PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK DI SEKOLAH MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI KELOMPOK B TK PKK PRAWIROTAMAN YOGYAKARTA.

(1)

PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK DI SEKOLAH MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI KELOMPOK B TK PKK

PRAWIROTAMAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Elisabeth Ria Ade Lina NIM 11111244027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Adalah penting bahwa kebutuhan-kebutuhan emosional dari anak-anak yang kompleks, sensitif, mandiri dipadukan ke dalam proses pendidikan”


(6)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Ayah dan Ibu tercinta, untuk setiap doa dan motivasi yang telah diberikan demi membimbing anak-anaknya.

2. Almamaterku, Universitas Negeri Yogyakarta. 3. Nusa dan Bangsa.


(7)

PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK DI SEKOLAH MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI KELOMPOK B TK PKK

PRAWIROTAMAN YOGYAKARTA Oleh

Elisabeth Ria Ade Lina NIM 11111244027

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian melalui metode bermain peran di Kelompok B TK PKK Prawirotaman Yogyakarta. Metode bermain peran merupakan metode bermain pura-pura memerankan tokoh tertentu.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas kolaboratif dengan model Kemmis dan Taggart. Penelitian dilaksanakan dalam dua Siklus. Subjek penelitian ini adalah 18 anak kelompok B TK PKK Prawirotaman yang terdiri dari 5 anak laki-laki dan 13 anak perempuan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, dan alat observasi yang digunakan berupa lembar observasi (checklist). Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian anak meningkat melalui metode bermain peran. Metode bermain peran dalam penelitian ini yaitu anak-anak akan memerankan tokoh-tokoh yang berperilaku mandiri. Anak melakukan sendiri, guru mengajak anak melakukan refleksi, dan menyampaikan pesan-pesan dari bermain peran yang sudah dilaksanakan. Berdasarkan pengamatan sebelum tindakan, sebagian besar kemandirian anak berada pada kriteria Belum Berkembang (BB) yaitu 61,11%, dan kriteria Berkembang Sangat Baik (BSB) belum ada. Pasca Siklus I sebagian besar kemandirian anak berada pada kriteria Mulai Berkembang (MB) yaitu 66,67%, dan kriteria Berkembang Sangat Baik (BSB) belum ada. Pasca Siklus II semua anak 100% berada pada kriteria Berkembang Sangat Baik (BSB).


(8)

KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera,

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME. yang telah memberikan rahmat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peningkatan Kemandirian Anak Di Sekolah Melalui Metode Bermain Peran Di Kelompok B TK PKK Prawirotaman Yogyakarta”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) di Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan yang ada sehingga dalam menyelesaikan skripsi ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menuntut ilmu di UNY.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin dalam pelaksanaan penelitian.

4. Bapak Dr. Suwarjo, M. Si. dan Ibu Muthmainnah, M.Pd., dosen pembimbing yang telah memberikan semangat, motivasi, pengarahan, bimbingan, dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh dosen program studi PG PAUD yang telah memberikan ilmu dan pengalaman berharga, dan seluruh karyawan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.


(9)

6. Kepala Sekolah TK, guru, staf karyawan dan peserta didik di TK PKK Prawirotaman Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan dalam kegiatan penelitian.

7. Ibu dan Bapak tercinta yang selalu memberikan motivasi, doa serta dukungan moril dan materiil untuk terselesaikannya skripsi ini.

8. Bude Tari, yaitu wali saya yang selalu memberikan pengarahan, bimbingan dan memberikan dukungan moril serta materiil untuk terselesainya skripsi ini. 9. Sahabat-sahabat yang saya sayangi (Norma Lukito ET, Adventa Galih D, Laras

W, Nadhiroh Aminul M, Nurul Fatimah U, Indra W, Marisa Deva N) yang berperan penting membantu, memberikan doa dan motivasi dalam kegiatan penelitian.

10. Sahabat-sahabat yang saya sayangi (Arpin Pratiwi, Idha Handayani, Andhika Irawan, Yuanita Dwi, Dwi Rina, Paulus Wiratma J) yang memberi dukungan dan doa selama proses penyusunan skripsi.

11. Sahabat-sahabat saya di Program Studi PG PAUD angkatan 2011 tercinta. 12. Teman-teman KKN PPL Unit 151 terkasih yang sudah saling memotivasi demi

terselesaikannya skripsi ini.

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk memperbaiki skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua.

Yogyakarta, 4 November 2015 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN SURAT PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah... 8

C. Batasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah... 9

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 9

G. Definisi Operasional ... 10

BAB II LANDASAN TEORI A. Perkembangan Sosial Emosional Anak ... 12

B. Kemandirian Anak... 15

1. Pengertian Kemandirian... 15

2. Aspek Kemandirian ... 15


(11)

4. Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian ... 20

5. Pengembangan Kemandirian ... 26

C. Metode Pembelajaran Anak Usia Dini ... 29

1. Macam-Macam Metode Pembelajaran ... 29

2. Bermain Peran ... 31

D. Kerangka Pikir ... 34

E. Hipotesis Tindakan ... 36

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 37

B. Setting Penelitian ... 37

C. Subjek dan Objek Penelitian... 37

D. Desain Penelitian ... 38

E. Prosedur Penelitian ... 38

F. Metode Pengumpulan Data... 44

G. Instrumen Penelitian ... 44

H. Teknik Analisis Data ... 46

I. Indikator Keberhasilan... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 48

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 48

2. Data Kemandirian Anak Sebelum Tindakan ... 50

3. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Siklus I ... 55

4. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Siklus II... 66

B. Pembahasan Hasil Penelitian... 79

C. Keterbatasan Penelitian ... 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 83


(12)

DAFTAR PUSTAKA ... 85 LAMPIRAN... 87


(13)

DAFTAR TABEL

... hal

Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Observasi Kemandirian Anak ...45

Tabel 2. Hasil Observasi Kemandirian Anak Sebelum Tindakan ...52

Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Kemandirian Anak Sebelum Tindakan ...52

Tabel 4. Hasil Observasi Kemandirian Anak Pasca Siklus I...62

Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Kemandirian Anak Pasca Siklus I...62

Tabel 6. Hasil Observasi Kemandirian Anak Pasca Siklus II ...74

Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Kemandirian Anak Pasca Siklus II ...74

Tabel 8. Rekapitulasi Hasil Kemandirian Anak Sebelum Tindakan, Pasca Siklus I, Pasca Siklus II...77


(14)

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Desain Penelitian Menurut Kemmis dan Mc. Taggart ...38

Gambar 2. Grafik Kemandirian Anak Sebelum Tindakan ...53

Gambar 3. Grafik Hasil Observasi Kemandirian Anak Pasca Siklus I ...63

Gambar 4. Grafik Hasil Observasi Kemandirian Anak Pasca Siklus II ...75 Gambar 5. Grafik Persentase Kemandirian Anak Sebelum Tindakan,

Pasca Siklus I, Pasca Siklus II... 78


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Perizinan Penelitian dan Pernyataan Melakukan Penelitian ...88

Lampiran 2. Kisi-kisi Pedoman Observasi ...92

Lampiran 3. Instrumen Lembar Observasi ...94

Lampiran 4. Hasil Observasi Sebelum Tindakan ...97

Lampiran 5. Rencana Kegiatan Harian...104

Lampiran 6. Hasil Observasi Penelitian ...131

Lampiran 7. Skenario Bermain Peran...168


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 angka 14. Biechler dan Snowman menyampaikan bahwa anak prasekolah adalah anak yang berusia antara 3-6 tahun (Soemiarti Patmonodewo, 2003: 19). Anak-anak ini biasanya mengikuti program prasekolah atau kindergarten. Anak usia 3 bulan sampai 5 tahun dapat mengikuti program Tempat Penitipan Anak (TPA) atau bisa juga usia 3 tahun mengikuti Kelompok Bermain (KB) dan pada usia 4 sampai 6 tahun mengikuti program Taman Kanak-kanak (TK).

Salah satu aspek perkembangan anak usia dini adalah sosial dan emosional. Perkembangan sosial dan emosional memang berlainan, namun dalam kenyataannya satu sama lain saling mempengaruhi. Perilaku sosial dan emosional yang diharapkan dari anak pada usia dini ialah perilaku-perilaku yang baik, seperti kedisiplinan, kemandirian, tanggung jawab, percaya diri, jujur, adil, setia kawan, sifat kasih sayang terhadap sesama, dan memiliki toleransi yang tinggi (Permendiknas Nomor 58 Tahun 2009). Untuk itu peran orang tua dan guru di sekolah dalam mengembangkan


(17)

perilaku sosial emosional anak adalah dengan menanamkan sejak dini pentingnya pembinaan perilaku dan sikap yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik.

Adapun karakteristik perkembangan sosial emosional anak usia 4 sampai 6 tahun yang disampaikan oleh Steinberg (Ahmad Susanto, 2011: 152-153) antara lain lebih menyukai bekerja dengan dua atau tiga teman yang dipilih sendiri, bermain dalam kelompok dan senang bekerja berpasang-pasangan, mulai mengikuti dan mematuhi aturan serta berada pada tahapheteronomous morality,dapat membereskan alat mainan, rasa ingin tahu yang besar, mampu bicara dan bertanya apabila diberi kesempatan, dapat diajak diskusi, mulai dapat mengendalikan emosi diri, mempunyai kemauan untuk berdiri sendiri-sendiri.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009 menyampaikan tentang standar tingkat pencapaian perkembangan anak pada tingkat pencapaian perkembangan usia 5 sampai 6 tahun khususnya sosial emosionalnya antara lain bersikap kooperatif dengan teman, menunjukkan sikap toleran, mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada (senang-sedih-antusias, dan sebagainya), mengenal tata krama dan sopan santun sesuai dengan nilai sosial budaya setempat, memahami peraturan dan disiplin, menunjukkan rasa empati, memiliki sikap gigih (tidak mudah menyerah), bangga terhadap hasil karya sendiri, menghargai keunggulan orang lain.

Dari berbagai karakteristik sosial emosional yang perlu dikembangkan, salah satu yang penting untuk distimulasi adalah kemandirian. Setiap orang tua


(18)

mengharapkan anaknya mandiri, terutama orang tua yang sibuk dan harus berpisah sementara dengan anak karena bekerja. Orang tua tidak bisa melayani anak-anaknya sepanjang hari. Tidak hanya pada orang tua yang sibuk bekerja saja, namun pada semua orang tua, pekerjaan orang tua akan menjadi ringan jika anaknya mandiri. Mulai dari hal sederhana seperti anak mampu makan sendiri, mengenakan pakaian sendiri, membereskan mainan sendiri, mempersiapkan alat tulis untuk sekolah, dan banyak hal lainnya. Begitu juga dengan guru, para guru mengharapkan anak didiknya mampu berkembang optimal dan menjadi anak yang mandiri. Terkait dengan kemandirian anak, Carolyn Triyon dan J. W Lilienthal (Moeslichatoen R, 2004: 4) menegaskan bahwa tugas-tugas perkembangan masa kanak-kanak awal yang harus dijalani anak Taman Kanak-kanak salah satunya adalah berkembang menjadi pribadi yang mandiri. Berkembang menjadi pribadi yang mandiri di sini artinya berkembang menjadi pribadi yang bertanggung jawab untuk melayani dan memenuhi kebutuhan sendiri pada tingkat kemandirian yang sesuai dengan tingkat usia Taman Kanak-kanak.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 710), kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Tri Rahayu (2014: 2) menyampaikan bahwa kemandirian merupakan suatu sikap dari anak yang menunjukkan usaha yang dilakukan dengan sadar secara mandiri tanpa harus disuruh atau diminta untuk melakukan sesuatu dalam kegiatan pembelajaran.

