dapat tercapai secara optimal”. Salah satu metode yang digunakan dalam proses pembelajaran ialah metode latihan atau (drill). Sugihartono, (2007:82) mengemukakan bahwa “metode latihan atau drill merupakan metode penyampaian materi melalui upaya penanaman terhadap kebiasaan-kebiasaan tertentu”. Melalui penanaman terhadap kebiasaan-kebiasaan-kebiasaan-kebiasaan tertentu ini diharapkan siswa dapat menyerap materi secara optimal.

Roestiyah N.K. (2001:125) mengemukakan bahwa “metode latihan ialah suatu teknik atau metode yang dapat diartikan sebagai suatu cara


(42)

mengajar dimana siswa melaksanakan kegiatan-kegiatan latihan, agar siswa memiliki ketangkasan atau keterampilan yang lebih tingkat dari apa yang telah dipelajari”. Metode drill sebagai metode mengajar merupakan cara mengajar dengan memberikan latihan secara berulang –ulang terhadap apa yang telah diajarkan guru sehingga diperoleh pengetahuan dan keterampilan tertentu. Hal tersebut sejalan dengan teori belajar behaviorisme yaitu pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan (Heri Rahyubi, 2012: 16). Selain itu, sejalan pula dengan hukum latihan (law of exercise) yang dikemukakan oleh Thorndike (dalam Evarini Siregar dan Hartini Nara, 2011: 29) “jika respon terhadap stimulus diulang-ulang, maka akan memperkuat hubungan antara respon dengan stimulus, sebaliknya jika respon tidak digunakan, hubungan dengan stimulus semakin lemah”. Metode drill cocok untuk mengajarkan keterampilan motorik maupun keterampilan mental. Sebagai sebuah metode, drill adalah cara memberlajarkan siswa untuk mengembangkan kemahiran dan keterampilan serta dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan (Abdul Majid, 2013:214).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode latihan (drill) merupakan metode penyampaian materi melalui upaya penanaman terhadap kebiasaan-kebiasaan tertentu. Melalui penanaman terhadap kebiasaan-kebiasaan tertentu ini, diharapkan siswa dapat menyerap materi secara optimal. Drill merupakan suatu cara


(43)

mengajar dengan memberikan latihan-latihan terhadap apa yang telah dipelajari siswa sehingga memperoleh suatu keterampilan tertentu. Metode ini menekankan upaya pembentukan pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada proses pengulangan kegiatan atau perbuatan tertentu. Dengan begitu anak cerebral palsy dilatih untuk melakukan pengembangan diri berpakaian secara berulang-ulang sehingga anak terampil dan mandiri dalam menggunakan pakaian dan tidak bergantung pada orang lain. 2. Kelebihan dan Kelemahan Metode Latihan (Drill)

Metode latihan memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan ketika di terapkan dan digunakan dalam proses pembelajaran. Haryanto, dkk (2003:42) terdapat kelebihan dan kekurangan metode latihan, sebagai berikut:

a. Kelebihan Metode Latihan

1) Anak mendapatkan kecakapan motorik, seperti menulis, melafalkan huruf, membuat dan menggunakan alat-alat.

2) Anak mendapatkan kecakapan mental seperti perkalian, penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan tanda-tanda atau simbol.

3) Membentuk kebiasaan sehingga dapat menambah kecepatan dan ketepatan pelaksanaan.

4) Anak dapat memperoleh ketangkasan dan keterampilan dalam melakukan sesuatu sesuai dengan yang akan dipelajari.


(44)

5) Menumbuhkan rasa percaya diri anak karena berhasil memperoleh keterampilan khusus yang berguna untuk kehidupan sehari-hari. 6) Guru dapat memperhatikan tindakan dan perbuatan peserta didik

saat pembelajaran berlangsung. b. Kelemahan Metode Latihan

1) Menghambat inisiatif karena anak lebih diarahkan pada satu kebiasaan tertentu.

2) Latihan yang dilakukan secara berulang-ulang menyebabkan anak mudah bosan.

3) Membentuk kebiasaan yang kaku karena anak lebih banyak ditujukan untuk memberikan respon secara otomatis.

Berdasarkan kelebihan dan kelemahan metode latihan yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa latihan mempunyai banyak kelebihan maupun kekurangan dalam proses belajar mengajar. Dengan melihat kelebihan metode latihan, guru atau pelatih dapat menentukan bahwa metode ini dapat membuat anak menjadi lebih tangkas dan terampil. Penggunan metode latihan (drill) dalam pembelajaran pengembangan diri berpakaian menjadikan anak menjadi lebih terampil dalam berpakaian sehingga anak tidak selalu bergantung pada orang lain.Sedangkan dengan melihat kelemahan, maka guru harus dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada dalam metode latihan (drill) supaya anak tidak cenderung bosan ketika pelajaran berlangsung.


