ANALISIS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PONOROGO 2016

(1)

(2)

(3)

i


(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

BAB I PENDAHULUAN ... ... 1

I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Tujuan dan Sasaran ... 3

I.3 Sumber Data ... 4

I.4 Sistematika Penulisan ... 5

BAB II Metodologi ... 6

2.1 Konsep Pembangunan Manusia ... 6

2.2 Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia ... 7

BAB III GAMBARAN UMUM ... 18

3.1 Profil Kabupaten Ponorogo ... 18

3.2 Gambaran Umum Sosial Ekonomi Kabupaten Ponorogo ... 21

3.2.1 Bidang Pendidikan ... 21

3.2.2 Bidang Kesehatan Masyarakat ... 29

3.2.3 Bidang Perekonomian... 36

3.2.4 Bidang Ketenagakerjaan ... 40

3.2.5 Bidang Perumahan ... 42

BAB IV STATUS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PONOROGO ... 47

4.1 Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo... 47

4.2 Perkembangan Komponen IPM ... 49

4.2.1 Indeks Kesehatan ... 50

4.2.2 Indeks Pendidikan ... 52

4.2.3 Indeks Daya Beli ... 57

4.3 Pertumbuhan ... 59


(5)

iii DAFTAR TABEL

HALAMAN Tabel 1 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM ... 10 Tabel 2 Tingkatan Status dan Kriteria Nilai IPM ... 11 Tabel 3 Pengelompokkan Jenjang Pendidikan Yang Pernah/Sedang Diduduki 14 Tabel 4 Pengelompokkan Ijazah/STTB Tertinggi Yang Dimiliki ... 14 Tabel 5 Ijazah dan Konversi Tahun Lama Sekolah... 15 Tabel 6 Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Kecamatan

Tahun 2015 ... 20 Tabel 7 Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis

Kelamin dan Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan di

Kabupaten Ponorogo Tahun 2015 ... 26 Tabel 8 Rasio Murid-Guru & Murid-Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun

Ajaran 2015/2016 ... 29 Tabel 9 Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 15-49 Tahun

Menurut Tempat dan Penolong Kelahiran Terakhir di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015 ... 32 Tabel 10 Persentase Balita Yang Mendapat Imunisasi Menurut Jenisnya

di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014-2015 ... 33 Tabel 11 Persentase Penduduk Menurut Keluhan Kesehatan, Sakit dan

Rata-rata Hari Sakit di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015 ... 34 Tabel 12 Banyaknya Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015.. 36 Tabel 13 Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Kelompok Pengeluaran

Perkapita Per Bulan Tahun 2013-2015 (%) ... 37 Tabel 14 PDRB Per Kapita (ADHB) Kabupaten Ponorogo Tahun 2013-2015 .... . 40 Tabel 15 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Variabel Ketenagakerjaan

di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015 ... 41 Tabel 16 Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun


(6)

Tabel 17 Indeks Kesehatan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun

Tahun 2013-2015 ... 52 Tabel 18 Angka Harapan Lama Sekolah (Tahun) Kabupaten/Kota

se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2013-2015 ... 54 Tabel 19 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan

Madiun Tahun 2013-2015 ... 56 Tabel 20 Indeks Pendidikan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun

Tahun 2013-2015 ... 57 Tabel 21 Pengeluaran Riil Perkapita Disesuaikan se-eks Karesidenan Madiun dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2011-2015 (Ribu rupiah) ... 58 Tabel 22 Indeks Daya Beli Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun


(7)

v DAFTAR GAMBAR

HALAMAN Gambar 1 Diagram Penghitungan IPM ... 9 Gambar 2 Peta Kabupaten Ponorogo ... 18 Gambar 3 Luas Wilayah Per Kecamatan (Km2) ... 19 Gambar 4 Angka Melek Huruf Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut

Jenis Kelamin di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015 ... 23 Gambar 5 Angka Partisipasi Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan

Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015 ... 24 Gambar 6 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 25 Tahun Ke Atas

Tahun 2011 - 2015 ... 27 Gambar 7 Penduduk Perempuan Usia 10 Tahun Ke Atas yang Pernah