Rita Eka Izzaty, dkk (2008: 87) menyebutkan bahwa saat anak-anak mencapai usia Taman Kanak-kanak, anak-anak sudah harus dapat mandi dan berpakaian


(19)

sendiri, mengikat tali sepatu dan menyisir rambut dengan sedikit bantuan atau tanpa bantuan sama sekali. Anak-anak prasekolah yang awalnya hanya memperhatikan kebutuhan dan keinginan sendiri dengan ketergantungan yang kuat pada pemeliharaan keluarga beralih ke tingkat kemandirian yang lebih tinggi. Anak dikatakan mandiri jika sudah sesuai dengan indikator kemandirian menurut Brewer (2007) diantaranya kemampuan fisik, percaya diri, bertanggung jawab, disiplin, pandai bergaul, mau berbagi, mengendalikan emosi (Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan, 2013: 61).

Terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh jika kemandirian diajarkan sejak usia dini, antara lain anak menjadi lebih percaya diri, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan tidak selalu bergantung pada orang dewasa (Novan Ardy Wiyani, 2013: 33). Derry Iswidharmajaya (2008: 7) menyampaikan cara mengajarkan kemandirian pada anak melalui materi keterampilan hidup dengan konsep-konsep yang sederhana, dan anak diajak untuk mempraktikkannya. Sebaliknya, A. Martuti (2008: 140) menyampaikan akibat jika anak tidak terbiasa mandiri adalah anak bersikap bossy atau suka memerintah. Sifat suka memerintah ini merupakan akibat lanjut dari anak yang selalu dilayani.

Saat memasuki usia batita, anak sudah tidak bergantung sepenuhnya pada orang dewasa, dalam arti sudah bisa jalan, bicara, dan melakukan hal-hal yang diinginkannya, anak akan merasa memiliki otonomi. Menurut Erikson, otonomi ini terlihat setelah mendapatkan rasa percaya pengasuh, bayi-kanak-kanak awal mengetahui bahwa perilakunya adalah milik anak-anak sendiri. Anak-anak ini mulai


(20)

menyatakan kemandiriannya atau disebut otonomi dan anak-anak menyadari keinginannya (Santrock, 2007: 46). Permasalahan yang dihadapi anak sehari-hari dapat dengan mudah diatasi dengan adanya campur tangan orang tua. Namun, cara ini tentunya tidak akan membantu anak untuk menjadi mandiri. Anak akan terbiasa

“lari” kepada orang tua apabila menghadapi persoalan(Mar’atun Shalihah, 2010: 78).

Dengan kata lain, anak terbiasa bergantung pada orang lain, untuk hal-hal yang kecil sekali pun. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa anak-anak sudah menyatakan kemandiriannya, peran orang tua yaitu tidak banyak melarang dan memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan hal sendiri.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di kelompok B TK PKK Prawirotaman, ketika anak sampai di TK beberapa anak masih diantar sampai ke dalam kelas, tas dibawakan oleh orang tua, mulai dari tempat duduk yang menyiapkan juga orang tua, terdapat 3 anak yang masih ditunggu di dalam kelas, di antara 3 anak yang masih ditunggu di dalam kelas, 1 anak belum mau mengerjakan sendiri, ketika makan makanan ringan, 2 sampai 3 anak lari pada orang tua untuk membukakan makanan ringan, sekitar 5 anak meminta guru yang membukakan, dan yang lain berusaha membuka sendiri. Pada waktu istirahat anak-anak bermain di halaman sekolah, terdapat 2 anak yang meminta orang tua untuk menemani bermain meskipun anak tersebut sudah bermain bersama dengan teman-temannya. Terdapat anak yang bermain menggunakan berbagai macam media yang diambil dari rak media atau bermain pasir dengan alat-alat seperti sendok, piring-piringan dan lain sebagainya. Akan tetapi, anak-anak tidak merapikan kembali alat-alat yang digunakan


(21)

untuk bermain pasir, atau saling menyuruh temannya untuk mengembalikan mainan yang diambil dari rak media. Pada kegiatan pembelajaran, anak-anak masih kurang percaya diri hal ini terlihat dari beberapa anak yang selalu meminta bantuan guru sebelum mencoba mengerjakan tugas yang diberikan, anak-anak cenderung tidak mau mengerjakan tugasnya sendiri dan bergantung pada bantuan dari guru. Terdapat beberapa anak yang mengerjakan tugas sampai selesai namun dalam mengerjakan tidak optimal, dan ada juga anak yang tidak menyelesaikan tugasnya sudah berpindah pada kegiatan lain.

Hasil wawancara dengan orang tua menunjukkan bahwa kadangkala anak makan minta disuapi. Sebagian besar anak dimandikan oleh orang tua karena orang tua khawatir anak mandinya kurang bersih. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua kurang mendukung anak untuk mandiri sepenuhnya. Hasil wawancara dengan guru kelas menunjukkan bahwa baru 5 anak saja yang sudah nampak mandiri namun sebagian besar anak belum mandiri, misalnya saja anak yang masih memerlukan bantuan ketika mengembalikan mainan ke tempat semula, anak-anak masih harus diingatkan supaya melaksanakan tugas, dan lain sebagainya. Memang fenomena ini merupakan masalah kedisiplinan namun, disiplin masuk dalam salah satu indikator dari kemandirian.

Upaya guru dalam meningkatkan kemandirian anak biasanya menggunakan pendekatan individu yaitu jika terdapat anak yang tidak mau ditinggal, guru mengalihkan perhatian anak misalnya anak diajak ikut serta bersama guru, bisa duduk bersama guru terlebih dahulu dan untuk tugas yang tidak dikerjakan guru memberi


(22)

nasihat atau motivasi kepada anak. Selanjutnya melalui pembiasaan, misalnya guru melatih dan membiasakan anak untuk membuka dan menutup rit tas sendiri. Untuk anak yang tidak mengembalikan mainannya guru pun membujuk anak tersebut. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian anak tersebut. Pendekatan individual dan pembiasaan ini kurang berhasil dikarenakan membutuhkan waktu yang lama, sehinggamasih saja ada anak-anak tertentu yang selalu meminta guru membantu mengerjakan tugasnya. Guru juga belum pernah menerapkan metode bermain peran khususnya untuk meningkatkan kemandirian anak.

Metode yang akan diterapkan dalam meningkatkan kemandirian anak dalam penelitian ini adalah metode bermain peran. Hal ini diperkuat oleh pendapat Harun Rasyid, dkk (2012: 85) bahwa bermain peran ialah model bermain yang mengarah pada pembentukan kemampuan diri untuk hidup mandiri, memilih sendiri dan berbuat atas kemauan diri sendiri. Moeslichatoen (2004: 38) menyampaikan bahwa metode bermain peran merupakan bermain yang menggunakan daya khayal yaitu dengan memakai bahasa atau berpura-pura bertingkah laku seperti benda tertentu, situasi tertentu, atau orang tertentu, dan bidang tertentu, yang dalam dunia nyata tidak dilakukan. Melalui metode bermain peran anak dapat bermain pura-pura dalam kaitannya dengan kemandiriannya, atau melatih percaya diri anak untuk mau bermain peran, mengingat bahwa kemandirian dan percaya diri saling berkaitan. Imam Musbikin, 2012: 311) juga menegaskan bahwa kemandirian anak berhubungan erat dengan rasa percaya diri, keduanya tidak dapat datang begitu saja, melainkan orang tua atau guru perlu membentuk kondisi yang bisa memupuk sikap dan tingkah laku


(23)

yang mengarah ke kemandirian dan percaya diri. Metode bermain peran dipilih sebagai metode untuk meningkatkan kemandirian anak karena dengan bermain peran anak akan terpengaruh dengan tokoh yang mandiri, anak akan mampu membandingkan tokoh yang mandiri atau tidak mandiri dan mengetahui manfaat kemandirian yang sudah diperankan oleh tokoh. Maka dari itu, metode bermain peran yang diberikan oleh guru merupakan sarana meningkatkan kemandirian anak.

Berdasarkan permasalahan di atas, diperlukan upaya untuk mengatasi masalah kemandirian anak, sehingga diharapkan kemandirian anak akan mengalami peningkatan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang peningkatan kemandirian anak melalui metode bermain peran di Kelompok B TK PKK Prawirotaman.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan permasalahan yang berkaitan dengan kemandirian anak yaitu:

1. Sebagian kecil anak sudah mandiri, namun sebagian besar anak belum mandiri. Hal ini terlihat ketika masih ada beberapa anak yang ditunggu orang tua ketika di dalam kelas maupun ketika bermain dengan teman, masih lari kepada orang tua untuk membuka makanan ringannya, anak-anak yang belum mengembalikan mainannya setelah selesai digunakan.

2. Guru dalam meningkatkan kemandirian anak menggunakan pendekatan individual, namun belum berhasil. Hal ini dikarenakan guru harus melakukan


(24)

pendekatan satu per satu anak dan dirasa kurang efektif untuk meningkatkan kemandirian anak.

3. Percaya diri anak untuk mengerjakan tugas belum tampak. Hal ini terlihat ketika guru memberikan tugas anak-anak sudah mengeluh tidak bisa mengerjakan. C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan, permasalahan akan dibatasi pada:

1. Kemandirian anak masih kurang.

2. Percaya diri anak untuk melakukan kegiatan kurang. D. Rumusan Masalah

Dari identifikasi dan pembatasan masalah dapat dirumuskan masalah yaitu, Bagaimana cara meningkatkan kemandirian anak di sekolah melalui metode bermain peran di kelompok B TK PKK Prawirotaman?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian anak melalui metode bermain peran di kelompok B TK PKK Prawirotaman.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi dunia pendidikan anak usia dini, antara lain:

1. Manfaat teoritis: sebagai referensi bahan pustaka tentang cara meningkatkan kemandirian pada anak usia dini melalui metode bermain peran.


(25)

2. Manfaat praktis

a) Manfaat bagi anak, mendorong anak untuk mandiri khususnya melalui metode bermain peran.

b) Manfaat bagi pendidik, membantu pendidik untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran terutama meningkatkan kemandirian anak. G. Definisi Operasional

1. Kemandirian merupakan kemampuan anak yang menunjukkan usaha dalam suatu kegiatan secara mandiri ataupun dengan sedikit bimbingan sesuai dengan tahap perkembangannya. Kemandirian pada penelitian ini yaitu kemandirian anak khususnya di sekolah seperti anak mengerjakan tugas sendiri, mampu membuka makanan ringan sendiri, tidak ditunggu orang tua di dalam kelas, dan berani bermain sendiri bersama teman-temannya. Indikator kemandirian pada penelitian ini mengacu pada pendapat Brewer (2007) diantaranya kemampuan fisik, percaya diri, bertanggung jawab, disiplin, pandai bergaul, mau berbagi, mengendalikan emosi (Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan, 2013: 61).