(45)

3. Tujuan Metode Latihan (Drill)

Menurut Roestiyah N.K. (2001:125) tujuan metode drill sebagai berikut: a. Memiliki keterampilan motoris/gerak; seperti menghafal kata-kata,

menulis, menggunakan alat/membuat suatu benda; melaksanakan gerak dalam berolahraga

b. Mengembangkan kecakapan intelek, seperti mengalikan, membagi, menjumlahkan, mengurangi, menarik akar dalam hitung mencongkak, mengenal benda/bentuk dalam pelajaran matematika, ilmu pasti, ilmu kimia, tanda baca dan sebagainya.

c. Memiliki kemampuan menghubungkan antara sesuatu keadaan dengan hal lain, seperti hubungan sebab akibat banyak hujan-banjir; antara tanda huruf dengan bunyi –ng –ny dan sebagainya; penggunaan lamban/simbol di dalam peta dan lain-lain.

Berdasarkan pernyataan di atas, tujuan metode latihan atau drill

adalah untuk memperoleh suatu ketangkasan, keterampilan tentang sesuatu yang dipelajari anak dengan melakukannya secara praktis pengetahuan yang dipelajari anak tersebut sehingga siap dipergunakan sewaktu-waktu apabila diperlukan. Menjadikan anak lebih memperhatikan dan memahami nilai dari latihan itu sendiri, sehingga anak memiliki keterampilan. Kemampuan dan kebutuhan anak masing-masing dapat tersalurkan atau dikembangkan, dengan demikian diharapkan bahwa tujuan latihan akan betul-betul bermanfaat bagi anak untuk menguasai kecakapan hidup sehari-hari. Latihan-latihan yang diberikan juga dapat menyadarkan anak akan kegunaan atau manfaat bagi kehidupannya sekarang dan masa depan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan penggunaan metode drill adalah untuk melatih kecakapan-kecakapan motoris dan mental untuk memperkuat asosiasi yang dibuat, juga sebagai sarana untuk memperoleh ketangkasan atau keterampilan dari


(46)

pembelajaran berpakaian yang telah dipelajari. Anak cerebral palsy

menjadi lebih terampil dalam berpakaian.

4. Pelaksanaan Metode Latihan (Drill) pada Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian.

Kesuksesan pelaksanaan teknik metode latihan (drill) perlu memperhatikan langkah-langkah yang disusun. Dengan demikian latihan diharapkan akan betul-betul bermanfaat bagi anak untuk menguasai kecakapan tertentu. Roestiyah N.K. (2001:127) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan metode latihan yaitu:

a). Tujuan harus dijelaskan kepada siswa sehingga selesai latihan mereka diharapkan dapat mengerjakan dengan tepat sesuai apa yang diharapkan. b). Tentukan dengan jelas kebiasaan yang dilatihkan sehingga siswa mengetahui apa yang harus dikerjakan. c). Lama latihan harus disesuaikan dengan kemampuan siswa. d). Selingilah latihan agar tidak membosankan. d). Perhatikan kesalahan-kesalahan umum yang dilakukan siswa untuk perbaikan secara classical.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, agar pelaksanaan latihan atau drill dapat berjalan dengan lancar, maka perlu memperhatikan hal-hal berikut:

a. Perlu adanya penjelasan apa yang menjadi tujuan, sehingga setelah selesai latihan siswa dapat mengerjakan sesuatu sesuai yang diharapkan guru.

b. Perlu adanya penjelasan tentang apa yang harus dikerjakan. c. Lama latihan perlu disesuaikan dengan kemampuan siswa. d. Perlu adanya kegiatan selingan agar siswa tidak merasa bosan. e. Jika ada kesalahan segera diadakan perbaikan.


(47)

Penerapan metode latihan (drill) pada pembelajaran pengembangan diri berpakaian ialah sebagai berikut:

a. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran kepada siswa yaitu tentang pembelajaran pengembangan diri berpakaian.

b. Guru memberikan penjelasan ataupun petunjuk pada anak mengenai bagian-bagian pakaian seperti menjelaskan bagian dalam dan bagian luar pakaian, bagian lengan kiri dan kanan, serta bagian kancing maupun lubang kancing pakaian.

c. Guru memberikan penjelasan kepada siswa mengenai langkah-langkah yang harus dikerjakan siswa pada saat pembelajaran pengembangan diri berpakaian yaitu:

1) Mencari lubang lengan bagian kiri dan kanan pakaian kemudian memasukan tangan kanan dan kiri ke lubang lengan pakaian. 2) Menarik pakaian ke atas sampai ke bahu, kemudian membetulkan

krah pakaian sebagaimana mestinya.

3) Merapikan pakaian dengan mempertemukan kelim bawah pakaian bagian kanan dan kiri sehingga menjadi sejajar.

4) Memegang kancing pakaian dengan tangan kanan untuk sisi kanan dan tangan kiri untuk sisi kiri.