Kawin Menurut Umur Kawin Pertama di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015 (%) ... 31 Gambar 8 Persentase Penduduk yang Berobat Jalan Menurut Tempat

Berobat Jalan Tahun 2015 ... ... 35 Gambar 9 Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Menurut Jenis Konsumsi

Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015 ... 38 Gambar 10 Persentase Rumah Tangga Menurut Status Rumah Yang Ditempati

Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015 ... 43 Gambar 11 Persentase Rumah Tangga Menurut Kepemilikan Telepon Seluler

dan Penduduk Yang Pernah Akses Internet dalam 3 Bulan Terakhir di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013-2015 ... 44 Gambar 12 Persentase Rumah Tangga Menurut Jenis Lantai Terluas di

Kabupaten Ponorogo Tahun 2015 ... 45 Gambar 13 Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Tempat Buang Air

Besar di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 - 2015 ... 46 Gambar 14 Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015 ... 48 Gambar 15 IPM Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun


(8)

Gambar 16 Perkembangan Angka Harapan Hidup Kabupaten Ponorogo

Tahun 2011-2015 (Tahun) ... 50 Gambar 17 Perkembangan Angka Harapan Lama Sekolah (Tahun)

Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015 ... 53 Gambar 18 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun

2011-2015 (Tahun) ... 55 Gambar 19 Pertumbuhan IPM Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015 ... 59


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor penting yang perlu menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan. SDM yang berkualitas akan menjadi potensi suatu wilayah. Sebaliknya bila SDM tidak berkualitas maka akan menjadi beban dalam pembangunan. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya, oleh karena itu rancangan pembangunan manusia yang sesungguhnya adalah menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan. Kualitas manusia (SDM yang tangguh) di suatu wilayah memiliki andil besar dalam menentukan keberhasilan pengelolaan pembangunan di wilayahnya.

Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah mensejahterakan seluruh penduduk. Bertitik tolak dari tujuan ini maka manusia ditempatkan sebagai titik sentral dalam pembangunan yang mempunyai ciri dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah berupaya meningkatkan kualitas penduduk sebagai kekayaan sumber daya baik dari aspek kesehatan, pendidikan, kesejahteraan ekonomi, serta aspek moralitas (iman dan ketaqwaan). Hal ini merupakan suatu kenyataan yang sederhana, namun seringkali terlupakan oleh kesibukan jangka pendek yang berorientasi pada hal-hal yang bersifat materi.

Berbagai ukuran telah banyak digunakan untuk menilai kinerja pembangunan, namun tidak semua ukuran yang dibuat dapat digunakan sebagai ukuran standar yang dapat dibandingkan antar daerah. Oleh karena itu United Nation Development


(10)

Programme (UNDP) menetapkan suatu ukuran standar pembangunan manusia yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI).

IPM dibentuk melalui pendekatan tiga dimensi dasar yang mencakup umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak. Setiap dimensi direpresentasikan oleh masing-masing indikator. Berdasarkan penyempurnaan metode penghitungan IPM yang baru (sesuai rekomendasi UNDP tahun 2010), dimensi umur panjang dan sehat direpresentasikan oleh indikator Angka Harapan Hidup saat lahir (AHH); dimensi pengetahuan direpresentasikan oleh indikator Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS); dan dimensi standar hidup layak direpresentasikan oleh indikator pengeluaran per kapita disesuaikan (PPP). Dengan demikian peningkatan dari IPM sebagai manifestasi pembangunan manusia dapat ditafsirkan sebagai keberhasilan meningkatkan kemampuan dalam memperluas pilihan-pilihan penduduk yang mencakup pendapatan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.

Untuk meningkatkan IPM, tidak hanya tergantung pada pertumbuhan ekonomi belaka namun juga peningkatan di bidang pendidikan dan kesehatan. Agar pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pembangunan manusia maka harus disertai dengan pemerataan pendapatan dan alokasi belanja publik. Kedua hal tersebut diperlukan untuk menjamin bahwa seluruh penduduk dapat menikmati hasil pembangunan. Selain itu faktor pendidikan dan kesehatan merupakan faktor penting yang sangat efektif dalam pembangunan manusia. Kedua faktor ini adalah kebutuhan dasar yang perlu dimiliki oleh penduduk agar mampu meningkatkan kapabilitas dasarnya. Semakin tinggi kapabilitas dasar yang dimiliki suatu daerah, semakin tinggi pula peluang untuk meningkatkan potensi daerah tersebut. Hal ini pada gilirannya akan menaikkan indikator/komponen IPM.