2. Metode bermain peran merupakan metode bermain secara pura-pura, memerankan tokoh tertentu atau berpura-pura bertingkah laku sesuai dengan tokoh yang diperankan. Adapun langkah-langkah bermain peran yaitu menentukan tema bermain peran, membuat rencana atau skenario cerita, menyediakan alat atau media untuk bermain peran, menata tempat bermain peran, guru menjelaskan teknik bermain peran, guru juga menyampaikan yang belum bermain menjadi penonton, guru dapat memberi kesempatan pada anak untuk


(26)

merancang jalan cerita, lalu mulai bermain peran, dan yang terakhir yaitu mengadakan diskusi untuk mengulas kembali pesan-pesan yang terkandung dari bermain peran.


(27)

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perkembangan Sosial Emosional Anak

Perkembangan sosial dan emosional merupakan dua aspek yang berlainan, namun dalam kenyataannya satu sama lain saling mempengaruhi. Fauziah menyampaikan perkembangan sosial emosional pada dasarnya adalah perubahan pemahaman anak tentang diri dan lingkungannya ke arah yang lebih jelas dan sempurna yang meliputi pemahaman terhadap diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain yaitu teman sebaya dan orang dewasa, tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun orang lain, dan perilaku prososial (Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan, 2013: 79).

Peran orang tua dan guru di sekolah dalam mengembangkan perilaku sosial dan emosional anak adalah ditempuh dengan menanamkan sejak dini pentingnya pembinaan perilaku dan sikap yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik. Hal inilah, yang menjadi dasar utama pengembangan perilaku sosial dan emosional dalam mengarahkan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat. Perilaku sosial dan emosional yang diharapkan dari anak pada usia dini ialah perilaku-perilaku yang baik, seperti kedisiplinan, kemandirian, tanggung jawab, percaya diri, jujur, adil, setia kawan, sifat kasih sayang terhadap sesama, dan memiliki toleransi yang tinggi (Ahmad Susanto, 2011: 133-134).

Adapun karakteristik sosial emosional anak usia dini antara lain disampaikan oleh Steinberg (Ahmad Susanto, 2011: 152-153) ciri-ciri perkembangan sosial dan


(28)

emosional anak usia 4-6 tahun antara lain yaitu anak lebih menyukai bekerja dengan dua atau tiga teman yang dipilih sendiri, bermain dalam kelompok dan senang bekerja berpasang-pasangan, mulai mengikuti dan mematuhi aturan serta berada pada tahap heteronomous morality, anak dapat membereskan alat mainan, rasa ingin tahu yang besar, mampu bicara dan bertanya apabila diberi kesempatan, dapat diajak diskusi, mulai dapat mengendalikan emosi diri, dan mempunyai kemauan untuk berdiri sendiri-sendiri.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009 menyampaikan tentang standar tingkat pencapaian perkembangan anak pada tingkat pencapaian perkembangan usia 5 sampai 6 tahun khususnya sosial emosionalnya antara lain bersikap kooperatif dengan teman, menunjukkan sikap toleran, mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada (senang-sedih-antusias, dan sebagainya), mengenal tata krama dan sopan santun sesuai dengan nilai sosial budaya setempat, memahami peraturan dan disiplin, menunjukkan rasa empati, memiliki sikap gigih (tidak mudah menyerah), bangga terhadap hasil karya sendiri, menghargai keunggulan orang lain.

Menurut teori psikososial Erikson (Santrock, 2007: 46-47) motivasi utama manusia bersifat sosial dan mencerminkan suatu keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. Adapun tahap-tahapannya sesuai untuk usia dini yaitu:

1. Kepercayaan versus ketidakpercayaan (trust versus mistrust), dialami pada tahun pertama kehidupan. Rasa percaya melibatkan rasa nyaman secara fisik dan tidak ada rasa takut atau kecemasan akan masa depan. Rasa percaya yang dirasakan


(29)

bayi akan menjadi fondasi kepercayaan sepanjang hidup bahwa dunia akan menjadi tempat yang baik dan menyenangkan untuk ditinggali.

2. Otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu (autonomy versus shame and doubt), terjadi pada masa bayi akhir dan masa kanak-kanak awal (1-3 tahun). Setelah mendapatkan rasa percaya pengasuh, bayi mulai mengetahui bahwa perilakunya adalah milik anak sendiri. Anak mulai menyatakan kemandiriannya, atau disebut otonomi. Anak menyadari keinginannya sendiri. Jika anak terlalu dibatasi atau dihukum dengan keras, anak mungkin memunculkan rasa malu dan ragu-ragu. 3. Inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt), terjadi selama tahun

prasekolah. Begitu anak prasekolah memasuki dunia sosial yang lebh luas, anak mengahadapi lebih banyak tantangan daripada ketika masih bayi. Perilaku yang aktif dan bertujuan diperlukan untuk menghadapi tantangan ini. Anak diminta untuk memikirkan tanggung jawab terhadap tubuh, perilaku, mainan, dan hewan peliharaannya. Mengembangkan rasa tanggung jawab dapat meningkatkan inisiatif. Meskipun demikian, rasa bersalah yang tidak nyaman dapat muncul, jika anak tidak bertanggung jawab dan dibuat merasa sangat cemas.

Dari teori sosial-emosional yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial dan emosional merupakan dua aspek yang berlainan namun dalam kenyataanya saling mempengaruhi. Peran orang tua dan guru yaitu mengembangkan perilaku sosial-emosional melalui pembiasaan yang baik. Karakteristik sosial-emosional pada anak usia dini usia 4-6 tahun menurut Steinberg (Ahmad Susanto, 2011: 153) salah satunya adalah mempunyai kemauan untuk berdiri


(30)

sendiri atau mandiri. Adapun tahap-tahap perkembangan psikososial menurut Erikson (Santrock, 2007: 46-47) yang sesuai untuk anak usia dini yaitu trust versus mistrust, autonomy versus shame and doubt,daninitiative versus guilt.

B. Kemandirian Anak 1. Pengertian Kemandirian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 710), kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Tri Rahayu (2014: 2) menyampaikan bahwa kemandirian merupakan suatu sikap dari anak yang menunjukkan usaha yang dilakukan dengan sadar secara mandiri tanpa harus disuruh atau diminta untuk melakukan sesuatu dalam kegiatan pembelajaran. Selanjutnya Anita Lie & Sarah Prasasti (2004: 2) menyampaikan kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya.

Dari pengertian kemandirian di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah keadaan atau kemampuan anak yang menunjukkan usaha dalam suatu kegiatan secara mandiri ataupun dengan sedikit bimbingan sesuai tahap perkembangan dan kapasitasnya.

2. Aspek Kemandirian

Martinis Yamin (2013: 80-84) menyampaikan aspek kemandirian diantaranya yaitu kemandirian sosial dan emosi, dalam penelitian Ghaye dan Pascall mengidentifikasikan tiga kegiatan berbeda dalam mengembangkan kemandirian sosial anak. Tiga kegiatan tersebut di antaranya yaitu pemisahan, transisi, dan


(31)

bekerjasama. Pemisahan di sini yaitu proses mendidik anak untuk lepas dari ketergantungan terhadap orang tua atau orang dewasa. Transisi merupakan proses yang dialami anak ketika anak pindah ke lingkungan lainnya. Selanjutnya bekerjasama dalam hal ini adalah kegiatan anak dalam suatu tim, dalam bekerjasama anak diharapkan dapat mengelola emosinya. Jika emosi anak terjaga maka hubungan dengan teman atau orang lain akan nyaman.

Kemandirian fisik dan fungsi tubuh, dalam hal ini adalah kemandirian dalam memenuhi kebutuhan seperti anak butuh makan sebisa mungkin anak mampu makan sendiri atau memakai baju sendiri bahkan membisakan membersihkan diri sendiri (mandi dan buang air). Untuk mengajarkan anak mandiri fisik dan fungsi tubuh harus dilaksanakan secara perlahan dan dilakukan berulang-ulang. Kemandirian intelektual, yaitu mandiri belajar dan memperoleh pengetahuan. Leslie Webb (Martinis Yamin, 2013: 84) menyatakan bahwa anak usia 5 tahun yang sudah masuk taman kanak-kanak sudah mampu mandiri secara intelektual. Jika ingin meningkatkan kemandirian intelektual anak yaitu dengan cara memberikan kesempatan untuk mengerjakan semua tanggung jawabnya, namun tetap dengan pengawasan orang dewasa.

Santrock (2002: 126) menyatakan bahwa kemandirian mengandung aspek: kemantapan identitas, menghadapi masalah dan berupaya mengatasinya, membangun hubungan dengan orang lain, meningkatkan komitmen terhadap orang lain, dan melakukan sesuatu tanpa mengikuti orang lain (Alben Ambarita, 2006: 92). Selanjutnya, Sprinthall dan Collins (1984: 117) menyampaikan ada dua aspek yang berkaitan dengan kemandirian, antara lain: kemandirian meliputi penyesuaian


(32)

beberapa perilaku dan perasaan, otonomi dalam nilai-nilai pengambilan keputusan, kemandirian adalah sebagai budaya dan menjadi harapan masyarakat (Alben Ambarita, 2006: 94).

Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa aspek kemandirian meliputi: kemandirian sosial dan emosi, kemandirian fisik dan fungsi tubuh, menghadapi masalah dan berupaya mengatasinya, kemandirian intelektual. Diharapkan anak mampu mencapai aspek-aspek kemandirian yang sudah disampaikan di atas, sehingga anak dapat dikatakan menjadi pribadi yang mandiri. 3. Karakteristik Kemandirian

Brewer (2007) menyatakan bahwa kemandirian anak Taman Kanak-kanak indakatornya antara lain kemampuan fisik, percaya diri, bertanggung jawab, disiplin, pandai bergaul, mau berbagi, mengendalikan emosi (Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan, 2013: 61). Kemandirian masuk dalam aspek sosial emosional yang adapun indikatornya adalah anak mampu memilih kegiatan sendiri, anak mampu bekerja sendiri, dan anak melaksanakan tugas yang diberikan sampai selesai (Permendiknas No. 58 Tahun 2009).

Hal senada juga disampaikan oleh Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 63) bahwa anak yang mandiri untuk ukuran anak usia dini terlihat dengan ciri-ciri yakni dapat melakukan segala aktivitasnya secara mandiri meskipun tetap dengan pengawasan orang dewasa, dapat membuat keputusan dan pilihan sesuai dengan pandangan, pandangan itu sendiri diperolehnya dari melihat perilaku atau perbuatan orang-orang disekitarnya, dapat bersosialisasi dengan orang lain tanpa perlu ditemani


(33)

orangtua, dan dapat mengontrol emosinya bahkan dapat berempati terhadap orang lain.