5) Mencari lubang kancing pakaian yang sejajar dengan biji kancing. 6) Memasukan biji kancing ke lubang kancing pakaian.


(48)

d. Setelah mendengarkan penjelasan guru dan melihat contoh tahapan-tahapan memakai pakaian, secara berulang-ulang siswa diinstruksikan untuk berlatih memakai pakaian sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah dijelaskan.

e. Guru memberikan kegiatan selingan, supaya siswa tidak merasa bosan ketika pembelajaran pengembangan diri berpakaian berlangsung. f. Jika ada kesalahan yang dilakukan siswa ketika pembelajaran

pengembangan diri berpakaian berlangsung, guru segera melakukan perbaikan.

D. Kerangka Pikir

Anak cerebral palsy mengalami gangguan pada aspek motorik yang menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari yang berdampak pada terhambatnya kemandirian anak. Salah satu kegiatan sehari-hari yang sulit dilakukan oleh anak cerebral palsy yaitu pengembangan diri, tidak terkecuali pengembangan diri berpakaian. Berpakaian merupakan suatu keterampilan yang perlu diajarkan tidak terkecuali kepada anak cerebral palsy. Oleh karena itu, peneliti memilih metode latihan (drill) untuk dapat melatih anak cerebral palsy agar dapat melakukan pengembangan diri berpakaian dengan mandiri tanpa bantuan orang lain.

Metode latihan (drill) adalah cara mengajar siswa dengan melatih secara berulang-ulang melalui pembiasaan agar dapat dicapai suatu keterampilan yang ingin dicapai. Latihan sangat penting untuk mengajarkan pembelajaran


(49)

pengembangan diri berpakaian pada anak cerebral palsy, semua latihan yang diberikan ditunjukan untuk memberikan pengajaran dalam prasyarat dasar bagi kehidupan anak sehari-hari. Dalam melakukan apapun, manusia dituntut oleh suatu cara atau aturan tertentu, juga dalam hal berpakaian. Peneliti memilih metode latihan karena metode latihan merupakan metode pembelajaran yang dilakukan dengan cara mengulang-ulang sampai anak paham dan terbiasa dengan apa yang dipelalajarinya sehingga anak dapat melakukannya dengan mandiri.

Berdasarkan beberapa masalah yang dialami anak cerebral palsy dalam hal pengembangan biri berpakaian, maka diperlukan penerapan pembelajaran yang cocok dan optimal. Metode latihan (drill) yang digunakan dalam pembelajaran pengembangan diri dapat melatih anak cerebral palsy menjadi lebih terampil. Metode latihan (drill) menjadi alternatif sebagai metode pembelajaran pengembangan diri untuk meningkatkan kemampuan berpakaian agar anak dapat berpakaian dengan baik dan benar secara mandiri. Berikut disajikan bagan dari kerangka pikir di atas:


(50)

Gambar 1. Alur Pikir Penelitian E. Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berfikir yang telah diuraikan, maka dapat diajukan penarikan hipotesis penelitian yaitu metode latihan (drill)

dapat meningkatkan kemampuan pengembangan diri berpakaian pada anak

cerebral palsy kelas V di SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta. Anak Cerebral Palsy

Kemampuan Pengembangan Diri Berpakaian Rendah

Anak Dilatih untuk Melakukan Pengembangan

Diri Berpakaian secara berulang-ulang

Melalui Metode Latihan (Drill) Keterampilan

Pengembangan Diri Berpakaian Anak Cerebral


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian tindakan kelas (classroom action research). Suharsimi Arikunto (2007:3) mengemukakan bahwa “penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama-sama”. Zaenal Aqib, dkk. (2009:3) mengemukakan bahwa “pendekatan tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri melalui refleksi diri dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sehingga hasil belajar siswa meningkat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu penelitian yang sengaja dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.

Penelitian tindakan kelas bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Masnur Muslich (2011:10) mengemukakan bahwa “tujuan penelitian tindakan kelas yaitu untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran serta membatu memberdayakan guru dalam memecahkan masalah pembelajaran di sekolah”. Berdasarkan tujuan yang telah dijelaskan di atas, peneliti bermaksud untuk memberikan tindakan atau mengadakan perbaikan dan peningkatan mutu praktik pembelajaran di kelas terkait dengan pembelajaran


(52)

pengembangan diri berpakaian pada anak cerebral palsy. Peneliti mencoba untuk mengadakan pembelajaran pengembangan diri berpakaian dengan baik dan benar untuk anak cerebral palsy melalui metode latihan (drill) di SLB Negeri 1 Bantul, agar anak cerebral palsy tersebut dapat melakukan pengembangan diri berpakaian dengan baik, secara mandiri sehingga tidak bergantung pada orang lain.

