HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DAN JENJANG PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN KEDISIPLINAN ANAK KELOMPOK A DI TK NEGERI 2 SLEMAN.

(1)

i

HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DAN JENJANG PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN KEDISIPLINAN ANAK KELAS A DI TK

NEGERI 2 SLEMAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Indri Purwaningrum NIM 13111241044

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

iii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti data penulisan karya ilmuah yang telah lazim.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli maka saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode selanjutnya.

Yogyakarta, April 2017 Yang menyatakan,

Indri Purwaningrum NIM. 13111241044


(4)

(5)

v MOTTO

“Kita mengajarkan disiplin untuk giat, untuk bekerja, untuk kebaikan, bukan agar anak-anak menjadi loyo, pasif atau penurut”

(Maria Montesori)

“Rahasia dari disiplin adalah motivasi. Jika seseorang termotivasi secara cukup, disiplin akan berjalan dengan sendirinya.”


(6)

vi PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk: 1. Kedua orang tua dan adik

2. Almamater, Universitas Negeri Yogyakarta


(7)

vii

HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DAN JENJANG PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN KEDISIPLINAN ANAK KELOMPOK A DI TK

NEGERI 2 SLEMAN

Oleh

Indri Purwaningrum NIM 13111241044

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan pola asuh dan jenjang pendidikan orang tua dengan kedisiplinan anak kelompok A. Alasan mengambil penelitian ini karena sebagian anak belum menunjukkan perilaku disiplin, seperti anak datang terlambat dan tidak menyelesaikan tugas tepat waktu. Peneliti menduga terdapat hubungan antara pola asuh dan jenjang pendidikan orang tua dengan kedisiplinan anak.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian korelasi. Subjek penelitian ini sejumlah 46 anak dan 46 orang tua kelompok A. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dengan bantuan lembar observasi, skala sikap, dan angket secara tertutup. Teknik analisis yang digunakan adalah korelasi product moment untuk pengujian hipotesis hubungan pola asuh dan kedisiplinan serta korelasi spearman untuk pengujian hipotesis hubungan jenjang pendidikan dengan kedisiplinan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif pola asuh demokratis dengan kedisiplinan anak dengan r sebesar 0,082. Korelasi tersebut termasuk dalam kategori rendah, sehingga kesimpulannya terdapat korelasi positif namun tidak signifikan antara pola asuh demokratis dengan kedisiplinan anak. Korelasi jenjang pendidikan ayah dengan kedisiplinan anak menunjukkan nilai p

sebesar 0,362. Oleh karena itu Ho diterima karena signifikansi > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenjang pendidikan ayah kedisiplinan anak. Korelasi jenjang pendidikan ibu dengan kedisiplinan anak menunjukkan nilai p sebesar 0,031 atau nilai signifikansi < 0,05 sehingga Ho ditolak. maka dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara jenjang pendidikan ibu dengan kedisiplinan anak.


(8)

viii KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Hubungan Pola Asuh dan Jenjang Pendidikan Orang Tua dengan Kedisiplinan Anak Kelompok A di TK Negeri 2 Sleman.”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tersusun atas bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu Univesitas Negeri Yogyakarta.

2. Wakil Dekan 1 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian.

3. Ketua Jurusan PAUD yang telah memberikan pengarahan dalam pengambilan tugas akhir.

4. Bapak Dr. Drs. Sugito MA., Penasehat Akademik (PA), yang telah memberikan dorongan dalam mengerjakan tugas akhir.

5. Bapak Amir Syamsudin, M. Ag. dan ibu Ika Budi Maryatun, M. Pd., Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan dorongan dan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan proposal penelitian.

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi S-1 Pendidikan Guru PAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis.


(9)

ix

7. Kepala TK, guru Kelompok A, dan Ibu/Bapak Karyawan TK Negeri 2 Sleman yang telah memberikan izin, dukungan dan membantu dalam pelaksanaan penelitian.kepada penulis untuk melakukan penelitian.

8. Seluruh anak beserta orangtua/wali murid Kelompok A TK Negeri 2 Sleman yang telah bersedia menjadi subjek penelitian.

9. Kedua orangtua tercinta penulis, Ibu Tri Supatmi dan Bapak Suharto, serta adik penulis, Windy Sukmawati yang telah tulus memberikan doa, semangat, dukungan, dan fasilitas kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

10. Para sahabatku Kelas A PG PAUD Angkatan 2013, dan sahabat-sahabat lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

11. Semua pihak yang secara langsung dan tidak langsung telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis berharap semoga do’a, pengorbanan, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan menjadi amal yang dapat diterima dan mendapat balasan dari Allah SWT. Selain itu, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Yogyakarta, Mei 2017


(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori Pola Asuh Orang Tua... 10

1. Pengertian Pola Asuh ... 10

2. Macam-macam Pola Asuh Orang Tua ... 11

3. Tujuan dan Fungsi Pola Asuh Orang Tua ... 19

B. Kajian Teori Pendidikan Orang Tua ... 20

1. Pengertian Pendidikan ... 20

2. Jalur Pendidikan ... 21

C. Kajian Teori Kedisiplinan Anak Usia Dini ... 25

1. Pengertian Kedisiplinan Anak Usia Dini ... 25

2. Unsur-unsur Kedisiplinan Anak Usia Dini ... 28

3. Manfaat Kedisiplinan Anak Usia Dini ... 34

D. Kerangka Berpikir ... 36

E. Hipotesis ... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Bentuk Penelitian ... 39

B. Variabel Penelitian ... 39

C. Definisi Operasional ... 40

D. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41


(11)

xi

F. Validitas Instrumen ... 44

G. Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 48

1. Deskripsi Lokasi dan Subjek Penelitian ... 48

2. Deskripsi Data ... 48

3. Uji Prasyarat Analisis ... 59

B. Pembahasan ... 63

C. Keterbatasan Penelitian ... 67

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70


(12)

xii DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Skema Pengasuhan Orang Tua Model Baumrind ... 15

Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Pola Asuh Orang Tua ... 43

Tabel 3. Kisi-kisi Instrumen Jenjang Pendidikan Orang Tua ... 44

Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Lembar Observasi Kedisiplinan Anak ... 44

Tabel 5. Pedoman untuk Memberikan Kategori Data ... 46

Tabel 6. Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi ... 47

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Data Kedisiplinan Anak ... 49

Tabel 8. Kategorisasi dan Presentase Kedisiplinan Anak ... 50

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Otoriter ... 51

Tabel 10. Kategori dan Presentase Pola Asuh Otoriter ... 52

Tabel 11. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Permisif ... 53

Tabel 12. Kategori dan Presentase Pola Asuh Permisif ... 53

Tabel 13. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Demokratis ... 55

Tabel 14. Kategori dan Presentase Pola Asuh Demokratis ... 55

Tabel 15. Distribusi Frekuensi Jenjang Pendidikan Ayah ... 57

Tabel 16. Distribusi Frekuensi Jenjang Pendidikan Ibu ... 58

Tabel 17. Hasil Klasifikasi Pola Asuh Orang Tua ... 59

Tabel 18. Hasil Uji Normalitas Variabel Penelitian ... 59

Tabel 19. Hasil Uji Linearitas Variabel Penelitian ... 60

Tabel 20. Korelasi Pola Asuh Demokratis dengan Kedisiplinan ... 61

Tabel 21. Korelasi Jenjang Pendidikan Ayah dengan Kedisiplinan ... 62


(13)

xiii DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Berpikir ... 37

Gambar 2. Diagram Batang Frekuensi Kedisiplinan Anak... 50

Gambar 3. Diagram Lingkaran Pola Asuh Otoriter ... 52

Gambar 4. Diagram Lingkaran Pola Asuh Permisif ... 54

Gambar 5. Diagram Lingkaran Pola Asuh Demokratis ... 56

Gambar 6. Diagram Lingkaran Jenjang Pendidikan Ayah ... 57


(14)

xiv DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian ... 74

Lampiran 2. Surat Keterangan Penelitian ... 76

Lampiran 3. Lembar Observasi Kedisiplinan Anak... 77

Lampiran 4. Skala Pola Asuh Orang Tua ... 78

Lampiran 5. Angket Pendidikan Orang Tua ... 82

Lampiran 6. Data Kedisiplinan Anak ... 84

Lampiran 7. Data Pola Asuh Orang Tua ... 86

Lampiran 8. Data Pendidikan Orang Tua ... 88

Lampiran 9. Analisis Statistik dan Kategorisasi Kedisiplinan Anak... 90

Lampiran 10. Analisis Statistik dan Kategorisasi Pola Asuh Demokratis ... 91

Lampiran 11. Analisis Statistik Jenjang Pendidikan Ayah dan Ibu ... 92

Lampiran 12. Statistik Data Masing-masing Variabel ... 93

Lampiran 13. Klasifikasi Pola Asuh Orang Tua ... 94

Lampiran 14. Hasil Uji Normalitas Data ... 96

Lampiran 15. Hasil Uji Linearitas Data ... 97

Lampiran 16. Hasil Uji Hipotesis Korelasi ... 100


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan merupakan proses yang akan terus menerus dialami manusia sepanjang hidupnya. Dengan pendidikan, kualitas hidup seorang individu akan meningkat. Melalui pendidikan dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter seseorang agar mampu menjadi manusia yang berilmu, kreatif, mandiri, berakhlak mulia, serta bertanggung jawab.

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Undang-Undang yang mengatur semua hal yang berkaitan tentang pendidikan di Indonesia. Salah satunya, dalam Undang-undang RI No 17 Tahun 2007 tentang RPJPN dijelaskan bahwa:

“Tujuan pembangunan jangka panjang tahun 2005–2025 adalah mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, dan adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945. Sebagai ukuran tercapainya Indonesia yang maju, mandiri, dan adil, pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok salah satunya adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab yang ditandai oleh hal-hal berikut: (1) Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi iptek, (2) Makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat, dan martabat manusia Indonesia, dan menguatnya jati diri dan kepribadian bangsa.”