Novan Ardy Wiyani (2013: 33) menyampaikan ciri-ciri kemandirian anak usia dini adalah sebagai berikut:

a. Memiliki kepercayaan kepada diri sendiri

Anak yang memiliki rasa percaya diri memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu dan menentukan pilihan sesuai dengan kehendaknya sendiri dan bertanggung jawab terhadap konsekuensi yang akan terjadi.

b. Memiliki motivasi instrinsik yang tinggi

Motivasi instrinsik merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri untuk melakukan suatu perilku maupun perbuatan. Motivasi instrinsik ini pada umumnya lebih kuat dan abadi dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik.

c. Mampu dan berani menentukan pilihannya sendiri

Anak yang berkarakter mandiri memiliki kemampuan dan keberanian dalam menentukan pilihan sendiri. Contohnya seperti memilih makanan yang akan dimakan, memilih baju yang akan dipakai, dan dapat memilih mainan yang akan digunakan untuk bermain, serta dapat memilih mana sandal untuk kaki kanan dan mana sandal untuk kaki kiri.

d. Kreatif dan inovatif

Kreatif dan inovatif pada anak usia dini merupakan salah satu ciri anak yang memiliki karakter mandiri, seperti dalam melakukan sesuatu atas kehendak


(34)

sendiri tanpa disuruh oleh orang lain, tidak bergantung terhadap orang lain dalam melakukan sesuatu, menyukai dan selalu ingin mencoba hal-hal baru.

e. Bertanggung jawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya

Pada saat anak usia dini mengambil keputusan atau pilihan, tentu ada konsekuensi yang melekat pada pilihannya. Anak yang mandiri tentunya akan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya. Tentu saja bagi anak usia dini tanggung jawab tersebut dilakukan dalam taraf yang wajar. Misalnya, tidak menangis ketika salah mengambil alat mainan, lalu dengan senang hati menggantinya dengan alat mainan lain yang diinginkannya.

f. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya

Lingkungan KB maupun TK merupakan lingkungan yang baru bagi anak usia dini. Sering sekali kita menemukan dengan mudah anak yang menangis ketika pertama kali masuk KB maupun TK. Bahkan, kebanyakan anak ditunggu oleh orangtuanya ketika sedang belajar di kelas. Bagi anak yang memiliki karakter mandiri, dia akan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan dapat belajar walaupun tidak ditunggui oleh orangtuanya.

g. Tidak bergantung pada orang lain

Anak yang memiliki karakter mandiri selalu ingin mencoba sendiri dalam melakukan segala sesuatu, tidak bergantung kepada orang lain dan dia tahu kapan waktunya meminta bantuan orang lain. Setelah anak berusaha melakukannya sendiri tetapi tidak mampu untuk mendapatkannya, barulah dia akan meminta


(35)

bantuan orang lain. Contohnya, seperti pada saat anak akan mengambil mainan yang jauh dari jangkauannya.

Dari ciri-ciri atau karakteristik kemandirian anak yang sudah disampaikan maka dapat disimpulkan bahwa ciri kemandirian anak antara lain percaya diri, memiliki tanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan, tidak bergantung pada orang tua atau orang dewasa lainnya, disiplin, mampu mengontrol emosi, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan memiliki motivasi intrinsik yang tinggi. 4. Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Anak akan mandiri jika dimulai dari keluarganya dan hal ini menyebabkan tingkat kemandirian seseorang berbeda satu sama lain, hal ini disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi kemandirian tersebut. Adapun faktor yang mempengaruhi kemandirian anak menurut Derry Iswidharmanjaya (2008: 2) yaitu: anak kurang mandiri karena di rumah anak selalu mendapatkan perlakuan istimewa dari orang tuanya dan segala kebutuhannya selalu dilayani oleh orang tuanya. Derry Iswidharmanjaya (2008: 21) juga menyampaikan bahwa sikap over-protective orang tua inilah yang menghalangi kemandirian anak sehingga anak menjadi seorang yang kurang percaya diri. Percaya diri sangat erat kaitannya dengan kemandirian anak. Percaya diri merupakan proses untuk menjadi mandiri. Apabila seorang anak telah mengerti benar kemampuan yang ia miliki, ia pun semakin mantap untuk mandiri.

Muhammad Asrori (Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan, 2013: 61-62) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah: keturunan orang tua, pola asuh orang tua, sistem pendidikan di sekolah, sistem kehidupan di


(36)

masyarakat. Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 62) menyebutkan bahwa kemandirian seorang anak juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya lingkungan keluarga, sosial, dan lingkungan sekolah.

Novan Ardy Wiyani (2013: 36-41) menyampaikan setidaknya ada dua faktor yang berpengaruh dalam mendorong timbulnya kemandirian anak usia dini, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri anak, sedangkan faktor eksernal adalah faktor yang berasal dari luar diri anak. Berikut adalah deskripsi dari faktor-faktor yang mendorong timbulnya kemandirian anak.yaitu:

1. Faktor internal

Faktor internal ini terdiri dari dua kondisi, yaitu kondisi fisiologis dan kondisi psikologis. Berikut adalah penjelasan dari dua kondisi tersebut.

a. Kondisi fisiologis

Kondisi fisiologis yang berpengaruh antara lain keadaan tubuh, kesehatan jasmani, dan jenis kelamin. Pada umumnya, anak yang sakit lebih bersikap tergantung daripada orang yang tidak sakit. Lamanya anak sakit pada masa bayi menjadikan orangtua sangat memperhatikannya. Anak yang menderita sakit atau lemah otak mengundang kasihan yang berlebihan dibandingkan yang lain sehingga dia mendapatkan pemeliharaan yang lebih, dan itu sangat berpengaruh terhadap kemandirian mereka.

Jenis kelamin anak juga berpengaruh terhadap kemandiriannya. Pada anak perempuan terdapat dorongan untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada


(37)

orangtua, tetapi dengan statusnya sebagai anak perempuan, mereka dituntut untuk bersikap pasif, berbeda dengan anak lelaki yang agresif dan ekspansif, akibatnya anak perempuan berada lebih lama dalam ketergantungan daripada anak laki-laki.

b. Kondisi psikologis

Meskipun kecerdasan atau kemampuan berpikir seorang anak dapat diubah atau dikembangkan melalui lingkungan, sebagian ahli berpendapat bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap keberhasilan lingkungan dalam mengembangkan kecerdasan seorang anak. Pandangan yang demikian dalam perspektif ilmu pendidikan dikenal dengan paradigma nativisme. Sementara mereka yang berpandangan kecerdasaan atau kemampuan berpikir seorang anak dipengaruhi oleh lingkungannya dikenal dengan paradigma empirisme. Perpaduan antara keduanya adalah pandangan konvergensi. Para pakar pendidikan sepakat bahwa kecerdasan atau kemampuan kognitif berpengaruh terhadap pencapaian kemandirian seorang anak. Hal ini disebabkan kemampuan bertindak dan mengambil keputusan yang dilakukan oleh seorang anak hanya mungkin dimiliki oleh anak yang mampu berpikir dengan seksama tentang tindakannya. Dengan demikian, kecerdasan atau kemampuan kognitif yang dimiliki seorang anak memiliki pengaruh terhadap pencapaian kemandirian anak.

2. Faktor eksternal

Faktor eksternal ini meliputi lingkungan, rasa cinta dan kasih sayang orangtua kepada anaknya, pola asuh orangtua dalam keluarga, dan faktor pengalaman dalam kehidupan.


(38)

a. Lingkungan

Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pembentukan kemandirian anak usia dini. Lingkungan yang baik dapat menjadikan cepat tercapainya kemandirian anak. Keluarga sebagai lingkungan terkecil bagi anak merupakan kawah candradimuka dalam pembentukan karakter anak. Kondisi lingkungan keluarga ini sangat berpengaruh dalam kemandirian anak. Dengan pemberian stimulasi yang terarah dan teratur di lingkungan keluarga, anak akan lebih cepat mandiri dibanding dengan anak yang kurang dalam mendapat stimulasi.

b. Rasa cinta dan kasih sayang

Rasa cinta dan kasih sayang orangtua kepada anak hendaknya diberikan sewajarnya karena hal itu dapat mempengaruhi mutu kemandirian anak. Bila rasa cinta dan kasih sayang diberikan berlebihan, anak akan menjadi kurang mandiri.

Masalah tersebut dapat diatasi jika interaksi antara anak dan orangtua berjalan dengan lancar dan baik. Interaksi yang baik tersebut dapat menjadikan anak menjadi mandiri. Orangtua akan memberikan informasi yang baik jika orangtua tersebut mempunyai pendidikan karena dengan pendidikan yang baik, orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang mendidik anak agar anak menjadi mandiri. Orangtua yang berpendidikan dalam konteks ini bukanlah orangtua yang berpendidikan tinggi, melainkan orangtua yang memiliki wawasan luas, mau belajar, dan peduli dengan pendidikan anaknya.

Pemberian rasa cinta dan kasih sayang orangtua kepada anaknya jga dipengaruhi oleh status pekerjaan orangtua. Apabila orangtua, khususnya ibu bekerja


(39)

di luar rumah untuk mencari nafkah, akibatnya ibu tidak bisa melihat perkembangan anaknya; apakah anaknya sudah bisa mandiri atau belum. Sementara itu, ibu yang tidak bekerja bisa melihat langsung perkembangan kemandirian anaknya dan bisa mendidiknya secara langsung.

c. Pola asuh orangtua dalam keluarga

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, lingkungan keluarga berperan penting dalam pembentukan karakter kemandirian. Pembentukan karakter kemandirian tersebut tidak lepas dari peran orangtua dan pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Bila seorang anak sejak kecil dilatih untuk mandiri ketika harus keluar dari asuhan orangtua untuk hidup mandiri ia tidak akan merasa takut.

Pola asuh ayah dan ibu mempunyai peran nyata dalam membentu karakter mandiri anak usia dini. Toleransi yang berlebihan begitu pun dengan pemeliharaan yang berlebihan dari orangtua yang terlalu keras kepada anak akan dapat menghambat pencapaian kemandiriannya. Bila karena rasa kasih sayang dan khawatir, seorang ibu tidak berani melepaskan anaknya untuk berdiri sendiri, menjadikan anak tersebut harus selalu dibantu, si anak akan selalu terikat pada ibu. Pada akhirnya, karena dimanjakan anak menjadi tidak dapat menyesuaikan diri dan perkembangan anaknya mengarah pada keragu-raguan. Semantara di sisi lain, sikap ayah yang keras juga dapat menjadikan ana kehilangan percaya diri. Namun, pemanjaan dari ayah yang berlebihan juga dapat menjadikan anak kurang berani menghadapi masayarakat luas.


(40)

d. Pengalaman dalam kehidupan

Pengalaman dalam kehidupan anak meliputi pengalaman di lingkungan sekolah dan masyarakat. Lingkungan sekolah berpengaruh terhadap pembentukan kemandirian anak, baik melalui hubungan dengan teman maupun dengan guru. Interaksi anak dengan teman sebaya di lingkungan sekitar juga berpengaruh terhadap kemandiriannya, begitu juga pengaruh teman sebaya di sekolah. Dalam perkembangan sosial, anak mulai memisahkan diri dari orangtuanya dan mengarah kepada teman sebaya. Maka pada saat itu, anak telah memulai perjuangan memperoleh kebebasan. Dengan demikian, melalui hubungan dengan teman sebaya, anak akan belajar berpikir mandiri.

Faktor budaya dan kelas sosial juga dapat memengaruhi kemandirian anak usia dini. Seorang anak dalam ruang lingkup tempat tinggalnya mengalami tekanan untuk mengembangkan suatu pola kepribadian tertentu yang sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh budayanya. Kemudian kelas sosial, termasuk kelas ekonomi dan kelas pendidikan juga memengaruhi ketergantungan anak pada orangtua. Pengaruh kelas sosial terhadap pembentukan kemandirian terlihat dari golongan priyayi dan nonpriyayi yang sejak berusia 12 tahun lebih mandiri dari anak-anak dalam keluarga priyayi.