B. Desain Penelitian

Desain yang digunakan peneliti dalam penelitian ini mengacu pada prosedur penelitian dari Kemmis dan McTaggart yaitu rencana, tindakan, pengamatan dan refleksi. Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Model Penelitian Spiral Kemmis dan McTaggart (Sumber: Suharsimi Arikunto, 2010:132)


(53)

Sikus I :

1. Perencanaan I 2. Tindakan I 3. Pengamatan I 4. Refleksi I

Siklus II:

1. Revisi perencanaan II 2. Tindakan II

3. Pengamatan II 4. Refleksi II

Berdasarkan desain penelitian di atas, maka ke empat tahapan diatas dapat diuraikan peneliti sebagai berikut:

1. Perencanaan

Tahap perencanaan penelitian diawali dengan observasi dan diskusi dengan guru kelas. Observasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan anak cerebral palsy yang akan dijadikan subjek dalam penelitian. Hal tersebut berguna untuk menyusun langkah-langkah kegiatan dalam pembelajaran pengembangan diri berpakaian dengan menggunakan metode latihan (drill). Tujuan dari diskusi yang dilakukan oleh peneliti dengan guru kelas adalah untuk menemukan kesepakatan dalam menyusun rencana kegiatan pembelajaran pengembangan diri berpakaian dengan menggunakan metode latihan (drill). Adapun hasil diskusi antara peneliti dengan guru kelas dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Melakukan diskusi mengenai metode latihan (drill) sebagai metode pembelajaran pengembangan diri berpakaian.

b. Mengkonsultasikan komponen-komponen tes kemampuan berpakaian kepada guru, komponen tersebut akan dijadikan alat


(54)

untuk mengetahui kemampuan pengembangan diri berpakaian anak

cerebral palsy.

c. Menyusun instrumen tes kemampuan berpakaian untuk mengetahui kemampuan subjek sebelum dan sesudah diberikan tindakan.

d. Mengukur kemampuan siswa dengan melakukan pre test tentang kemampun pengembangan diri berpakaian anak sebelum diberikan tindakan.

e. Menyusun RPP dengan materi pembelajaran pengembangan diri berpakaian.

f. Membuat lembar observasi untuk mengamati aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran pengembangan diri berpakaian.

g. Menetapkan kriteria keberhasilan tindakan yaitu kemampuan pengembangan diri berpakaian anak cerebral palsy mencapai KKM (kriteria ketuntasan minimal) sebesar 60%.

h. Waktu yang ditentukan adalah semester II tahun ajaran 2014/2015 selama satu bulan setengah.

2. Tindakan

Tindakan merupakan implementasi atau penggunaan metode latihan (drill) pada pembelajaran pengembangan diri untuk meningkatkan kemampuan berpakaian anak cerebral palsy di SLB Negeri 1 Bantul. Pelaksanaan tindakan dilakukan oleh peneliti setelah perencanaan telah disusun. Pelaksanaan tindakan dilakukan sebanyak lima kali pertemuan dengan materi yang akan diberikan yaitu pembelajaran pengembangan


(55)

diri berpakaian. Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran pengembangan diri berpakaian dengan penggunaan metode latihan sebagai berikut:

a. Pertemuan 1 1) Kegiatan Awal

Siswa kelas V dikondisikan untuk mengikuti pembelajaran. Sebelum pembelajaran dimulai guru dan siswa membaca do’a terlebih dahulu. Selanjutnya dilanjutkan dengan menyiapkan alat/bahan pembelajaran, kemudian guru melakukan apersepsi seputar materi yang akan diberikan. Guru memberikan penjelasan mengenai pentingnya berpakaian dalam kehidupan sehari-hari. 2) Kegiatan Inti

a) Guru terlebih dahulu memberikan penjelasan atau petunjuk pada anak tentang beberapa ciri atau bagian-bagian pakaian yang berkancing yaitu menjelaskan bagian depan dan belakang pakaian, bagian lengan kiri dan kanan, kerah, serta bagian kancing dan lubang kancing.

b) Siswa memperhatikan saat guru menjelaskan tentang ciri atau bagian-bagian pakaian berkancing.

c) Anak diinstruksikan untuk menyebutkan dan menujukan bagian-bagian pakaian sampai semua hafal.

d) Anak diinstruksikan untuk menyebutkan dan menunjukan bagian depan dan belakang pakaian.


(56)

e) Selanjutnya anak diinstruksikan untuk menyebutkan dan menunjukan bagian lengan kiri dan lengan kanan pakaian, f) Anak diinstruksikan untuk menyebutkan dan menunjukan

bagian kancing dan lubang kancing pakaian.

g) Apabila anak mengalami kesulitan guru memberikan bantuan atau petunjuk seperlunya.

h) Anak melakukan kegiatan ini secara berulang-ulang sampai anak hafal menyebutkan dan menunjukan bagian-bagian pakaian. Guru selalu mendampingi pada saat latihan berlangsung.