Pembangunan jangka panjang memiliki sasaran pokok yang salah satunya ditandai dengan memiliki karakter bangsa yang positif dan kuat. Dari berbagai


(16)

2

karakter, 18 karakter menjadi fokus utama yang dikembangkan di Indonesia yakni meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan dan nasionalisme, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, serta tanggung jawab.

Dari berbagai jenis karakter yang ditanamkan, salah satu nilai karakter yang penting ditanamkan adalah kedisiplinan. Disiplin merupakan salah satu perilaku yang mempengaruhi kelangsungan hidup manusia. Disiplin tidak dapat terlepas dari kebudayaan masyarakat, karena seorang individu merupakan bagian dari masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa disiplin adalah perilaku yang sesuai dengan kehidupan bermasyarakat.

Disiplin merupakan salah satu nilai karakter yang perlu dimilki anak. Disiplin adalah tepat waktu dan perilaku dalam berbagai situasi dan kondisi, serta kesediaan dalam menaati peraturan atau kesepakatan yang telah ditetapkan (Sunarti, 2005:12). Kedisiplinan sangatlah penting bagi anak karena melalui disiplinlah anak belajar berperilaku dengan cara yang diterima masyarakat dan sebagai hasilnya mereka diterima oleh anggota kelompok sosial mereka. Dengan adanya disiplin anak akan memperoleh penyesuaian pribadi, sosial dan institusional yang lebih baik. Menurut Marijan (2012: 74), disiplin sangat berkaitan dengan nilai kualitas hidup anak di masa dewasa kelak, oleh karena itu disiplin perlu dilatihkan. Keluarga merupakan tempat interaksi pertama bagi anak sebelum lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, keluarga


(17)

3

merupakan tempat pertama yang dapat mendidik dan menanamkan kedisiplinan kepada anak.

Keluarga terdiri dari orang tua (ayah dan ibu), kakek, nenek, kakak maupun adik. Arif Sanuri (2006: 11-12) mengatakan bahwa orang tua adalah guru pertama bagi anak. Orang tua yang bijak adalah orang tua yang memberi kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk berkembang dan tetap dalam pengawasan orang tua. Lingkungan keluarga terutama orangtua, merupakan pusat pendidikan yang pertama dan utama bagi seorang anak. Orang tua dikatakan sebagai pendidik yang pertama dan utama karena pendidikan yang diberikan orang tua merupakan dasar dan sangat menentukan perkembangan anak selanjutnya. Dalam menanamkan disiplin, orang tua harus konsisten memberi teladan yang baik secara konsisten. Orang tua dapat memberikan hadiah/pujian sebagai penguatan terhadap anak yang telah melaksanakan kegiatan secara disiplin, sebaliknya memberikan hukuman yang mendidik ketika anak tidak berperilaku disiplin.

Penanaman kebiasaan harus dimulai dari lingkungan keluarga, mulai dari masa kanak-kanak hingga anak terus tumbuh dan berkembang sehingga kebiasaan tersebut mendarah daging pada diri anak. Oleh karena itu, orang tua harus memiliki kemampuan dalam mendidik anak. Sikap dan perilaku seseorang tidak dapat di bentuk dalam sekejap. Diperlukan pembinaan yang terus-menerus sejak dini. Kemampuan orang tua dalam mendidik anak sekiranya terpengaruh dari cara orang tua mendidiknya, pengalaman, dan pendidikan yang telah ditempuh.


(18)

4

Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan yang diperoleh dari berbagai jalur pendidikan dapat memberikan bekal keilmuan yang mencakup banyak hal. Al. Tridhonanto, 2014: 24-28) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua salah satunya adalah pendidikan orang tua. Pendidikan dan pengalaman orang tua akan mempengaruhi dalam menjalankan peran pengasuhan. Supaya lebih siap dalam menjalankan perannya, orang tua terlibat aktif dalam setiap upaya pendidikan anak, mengamati segala sesuatu yang berorientasi pada masalah anak, menjaga kesehatan anak, serta menyediakan waktu untuk anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dalam perawatan anak.

Yulia Singgih D Gunarsa (2002: 37) mengatakan pola asuh adalah cara orang tua bertindak, berinteraksi, mendidik, dan membimbing anak sebagai suatu aktivitas yang melibatkan banyak perilaku tertentu secara individual maupun bersamasama sebagai serangkaian usaha aktif untuk mengarahkan anak. Menurut Edwards (2006: 78-83) ada 3 jenis pola asuh orang tua, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh permisif. Terdapat orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter yakni menerapkan hukum, serta menetapkan hal-hal yang harus dilakukan, jika hal-hal tersebut tidak dilakukan maka anak akan mendapat sanksi. Pola asuh tersebut sangat kaku dan menuntut kepatuhan anak, sehingga anak merasa tertekan. Sedangkan pola asuh demokratis, orang tua menyeimbangkan antara hak dan kewajiban anak sehingga anak memiliki suara


(19)

5

atau pendapat untuk di utarakan dengan orang tua. Jenis pola asuh ketiga yakni pola asuh permisif yaitu orang tua yang membiarkan anaknya, tanpa diarahkan, dan tanpa pengawasan.

Semakin banyak dan semakin tinggi pendidikan yang ditempuh seseorang semakin banyak pula ilmu yang dimiliki sebagai bekal menjalankan setiap aktivitasnya. Begitu pula untuk menjadi orang tua, seseorang dapat memperoleh ilmunya melalui berbagai jalur pendidikan yang telah di tempuh baik formal, informal, maupun nonformal. Harapannya dengan semakin banyak dan semakin tinggi pendidikan yang telah di tempuh, ilmu dan pengalaman yang dimiliki orang tua juga semakin kaya sehingga dapat dalam mengasuh anak dengan maksimal terutama dalam menanamkan kedisiplinan.

Melalui observasi dan wawancara yang telah dilaksanakan pada tanggal 10 dan 11 Januari 2016 dapat diketahui bahwa anak-anak kelas A TK Negeri 2 Sleman, memiliki kedisiplinan yang berbeda-beda, ada anak yang sudah disiplin dan tertib, namun ada pula anak yang belum disiplin. Hal ini dapat dilihat dari sikap anak dalam menaati peraturan yang diberlakukan di sekolah maupun pembiasaan-pembiasaan yang diterapkan oleh pendidik. Masih ada beberapa anak yang datang terlambat, tidak memakai atribut sekolah dengan lengkap, tidak menyelesaikan tugas tepat waktu.

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Sekolah TK Negeri 2 Sleman yang di laksanakan pada hari yang sama, diketahui bahwa orang tua murid telah jalur pendidikan yang beragam. Ada orang tua murid yang telah menempuh pendidikan yang tinggi, ada pula orang tua murid yang hanya menempuh


(20)

6

pendidikan hingga tinggat dasar maupun menengah. Hal ini dapat di ketahui dari data sekolah.

Selain itu, dari observasi yang telah dilakukan saat orang tua menjemput atau mengantar anak dapat diketahui bahwa pola asuh yang digunakan orang tua untuk mengasuh antara anak yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari sikap orang tua saat mengantar maupun menjemput anak. Ketika mengantar maupun menjemput, ada orang tua yang mengantar anak hingga pintu gerbang, ada pula yang mengantar hingga ke dalam kelas. Saat menjemput pun, ada yang menunggu di halaman sekolah, ada yang menunggui di depan kelas. Terdapat orang tua yang membawakan tas anak, ada pula yang membiarkan anak mandiri dengan membawanya sendiri. Ada orang tua yang meletakkan tas anak pada tempatnya, namun juga ada orang tua yang meminta anak meletakkan tas sendiri. Terdapat beberapa orang tua yang menyemangati anak, memperingatkan anak untuk mematuhi guru, ada pula yang langsung berpamitan pulang. Ketika menjemput pun terdapat beberapa perbedaan seperti menanyakan kondisi dan keadaan anak, menanyakan perasaan anak, menanyakan kegiatan yang telah dilakukan, ada pula yang langsung naik kendaraan dan pulang.

M. Fadlillah & Lilif M. Khorida (2013: 193) menyebutkan bahwa apabila kita menghendaki anak untuk berperilaku disiplin, perilaku disiplin pun harus ditunjukkan oleh orang tua maupun pendidik. Dodson dalam Maria J. Wantah (2005: 110), juga menyatakan bahwa kedisiplinan anak usia dini, dapat dipengaruhi oleh sikap dan karakter orangtua. Dari pernyataan tersebut, dapat di ketahui bahwa orang tua sangat berpengaruh dalam menanamkan kedisiplinan


(21)

7

anak. Semakin banyak dan semakin tinggi pendidikan yang ditempuh orang tua, semakin banyak pula bekal keilmuan yang di miliki. Selain itu, kebiasaan dan perilaku orang tua pun dapat terbentuk saat menempuh berbagai jalur pendidikan. Dari pendidikan tersebut diharapkan akan memberikan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang akan membantu membentuk pola asuh terbaik yang dapat diterapkan ke anak. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Pola Asuh Demokratis dan Jenjang Pendidikan Orang Tua dengan Kedisiplinan Anak Kelompok A di TK Negeri 2 Sleman.”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini yang meliputi:

1. Sebagian anak belum datang ke sekolah tepat waktu. 2. Sebagian anak belum memakai atribut sekolah lengkap. 3. Sebagian anak belum menyelesaikan tugas tepat waktu.

4. Orang tua murid memiliki riwayat pendidikan yang beragam. Tinggi rendahnya pendidikan dan pengalaman orang tua yang berbeda akan mempengaruhi dalam menjalankan peran pengasuhan.

5. Orang tua murid menerapkan pola asuh yang berbeda-beda. Perbedaan ini dimungkinkan akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada kedisiplinan anak.


(22)

8 C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa masalah yang perlu untuk dikaji dan diteliti. Keterbatasan kemampuan dan pengetahuan, menjadi alasan peneliti membatasi penelitian ini pada keterkaitan pola asuh demokratis dengan kedisiplinan anak serta keterkaitan jenjang pendidikan orang tua dengan kedisiplinan anak.