Dari pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kemandirian anak antara lain pola asuh orang tua, orang tua yang terlalu memanjakan anak atau terlalu over protective ternyata berpengruh dalam pembentukan kemandirian anak; kondisi fisiologis yang berupa keadaan tubuh missal


(41)

kecacatan atau kesehatan jasmani, dan jenis kelamin; lingkungan sekolah atau sistem pendidikan di sekolah, sekolah yang terbiasa menerapkan kemandirian akan membntuk anak yang mandiri, anak-anak yang mandiri juga berpengaruh terhadap temannya di sekolah; lingkungan sosial juga berpengaruh terhadap kemandirian anak, misalnya lingkungan anak adalah lingkungan orang-orang pekerja keras atau anak sering melihat kakaknya menyelesaikan PR di rumah secara mandiri, maka anak akan terbiasa meniru kemandirian orang-orang disekitarnya; pengalaman ternyata juga berpengaruh dalam pembentukan kemandirian anak, anak yang sudah berpengalaman bermain puzzle misalnya tidak akan seikit-sedikit meminta bantuan kepada orang lain.

5. Pengembangan Kemandirian

Imam Musbikin (2012: 312) menyampaikan cara untuk meningkatkan kemandirian anak yaitu, melatih anak untuk bertanggung jawab terhadap barang atau mainannya sendiri, bukan dengan mengandalkan orang lain; melatih anak untuk belajar memakai baju sendiri atau memilih baju yang akan dikenakan; mencoba meninggalkan anak sedikit demi sedikit dengan diberikan pengertian supaya mau ditinggal saat di sekolah; melatih anak untuk memilih sendiri kebutuhan prakarya di sekolahnya saat berbelanja, biarlah anak membayar sendiri; berikan pujian setiap kali anak mampu menyelesaikan setiap tugas yang dilakukannya. Pujian ini dapat membangun perasaan bahwa ia mampu, maka rasa percaya dirinya akan timbul. Jangan terlalu memaksa anak untuk mandiri, perhatikan taraf kemampuan anak yang


(42)

disesuaikan dengan usia dan perkembangannya serta kematangan fisik dan mentalnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mar’atun Shalihah (2010: 80-82) Beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk menanamkan kemandirian pada anak, membuatnya tidak suka bergantung dan bisa mengambil keputusan sendiri antara lain: Beri kesempatan anak belajar memilih, bantuan bisa diberikan sebagai alternatif. Peran orang tua atau guru adalah menunjukkan kemungkinan alternatif yang bisa membantu anak mengatasi suatu masalah, menghargai hasil kerja anak dan sabar pada prosesnya, jangan banyak tanya hanya karena ingin dianggap perhatian.

Selanjutnya Moeslichatoen (2004: 6) menyatakan berbagai hal dapat dilaksanakan oleh guru untuk mengembangkan anak agar dapat berkembang menjadi pribadi yang mandiri, yang dapat dilakukan guru antara lain membantu setiap anak berkembang pada tingkat kemandirian yang sesuai usia tingkat TK, membantu setiap anak supaya dapat merasa aman dan bahagia dalam lingkungan sekolah karena setiapa anak dibantu untuk menumbuhkan kemampuan saling berbagi dan kasih sayang, membantu anak mengenal lingkungan yang lebih luas seperti lingkungan sekolah (pengalaman awal sekolah yang menyenangkan) dan mengembangkan cara berhubungan antarpribadi yang baik, membantu anak untuk memahami bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi atau akibat, membimbing dan mendorong anak untuk mengembangkan bakat dan aspek-aspek kepribadiannya yang mengacu pada bermacam peran seseorang dalam masyarakat, merancang kegiatan yang dapat membantu anak untuk mengenali kondisi tubuh masing-masing dan menanamkan


(43)

kebiasaan makan, menjaga kebersihan, dan kesehatan agar memiliki kondisi tubuh yang sehat, membantu mengembangkan keterampilan motorik halus dan kasar, membantu mengembangkan kemampuan dalam kaitan pemahaman lingkungan fisik dan mengendalikannya dengan cara membangkitkan rasa ingin tahu, berpikir, menalar, mengumpulkan, dan menggunakan informasi tentang lingkungan fisik yang diperoleh, tiap kesempatan perlu dimanfaatkan oleh guru untuk membantu perkembangan penggunaan bahasa dan pemahaman bicara anak atau orang lain.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan beberapa cara meningkatkan kemandirian anak antara lain yakni, memberikan kesempatan kepada anak anak untuk memilih dan menyelesaikan kegiatan yang dilakukan anak; melatih rasa tanggung jawab kepada anak, bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi; membantu anak untuk merasa aman dan memperoleh pengalaman postif terhadap lingkungannya; belajar meninggal anak di sekolah sedikit demi sedikit; merancang kegiatan yang bisa mengembangkan kemandirian, menghargai hasil kerja dan sabar pada prosesnya misal dengan pujian.

C. Metode Pembelajaran Anak Usia Dini

Sugihartono (2007: 81) menyampikan metode pembelajaran berarti cara yang dilakukan dalam proses pembelajaran sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal. Pembelajaran sebaiknya menyenangkan, menggembirakan, dan demokratis agar menarik anak untuk terlibat dalam setiap kegiatan pembelajaran. Anak tidak hanya duduk tenang mendengarkan ceramah gurunya, tetapi mereka aktif berinteraksi dengan berbagai benda dan orang di lingkungannya, baik secara fisik maupun mental.


(44)

Pembelajaran di TK harus menerapkan esensi bermain. Esensi bermain meliputi perasaan menyenangkan, merdeka, bebas memilih, dan merangsang anak terlibat aktif. Jadi, prinsip bermain sambil belajar mengandung arti bahwa setiap kegiatan pembelajaran harus menyenangkan, gembira, aktif, dan demokratis (Slamet Suyanto, 2005: 127).

1. Macam-Macam Metode Pembelajaran

Conny Semiawan (1992: 76-87) menyampaikan bahwa ada beberapa metode pembelajaran diantaranya metode diskusi yaitu suatu cara penyampaian pelajaran melalui sarana pertukaran pikiran untuk memecahkan persoalan yang dihadapi, selanjutnya metode karyawisata ialah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dengan membawa siswa langsung, kepada obyek yang akan dipelajari di luar kelas, dan yang terakhir yaitu metode bermain peran, unsur yang menonjol dalam bermain peran adalah unsur hubungan sosial. Metode ini dapat mengembangkan penghayatan, tanggungjawab, dan terampil dalam memaknai materi yang dipelajari.

Hal senada juga disampikan oleh Sugihartono (2007: 81) tentang macam-macam metode pembelajaran diantaranya metode ceramah yaitu metode dari guru kepada anak melalui penyampaian materi baik bahasa lisan verbal maupun nonverbal, berikutnya metode latihan yaitu metode penyampaian materi melalui upaya penanaman terhadap kebiasaan-kebiasaan tertentu, metode tanya jawab, merupakan cara penyajian materi pelajaran melalui bentuk pertanyaan yang harus dijawab oleh anak didik, metode karyawisata yaitu metode penyampaian materi dengan cara membawa langsung anak didik langsung ke objek di luar kelas atau di lingkungan


(45)

kehidupan nyata, metode demonstrasi merupakan metode pembelajaran dengan cara memperlihatkan suatu proses atau cara kerja suatu benda yang berkaitan dengan bahan pelajaran, metode bermain peran merupakan metode pembelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan anak didik dengan cara anak didik memerankan suatu tokoh baik tokoh hidup atau benda mati, metode diskusi yaitu metode pembelajaran melalui pemberian masalah kepada siswa dan siswa diminta memecahkan masalah secara kelompok, metode pemberian tugas/resitasi merupakan metode pembelajaran melalui pemberian tugas kepada siswa, metode eksperimen yaitu metode pembelajaran dalam bentuk pemberian kesempatan kepada siswa untuk melakukan suatu proses atau percobaan dan yang terakhir adalah metode proyek, yaitu metode pembelajaran berupa penyajian kepada siswa materi pelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah yang selanjutnya dibahas dari berbagai sisi yang relevan sehingga diperoleh pemecahan secara menyeluruh dan bermakna.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat macam-macam metode pembelajaran. Salah satunya adalah metode bermain peran. Pada penelitian ini metode pembelajaran yang digunakan yaitu metode bermain peran.

2. Bermain Peran

Moeslichatoen (2004: 38) menyampaikan bahwa bermain peran adalah bermain yang menggunakan daya khayal yaitu dengan memakai bahasa atau berpura-pura bertingkah laku seperti benda tertentu, situasi tertentu, atau orang tertentu, dan bidang tertentu, yang dalam dunia nyata tidak dilakukan. Senada dengan Moeslichatoen, Slamet Suyanto (2005: 84) menyampaikan bahwa bermain peran


(46)

pada dasarnya adalah bermain dengan mengkhayal, seperti anak mengkhayalkan dirinya sebagai pilot dengan menggunakan kursi sebagai pesawat yang dikemudikannya, anak mengkhayal dirinya sebagai dokter yang sedang memeriksa pasiennya dan sebagainya. Selanjutnya Sugihartono (2007: 83) juga menyampaikan bahwa metode bermain peran merupakan metode pembelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan anak didik dengan cara anak didik memerankan suatu tokoh baik tokoh hidup atau benda mati.

Adapun tujuan dari bermain peran seperti yang disebutkan oleh Harun Rasyid, dkk (2012: 85) ialah model bermain yang mengarah pada pembentukan kemampuan diri untuk hidup mandiri, memilih sendiri dan berbuat atas kemauan diri sendiri. Winda Gunarti, dkk (2008: 10.11) juga menyampaikan tujuan bermain peran antara lain:

a. Anak dapat mengeksplorasikan perasaaan-perasaan ketika bermain peran. b. Memperoleh pengetahuan tentang sikap-sikap, nilai-nilai, dan persepsinya. c. Mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah yang dihadapi. d. Mengembangkan kreativitas dengan membuat jalan cerita atas inisiatif anak. e. Melatih daya tangkap anak terhadap perintah atau pesan yang ada.

f. Melatih daya konsentrasi anak selama bermain peran.

g. Melatih membuat kesimpulan dari kegiatan yang telah dilakukan.

h. Membantu pengembangan kognitif karena anak dapat menemukan pemecahan masalah yang ada atau bermain pura-pura memerankan tokoh tertentu..


(47)

j. Menciptakan suasana yang menyenangkan melalui bermain peran yang dilakukan. k. Mencapai kemampuan berkomunikasi secara spontan/berbicara lancar.

l. Membangun pemikiran yang analitis dan kritis. m. Membangun sikap positif dalam diri anak.

n. Membutuhkan aspek afektif melalui penghayatan isi cerita.

o. Untuk membawa situasi yang sebenarnya ke dalam bentuk simulasi miniatur kehidupan.

Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari bermain peran berikut manfaat bermain peran yang disampaikan oleh Slamet Suyanto (2005: 126) menyatakan bahwa bermain peran sangat baik untuk mengembangkan kemampuan bahasa, komunikasi, dan memahami peran-peran masyarakat. Kegiatan bermain peran akan memberikan kesenangan yang dapat memuaskan dirinya baik yang dilakukan atas usahanya sendiri maupun menjadi pengikut dari aturan yang ditetapkan temannya. Dengan demikian kegiatan bermain peran akan merangsang lebih lanjut kemampuan anak dalam berbahasanya. Dengan sendirinya juga akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan kreatifitas anak.