3) Kegiatan Penutup

a) Guru menyimpulkan materi yang telah diajarkan dengan meminta siswa menyebutkan kembali bagian-bagian pakaian. b) Guru memberikan tugas dengan meminta anak untuk belajar di

rumah tentang belajar mengenakan baju, untuk persiapan pembelajaran pada pertemuan selanjutnya.

c) Kegiatan pembelajaran ditutup dengan membaca doa dan mengucapkan salam.

b. Pertemuan 2 1) Kegiatan Awal


(57)

Kegiatan awal dilakukan dengan mengkondisikan siswa untuk masuk ke dalam kelas, duduk dengan rapi dan siap untuk mengikuti pembelajaran. Sebelum pembelajaran dimulai guru dan siswa membaca doa terlebih dahulu. Selanjutnya guru meminta anak untuk mengulas kembali materi yang telah diberikan pada pertemuan sebelumnya.

2) Kegiatan Inti

Proses belajar mengajar dalam pengembangan diri berpakaian masih sama seperti tindakan yang diberikan pada pertemuan pertama hanya materinya saja berbeda. Materi pada pertemuan kedua ini berupa latihan memakai pakaian yaitu mencari lubang lengan bagian kanan pakaian, memasukan tangan kanan ke lubang lengan bagian kanan pakaian, mencari lubang lengan bagian kiri pakaian, memasukan tangan kiri ke lubang lengan bagian kiri pakaian dan menarik pakaian ke atas sampai ke bahu kemudian membetulkan krah pakaian. Proses pembelajaran pada pertemuan ke II adalah sebagai berikut:

a) Guru mencontohkan terlebih dahulu pada anak bagaimana langkah-langkah memakai pakaian sesuai urutan latihan.

b) Selanjutnya anak diminta untuk mempraktekan langkah-langkah memakai pakaian sesuai dengan contoh yang diberikan oleh guru yaitu mencari lubang lengan bagian kanan pakaian, memasukan tangan ke lubang lengan bagian kanan pakaian,


(58)

mencari lubang lengan bagian kiri pakaian, memasukan tangan kiri ke lubang lengan bagian kiri pakaian selanjutnya menarik pakaian ke atas sampai ke bahu, kemudian membetulkan krah pakaian sebagaimana mestinya.

c) Kegiatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang sampai anak dapat melakukan tahapan atau langkah-langkah berpakaian secara mandiri sesuai dengan urutan latihan.

3) Kegiatan Penutup

a) Guru bersama-sama dengan siswa menyimpulkan kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

b) Guru memberikan tugas kepada anak untuk belajar mengenakan pakaian sendiri di rumah tanpa bantuan orang lain.

c) Pembelajaran pengembangan diri berpakaian diakhiri dengan membaca do’a bersama-sama dan mengucapkan salam.

c. Pertemuan 3 1) Kegiatan Awal

a) Siswa dikondisikan untuk masuk ke dalam kelas dan siap untuk mengikuti pembelajaran.

b) Sebelum pembelajaran dimulai, guru bersama siswa membaca do’a terlebih dahulu.

c) Guru mempersiapkan alat atau bahan yang akan digunakan dalam proses pembelajaran, kemudian melakukan apersepsi


(59)

seputar materi yang telah diberikan pada pertemuan sebelumnya.

d) Guru menjelaskan materi yang akan diberikan yaitu tata cara atau tahap-tahap mengancingkan pakaian.

2) Kegiatan Inti

a) Guru meminta anak untuk mempraktekan kembali tahapan-tahapan memakai pakaian sesuai dengan urutan latihan yang telah diajarkan pada pertemuan sebelumnya.

b) Kemudian guru mencontohkan tahapan-tahapan mengancingkan pakaian yaitu dengan merapikan pakaian dengan mempertemukan kelim bagian bawah pakaian bagian kanan dan kiri sehingga menjadi sejajar, memegang kancing pakaian dengan tangan kanan dan memegang lubang kancing dengan tangan kiri, selanjutnya mencari lubang kancing pakaian yang sejajar dengan biji kancing, memasukan biji kancing ke lubang kancing dan mengambil biji kancing pakaian dengan tangan kiri. c) Siswa diminta untuk mempraktekan tahapan-tahapan

mengancingkan pakaian sesuai urutan latihan yang telah dicontohkan oleh guru.

d) Setelah siswa selesai mempraktekan tahapan mengancingkan pakaian dengan benar, Guru meminta siswa untuk mengulang kembali tahapan mengancingkan dari awal sampai akhir dengan melakukannya secara berulang-ulang.


(60)

e) Apabila siswa mengalami kesulitan, guru memberikan bantuan atau petunjuk seperlunya.