D. Rumusan Masalah

Dalam penelitian yang saya lakukan ini yang menjadi permasalahan yang ingin diteliti adalah:

1. Apakah terdapat hubungan positif antara pola asuh demokratis dengan kedisiplinan anak kelas A TK Negeri 2 Sleman?

2. Apakah terdapat hubungan antara jenjang pendidikan ayah dengan kedisiplinan anak kelas A TK Negeri 2 Sleman?

3. Apakah terdapat hubungan antara jenjang pendidikan ibu dengan kedisiplinan anak kelas A TK Negeri 2 Sleman?

E. Tujuan

Suatu kegiatan pada umumnya memiliki tujuan yang ingin dicapai, demikian juga halnya dalam penelitian skripsi yang saya lakukan ini juga mempunyai tujuan untuk:.

1. Untuk mengetahui hubungan positif pola asuh demokratis dengan kedisiplinan anak kelas A TK Negeri 2 Sleman.

2. Untuk mengetahui hubungan jenjang pendidikan ayah dengan kedisiplinan anak kelas A TK Negeri 2 Sleman.


(23)

9

3. Untuk mengetahui hubungan jenjang pendidikan ibu dengan kedisiplinan anak kelas A TK Negeri 2 Sleman.

F. Manfaat

1. Manfaat teoritis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah informasi mengenai hubungan pola asuh demokratis dan jenjang pendidikan orang tua dengan kedisiplinan anak.

2. Manfaat praktis : a. Bagi peneliti

Sebagai sarana untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman khususnya dalam bidang kepaudan.

b. Bagi masyarakat

Sebagai pengetahuan bagi masyarakat terutama guru dan orangtua tentang hubungan pola asuh demokratis dan jenjang pendidikan orang tua dengan kedisiplinan anak.


(24)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori Pola Asuh Orang Tua

1. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh adalah cara yang dilakukan orang tua untuk mendidik anak dan cara tersebut tidak terlepas dari pengaruh karakter individu (Drew Edwards, 2006: 48). Sedangkan, menurut Hetherington & Whiting (1999), pola asuh adalah proses interaksi total antara orang tua dengan anak, seperti: proses pemeliharaan, pemberian makan, membersihkan, melindungi dan proses sosialisasi anak dengan lingkungan sekitar. Syaiful Bahri Djamarah (2014: 51) menjelaskan bahwa pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Setiap orang tua tentu memiliki gaya pengasuhan tersendiri dalam mengasuh dan mendidik anaknya. Gaya pengasuhan tersebut akan berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lain.

Sugihartono dkk (2007: 31) mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang digunakan untuk berhubungan dengan anak-anak. Menurut Chabib Thoha seperti yang dikutip oleh Metha S. (2011: 16) yang mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak. Sejalan dengan penjelasan di atas, Yulia Singgih D Gunarsa (2002: 37) mengatakan pola asuh adalah cara orang tua bertindak, berinteraksi, mendidik, dan membimbing anak sebagai suatu aktivitas yang melibatkan banyak perilaku tertentu secara individual maupun bersama-sama sebagai serangkaian usaha aktif untuk mengarahkan anak. Hubungan antara orang tua


(25)

11

memperkenalkan pada aturan dan norma yang berlaku dan mendekatkan anak dengan keluarga. Hubungan orang tua dan anak mempengaruhi perkembangan moral anak (Santrock, 2007: 133).

Selanjutnya Kohn (dalam Casmini, 2007: 47) menjelaskan bahwa pengasuhan merupakan cara orang tua berinteraksi dengan anak yang meliputi pemberian aturan, hadiah, hukuman dan pemberian perhatian, serta tanggapan terhadap perilaku anak. Pemberian bantuan dari orang tua kepada anak akan tercermin dari pola asuh yang diberikan kepada anak. Sejalan dengan pendapat di atas Tri Marsiyanti & Farida Harahap (2000: 51) menjelaskan bahwa pola asuh adalah ciri khas dari gaya. pendidikan, pembinaan, pengawasan, sikap, hubungan dan sebagainya yang diterapkan oleh orang tua kepada anaknya. Pola asuh orang tua akan mempengaruhi perkembangan anak mulai dari kecil sampai dewasa.

Berdasarkan beberapa pendapat dan teori dari para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan kepada anak yang bertujuan untuk mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk menuju kedewasaan. Pola asuh ini akan berbeda-beda antara orang tua yang satu dengan orang tua yang lain.

2. Macam-macam Pola Asuh Orang Tua

Terdapat beberapa macam-macam pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua juga memiliki dimensi sesuai pandangan Diana Baumrind (Al. Tridhonanto, 2014: 5-10), dimensi tersebut dibagi menjadi dua yaitu dimensi kontrol dan dimensi kehangatan.


(26)

12

Berikut penjelasan mengenai dimensi-dimensi pola asuh orang tua: a. Dimensi kontrol

Dimensi kontrol memiliki 5 aspek yaitu 1) Pembatasan (Restrictiveness)

Pembatasan yang dilakukan orang tua agar anak tidak melakukan suatu hal yang tidak diinginkan orang tua. Adanya pembatasan yang dilakukan, orang tua tidak memberikan alasan dengan jelas mengapa hal tersebut tidak boleh dilakukan, sehingga anak menilainya sebagai penolakan dari orang tua.

2) Tuntutan (Demandingeness)

Tuntutan yang dilakukan orang tua, agar anak bisa memenuhi tanggung jawabnya sebagai anak, perilaku sesuai dengan norma dan lain sebagainya. Hal ini tergantung pada masing-masing orang tua dalam menjaga dan mengawasi anak. 3) Sikap ketat (Strictness)

Sikap ketat ini dilakukan agar anak melakukan tuntutan yang telah diberikan, agar anak tidak membantah dan tidak keberatan melakukannya. Orang tua sangat tegas dan ketat dalam mengawasi anak.

4) Campur tangan (Intrusiveness)

Campur tangan orang tua menyababkan anak kurang memiliki kesempatan mengembangkan diri sehingga anak memiliki perasaan tidak berdaya karena setiap kegiatan dan rencana yang akan dilakukan orang tua andil didalamnya. 5) Kekerasaan yang sewenang-wenang (Arbitrary exercise of power)

Orang tua menggunakan kekuasaannya untuk melakukan hal yang diinginkan seperti menghukum anak jika perbuatan yang dilakukan tidak sesuai


(27)

13

harapan. Akibatnya anak kurang bisa bergaul dengan teman sebaya, kurang mandiri, dan menarik diri.

b. Dimensi kehangatan

Dimensi kehangatan ini berkaitan dengan suasanya yang menyenangkan dalam keluarga, mencakup beberapa aspek yaitu:

1) Perhatian orang tua terhadap kesejaheraan anak. 2) Responsivitas orang tua terhadap kebutuhan anak. 3) Meluangkan waktu bersama anak.

4) Menunjukkan rasa antusias atas tingkah laku yang diperlihatkan anak. 5) Peka terhadap kebutuhan emosi anak.

Pada dasarnya, pendekatan yang digunakan Diana Baumrind (dalam Casmini, 2007: 49), dalam teorinya tentang pola asuh orang tua meliputi dua hal, yaitu penerimaan orang tua (parental responsiveness) dan tuntutan orang tua

(parental demandingness). Penerimaan orang tua adalah seberapa jauh orang tua merespon kebutuhan anak dengan cara yang bersifat menerima dan mendukung. Sedangkan tuntutan orang tua adalah seberapa jauh orang tua mengharapkan dan menuntut tingkah laku bertanggung jawab anaknya. Tentu gaya pengasuhan orang tua sangat bervariasi. Ada orang tua yang hangat dan menerima anaknya, ada yang tidak merespon dan menolak anak, ada yang menuntut hal terbaik dari anaknya, dan ada orang tua yang membiarkan dan tidak menuntut apa-apa dari anaknya

Di bawah ini, gaya pengasuhan menurut Braumind (dalam Casmini, 2007: 50) yang dikombinasi dengan dua dimensi pola asuh orang tua.


(28)

14

a. Pola asuh demokrasi (Authorritative) pola pengasuhan dengan orang tua yang tinggi tuntutan (demandingness) dan tanggapan (responsiveness). Ciri dari pengasuhan authoritative menurut Baumrind (Casmini, 2007: 50) yaitu 1)

bersikap hangat namun tegas, 2) mengatur standar agar dapat melaksanakannya

dan memberi harapan yang konsisten terhadap kebutuhan dan kemampuan anak, 3) memberi kesempatan anak untuk berkembang otonomi dan mampu

mengarahkan diri, namun anak harus memiliki tanggung jawab terhadap tingkah

lakunya, dan 4) menghadapi anak secara rasional, orientasi pada masalah-masalah memberi dorongan dalam diskusi keluarga dan menjelaskan disiplin yang mereka

berikan.

b. Pola asuh otoriter (Authoritarian), yaitu pola pengasuhan dengan orang tua yang tinggi tuntutan (demandingness) namun rendah tanggapan (responsiveness). Ciri

pengasuhan authoritarian menurut Baumrind (Casmini, 2007: 51) yaitu 1) memberi nilai tinggi pada kepatuhan dan dipenuhi permintaannya, 2) cenderung

lebih suka menghukum, bersifat absolut dan penuh disiplin, 3) orang tua meminta

anaknya harus menerima segala sesuatu tanpa pertanyaan, 4) aturan dan standar yang tetap diberikan oleh orang tua dan 5) mereka tidak mendorong tingkah laku

anak secara bebas dan membatasi anak.

c. Pola asuh permissive, yaitu pola pengasuhan dengan orang tua yang rendah pada tuntutan (demandingness) namun tinggi pada tanggapan (responsiveness). Ciri dari pengasuhan permissive atau indulgent menurut Baumrind (Casmini, 2007: 50) yaitu 1) sangat menerima anaknya dan lebih pasif dalam persoalan disiplin, 2) sangat sedikit menuntut anak-anaknya, 3) memberi kebebasan kepada anaknya untuk bertindak tanpa batasan, dan 4)


(29)

15

lebih senang menganggap diri mereka sebagai pusat bagi anak-anaknya, tidak peduli anaknya menganggap atau tidak.