Manfaat selanjutnya disampaikan oleh Mayke S. Tedjasaputra (2001: 58) yaitu membantu penyesuaian diri anak. Anak akan bisa menyesuaikan sikap yang dapat diterima oleh orang lain. Selanjutnya, anak dapat memperoleh kesenangan dari kegiatan yang dilakukan atas usaha sendiri, belajar menjadi pengikut, dalam artian mau memerankan tokoh-tokoh tertentu yang ditetapkan oleh teman mainnya dan


(48)

tidak hanya memerankan tokoh yang diinginakn oleh anak. Perkembangan bahasa juga akan meningkat karena anak melakukan interaksi dengan orang lain.

Langkah pembelajaran bermain peran (Winda Gunarti, dkk, 2008: 10.52-10.53) secara umum yaitu memilih tema yang akan dimainkan (mendiskusikan kemungkinan dan urutan waktunya dengan anak), membuat rencana atau scenario atau naskah jalan cerita, membuat scenario kegiatan yang fleksibel, dapat diubah sesuai dengan dinamika yang terjadi dan mencakup berbagai ragam aspek perkembangan anak (keaksaraan, matematis, sains terpadu, sosial dan kesehatan), menyediakan media dan alat (alat bisa menggunakan bahan daur ulang) yang diperlukan dalam kegiatan, guru menerangkan teknik bermain peran yang disukainya, jika bermain peran untuk pertama kali dilakukan sebaiknya guru sendirilah memilih anak yang dapat melaksanakan peran-peran itu, guru menetapkan peran pendengar (anak didik yang tidak turut bermain peran), dalam diskusi perencanaan, guru memberikan kesempatan pada anak (dengan teknik curah pendapat/brainstorming) untuk merancang jalan cerita, guru menyarankan kalimat pertama yang baik diucapkan oleh pemain untuk memulai, anak bermain peran, di akhir kegiatan mendiskusikan untuk mengulas kembali nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam bermain peran untuk diteladani anak, khusus di sentra drama, membuat pra-rencana dan setting tempat yang mendukung untuk 2-4 minggu, menyetting tempat bermain peran dengan gambar-gambar dan dekorasi yang mendukung jalan cerita.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode bermain peran adalah metode pembelajaran yang menggunakan daya khayal dengan cara memerankan


(49)

suatu tokoh baik tokoh hidup maupun benda mati. Tujuan dari metode bermain peran antara lain yaitu membentuk kemampuan diri anak untuk hidup mandiri, anak dapat mengeksplorasikan perasaaan-perasaan, memperoleh wawasan tentang sikap-sikap, nilai-nilai, dan persepsinya, mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi dan masih banyak lagi. Sedangkan manfaat yang diperoleh dari bermain peran antara lain perkembangan bahasa anak meningkat, anak memperoleh kesenangan dari bermain peran, dan mengetahui peran-peran yang ada di masyarakat. Terdapat langkah-langkah dalam bermain peran mulai dari penentuan tema hingga mengulas kembali kegiatan bermain peran yang telah dilaksanakan. D. Kerangka Pikir

Kemandirian adalah keadaan atau kemampuan anak yang menunjukkan usaha dalam suatu kegiatan secara mandiri ataupun dengan sedikit bimbingan sesuai tahap perkembangan dan kapasitasnya. Adapun indikator kemandirian yaitu, anak percaya diri, memiliki tanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan, tidak bergantung pada orang tua atau orang dewasa lainnya, disiplin, mampu mengontrol emosi, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan memiliki motivasi intrinsik yang tinggi.

Kemandirian sangat penting bagi anak karena merupakan bekal untuk menghadapi kehidupan dewasanya kelak. Orang tua tidak bisa selamanya menunggu anaknya. Fenomena terkait kurangnya kemandirian anak dapat dilihat dari sebagian besar anak belum mengembalikan mainannya ketika selesai digunakan, anak-anak masih harus diantar saat akan ke toilet, tanggung jawab anak juga masih rendah, anak sudah berpindah pada kegiatan lain padahal belum menyelesaikan tugasnya dan


(50)

percaya diri anak pun masih kurang hal ini terlihat ketika anak-anak mendapat tugas menyampaikan ketidakmampuan sebelum mencoba mengerjakan tugas yang diberikan. Ada beberapa faktor penyebab anak kurang mandiri, salah satunya adalah orang tua yang sering memanjakan anak, anak-anak masih ada yang ditunggui oleh orangtuanya atau anak tidak mau ditinggal. Guru sebenarnya sudah menanamkan kemandirian pada anak melalui pendekatan individu namun kurang efektif.

Adapun metode yang akan digunakan untuk meningkatkan kemandirian anak adalah metode bermain peran. Metode bermain peran menurut Sugihartono (2007: 81) adalah metode pembelajaran yang menggunakan daya khayal dengan cara memerankan suatu tokoh tertentu. Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu guru mengajak anak untuk menyetting kelas atau tempat yang akan digunakan untuk bermain peran, anak diminta membantu guru menyiapkan alat yang akan digunakan untuk bermain peran, sehingga anak akan terbiasa bekerja atau melakukan aktivitas yang tujuan utamanya melatih anak menjadi mandiri. Melalui metode bermain peran anak diminta untuk melakukan kegiatan bermain peran, kemudian guru mengajak anak untuk mereflesksikan kegiatan bermain peran, dan guru memberikan penguatan berupa pesan dan motivasi yang berkaitan dengan kemandirian anak. Kemandirian anak dapat meningkat melalui metode bermain peran karena dengan metode ini anak-anak akan memerankan tokoh-tokoh yang berperilaku mandiri. Anak melakukan sendiri dan guru menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dari bermain peran yang sudah dilaksanakan. Anak-anak juga akan merasakan manfaat dari kemandirian yang telah diperankan oleh tokoh tertentu. Hal ini juga disampaikan oleh Slamet


(51)

Suyanto (2005: 126) kegiatan bermain peran akan memberikan kesenangan yang dapat memuaskan diri anak baik yang dilakukan atas usahanya sendiri maupun menjadi pengikut dari aturan yang ditetapkan temannya.

Harapan awal dengan bermain peran anak mengalami, merasakan, terinternalisasi atau menjadi kebiasaan hingga pada akhirnya anak mau melakukan. Kegiatan bermain peran dilakukan berulang kali sehingga kemudian menjadi pembiasaan. Hal ini sesuai dengan teori behavioristik yang disampaikan oleh Sugihartono (2007: 104) bahwa behavioristik ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan. Teori ini juga cocok diterapkan untuk anak yang suka mengulang dan harus dibiasakan. Menurut hukum akibat Thorndike menyampaikan bahwa hubungan stimulus-respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan (Sugihartono, 2007: 92).

E. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian teori tersebut dapat dirumuskan hipotesis tindakan yaitu kemandirian anak kelompok B di TK PKK Prawirotaman dapat meningkat melalui metode bermain peran.


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas adalah penelitian tindakan dalam bidang pendidikan yang dilaksanakan dalam kawasan kelas dengan tujuan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas pembelajaran (Kasihani Kasbolah, 1998: 15). Penelitian tindakan kelas ini dilakukan secara kolaboratif. Kolaboratif yang dimaksud adalah peneliti bekerjasama dengan guru kelas. Guru utama adalah guru kelas, dan peneliti sebagai guru pendamping atau observer. Peneliti dan guru kelas bersama-sama dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi, dan merefleksikan tindakan yang dilakukan.

B. Setting Penelitian

Tempat penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di TK PKK Prawirotaman. TK ini beralamat di Jalan Prawirotaman 1-19 Yogyakarta. Observasi dilakaksanakan pada tanggal 16-21 Maret 2015. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus. C. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dari penelitian tindakan kelas ini adalah seluruh anak TK PKK Prawirotaman kelompok B yang berjumlah 18 anak terdiri dari 5 anak laki-laki dan 13 anak perempuan. Objek dari penelitian kelas ini adalah kemandirian anak dengan metode bermain peran.


(53)

D. Desain Penelitian

Model penelitian yang diajukan pada penelitian ini adalah model Kemmis dan Taggart. Dalam perencanaan Kemmis menggunakan sistem spiral refleksi diri yang dimulai dengan rencana, tindakan, pengamatan, refleksi, perencanaan kembali merupakan dasar untuk suatu ancang-ancang pemecahan permasalahan.

Gambar 1. Model Penelitian Spiral Kemmis dan Taggart (sumber : Rochiati Wiraatmadja, 2006: 84) Keterangan:

Siklus I: Siklus II:

1. Perencanaan I 1. Revisi Perencanaan I

2. Tindakan I 2. Tindakan II

3. Observasi I 3. Observasi II

4. Refleksi I 4.Refleksi II

Dengan menggunakan model ini apabila pelaksanaan tindakan awal (siklus I) terdapat kekurangan perencananaan dan pelaksanaan tindakan dapat dilakukan perbaikan pada siklus berikutnya sampai target yang diinginkan tercapai.


(54)

E. Prosedur Penelitian

Model siklus penelitian tindakan kelas dari Kemmis dan Taggart (Suharsimi Arikunto, 2007:17-19) adalah perencanaan (planning), pelaksanaan tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Langkah-langkah dalam pelaksanaan PTK adalah:

1. Perencanaan (Planning). Rancangan persiapan guru:

a) Menyesuaikan tema yang dipilih, yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian anak yang akan dijadikan topik dalam kegiatan menggunakan metode bermain peran;

b) Guru dan peneliti bersama-sama menyusun Rencana Kegiatan Harian (RKH) yang menggunakan metode bermain peran yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian anak;

c) Menyiapkan lembar observasi untuk pengumpulan data;

d) Menetapkan rancangan bahan dan alat yang diperlukan untuk pada proses kegiatan bermain peran.

2. Pelaksanaan Tindakan (Acting)

Melaksanakan tindakan yang telah disusun sebelumnya pada proses pembelajaran. Pada tahap ini, guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan tema pada hari itu yang telah dibuat bersama dengan peneliti dan tidak dibuat-buat dan harus sesuai dengan maksud semula. Pada penelitian tindakan kelas ini tujuan kegiatan bermain peran adalah untuk meningkatkan kemandirian anak.


(55)

Pertemuan 1. Bermain Peran“Keluarga”.

Materi bermain peran: alat yang digunakan dalam bermain peran “Keluarga” antara lain sayur-sayuran, peralatan memasak mainan, piring, gelas, sendok, air, meja makan, kursi makan, meja belajar, kursi belajar, buku gambar, krayon, meja tamu, kursi tamu, sepatu, baju, sapu. Waktu: ± 45 menit. Prosedur pelaksanaan bermain peran“Keluarga” meliputi:

a) Guru membagi anak ke dalam kelompok-kelompok sesuai tokoh yang dibutuhkan, anak yang belum terpilih menjadi penonton.

b) Guru bersama anak menyiapkan peralatan main yang akan digunakan. c) Tanya jawab tentang anggota keluarga.

d) Guru menjelaskan apa saja peran yang akan dimainkan, yaitu: ibu, ayah, anak (kakak-adik), kakek, nenek, paman, dan bibi.

e) Guru memberi gambaran dan memperlihatkan suasana yang telah dipersiapkan untuk bermain.

f) Guru memberikan contoh peran yang akan dimainkan.

g) Guru memberi kebebasan kepada anak untuk memilih peran yang disukai. h) Setelah semua anak mendapatkan peran yang akan dimainkan, anak mulai

bermain peran.

i) Guru mengamati jalannya kegiatan bermain peran yang dilakukan oleh anak. j) Guru memberikan umpan balik terhadap penampilan anak termasuk

pesan-pesan yang mengajak anak untuk mandiri. Pertemuan 2. Bermain Peran“Sekolah”.