3) Kegiatan Penutup

a) Guru bersama-sama dengan siswa menyimpulkan materi pembelajaran yang telah dilaksanakan.

b) Guru memberikan tugas kepada siswa untuk belajar mengenakan pakaian sendiri di rumah.

c) Pembelajaran pengembangan diri berpakaian ditutup dengan berdo’a bersama-sama dan mengucapkan salam.

d. Pertemuan 4 1) Kegiatan Awal

Siswa dikondisikan untuk masuk ke dalam kelas, duduk dengan rapi dan siap untuk melakukan pembelajaran. Sebelum pembelajaran pengembangan diri dimulai guru dan siswa membaca do’a terlebih dahulu. Selanjutnya menyiapkan alat/ bahan pembelajaran yaitu pakaian berkancing yang akan digunakan dalam latihan. Guru melakukan tanya jawab seputar kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh siswa serta mengulas kembali materi yang telah diberikan pada pertemuan sebelumnya.


(61)

Pelaksanaan pembelajaran pengembangan diri berpakaian pada pertemuan ke IV ini kegiatannya masih sama seperti pelaksanaan tindakan sebelumnya dengan materi keseluruhan mengenai langkah-langkah mengenakan pakaian sesuai tahap-tahap yang telah ditentukan.

a) Sebelum praktik memakai pakaian dan mengancingkan pakaian, guru menjelasakan terlebih dahulu bagian-bagian pakaian dan melakukan tanya jawab terhadap siswa.

b) Guru mencontohkan kembali tata cara memakai pakaian dan mengancingkan pakaian dengan mendemonstrasikannya di depan kelas.

c) Siswa diminta untuk mempraktekan memakai pakaian dan mengancingkan pakaian sesuai dengan urutan latihan yang telah diajarkan oleh guru.

d) Guru melakukan tanya jawab kembali kepada siswa mengenai bagian-bagian pakaian, kemudian meminta siswa untuk melakukan kegiatan memakai pakaian dan mengancingkan pakaian secara berulang-ulang sampai anak dapat mengenakan pakaian, mengenal bagian-bagiannya serta mengingat tahapan-tahapannya.

e) Guru memberikan pujian kepada anak jika anak berhasil melakukan kegiatan latihan berpakaian dengan benar.


(62)

a) Guru bersama-sama dengan siswa menyimpulkan kembali materi yang telah diajarkan.

b) Guru memberikan tugas kepada anak yaitu meminta anak untuk latihan berpakaian di rumah tanpa bantuan dari orang lain. c) Sebelum mengakhiri pembelajaran guru mengajak anak untuk

bernyanyi lagu anak-anak supaya anak merasa gembira.

d) Pembelajaran diakhiri dengan membaca do’a bersama-sama dan mengucapkan salam.

e. Pertemuan 5

Pertemuan ke lima, siswa mempraktekan latihan berpakaian tahap pertama sampai tahap terakhir yang ada dalam metode latihan pembelajaran pengembangan diri berpakaian. Pada pertemuan kelima sebelum proses pembelajaran berakhir dilakukan post-test terlebih dahulu. Post-test ini untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpakaian anak setelah diberikan tindakan pada siklus ke I.

3. Pengamatan

Observasi dilakukan pada proses pemberian tindakan dalam pembelajaran pengembangan diri berpakaian menggunakan metode latihan (drill) pada anak cerebral palsy kelas V di SLB Negeri 1 Bantul. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini mengamati aktivitas anak pada proses belajar mengajar dengan lembar observasi yang telah ditetapkan seperti ketertarikan subjek terhadap penggunaan metode latihan (drill) pada pembelajaran pengembangan diri berpakaian,


(63)

keaktifan anak saat proses pembelajaran berlangsung, kemampuan anak dalam melakukan tahap-tahap berpakaian, serta perhatian anak saat penjelasan langkah-langkah atau tata cara berpakaian

Peneliti melakukan pengamatan secara cermat tentang penggunaan metode latihan (drill) pada pembelajaran pengembangan diri agar dapat membantu anak dalam berpakaian melalui latihan yang dilakukan secara berulang-ulang pada anak dimana peneliti ikut terlibat langsung dalam kegiatan subjek untuk mencari informasi yang mendalam.

4. Refleksi

Refleksi merupakan kegiatan mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan atau terjadi, dengan cara menganalisis, memaknai, dan sebagai dasar untuk menentukan langkah berikutnya. Refleksi dilakukan oleh peneliti bersama guru sebagai pelaksana atau penyaji pelajaran. Melalui proses refleksi mendalam dapat menghasilkan dan ditarik kesimpulan yang tepat dan sesuai. Berdasarkan hasil evaluasi siklus I maka harus diidentifikasi kembali apakah terjadi peningkatan ataupun tidak ada peningkatan sama sekali. Jika belum ada peningkatan maka membuat rencana baru untuk dilakukan tindak lanjut pada siklus ke II. 5. Perencanaan Tindak Lanjut

Pelaksanaan tindak lanjut dilakukan apabila dalam perlakuan siklus pertama belum menunjukan peningkatan secara signifikan. Dalam penelitian ini, peneliti berkolaborasi dengan guru kelas dalam satu tim untuk bersama-sama merancang tindakan yang tepat untuk mengatasi


(64)

kekurangan-kekurangan dalam praktek pembelajaran. Hubungan anggota dalam tim kolaborasi bersifat kemitraan, sehingga kedudukan peneliti dengan guru adalah sama untuk memikirkan persoalan yang akan diteliti dalam penelitian. Dengan demikian peneliti dituntut harus bisa terlibat langsung dalam penelitian tindakan kelas ini.