Berikut ini merupakan skema gaya mengasuhan orang tua menurut Baumrind.

Tabel. 1 Skema Pengasuhan Orang Tua Model Baumrind

Acceptance/Responsive

High Low

Demandingness/control High Authorritative Authoritarian

Low Permissive Uninvolved

Drew Edwards (2006: 48) membagi pola asuh menjadi tiga macam yaitu: a. Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis adalah orang tua yang sadar antara hak dan kewajiban anak. Orang tua demokratis mendidik anak dengan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, sehingga anak memiliki suara agar pendapatnya didengar oleh orang tua.

b. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter adalah cara mendidik anak agar anak menurut dan melaksanakan tugas ataupun perintah yang dikatakan orang tua. Pola asuh ini cenderung mengekang anak untuk mengikuti apa yang diperintah oleh orang tua. c. Pola asuh permisif

Pola asuh permisif adalah orang tua yang tidak memiliki tuntutan maupun batasan kepada anak. Anak tidak ditegur maupun dinasehati, semua yang dilakukan anak tidak di respon oleh orang tua.


(30)

16

Senada dengan pendapat di atas, Sugihartono dkk (2007: 31) juga merumuskan tiga macam pola asuh orang tua, sebagai berikut:

a. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter disini adalah suatu bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orang tua agar si anak tersebut taat dan patuh pada apa yang dikatakan orang tua. Pada pola asuh otoriter ini orang tua bersikap tegas, jika anak melakukan kesalahan langsung dihukum dan mengekang keinginan anak. Pola asuh otoriter ini anak tidak dapat mengembangkan kreatifitasnya.

b. Pola asuh permissif

Pola asuh permissif disini merupakan suatu bentuk pola asuh dimana orang tua memberi kebebasan kepada anak untuk mengatur dirinya sendiri tetapi anak tidak dituntut tanggung jawab dan orang tua disini tidak banyak mengontrol tingkah laku anak. Dapat dikatakan orang tua tidak tahu bagaimana pergaulan si anak dengan teman-temannya.

c. Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis disini adalah suatu bentuk pola asuh orang tua yang didalam pola asuh tersebut ada hak serta kewajiban dari orang tua dan anak itu sendiri dimana didalamnya orang tua dan anak saling melengkapi satu sama lain. Anak diajarkan untuk bertanggung jawab sehingga orang tua dapat memberi kebebasan dan kepercayaan kepada anak.

Selain beberapa teori dan pendapat diatas, Tri Marsiyanti & Farida Harahap (2000: 51- 52) juga mengemukakan 3 tipe pola asuh orang tua yaitu


(31)

17

authoritarian parental style, democratic/authoritative parental style, dan

permisive parental style. Berikut ini penjelasan ketiga tipe pola asuh tersebut. a. Authoritarian Parental Style

Pola asuh ini menitik-beratkan pada disiplin penuh. Orang tua memegang penuh aturan-aturan dalam keluarga. Pengawasan terhadap anak dilakukan dengan ketat dan bersifat membatasi. Jika anak melakukan kesalahan maka orang tua akan menghukum anak atau tindakan menggunakan hukuman fisik dan mencabut hak-hak anak. Dampak pola asuh yang berlebihan akan membuat anak bersikap acuh, pasif, kurang berinisiatif dan kurang kreativitas.

b. Democratic/ Authoritative Parental Style

Pola asuh ini menitik-beratkan pada tujuan dan menjadikan anak bersikap individualis. Orang tua yang demokratis biasanya penuh pertimbangan, lebih sabar, dan mencoba memahami perilaku anaknya. Pengawasan dilakukan secara tegas tetapi tidak membatasi dan terkontrol. Orang tua juga melibatkan anak- anak untuk pengambilan keputusan yang menyangkut keluarga. Hubungan anak dan orang tua cenderung penuh kehangatan.

c. Permissive Parental Style

Pola asuh ini memberikan kebebasan pada anak. Hubungan antara anak dan orang tua hangat, tetapi kontrol orang tua sedikit. Orang tua menerima semua perilaku anak dan jarang memberi hukuman. Orang tua kurang memberi batasan pada perilaku anak dan hati-hati dalam mengambil tindakan yang tegas pada anak.


(32)

18

Bjorklund & Bjorklund, Crooks & Stein (dalam Conny, 1998: 205- 207) menjelaskan bahwa terdapat tiga pola asuh orang dalam keluarga, yaitu:

a. Otoriter (authoritarian)

Orang tua bersikap ketat kepada anak dan sepihak. Orang tua menuntut ketaatan penuh kepada anak tanpa memberi kesempatan untuk berbicara. Orang tua sangat dominan dalam mengawasi dan suka menghukum. Anak yang dibesarakan dalam keluarga otoriter cenderung kurang memperlihatkan rasa ingin tahu dan emosi-emosi yang positif serta cenderung kurang bisa bergaul.

b. Permisif (permissive)

Orang tua tidak menuntut tanggung jawab pada anak dan kurang memberikan kontrol, orang tua sedikit memberikan masukan pada anak. Jika anak berbuat salah orang tua hanya membiarkan tanpa menghukum atau menasehati. Anak yang dibesarkan dalam keluarga ini menunjukkan kecenderungan perilaku yang tidak matang, bersifat impulsif dan tergantung pada orang lain, dan harga diri yang rendah.

c. Demokratis

Orang tua dalam pola asuh ini menuntut anak untuk mematuhi peraturan, tetapi melalui pemahaman bukan dengan paksaan. Orang tua menyampaikan peraturan disertai penjelasan yang dimengerti anak. Anak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Dengan begitu anak merasa bahwa pandangannya memiliki bobot tertentu dalam peraturan yang ditetapkan. Anak yang dibesarkan dalam keluarga ini cenderung memperlihatkan kemampuan


(33)

19

penyesuaian diri yang baik, lebih mandiri, memiliki rasa kendali yang kuat dan memiliki banyak teman.

Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui bahwa terdapat tiga macam pola asuh yaitu demokratis, otoriter, dan permisif. Ketiga macam pola asuh tersebut yang akan diteliti dalam penelitian ini.

3. Tujuan dan Fungsi Pola Asuh Orang Tua

Syaiful Bahri Djamarah (2014: 55) menjelaskan bahwa pola asuh orang tua akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Hal ini akan berhubungan dengan jenis pola asuh yang diterapkan kepada anak. Sejak kecil anak mendapatkan pendidikan dari lingkungan keluarganya melalui keteladanan dan kebiasaan hidup yang dicontohkan oleh orang tuanya. Keteladanan dan kebiasaan hidup itulah yang nantinya akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak.

Hurlock (1978: 201) mengemukakan bahwa tujuan pengasuhan adalah untuk mendidik anak agar anak dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya atau agar anak diterima oleh masyarakat. Sedangkan fungsi pengasuhan adalah untuk memberikan kelekatan dan kasih sayang antara anak dan orang tuanya atau sebaliknya, adanya penerimaan dan tuntutan dari orang tua dan melihat bagaimana orang tua menerapkan disiplin kepada anak.

Mengingat begitu pentingnya manfaat dan tujuan pola asuh orang tua, orang tua hendaknya mampu memberikan pola asuh yang tepat bagi anaknya. Orang tua perlu memberikan keteladanan bagi anak sehingga kelak anak memiliki kepribadian yang baik seperti apa yang ia teladani dari orang tuanya.


(34)

20 B. Kajian Teori Jenjang Pendidikan Orang Tua 1. Pengertian Pendidikan

Menurut Fuad Ihsan (2008: 5), pendidikan dapat diartikan sebagai: a. Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan;

b. Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya;

c. Suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat;

d. Suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan anak dalam menuju kedewasaan.

Di dalam UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 14 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 memuat bahwa pendidikan adalah:

“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Sutan & Syahmiar (1991: 18) menyebutkan bahwa konsep pendidikan yang menyatukan semua kegiatan pendidikan, baik yang terjadi dalam sekolah maupun yang terjadi di luar sekolah (dalam keluarga dan masyarakat), secara terpadu yang berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini oleh Unesco terkenal dengan pendidikan seumur hidup terpadu (life long integrated education). Sutan & Syahmiar (1991: 18) juga menyebutkan bahwa terdapat dua pengertian esensial yang dikandung oleh konsep itu yaitu (1) pendidikan berlangsung sepanjang hidup


(35)

21

manusia, dan (2) pendidikan merupakan kegiatan terpadu antara kegiatan pendidikan dalam sekolah maupun luar sekolah.

2. Jalur Pendidikan

Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya (UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 13 ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VI Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan). Penjelasan dari ketiga jalur pendidikan tersebut sebagai berikut.

a. Pendidikan Formal

Dalam UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 14 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VI Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan berisi “Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.” Menurut Fuad Ihsan (2008: 22) “Jenjang atau tingkat pendidikan adalah tahap pendidikan yang berkelanjutan, yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tingkat kerumitan bahan pengajaran dan cara menyajikan bahan pengajaran”.

Menurut Saleh Marzuki (2012: 137) pendidikan formal adalah proses belajar yang terjadi secara hierarkis, terstruktur, berjenjang, termasuk studi akademik secara umum, beragam program lembaga pendidikan dengan waktu penuh, pelatihan teknis dan professional.

Jenjang pendidikan sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Selain jenjang pendidikan tersebut, terdapat pendidikan pra sekolah yang tidak merupakan prasyarat untuk memasuki


(36)

22

pendidikan dasar. Berikut penjelasan dari masing-masing jenjang pendidikan di Indonesia.

1) Pendidikan dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 tahun pertama masa sekolah. Sembilan tahun masa sekolah ini terdiri dari 6 tahun di Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau jenjang pendidikan lain yang sederajat. Kemudian di lanjutkan 3 tahun di Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan dasar merupakan syarat pendidikan yang harus di tempuh untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya yaitu Pendidikan Menengah.

Menurut Fuad Ihsan (2008: 22), pendidikan dasar adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan keterampilan, menumbuhkan sikap dasar yang diperlukan dalam masyarakat, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan dasar pada prinsipnya merupakan penddikan yang memberikan bekal dasar bagi perkembangan kehidupan, baik untuk pribadi maupun masyarakat.

2) Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan dari pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Bentuk-bentuk pendidikan menengah adalah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.


(37)

23

Pendidikan menengah merupakan syarat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yakni Pendidikan Tinggi.

Pendidikan menengah adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi (Fuad Ihsan, 2008: 23).

3) Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doctor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

b. Pendidikan Nonformal

Dalam UU No 20 tentang sisdiknas pasal 26, pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal. Pendidikan nonformal berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaskaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.


(38)

24

Menurut Saleh Marzuki (2012: 137) di dalam pendidikan nonformal, proses belajar terjadi secara terorganisasikan di luar sistem persekolahan atau merupakan bagian penting dari suatu kegiatan yang lebih besar yang dimaksudkan untuk melayani sasaran didik tertentu dan belajarnya tertentu pula.

Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

c. Pendidikan Informal

Di dalam Undang-undang no 20 tentang sisdiknas pasal 27 memuat kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Sedangkan menurut Saleh Marzuki (2012: 137), pendidikan informal adalah proses belajar sepanjang hayat yang terjadi pada setiap individu dalam memperoleh nilai-nilai, sikap, keterampilan dan pengetahuan melalui pengalaman sehari-hari atau pengaruh pendidikan dan sumber-sumber lain di sekitar lingkungannya. Hampir semua bagian prosesnya relatif tidak terorganisasikan dan tidak sistematik.


(39)

25

Menurut Faisal (1981) dalam Suprijanto (2007: 8) ciri-ciri pendidikan informal antara lain sama sekali tidak terorganisasi, tidak berjenjang kronologis, tidak ada ijazah, tidak diadakan dengan maksud menyelenggarakan pendidikan, lebih merupakan hasil pengalaman belajar individual-mandiri. Contoh: pendidikan sebagai akibat dari fungsi keluarga, media masa, acara keagamaan, pertunjukan seni, hiburan, kampanye, partisipasi dalam organisasi, dan lain-lain.

Jadi, pada penelitian ini, jenjang pendidikan orang tua yang dimaksud atau variabel yang akan diteliti adalah pendidikan formal terakhir yang telah ditempuh oleh orang tua dari anak kelompok A TK Negeri 2 Sleman baik ayah maupun ibu. C. Kajian Teori Kedisiplinan Anak Usia Dini

1. Pengertian Kedisiplinan Anak Usia Dini

Kedisiplinan berasal dari kata disiplin. Secara etimologi, kata disiplin

berasal dari bahasa Latin, yaitu disciplina dan discipulus yang berarti perintah dan murid. Jadi, disiplin adalah perintah yang diberikan oleh orangtua kepada anak atau guru kepada murid (Novan Ardy Wiyani, 2013: 41). Perintah tersebut diberikan kepada anak atau murid agar ia melakukan apa yang diinginkan oleh orangtua dan guru. Senada dengan Novan Ardy, Mohamad Mustari (2014: 35) menyebutkan bahwa disiplin merujuk pada instruksi sistematis yang diberikan kepada murid (disciple). Tabrani Rusyan (2003: 73) berpendapat bahwa disiplin merupakan ketaatan atau kepatuhan, yaitu ketaatan seseorang terhadap tata tertib atau kaidah hidup lainnya.

Sedangkan, Marijan (2012:73) menyebutkan bahwa bahasa aslinya (discipline: Inggris) berarti ketertiban. Ketertiban sangat terkait antara perilaku seseorang dengan aturana/hokum/adat kebiasaan masyarakat dimana perillaku


(40)

26

seseorang itu berlangsung. Jika perilaku tersebut sesuai dan disetujui masyarakat maka dianggap disiplin. Sebaliknya apabila perilaku tersebut bertentangan dengan adat/kebiasaan maka dikatakan tidak disiplin. Disiplin ialah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan (M. Fadlillah & Lilif M. Khorida, 2013: 192). Selain itu, menurut Riberu, 1987 (dalam Maria J. Wantah, 2005: 139) disiplin diartikan sebagai penataan perilaku sesuai dengan ajaran yang dianut.

Menurut Webster’s New World Dictionary dalam Novan Ardy Wiyani (2013: 41) mendefinisikan disiplin sebagai latihan untuk mengendalikan diri, karakter dan keadaan secara tertib serta efisien. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Novan Ardy Wiyani (2013: 41) terdapat tiga arti disiplin yaitu tata tertib, ketaatan, dan bidang studi. Tata tertib merupakan peraturan yang harus ditaati. Jika ada yang tidak menaatinya, si pelanggar akan mendapatkan hukuman. Oleh sebab itu, orang pada umumnya sering mengaitkan antara disiplin dengan peraturan dan hukuman.

Menurut Novan Ardy Wiyani (2013: 42) pada hakikatnya kedisiplinan anak usia dini adalah suatu pengendalian diri terhadap perilaku anak usia 0 – 6 tahun dalam berperilaku sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dapat berupa tatanan nilai, norma, dan tata tertib di rumah maupun di sekolah. Jadi, secara sederhana kedisiplinan anak usia dini pada dasarnya adalah sikap taat dan patuh terhadap aturan yang berlaku. Baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat yang dilakukan oleh anak usia 0 – 6 tahun. Peraturan yang harus patuhi oleh anak dibuat secara fleksibel, tetapi tegas. Dengan kata lain, peraturan menyesuaikan


(41)

27

dengan kondisi perkembangan anak serta dilaksanakan dengan penuh ketegasan. Apabila ada anak yang melanggar, harus menerima konsekuensi yang telah disepakati (M. Fadlillah & Lilif M. Khorida, 2013: 192).

Dari sisi psikopedagogik, disiplin sangat penting bahkan merupakan keharusan bagi pertumbuhan anak (Maria J. Wantah, 2005: 143). Tumbuh kembang anak tidak hanya secara fisiologis, tetapi juga secara mental dan sosial. Dini (1996: 4) menyebutkan bahwa penanaman disiplin yang tepat akan menghasilkan terbentuknya perilaku moral yang positif bagi anak. Hal tersebut menyebabkan anak dapat berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungan sosialnya dan sebagai hasilnya keberadaannya diterima dengan baik oleh lingkunannya. Dengan kata lain, anak tersebut dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan akan membuatnya menjadi bahagia.

Secara psikososial, tiap anak memiliki kebutuhan dasar yang dapat dilayani melalui disiplin. Bahkan dapat dikatakan bahwa disiplin sesungguhnya adalah kebutuhan intrinsik dan ekstrinsik bagi perkembangan anak (Maria J. Wantah, 2005: 143). Kebutuhan intrinsik artinya melalui disiplin anak dapat berfikir, menata, dan menentukan sendiri tingkah laku sosialnya sesuai dengan tata tertib dan kaedah-kaedah tingkah laku dalam masyarakat. Kebutuhan ekstrinsik artinya dalam kehidupannya anak selalu akan cenderung bertanya dan meminta petunjuk tentang arah tingkah lakunya. Disinilah disiplin berfungsi memberi penerangan agar tingkah laku anak tidak menyimpang dan menimbulkan suasana hidup yang tidak menyenangkan bagi anak.


(42)

28

Menurut Novan Ardy Wiyani (2013: 42) pada dasarnya ada dua hal yang dibentuk oleh orangtua dan guru PAUD terkait karakter disiplin bagi anak usia dini, yaitu mendidik anak untuk berperilaku yang baik dan mendidik anak untuk menjauhi perilaku yang buruk. Jadi, tujuan yang hendak dicapai dari pembentukan karakter disiplin bagi anak usia dini adalah membentuk anak berperilaku baik dan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku. Pembentukan kedisiplinan anak sejak dini pada semua aspek kehidupannya penting untuk diperhatikan oleh orangtua dan guru. Mendidik kedisiplinan pada anak merupakan proses yang dilakukan oleh orangtua dan guru sepanjang waktu. Oleh karena itu, disiplin harus dilakukan secara kontinu dan istiqamah. Disiplin yang dilakukan secara kontinu dan istiqamah akan membentuk suatu kebiasaan sehingga seorang individu akan dengan mudah untuk melakukannya.

2. Unsur-unsur Kedisiplinan Anak Usia Dini

Disiplin sangat penting artinya bagi anak. Oleh karena itu, disiplin harus dibentuk secara terus-menerus kepada anak. Menurut Novan (2013: 43) ada tiga unsur kedisiplinan yaitu kebiasaan, peraturan, dan hukuman. Disiplin yang dibentuk secara terus-menerus akan menjadikan disiplin tersebut menjadi kebiasaan. Namun pada umumnya, orangtua membentuk kedisiplinan anak dengan cara membuat dan menerapkan peraturan serta memberi hukuman bagi anak yang melanggar peraturan tersebut. Sedangkan menurut Hurlock (1978: 84) terdapat empat unsur penting dalam mendisiplinkan anak yaitu: (1) peraturan sebagai pedoman perilaku, (2) konsistensi dalam peraturan tersebut dan dalam cara yang digunakan untuk mengajarkan dan memaksanya, (3) hukuman untuk


(43)

29

pelanggaran peraturan, (4) penghargaan untuk perilaku yang baik yang sejalan dengan peraturan yang berlaku.

Unsur-unsur kedisiplinan anak menurut Maria J.Wantah (2005: 150-169). a. Peraturan

Salah satu unsur pokok dalam disiplin adalah peraturan. Menurut Maria J. Wantah (2005:150), peraturan adalah ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan untuk menata tingkah laku seseorang dalam suatu kelompok, organisasi, institusi, atau komunitas. Peraturan merupakan pegangan bagi setiap orang dalam suatu komunitas. Menurut Dini (1996: 11) peraturan adalah pola yang ditentukan untuk bertingkah laku atau merupakan pedoman untuk berperilaku. Melalui peraturan, anak belajar bahwa mereka diharapkan untuk mematuhi aturan tersebut dan kegagalan melakukannya akan mendatangkan hukuman atau perilakunya menjadi kurang diterima oleh kelompok sosialnya.