(56)

Materi bermain peran: alat yang digunakan dalam bermain peran “Sekolah” antara lain meja, kursi, pensil/pewarna, buku/buku gambar, tas, buku tabungan dan sapu. Waktu: ± 45 menit. Prosedur pelaksanaan bermain peran “Sekolah” meliputi:

a) Guru bersama anak menyiapkan peralatan main yang akan digunakan. b) Tanya jawab tentang sekolah.

c) Guru menjelaskan apa saja peran yang akan dimainkan, seperti ibu guru atau pak guru, anak-anak, kepala sekolah, orang tua.

d) Guru memberi gambaran dan memperlihatkan suasana yang telah dipersiapkan untuk bermain.

e) Guru memberikan contoh peran yang akan dimainkan.

f) Guru memberi kebebasan kepada anak untuk memilih peran yang disukai. Anak yang belum terpilih memerankan tokoh menjadi anak atau penonton. g) Setelah semua anak mendapatkan peran yang akan dimainkan, anak mulai

bermain peran.

h) Guru mengamati jalannya kegiatan bermain peran yang dilakukan oleh anak. i) Guru memberikan umpan balik terhadap penampilan anak termasuk

pesan-pesan yang mengajak anak untuk mandiri. Pertemuan 3. Bermain Peran“Kerja Bakti”

Materi bermain peran: alat yang digunakan dalam bermain peran “Kerja Bakti” antara lain sapu, serok, kemucing, lap, tempat sampah, dan alat kebersihan sekolah lainnya. Waktu: ± 45 menit.Prosedur pelaksanaan bermain peran “Kerja Bakti” meliputi:


(57)

a) Guru membagi anak ke dalam kelompok-kelompok sesuai tokoh yang dibutuhkan, anak yang belum terpilih menjadi penonton.

b) Guru menyiapkan peralatan main yang akan digunakan.

c) Tanya jawab tentang kerja bakti, alat-alat yang digunakan, cara menggunakan alat kebersihan.

d) Guru menjelaskan apa saja peran yang akan dimainkan, yaitu: kepala sekolah, guru kelas, beberapa murid, petugas kebersihan keliling, petugas kebersihan sekolah.

e) Guru memberi gambaran dan memperlihatkan suasana yang telah dipersiapkan untuk bermain.

f) Guru memberikan contoh peran yang akan dimainkan.

g) Guru memberi kebebasan kepada anak untuk memilih peran yang disukai. h) Setelah semua anak mendapatkan peran yang akan dimainkan, anak mulai

bermain peran.

i) Guru mengamati jalannya kegiatan bermain peran yang dilakukan oleh anak. j) Guru memberikan umpan balik terhadap penampilan anak termasuk

pesan-pesan yang mengajak anak untuk mandiri. 3. Pengamatan (Observing)

Proses pengamatan ini dilakukan bersamaan dengan waktu tindakan berlangsung. Pengamatan ini bertujuan memperoleh data yang akurat untuk perbaikan siklus berikutnya. Observasi dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Peneliti mengamati sejauh mana kemandirian anak dalam kegiatan pembelajaran.


(58)

Observasi dilakukan dengan memperhatikan pedoman observasi yang telah disusun sebelumnya.

4. Refleksi (Reflecting)

Refleksi merupakan kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan. Refleksi dilakukan setelah pelaksanaan tindakan selesai serta dilakukan dengan memperhatikan hasil observasi yang dilakukan pada siklus pertama. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kelebihan, kelemahan, kendala, maupun masalah yang timbul saat pelaksanaan tindakan. Hasil refleksi pada siklus pertama digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan tindakan yang lebih baik pada siklus berikutnya. Adapun hal yang dilakukan peneliti dan guru pada tahap refleksi ini adalah:

a) Melihat hasil pengamatan dengan menyesuaikan tujuan yang telah ditetapkan dalam indikator pencapaian yang berkaitan dengan pengukuran meningkatnya kemandirian anak.

b) Mencari penyelesaian terhadap permasalahan atau kendala-kendala yang terjadi pada proses tindakan berlangsung: memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi pada saat tindakan maupun perencanaan yang telah dilakukan, menentukan perlu tidaknya melakukan tindakan kembali setelah melihat hasil tindakan yang telah dilakukan.

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, setiap siklus dilaksanakan selama tiga hari. Observasi dilaksanakan dari sebelum tindakan hingga pasca siklus.


(59)

Pada Siklus I dan Siklus II hasil di kualitatifkan sedangkan pasca Siklus I dan pasca Siklus II hasil observasi di kuantitatifkan.

F. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode observasi. Observasi dilakukan di kelas B TK PKK Prawirotaman. Observasi dilakukan untuk mengetahui dan mengamati subjek penelitian secara bertahap, kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak untuk meningkatkan kemandiriannya melalui bermain peran. Peneliti mengamati dan mencatat hasil observasi secara cermat. Penelitian ini menggunakan alat observasi berupa lembar observasi (checklist). Adapun alat bantu observasi pada penelitian ini berupa foto. Foto nomor 1 adalah anak kurang sabar menunggu giliran ketika cuci tangan dan foto nomor 2 adalah anak yang tidak membuka snack sendiri dapat dilihat pada halaman 177, foto nomor 3 yaitu anak yang sedang bermain peran sebagai pedagang dan foto 4 yaitu anak-anak bermain peran makan bersama dapat dilihat pada halaman 178, selanjutnya foto nomor 5 yaitu anak mau mengumpulkan sendiri tugasnya dan foto nomor 6 yaitu anak-anak bekerja sama mengembalikan mainan ke tempat semula dapat dilihat pada halaman 179.

G. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data yaitu lembar observasi berupa catatan tentang kemandirian anak dalam proses pembelajaran. Pencatatan dan pengambilan data dilakukan dalam kegiatan satu hari mulai anak datang ke sekolah hingga pulang menggunakan daftar checklist dengan deskripisi kemampuan yang


(60)

diharapkan dari anak. Kisi-kisi instrumen untuk mengungkap kemandirian anak diterapkan pada tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Observasi Kemandirian Anak.

Variabel Aspek Indikator Deskripsi

Kemandirian anak

Kemandirian sosial dan emosi

Percaya diri Berdoa sesuai keyakinan Dapat memilih kegiatan

Maju di depan kelas untuk mengambil snack sendiri

Pandai bergaul Bersalaman dengan guru tanpa disuruh Berinteraksi dengan baik terhadap orang lain

Mengajak teman bermain bersama Mau berbagi Membantu teman yang kesulitan

Meminjamkan alat tulis Mau bergantian mainan Mengendalikan

emosi

Sabar menunggu giliran Berani ditinggal orang tua Tidak membuat kelas gaduh Kemandirian

fisik

Kemampuan fisik Mengembalikan mainan ke tempat semula

Membuka makanan ringan sendiri Mencuci tangan sendiri

Kemandirian intelektual

Tanggung jawab Bernyanyi sampai selesai ketika ditugaskan bernyanyi

Mengerjakan tugas sampai selesai Mengikuti semua kegiatan yang ada dengan semangat

Disiplin Datang ke sekolah tepat waktu Masuk kelas dengan tertib Mematuhi peraturan dalam suatu permainan


(61)

H. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Adapun rumus yang digunakan untuk mencari persentase dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

P=

x 100%

Keterangan:

P: Angka Persentase

F: Frekuensi yang sedang dicari persentasenya

N: Jumlah Frekuensi/banyaknya individu (Anas Sudjiono, 2006: 43)

Selanjutnya Suharsimi Arikunto (1992: 208) menginterpretasikan data tersebut ke dalam 4 tingkatan sebagai berikut:

1. Kriteria baik, yaitu antara 76% - 100%. 2. Kriteria cukup, yaitu antara 56% - 75%. 3. Kriteria kurang baik, yaitu antara 41% - 55%. 4. Kriteria tidak baik, yaitu antara 0% - 40%.

Keempat tingkatan tersebut di atas jika diintegrasikan dengan tingkatan pencapaian perkembangan anak usia dini akan diperoleh kriteria sebagai berikut: 1. Anak berkembang sangat baik (BSB) jika persentase antara 76%-100%. 2. Anak berkembang sesuai harapan (BSH) jika persentse antara 56% - 75%. 3. Anak mulai berkembang (MB) jika persentase antara 41% - 55%.


(62)

I. Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan dalam penelitian ini ditandai dengan meningkatnya kemandirian anak selama di sekolah. Penelitian akan dihentikan apabila hasil kemandirian anak mencapai kriteria berkembang sangat baik (BSB) dengan persentase mencapai >75% dari jumlah anak atau minimal 14 anak.


(63)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Taman Kanak-kanak PKK Prawirotaman yang beralamatkan di jalan Prawirotaman 1 No. 19 Kelurahan Brontokusuman Kecamatan Mergangsan Kidul Kota Yogyakarta. Taman Kanak-kanak Prawirotaman berdiri pada tanggal 1 Agustus 1963, dan sudah terdaftar di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tanggal 3 September 1963 dengan izin pendirian Kakanwil DepDikBud Nomor 187/I.13.1/I 85. Awal mula pelaksanaan kegiatan pembelajaran TK PKK Prawirotaman dilaksanakan secara berpindah-pindah di rumah penduduk. Baru pada tahun 1965 dibangunlah gedung RK (Rukun Kampung) dan sejak itu TK PKK Prawirotaman menempati gedung/balai RK (Rukun Kampung) dengan satu ruang. Selanjutnya dengan bertambahnya wawasan tentang pendidikan di TK, maka pada tahun 1985 oleh pengurus dibangunkan satu ruang kelas lagi dan sampai sekarang mempunyai dua ruang kelas. Walaupun masih menempati balai RK dengan status hak pakai namun jumlah murid setiap tahunnya sudah memenuhi standar.

Adapun visi TK yaitu menjadi lembaga pendidikan yang tangguh untuk mewujudkan generasi yang berilmu dan bertaqwa. Untuk misi TK antara lain yaitu memberikan layanan pendidikan dengan menitikberatkan pada kemandirian, kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual;


(64)

menciptakan suasana belajar berbasis bermain, eksploratif, kreatif dan menyenangkan; memberikan pendidikan yang baik dan berkualitas; mendidik dan menanamkan budi pekerti serta suri tauladan yang baik serta melatih kreativitas anak; dan mengokohkan fondasi kepribadian anak sebagai tahapan penting perkembangan dan pembentukan perilku anak dalam tumbuh kembangnya sebagai pribadi dan warga masyarakat. Tujuan dari lembaga TK PKK Prawirotaman yaitu meletakkan dasar dan menanamkan nilai kepribadaian anak sejak dini agar dikemudian hari menjadi manusia yang bertaqwa, luhur dan cerdas; mengembangakan aktivitas dan kreativitas anak melalui berbagai kegiatan edukatif agar anak memiliki keterampilan, kemampuan dan pengalaman yang bermanfaat bagi pertumbuhan pribadi dan pengembangan kehidupan di masa mendatang; dan menyiapkan anak untuk mengikuti pendidikan selanjutnya dengan kualitas yang baik.