C. Setting Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SLB Negeri 1 Bantul yang berlokasi di jalan Wates, KM. 3 Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Di sekolah tersebut terdapat 5 jurusan yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan autis. Sekolah tersebut memiliki jenjang pendidikan dari tingkat TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB.

Keadaan lingkungan fisik SLB Negeri 1 Bantul sangat baik, hal ini terlihat dari gedung sekolah, tata ruang, dan pemeliharaan ruangan yang baik. Ketersediaan sarana dan prasarana sudah cukup memadai dan lengkap. Dalam penelitian ini akan mengambil subjek yaitu siswa

cerebral palsy kelas V yang berjumlah 3 orang anak. Karakteristik subjek yang diambil sesuai dengan yang dibutuhkan dalam penelitian yaitu anak yang mengalami kesulitan dalam pengembangan diri berpakaian.


(65)

Waktu yang digunakan peneliti untuk melakukan penelitian ini dari bulan Januari sampai dengan Februari 2015. Penelitian ini dilaksanakan pada semester 2 tahun ajaran 2014/2015. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu:

Tabel 1. Waktu dan kegiatan penelitian Waktu

Penelitian Kegiatan Penelitian

Minggu 1 1. Persiapan dan melakukan observasi kemampuan anak sebelum diberikan tindakan.

2. Melakukan pre-test untuk mengetahui kemampuan berpakaian anak cerebral palsy.

Minggu 2 Melaksanakan tindakan siklus I pertemuan 1, 2, dan 3 dengan sekali pertemuan 2 jam pelajaran dan satu jam pelajaran 2x35 menit.

Minggu 3 1. Melaksanakan tindakan siklus I pertemuan 4 dan 5. 2. Melakukan post-test siklus I

3. Mengadakan refleksi setelah pelaksanaan siklus I untuk mengetahui hasil peningkatan dan membuat perencanaan untuk tindakan siklus II

Minggu 4 Melaksanan tindakan siklus II pertemuan 1, 2, dan 3 dengan sekali pertemuan 2 jam pelajaran dan satu jam pelajaran 2x35 menit.

Minggu 5 1. Melaksanakan tindakan siklus 4 dan 5. 2. Melakukan post-test siklus II

3. Mengadakan refleksi setelah pelaksanaan tindakan siklus II untuk mengetahui hasil peningkatan kemampuan

berpakaian anak cerebral palsy

D. Subjek Penelitian

Suharsimi Arikunto (2006: 145) mengemukakan bahwa “subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti berupa orang, proses, kegiatan, dan tempat”. Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini


(66)

adalah siswa SLB Negeri 1 Bantul yang berjumlah 2 orang anak dengan kriteria:

1. Anak cerebral palsy yang duduk di kelas V.

2. Anak mengalami gangguan motorik dan spastic atau kekakuan pada tangan hal ini diketahui dari hasil rekam medis, sehingga menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam pengembangan diri berpakaian.

3. Pengetahuan anak tentang bagian-bagian pakaian dan tata cara berpakaian yang baik dan benar masih kurang dilihat dari hasil tes kemampuan awal sebelum diberikan tindakan.

E. Teknik Pengumpulan Data

Sugiyono (2010:308) mengatakan bahwa “teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data”. Penelitian ini menggunakan beragam jenis teknik pengumpulan data, dimana masing-masing dari teknik yang digunakan memberikan cara memperolah data yang berlainan. Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah:

1. Observasi

Pengumpulan data dengan teknik observasi dirasa sangat penting di dalam penelitian ini, hal ini sehubungan dengan diperlukannya pengamatan secara mendalam terkait dengan perilaku siswa pada saat pembelajaran pengembangan diri. Trianto (2010: 66) mengemukakan bahwa “observasi adalah pengamatan yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat


(67)

indera”. Menurut Ngalim Purwanto (2006:149) “observasi dapat dilakukan dengan teknik dan alat alat khusus seperti blangko, check list, atau daftar isian yang telah dipersiapkan sebelumya”. Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipan. Sugiyono (2007: 310) menjelaskan bahwa dalam observasi berpartisipasi, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau digunakan sebagai sumber data penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti terlibat langsung di tengah-tengah kegiatan subjek saat pembelajaran pengembangan diri berpakaian berlangsung. Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti yaitu mencatat aktivitas subjek dengan lembar pengamatan yang telah ditetapkan yaitu ketertarikan subjek terhadap penggunaan metode latihan (drill) pada pembelajaran pengembangan diri berpakaian, keaktifan anak saat proses pembelajaran berlangsung, kemampuan anak dalam melakukan langkah-langkah berpakaian, serta perhatian anak saat penjelasan langkah-langkah atau tata cara berpakaian.