Menurut Acep Yonny dan Sri Rahayu Yunus, 2011 (dalam Novan Ardy Wiyani, 2013: 43), anak akan medapatkan konsekuensi yang berimbang jika melanggar atau menunjukkan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Peraturan memiliki dua fungsi penting, yaitu fungsi pendidikan dan fungsi preventif. Dikatakan sebagai fungsi pendidikan karena peraturan merupakan alat untuk memperkenalkan perilaku yang disetujui suatu kelompok kepada anak. Sedangkan dikatakan memiliki fungsi preventif karena peraturan membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan.

Dini (1996: 11) menyebutkan peraturan memiliki dua fungsi yang sangat penting dalam membantu anak menjadi manusia yang bermoral, yakni:


(44)

30

1. Peraturan mempunyai nilai pendidikan, karena peraturan memperkenalkan pada anak perilaku yang disetujui anggota kelompok tersebut.

2. Peraturan membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Hal tersebut terjadi karena anak akan dihukum atau dimarahi bila melanggar peraturan tersebut. Oleh karena itu agar tidak dihukum, anak harus mengekang perilaku yang tidak sesuai dengan aturan yang telah diketahui.

Peraturan dianggap efektif apabila setiap pelanggar atas peraturan tersebut mendapatkan konsekuensi yang setimpal. Jika tidak, peraturan akan kehilangan maknanya. Peraturan yang dilakukan secara efektif dapat membantu seorang anak agar mereka merasa terlindungi sehingga anak tidak melakukan hal-hal yang tidak baik. Menurut Asti Fajjaria, 2012 (dalam Novan, 2013: 44), isi peraturan harus mencerminkan hubungan yang serasi diantara anggota keluarga.

Dini (1996: 11) menyebutkan bahwa peraturan harus di mengerti, diingat, dan diterima oleh anak. Peraturan yang tidak dimengerti anak tidak akan berarti sebagai pedoman perilaku dan tidak dapat diharapkan untuk mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, baik orang tua maupun pendidik harus yakin bahwa peraturan yang diberikan dapat dipahami oleh anak. Hal ini dapat dilakukan dengan cara dengan cara memberikan penyampaian yang tepat dan mudah dipahami oleh anak.

b. Kebiasaan

Disamping terdapat peraturan, ada pula kebiasaan-kebiasaan (habit) sosial yang tidak tertulis. Meskipun tidak tertulis, kebiasaan-kebiasaan ini telah menjadi semacam keharusan sosial dan menjadi kewajiban setiap anggota masyarakat untuk melaksanakannya. Menurut Maria J. Wantah (2005: 156), kebiasaan-kebiasaan itu ada yang bersifat tradisional dan ada yang bersifat modern. Kebiasaan yang bersifat tradisional dapat berupa kebiasaan menghormati dan


(45)

31

memberi salam kepada orangtua baik dalam rumah, dalam perjalanan, di sekolah, maupun di tempat-tempat kegiatan sosial lainnya, atau kebiasaan untuk tidak mengatakan kata-kata kasar kepada teman, orangtua, guru dan orang lain yang dihormati. Sedangkan kebiasaan modern yang diajarkan melalui sekolah ataupun telah menjadi kebudayaan masyarakat seperti kebiasaan bangun pagi, kemudian sikat gigi, mandi, berganti pakaian, dan sarapan atau kebiasaan-kebiasaan lainnya. c. Hukuman

Hukuman dalam bahasa Inggris yaitu punishment, berasal dari kata kerja Latin yaitu punire yang berarti suatu bentuk kerugian atau kesakitan yang dijatuhkan pada seseorang yang berbuat kesalahan, perlawanan atau pelanggaran sebagai ganjaran atau pembalasan (Maria J. Wantah, 2005: 157). Hukuman adalah suatu sanksi yang diterima oleh seseorang sebagai akibat dari pelanggaran atau aturan-aturan yang telah ditetapkan. Sanksi tersebut dapat berupa material dan nonmaterial. Hukuman memang memiliki konotasi yang negatif. Namun pada dasarnya setiap hukuman pasti bertujuan ke arah kebaikan dan perbaikan. Anonimous, 2003 (dalam Maria J. Wantah, 2005: 157) mengemukakan bahwa tujuan dari hukuman adalah menghentikan anak untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku dengan menggunakan metode yang memberikan efek jera baik secara biologis maupun psikologis.

Menurut Maria J. Wantah (2005: 157-158)ada empat jenis hukuman yaitu (1) hukuman fisik, seperti menampar atau memukul; (2) hyukuman dengan kata-kata, seperti mempermalukan, meremehkan, dan menggunakan kata-kata kasar; (3) melarang, seperti tidak boleh menonton tv jika belum mengerjakan tugas; (4)


(46)

32

hukuman dengan pinalti, seperti mengurangi uang saku anak apabila ia merusak sesuatu. Dua jenis hukuman fisik dan kata-kata merupakan metode disiplin yang tidak efektif karena menyakitkan fisik dan perasaan anak, sedangkan metode melarang dan pinalti dapat digunakan sebagai metode disiplin yang efektif atau sebagai hukuman. Hukuman hanyalah salah satu alat untuk menjadikan anak menaati peraturan.

Mohamad Mustari (2014: 29), menyebutkan bahwa kedisiplinan yang dihubungkan dengan hukuman adalah disiplin yang ada hubungannya dengan orang lain. Hukuman berarti konsekuensi yang harus dihadapi ketika melakukan pelanggaran hukum. Disiplin di sekolah, berarti taat pada peraturan sekolah. Murid yang dikatakan disiplin adalah murid yang mengikuti peraturan yang ada di sekolah.

d. Penghargaan

Unsur penghargaan yang merupakan penguatan positif adalah teknik terbaik untuk mendorong tingkah laku yang diinginkan. Penghargaan dapat mendorong orang lebih termotivasi untuk melakukan hal yang benar dan menghindari hukuman. Penghargaan merupakan cara untuk menunjukkan pada anak bahwa ia telah melakukan hal yang baik. Menurut Maslow, 1970 (dalam Maria J. Wantah, 2005: 164), penghargaan adalah salah satu dari kebutuhan pokok yang mendorong seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya.

Penghargaan adalah unsur disiplin yang sangat penting dalam pengembangan diri dan tingkah laku anak. Penghargaan yang diberikan kepada anak tidak harus berbentuk materi, tetapi dapat juga berupa kata-kata pujian atau


(47)

33

senyuman pada anak. Pemberian penghargaan harus didasarkan pada prinsip bahwa penghargaan itu akan memberi motivasi kepada anak untuk meningkatkan dan memperkuat perilaku yang sesuai dengan aturan dan norma-norma, serta memperkuat anak untuk menghindari diri dari tindakan-tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.

Menurut Maria J. Wantah (2005: 165), pemberian penghargaan mempunyai fungsi dan peranan penting dalam mengembangkan perilaku anak yang sesuai dengan cara yang disetujui masyarakat. Pertama, pengharagaan mempunyai nilai mendidik. Penghargaan yang diberikan kepada anak menunjukkan bahwa perilaku yang dilakukan anak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku. Kedua, penghargaan berfungsi sebagai motivasi pada anak untuk mengulangi atau mempertahankan perilaku yang disetujui secara sosial. Ketiga, penghargaan berfungsi memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam memberikan penghargaan pada anak adalah bentuk dan cara memberikan penghargaan. Bentuk dan cara penghargaan yang diberikan kepada anak harus sesuai dengan tingkat perkembangannya. Bentuk penghargaan yang diberikan oleh pendidik untuk anak kecil tentunya berbeda dengan penghargaan yang diberikan pada anak yang lebih besar.

e. Konsistensi

Unsur terakhir adalah konsistensi dalam berbagai aturan dan pelaksanaannya. Konsisten menunjukkan kesamaan dalam isi dan penerapan sebuah aturan. Disiplin yang efektif harus memenuhi unsur konsisten. Bila


(48)

34

pendidik ingin menerapkan pemberian hukuman untuk mengendalikan perilaku anak, atau memberikan penghargaan untuk memperkuat perilaku yang baik dari anak maka pemberian hukuman ataupun penghargaan itu harus memenuhi syarat konsistensi. Subjek perilaku disiplin adalah anak, sikap konsistensi tidak hanya dilakukan oleh anak tetapi juga orangtua maupun pendidik harus melakukan konsistensi. Hal itu akan menciptakan lingkungan yang mendukung terwujudnya perilaku yang diharapkan (Novan Ardy Wiyani, 2013: 46).

Konsistensi dalam disiplin mempunyai tiga peran yang penting. Pertama, mempunyai nilai mendidik yang besar. Bila peraturannya konsisten, ia akan memacu proses belajar anak. Kedua, mempunyai nilai motivasi bagi anak. Ketiga, konsistensi dalam menjalankan aturan, memberi hukuman, dan penghargaan akan mempertinggi penghargaan anak terhadap peraturan dan pihak yang menjalankan peraturan tersebut.

3. Manfaat Kedisiplinan Anak Usia Dini

Membentuk karakter disiplin pada anak usia dini merupakan upaya membentuk karakter anak agar ia bisa mengendalikan diri dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tertentu. Disiplin juga dapat membantu anak menghindari perasaan bersalah dan rasa malu akibat perilaku yang salah. Itulah sebabnya disiplin sangat diperlukan bagi anak karena anak akan mengerti konsep mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, anak memiliki penyesuaian pribadi dan sosial yang baik serta pengendalian diri yang baik. Anak yang memiliki disiplin yang baik akan memperoleh kebahagiaan dan rasa aman di lingkungannya.


(49)

35

Menurut Brazelton dalam Novan Ardy Wiyani (2013: 50), beberapa manfaat yang dapat diraih sejak dini berkat kedisiplinan yaitu sebagai berikut: 1) Pengendalian diri dan mengenali dorongan diri apa yang menggerakan, apa

yang menyakiti orang lain, serta belajar menahan diri bersikap seperti itu. 2) Mengenali perasaan diri dan apa yang menyebabkannya, apa namanya,

bagaimana mengekspresikannya, atau bagaimana menyimpannya bila perlu. 3) Membayangkan perasaan orang lain, memahami apa yang menyebabkannya,

peduli terhadap perasaan orang lain, dan mengetahui efeknya terhadap orang lain.