Sarana dan prasarana yang ada di TK PKK Prawirotaman antara lain kantor kepala sekolah, dua ruang kelas (A dan B), perpustakan, ruang UKS, Dapur, dan dua kamar mandi. Untuk alat bermain di dalam kelas diatur menjadi sudut-sudut yang terdiri dari sudut Ketuhanan, sudut alam sekitar, sudut pembangunan, sudut keluarga, sudut kebudayaan, dan sudut pengaman. Alat main di luar kelas terdiri dari ayunan, jungkat-jungkit, panjatan bola dunia, panjatan dan luncuran, bola keranjang, papan titian, mangkok putar, sepeda mini, bak pasir dan bak air. Adapun tenaga pendidik dan kependidikan yaitu terdiri dari kepala sekolah, guru kelas A, dan guru kelas B, dan seorang karyawan. Terdapat beberapa ekstrakurikuler yang dapat peserta didik ikuti antara lain ekstra tari, drumband, bahasa Inggris, sempoa, dan kegiatan


(65)

keagamaan. Ektrakurikuler di TK PKK Prawirotaman mendatangkan guru di bidang keahliannya masing-masing.

2. Data Kemandirian Anak Sebelum Tindakan

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu tanggal 20-22 Agustus 2015 di kelompok B TK PKK Prawirotaman mulai dari anak-anak datang ke sekolah hingga pulang sekolah teramati bahwa kemandirian anak khususnya di sekolah perlu ditingkatkan hal ini terlihat ketika masih ada 10 anak masih sering datang terlambat dengan wajah tidak ceria, 6 anak masih ada yang merengek minta ditunggu orang tuanya di dalam kelas sampai kegiatan inti, sebagian besar anak masih susah untuk menunggu giliran baik ketika berbaris akan masuk kelas. Percaya diri masih rendah, pengendalian emosi yang susah, serta tanggung jawab dan disiplin yang kurang pada anak-anak.

Kegiatan diawali dengan berbaris bersama kelas A dan kelas B, dan bernyanyi lagu Indonesia Raya. Kemudian anak-anak masuk kelas duduk di kursi masing-masing, kepada anak-anak yang ingin menabung, membayar infaq, membalik absent dilakukan sebelum berdoa. Setelah semua anak selesai lalu berdoa dipimpin oleh anak yang pada saat itu bertugas dilanjutkan bernyanyi. Guru menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan pada hari tersebut (apersepsi). Setiap apersepsi masih ada anak yang mengobrol sendiri, ada yang memukul-mukul meja membuat kegaduhan.

Pada kegiatan inti atau kegiatan pembelajaran dimulai anak-anak masih saling mengejek jika tidak sama dengan teman yang lain, karena pembelajaran moving setiap kelompok berbeda-beda sesuai minat anak mengerjakan yang lebih dahulu.


(66)

Ketika disuruh guru untuk mempraktekan sesuatu masih ada anak yang malu-malu dan tidak mau mempraktekannya. Terdapat 15 anak ada yang tidak mengerjakan tugas sampai selesai atau tidak lengkap. Ketika kesulitan anak-anak mau bertanya kepada teman atau guru. Namun masih ada anak yang tidak mau membantu malah mengejek jika temannya tidak bisa. Ketika istirahat 7 anak masih memilih-memilih teman bermain tidak semua mau berteman.

Pada kegiatan akhir, anak-anak masuk kelas masih terdapat anak-anak yang berlari-lari atau mondar-mandir di dalam kelas. Lalu guru meminta anak untuk cuci tangan, anak-anak tidak bisa menunggu giliran sehingga berdesak-desakan di depan tempat cuci tangan. Anak-anak diminta guru mengambil snack yang ditaruh depan. Kebanyakan anak-anak minta diambilkan temannya. Kemudian berdoa dipimpin oleh anak yang bertugas. Setelah makan snack anak-anak lanjut kegiatan penutup seperti bernyanyi beberapa lagu, guru melakukan recalling kegiatan satu hari. Ketika akan pulang anak-anak berdoa dilanjutkan menyanyikan lagu kebangsaan sambil berdiri. Lalu mengucap salam, menaikan kursi, membalik absent,bersalaman dengan guru,dan pulang. Hasil data awal kemandirian anak sebelum dilakukan tindakan Siklus I disajikan pada tabel 2 halaman 52. Tabel 2 merupakan hasil observasi kemandirian anak awal sebelum tindakan. Pra tindakan dilakukan selama tiga hari, dengan menggunakan lembar observasi. terlihat dari tabel 2 bahwa hasil observasi kemandirian anak masih berada pada kriteria Belum Berkembang (BB) dan kriteria Mulai Berkembang (MB).


(67)

Tabel 2. Hasil Observasi Kemandirian Anak Sebelum Tindakan No Kode Anak

Kemunculan Indikator

Kemandirian Total Persentase Kriteria Hari 1 Hari 2 Hari 3

1 Nas 6 5 10 21 33,33 % BB

2 Nak 9 9 16 34 53,97% MB

3 Bar 1 5 6 12 19,04% BB

4 Far 4 11 13 28 44,44% MB

5 Sil 6 10 16 32 50,79% MB

6 Ras 3 7 11 21 33,33% BB

7 Ip 7 10 15 32 50,79% MB

8 Dir 5 13 14 32 50,79% MB

9 Dis 6 S 7 13 30,95% BB

10 Yog 2 7 7 16 25,39% BB

11 Ris 4 3 10 17 26,98% BB

12 Ar 6 4 13 23 36,51% BB

13 Van 9 7 13 29 46,03% MB

14 Sav 5 S S 5 23,81% BB

15 Sha 5 9 10 24 38,09% BB

16 Sul 7 8 11 26 41,27% MB

17 Tes 4 5 5 14 22,22% BB

18 Fan 4 5 4 13 20,63% BB

Keterangan:

BB = Belum Berkembang MB =Mulai Berkembang

BSH =Berkembang Sesuai Harapan BSB =Berkembang Sangat Baik

Adapun rekapitulasi hasil observasi kemandirian anak dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Kemandirian Anak Sebelum Tindakan

Kelompok Kriteria Kondisi Awal

Jumlah Anak %

B

BSB 0 0%

BSH 0 0%

MB 7 38,89%

BB 11 61,11%

Keterangan:


(1)

174

g) Guru memberi kebebasan kepada anak untuk memilih peran yang disukai. h) Setelah semua anak mendapatkan peran yang akan dimainkan, anak mulai

bermain peran.

i) Guru mengamati jalannya kegiatan bermain peran yang dilakukan oleh anak. j) Guru memberikan umpan balik terhadap penampilan anak termasuk

pesan-pesan yang mengajak anak untuk mandiri.

Permainan “Tamasya ke Kebun Binatang”

A. Materi bermain peran: alat yang digunakan dalam bermain peran “Tamasya ke Kebun Binatang” antara lain meja, kursi, tas, bekal makanan,tikar, dan kebutuhan piknik lainnya.

B. Waktu: ± 45 menit.

C. Prosedur pelaksanaan bermain peran “Tamasya ke Kebun Binatang” meliputi: a) Guru membagi anak ke dalam kelompok-kelompok sesuai tokoh yang

dibutuhkan, anak yang belum terpilih menjadi penonton. b) Guru menyiapkan peralatan main yang akan digunakan.

c) Tanya jawab tentang kerja bakti, alat-alat yang digunakan, cara menggunakan alat kebersihan..

d) Guru menjelaskan apa saja peran yang akan dimainkan, yaitu: kepala sekolah, anak-anak, guru kelas, ibu anak, dan petugas kebun binatang.

e) Guru memberi gambaran dan memperlihatkan suasana yang telah dipersiapkan untuk bermain.


(2)

175

f) Guru memberikan contoh peran yang akan dimainkan.

g) Guru memberi kebebasan kepada anak untuk memilih peran yang disukai. h) Setelah semua anak mendapatkan peran yang akan dimainkan, anak mulai

bermain peran.

i) Guru mengamati jalannya kegiatan bermain peran yang dilakukan oleh anak. j) Guru memberikan umpan balik terhadap penampilan anak termasuk


(3)

176

LAMPIRAN 8


(4)

177

Nomor 1. Anak-anak kurang sabar menunggu giliran ketika cuci tangan


(5)

178

Nomor 3. Anak yang sedang bermain peran sebagai pedagang.


(6)

179

Nomor 5. Anak mau mengumpulkan sendiri tugasnya.


Dokumen yang terkait

UPAYA MENINGKATKAN KECERDASAN LINGUISTIK ANAK MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI TK KELOMPOK B PERTIWI MENCIL Upaya Meningkatkan Kecerdasan Linguistik Anak Melalui Metode Bermain Peran Di TK Kelompok B Pertiwi Mencil Tahun Ajaran 2014/2015.

0 2 16

MENINGKATKAN KECERDASAN LINGUISTIK ANAK MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI TK KELOMPOK B PERTIWI MENCIL Upaya Meningkatkan Kecerdasan Linguistik Anak Melalui Metode Bermain Peran Di TK Kelompok B Pertiwi Mencil Tahun Ajaran 2014/2015.

0 1 13

UPAYA MENINGKATKAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI METODE BERMAIN PERAN Upaya Meningkatkan Kemandirian Anak Melalui Metode Bermain Peran Pada Anak Kelompok B TK PGRI Plumbungan Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen Tahun 2013/2014.

0 2 14

BERMAIN PERAN DAPAT MENINGKATKAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI METODE BERMAIN PERAN Upaya Meningkatkan Kemandirian Anak Melalui Metode Bermain Peran Pada Anak Kelompok B TK PGRI Plumbungan Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen Tahun 2013/2014.

0 3 10

PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI BERMAIN PERAN PADA ANAK KELOMPOK A DI TK WONOREJO KECAMATAN Peningkatan Kemandirian Anak Melalui Bermain Peran Pada Anak Kelompok A Di TK Wonorejo Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 1 11

UPAYA MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI KELOMPOK A TK BA Upaya Mengembangkan Kemampuan Kemandirian Anak Melalui Metode Bermain Peran Di Kelompok A TK Ba Aisyiyah Karangdowo Kecamatan Karangdowo Kabupaten Klaten Tah

0 1 14

UPAYA MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI KELOMPOK A TK BA Upaya Mengembangkan Kemampuan Kemandirian Anak Melalui Metode Bermain Peran Di Kelompok A TK Ba Aisyiyah Karangdowo Kecamatan Karangdowo Kabupaten Klaten Tah

0 0 23

UPAYA PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI METODE BERMAIN PERAN (ROLE PLAYING) PADA ANAK USIA DINI DI TK UPAYA PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI METODE BERMAIN PERAN (ROLE PLAYING) PADA ANAK USIA DINI DI TK PERTIWI KARANGANYAR KECAMATAN PLUPUH KABUP

0 1 12

PENINGKATAN KEMAMPUAN SOSIAL ANAK DENGAN METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK KELOMPOK B DI TK TRISULA Peningkatan Kemampuan Sosial Anak Dengan Metode Bermain Peran Pada Anak Kelompok B Di TK Trisula Perwari Sragen Tahun Ajaran 2011/2012.

0 0 15

PENINGKATAN KEMAMPUAN BEKERJASAMA MELALUI METODE BERMAIN PADA ANAK KELOMPOK B DI TK PKK 54 PUCUNG PENDOWOHARJO SEWON BANTUL.

0 2 140