2. Tes Kemampuan Berpakaian

Tes adalah alat atau prosedur yang dipergunakan dalam rangka pengukuran dan penilaian (Anas Sudijono, 2008: 66). Tes merupakan serentetan pertanyaan atau latihan yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Suharsimi Arikuto, 2006: 150). Tes digunakan untuk mengumpulkan data yang sifatnya mengevaluasi hasil proses untuk mendapatkan kondisi awal sebelum proses (pre-test


(68)

dan post-test) Husein Umar (2005: 52). Pada penelitian tindakan kelas ini, sebelum diberikan tindakan berupa penggunaan metode latihan (drill) siswa terlebih dahulu diberikan tes. Tes yang diberikan sebelum tindakan dikenal dengan pre-test. Tes yang digunakan dalam penelitian ini ialah tes lisan dan tes perbuatan atau tes performance dengan melihat anak secara langsung ketika memakai pakaian. Melalui tes ini, peneliti memperoleh informasi mengenai kemampuan awal subjek dalam melakukan kegiatan berpakaian. Setelah mengetahui kemampuan awal subjek, peneliti melakukan penyusunan rencana tindakan yang akan diberikan pada semua subjek. Selanjutnya, peneliti melakukan tindakan berupa penggunaan metode latihan (drill) pada pembelajaran pengembangan diri untuk meningkatkan kemampuan berpakaian. Setelah pemberian tindakan selesai, selanjutnya dilakukan post-test atau tes pasca tindakan siklus pertama. Post-test ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan kemampuan berpakaian anak setelah diberikan tindakan berupa penggunaan metode latihan (drill) pada pembelajaran pengembangan diri berpakaian.

3. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Hal yang dilaporkan adalah dokumen-dokumen yang telah dianalisis, bukan disajikan dalam bentuk bentuk dokumen mentah (Nana Syaodih Sukmadinata, 2006: 222).


(1)

LAMPIRAN 11

Foto Kegiatan

Pembelajaram Pengembangan Diri Berpakaian

Foto subjek sedang memasukan tangan kanan ke lubang lengan bagian kanan

Foto subjek sedang membetulkan krah pakaian


(2)

244

Foto subjek sedang memasukan tangan ke lubang lengan pakaian

Foto subjek sedang menarik pakaian ke atas kemudia membetulkan krah pakaian


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BINA DIRI DAN BINA GERAK BAGI ANAK CEREBRAL PALSY DI SLB NEGERI CILEUNYI KABUPATEN BANDUNG.

7 42 34

PENGARUH PERMAINAN ALAT MUSIK DRUM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOTORIK ANAK CEREBRAL PALSY TIPE SPASTIK DI SLB AZ-ZAKIYAH.

0 1 39

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA BALOK-BALOK ANGKA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL LAMBANG BILANGAN ANAK CEREBRAL PALSY KELAS 1 SLB-D1 YPAC SURAKARTA.

0 0 16

KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MEDIA BENDA KONKRET TERHADAP KEMAMPUAN MENGENAL HURUF PADA SISWA CEREBRAL PALSY KELAS III DI SLB NEGERI 1 BANTUL.

0 0 138

UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPAKAIAN MELALUI METODE DRILL PADA ANAK CEREBRAL PALSY DI SEKOLAH LUAR BIASA DAYA ANANDA.

1 6 222

PENGARUH PEMBERIAN REWARD TERHADAP KEMAMPUAN PENGEMBANGAN DIRI BERPAKAIAN PADA ANAK AUTIS KELAS IV DI SLB AUTISMA DIAN AMANAH.

0 0 140

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA GAME EDUKATIF TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN ANAK CEREBRAL PALSY KELAS DASAR II DI SLB WIDYA MULIA PUNDONG BANTUL YOGYAKARTA.

1 5 177

PENINGKATAN KEMAMPUAN BINA DIRI ANAK AUTIS DALAM BERPAKAIAN MELALUI METODE LATIHAN (DRILL) DI SEKOLAH KHUSUS AUTIS BINA ANGGITA YOGYAKARTA.

0 0 152

KEEFEKTIFAN MEDIA FLASH CARD UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN PADA ANAK TUNAGRAHITA CEREBRAL PALSY TIPE SPASTIK KELAS III DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI I BANTUL.

52 396 253

PENGARUH LATIHAN KOLASE BERBAHAN ALAM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS PERMULAAN PADA ANAK CEREBRAL PALSY DI SLB RISANTYA BANDUNG - repository UPI S PLB 1200063 Title

0 0 3