4) Menumbuhkan rasa keadilan dan motivasi untuk berlaku adil.

5) Mendahulukan kepentingan orang lain, merasa bahagia ketika memberi, bahkan rela berkorban untuk orang lain.

Dengan demikian, disiplin diri akan membantu anak untuk mengembangkan perilaku kontrol dirinya dan membantu anak dalam mengenali perilakunya yang salah lalu memperbaikinya. Sedangkan menurut Hurlock, kedisiplinan diperlukan untuk perkembangan anak karena disiplin memenuhi kebutuhan tertentu seperti berikut:

1) Disiplin memberi anak rasa aman dengan memberitahukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.

2) Disiplin memungkinkan anak hidup menurut nilai-nilai tertentu yang berlaku di masyarakat.

3) Dengan disiplin, anak belajar bersikap menurut cara yang akan mendatangkan pujian yang akan ditafsirkan anak sebagai tanda kasih sayang dan penerimaan.


(50)

36

4) Disiplin yang sesuai dengan perkembangan anak berfungsi sebagai pendorong ego yang membuat anak mencapai apa yang diharapkan darinya.

D. Kerangka Berpikir

Disiplin ialah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan yang berlaku. Tujuan yang hendak dicapai dari pembentukan karakter disiplin bagi anak usia dini adalah membentuk anak berperilaku baik dan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku. Pembentukan kedisiplinan anak sejak dini pada semua aspek kehidupannya penting untuk diperhatikan oleh orangtua dan guru. Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa orang tua merupakan tokoh penting dalam mendidik anak.

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan kepada anak yang bertujuan untuk mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk menuju kedewasaan. Pola asuh ini akan berbeda antara satu orang tua dengan orang tua yang lain. Terdapat beberapa macam pola asuh yaitu pola asuh demokratis, pola asuh otoriter, dan pola asuh permisif.

Menurut Saleh Marzuki (2012: 137) pendidikan formal adalah proses belajar yang terjadi secara hierarkis, terstruktur, berjenjang, termasuk studi akademik secara umum, beragam program lembaga pendidikan dengan waktu penuh, pelatihan teknis dan professional. Jenjang pendidikan formal ini terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Jenjang pendidikan orang tua disini adalah pendidikan formal terakhir yang telah di tempuh oleh orang tua baik ayah maupun ibu.


(51)

37

Kedisiplinan anak usia dini, dapat dipengaruhi oleh sikap dan karakter orangtua. Sikap dan karakter orang tua akan sangat mempengaruhi pola asuh yang akan diterapkan kepada anak sehingga akan berpengaruh pada karakter anak pula terutama kedisiplinan. Semakin tinggi pendidikan yang di tempuh seseorang akan memberikan bekal keilmuan dan pengalaman yang berbeda-beda. Perbedaan bekal keilmuan dan pengalaman ini dimungkinkan akan mempengaruhi orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak terutama dalam menanamkan kedisiplinan pada anak. Berdasarkan uraian tersebut, diduga terdapat hubungan antara pola asuh dan jenjang pendidikan orang tua dengan kedisiplinan anak.

Gambar 1. Kerangka Berpikir E. Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan di atas, diduga:

1. Terdapat hubungan yang positif antara pola asuh demokratis dengan kedisiplinan anak kelas A TK Negeri 2 Sleman.

2. Terdapat hubungan antara pendidikan ayah dengan kedisiplinan anak kelas A TK Negeri 2 Sleman.

Kedisiplinan Anak

Jenjang Pendidikan Ibu

Jenjang Pendidikan Ayah

Pola Asuh Demokratis


(52)

38

3. Terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan kedisiplinan anak kelas A TK Negeri 2 Sleman.


(53)

39 BAB III

METODE PENELITIAN A.Jenis dan Bentuk Penelitian

Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional atau uji hubungan. Bentuk penelitian mengenai hubungan pola asuh demokratis dan jenjang pendidikan orang tua dengan kedisiplinan anak ini adalah penelitian korelasi. Penelitian korelasi bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada, berapa eratnya hubungan serta berarti atau tidak hubungan itu (Suharsimi Arikunto, 2002: 239). Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 239), koefisien korelasi adalah suatu alat statistik, yang dapat digunakan untuk membandingkan hasil pengukuran dua variabel yang berbeda agar dapat menentukan tingkat hubungan antara variabel-variabel ini. Seperti yang telah di sebutkan, untuk menghitung besarnya korelasi peneliti menggunakan statistik. Teknik statistik ini dapat digunakan untuk menghitung antara dua atau lebih variabel (Suharsimi Arikunto, 2002: 239).

B.Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel, yaitu dua variabel bebas dan satu variabel terikat. Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Variabel bebas (X)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pola asuh otoriter (X1), pola asuh permisisf (X2), pola asuh demokratis (X3), jenjang pendidikan ayah (X4), jenjang pendidikan ibu (X5).


(54)

40 b. Variabel terikat (Y)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kedisiplinan anak. C.Definisi Operasional

1. Pola asuh orang tua

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan kepada anak yang bertujuan untuk mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk menuju kedewasaan. Pola asuh yang digunakan dalam penelitian ini mencakup 3 jenis pola asuh orang tua yaitu pola asuh otoriter, permisif, dan demokratis, yaitu:

a. Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang mengharuskan kepatuhan anak kepada orang tua. Orang tua bersikap tegas dan suka menghukum jika anak bersalah.

b. Pola asuh permisif adalah pola asuh di mana orang tua memberikan kebebasan penuh kepada anak sehingga anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

c. Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memberikan kebebasan kepada anak tetapi orang tua masih mengontrol anaknya, agar dapat bertanggung jawab atas kehidupanya.

2. Pendidikan Orang Tua

Pendidikan Orang Tua adalah pendidikan formal yang telah di tempuh oleh orang tua baik ayah maupun ibu. Jenjang pendidikan formal terdiri dari Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau jenjang


(55)

41

pendidikan lain yang sederajat. Kemudian di lanjutkan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau jenjang pendidikan lain yang sederajat. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Sedangkan pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Lebih jelasnya, pendidikan tinggi terdiri dari DI, DII, DIII, DIIII, S1, S2, dan S3.

3. Kedisiplinan anak

Kedisiplinan anak usia dini adalah suatu pengendalian diri terhadap perilaku anak usia 0 – 6 tahun dalam berperilaku sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dapat berupa tatanan nilai, norma, dan tata tertib di rumah maupun di sekolah. Jadi, secara sederhana kedisiplinan anak usia dini pada dasarnya adalah sikap taat dan patuh terhadap aturan yang berlaku.

D. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kelas A TK Negeri 2 Sleman yang terletak di Jalan Cangkringan, Pakembinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Pengambilan data telah dilaksanakan pada hari Jum’at tanggal 10 Februari sampai dengan hari Sabtu, 18 Februari 2017.

E.Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian a. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala sikap orang tua terhadap pola asuh anak untuk memperoleh data pola asuh orang tua, angket untuk mengambil data jenjang pendidikan orang tua, sedangkan kedisiplinan di teliti


(56)

42

dengan melakukan observasi. Saifuddin Azwar (2014: 6-8) menjelaskan bahwa skala psikologi adalah alat ukur untuk mengungkapkan atribut non-kognitif, khususnya yang disajikan dalam format tulis. Selanjutnya bahwa contoh data yang diungkap oleh skala psikologi adalah tingkat kecemasan, motivasi, strategi menghadapi masalah, dan lain-lain. Penelitian ini menggunakan bentuk skala yang sudah dimodifikasi dengan empat alternatif jawaban (Sugiyono, 2010: 135). Nana Syaodih (2015: 219) menyebutkan bahwa angket merupakan suatu teknik atau cara pengumpulan data secara tidak langsung (peneliti tidak langsung bertanya-jawab dengan responden). Instrumen atau alat pengumpulan datanya juga disebut angket berisi sejumlah pertanyaa atau pernyataan yang harus di jawab atau di respon oleh responden. Sementara itu, Riduwan (2007: 30) menyebutkan bahwa observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan. Apabila objek penelitian bersifat perilaku dan tindakan manusia, fenomena alam (kejadian-kejadian yang ada di alam sekitar), proses kerja dan penggunaan responden kecil). b. Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Suharsimi Arikunto, 1995: 134). Selanjutnya instrumen yang diartikan sebagai alat bantu merupakan saran yang dapat diwujudkan dalam benda, contohnya: angket (questionnaire), daftar cocok (checklist), skala (scala), pedoman wawancara (interview guide atau interview schedule), lembar pengamatan atau panduan pengamatan (observation sheet atau


(57)

43

observation schedule), soal ujian (soal tes atau [test] inventori [inventory], dan sebagainya (Riduwan, 2007: 24).

Kisi-kisi instrumen menunjukkan keterkaitan antara variabel yang diteliti dengan sumber data yang akan diteliti. Kisi-kisi instrumen digunakan sebagai pedoman dalam menyusun daftar pertanyaan atau pernyataan dalam instrumen. Butir jawaban dibedakan antara favorable (butir yang mendukung indicator variabel), dan unfavorable (butir yang tidak mendukung indicator variabel). Dalam penelitian hubungan pola asuh demokratis dan pendidikan orang tua dengan kedisiplinan anak ini peneliti menggunakan lembar angket dan lembar observasi dengan kisi-kisi instrument sebagai berikut.

Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Pola Asuh Orang Tua Variabel Sub

Variabel Indikator

Banyak

Butir Nomor Butir

Pola Asuh Orang

Tua

Otoriter

Tingkat kontrol yang tinggi dan tingkat kehangatan yang rendah.

5

1, 2, 7, 8, 13

Permisif

Gaya pengasuhan yang menyediakan banyak

kehangatan dan penerimaan yang sedikit

serta memiliki aturan kepada anak.

11

3, 4, 9, 10, 14, 15, 18, 19, 22,

23, 26

Demokratis

Kontrol yang tinggi dengan banyak kehangatan

dan dorongan. Tuntutan yang wajar dengan penjelasan aturan orang

tua.

11

5, 6, 11, 12, 16, 17, 20, 21,

24, 25, 27


(58)

44

Tabel 3. Kisi-kisi Instrumen Jenjang Pendidikan Orang Tua

Variabel Sub Variabel Jumlah

Jenjang Pendidikan Orang Tua Pendidikan Formal Ayah 10 Pendidikan Formal Ibu

Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Lembar Observasi Kedisiplinan Anak

Variabel Sub Variabel Butir Jumlah

Kedisiplinan Peraturan atau tata tertib sekolah untuk anak

1, 2, 3, 4, 6, 7, 9, 10, 12. 13, 19, 21, 22

13

Norma-norma/ kebiasaan yang berlaku di lingkugan sekolah

5, 8, 11, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 23, 24

11

Jumlah 24

F. Validitas Instrumen

Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstruk, yaitu kesesuaian instrumen yang dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan teori tertentu yang digunakan (Sugiyono, 2011: 172). Penentuan alat ukur validitas ini didasarkan pada penilaian para ahli di bidang pokok bahasan yang akan diteliti. Ahli yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing skripsi. Langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh peneliti dalam validitas instrumen yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Peneliti menyusun instrumen berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat dengan merujuk pada kajian teori pada bab II.

2. Peneliti melakukan konsultasi kepada ahli untuk mengetahui mana instrumen yang valid dan mana instrumen yang harus digugurkan atau mana instrumen yang perlu ditambahkan.


(59)

45

3. Setelah dinyatakan valid oleh ahli (dosen pembimbing skripsi), instrumen digunakan untuk mengambil data yang diperlukan dalam penelitian.

G.Teknik Analisis Data

Nurul Zuriah (2007: 198), menyebutkan bahwa analisis data dalam penelitian merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dan memerlukan ketelitian serta kekritisan dari peneliti. Sedangkan menurut Sugiyono (2016: 207), dalam penelitian kuantitatif, analisis data merupakan keiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpun. Sugiyono (2016: 207) juga menyebutkan kegiatan dalam analisis data adalah: mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan.

Penghitungan dan analisis data akan dilakukan dengan program computer

SPSS versi 21 For Windows, hal ini dengan alasan ketepatan dan efisiensi. Sesuai dengan rumusan masalah dan hipotesis penelitian, desain penelitian ini yaitu penelitian korelasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Untuk

selanjutnya dilakukan pengujian pra syarat analisis meliputi : 1. Analisis Kuantitatif

a. Analisis Deskriptif

Teknik analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini untuk mencari perhitungan mean, median, modus, dan standar deviasi dengan bantuan


(1)

96

Lampiran 14. Hasil Uji Normalitas Data

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

demokratis disiplin PendAyah PendIbu

N 46 46 46 46

Normal Parametersa,b Mean 35.11 22.6848 4.50 5.00 Std. Deviation 2.223 1.05071 2.019 2.044

Most Extreme Differences

Absolute .133 .161 .380 .293

Positive .106 .109 .380 .293

Negative -.133 -.161 -.218 -.231

Kolmogorov-Smirnov Z .900 1.095 2.577 1.985

Asymp. Sig. (2-tailed) .393 .182 .000 .001

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.


(2)

97

Lampiran 15. Hasil Uji Linearitas Data

1.

Hasil Uji Linearitas Data Hubungan Pola Asuh Demokratis dengan

Kedisiplinan Anak

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent demokratis * disiplin 46 100.0% 0 0.0% 46 100.0%

Report

demokratis

disiplin Mean N Std. Deviation

20.00 35.00 1 .

20.50 35.00 1 .

21.00 32.00 1 .

21.50 33.88 8 3.182

22.00 37.80 5 1.924

22.50 35.40 5 1.517

23.00 35.00 9 1.658

23.50 34.57 7 1.718

24.00 35.44 9 1.810

Total 35.11 46 2.223

ANOVA Table

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig.

demokratis * disiplin

Between Groups

(Combined) 61.645 8 7.706 1.773 .114 Linearity 1.480 1 1.480 .341 .563 Deviation from

Linearity

60.165 7 8.595 1.978 .085

Within Groups 160.812 37 4.346

Total 222.457 45

Measures of Association

R R Squared Eta Eta Squared demokratis * disiplin .082 .007 .526 .277


(3)

98

2.

Hasil Uji Linearitas Data Hubungan Pendidikan Ayah dengan

Kedisiplinan Anak

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent PendAyah * disiplin 46 100.0% 0 0.0% 46 100.0%

Report

PendAyah

disiplin Mean N Std. Deviation

20.00 3.00 1 .

20.50 8.00 1 .

21.00 3.00 1 .

21.50 4.63 8 2.066

22.00 4.40 5 2.408

22.50 4.80 5 2.490

23.00 3.89 9 1.764

23.50 4.14 7 1.952

24.00 5.11 9 2.028

Total 4.50 46 2.019

ANOVA Table

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig.

PendAyah * disiplin

Between Groups

(Combined )

24.990 8 3.124 .729 .665

Linearity .031 1 .031 .007 .932 Deviation

from Linearity

24.959 7 3.566 .832 .567

Within Groups 158.510 37 4.284

Total 183.500 45

Measures of Association

R R Squared Eta Eta Squared PendAyah * disiplin .013 .000 .369 .136


(4)

99

3.

Hasil Uji Linearitas Data Hubungan Pendidikan Ibu dengan

Kedisiplinan Anak

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent PendIbu * disiplin 46 100.0% 0 0.0% 46 100.0%

Report

PendIbu

disiplin Mean N Std. Deviation

20.00 3.00 1 .

20.50 8.00 1 .

21.00 6.00 1 .

21.50 6.38 8 1.506

22.00 5.40 5 2.191

22.50 4.60 5 2.191

23.00 4.00 9 2.062

23.50 5.00 7 1.915

24.00 4.56 9 2.128

Total 5.00 46 2.044

ANOVA Table

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig.

PendIbu * disiplin

Between Groups

(Combine d)

41.503 8 5.188 1.310 .269

Linearity 12.581 1 12.581 3.177 .083 Deviation

from Linearity

28.922 7 4.132 1.044 .418

Within Groups 146.497 37 3.959

Total 188.000 45

Measures of Association

R R Squared Eta Eta Squared PendIbu * disiplin -.259 .067 .470 .221


(5)

100

Lampiran 18. Hasil Uji Hipotesis Korelasi

1.

Hasil Uji Hipotesis Data Hubungan Pola Asuh Demokratis dengan

Kedisiplinan Anak

Correlations

disiplin demokratis

disiplin

Pearson Correlation 1 .082

Sig. (1-tailed) .295

N 46 46

demokratis

Pearson Correlation .082 1

Sig. (1-tailed) .295

N 46 46

2.

Hasil Uji Hipotesis Data Hubungan Jenjang Pendidikan Ayah dengan

Kedisiplinan Anak

Correlations

PendAyah disiplin

Spearman's rho

PendAyah

Correlation Coefficient 1.000 .054

Sig. (1-tailed) . .362

N 46 46

Disiplin

Correlation Coefficient .054 1.000

Sig. (1-tailed) .362 .

N 46 46

3.

Hasil Uji Hipotesis Data Hubungan Jenjang Pendidikan Ibu dengan

Kedisiplinan Anak

Correlations

disiplin PendIbu

Spearman's rho

Disiplin

Correlation Coefficient 1.000 -.277* Sig. (1-tailed) . .031

N 46 46

PendIbu

Correlation Coefficient -.277* 1.000 Sig. (1-tailed) .031 .

N 46 46


(6)

101

Lampiran 17. Foto Penelitian

Anak berbaris dan mengenakan atribut

lengkap

Anak melaksanakan tugas yang

diberikan oleh guru

Anak mengembalikan mainan pada

tempatnya

Anak berdo’a sebelum makan dan

duduk saat makan

Anak mengantri saat mengambil

makanan dan minuman

Anak mengantri saat bermain alat

permainan yang sama


Dokumen yang terkait

Pola Asuh Orang Tua Anak Korban Perceraian Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU)

6 100 113

TERDAPAT HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA TERHADAP KEDISIPLINAN ANAK Hubungan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kedisiplinan Anak Tk Di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta Tahun 2015/2016.

0 3 10

TERDAPAT HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA TERHADAP KECERDASAN LINGUISTIK ANAK KELOMPOK A Hubungan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kecerdasan Linguistik Anak Kelompok A Di TK Aisyiyah Basin 3 Klaten Tahun Ajaran 2015/2016.

0 2 10

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KEDISIPLINAN ANAK DI SEKOLAH KELOMPOK A TK ISLAM ORBIT 2 PRAON NUSUKAN SURAKARTA Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kedisiplinan Anak Di Sekolah Kelompok A TK Islam Orbit 2 Praon Nusukan Surakarta Tahun Pelajaran

0 4 15

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KEDISIPLINAN ANAK DI SEKOLAH KELOMPOK A TK Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kedisiplinan Anak Di Sekolah Kelompok A TK Islam Orbit 2 Praon Nusukan Surakarta Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 3 13

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DAN KEDISIPLINAN ANAK DI TK AHMAD DAHLAN LAWEYAN SURAKARTA Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dan Kedisiplinan Anak Di TK Ahmad Dahlan Laweyan Surakarta Tahun Ajaran 2013/2014.

0 3 15

HUBUNGAN POLA KOMUNIKASI ORANG TUA-ANAK DENGAN KEDISIPLINAN ANAK PADA KELOMPOK A HUBUNGAN POLA KOMUNIKASI ORANG TUA-ANAK DENGAN KEDISIPLINAN ANAK PADA KELOMPOK A DI TK AL ISLAM 14 MIPITAN SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/2011.

0 0 17

HUBUNGAN PERSEPSI POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DENGAN PRESTASI BELAJAR Hubungan Persepsi Pola Asuh Demokratis Orang Tua Dengan Prestasi Belajar.

0 2 17

HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA

0 0 10

28 pola asuh orang tua dalam melatih kemandirian anak usia balita

0 2 13