(11)

Isu pembangunan manusia saat ini menjadi perhatian pemerintah, hal ini ditandai dengan diikutkannya IPM sebagai salah satu alokator dana alokasi umum (DAU) sejak tahun 2004 untuk mengatasi kesenjangan keuangan wilayah (fiscal gap). Alokator lainnya adalah luas wilayah, jumlah penduduk, produk domestik bruto, dan indeks kemahalan konstruksi. Melalui hal ini diharapkan agar wilayah dengan IPM rendah secara perlahan dapat mengejar ketertinggalannya karena memperoleh alokasi dana yang berlebih.

Dalam konteks perencanaan pembangunan yang baik, maka diperlukan data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Data dan informasi menjadi mutlak diperlukan sebagai bahan untuk mengevaluasi sasaran pembangunan yang telah dicapai. Oleh karena itu untuk memperoleh gambaran tentang pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo, disusunlah publikasi “Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo Tahun 2016”.

Dengan diterbitkannya publikasi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai alat evaluasi atas pembangunan yang telah dilakukan serta dapat dijadikan masukan dalam penentuan kebijakan pembangunan di Kabupaten Ponorogo.

1.2. Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari penulisan ini adalah menyajikan data dan informasi tentang kondisi penduduk dan permasalahannya sebagai dampak dari pembangunan yang telah dilaksanakan di Kabupaten Ponorogo. Selanjutnya diharapkan dapat menjadi masukan dalam perencanan dan pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pemberdayaan sumberdaya manusia di Kabupaten Ponorogo, termasuk penentuan sektor-sektor prioritas dalam pembangunan manusia. Publikasi ini menyajikan data dan analisis IPM


(12)

selama tahun 2011-2015. Selain itu publikasi ini juga menganalisis perkembangan masing-masing komponen IPM.

Sasaran yang ingin dicapai dalam publikasi ini meliputi:

a. Terdentifikasinya kondisi beberapa variabel sektoral dalam pembangunan manusia, meliputi sektor-sektor: kesehatan, pendidikan, dan ekonomi di Kabupaten Ponorogo.

b. Memberikan gambaran permasalahan yang ada di bidang pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo

c. Diperolehnya gambaran tentang perkembangan ukuran pembangunan manusia (IPM) dan indikator-indikator sosial lainnya di Kabupaten Ponorogo.

d. Terumuskannya implikasi masalah dan kebijakan untuk menangani berbagai masalah yang merupakan bagian dari perencanaan dan penanganan pembangunan manusia.

1.3. Sumber Data

Dalam penyusunan publikasi ini, sumber data utama berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) disamping data sensus maupun survei BPS lainnya. Sumber data lain berasal dari publikasi-publikasi BPS kabupaten, BPS provinsi maupun BPS RI, antara lain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas).


(13)

1.4. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan buku Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo Tahun 2016 ini mencakup 5 bab dengan perincian sebagai berikut :

Bab I merupakan bab pendahuluan yang mencakup latar belakang, tujuan dan sasaran, sumber data, dan sistematika penulisan.

Bab II berisi tentang metodologi penghitungan IPM secara rinci dari masing-masing komponen IPM.

Bab III membahas mengenai gambaran umum keadaan di Kabupaten Ponorogo yang mencakup keadaan sosial ekonomi masyarakat Ponorogo.

Bab IV membahas mengenai analisis IPM beserta komponen-komponennya dan dikaitkan dengan beberapa indikator tunggal seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

Bab V merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dari uraian pada bab-bab sebelumnya.


(14)

BAB II METODOLOGI

2.1. Konsep Pembangunan Manusia

Dalam konsep pembangunan manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sudut manusianya, bukan hanya dari pertumbuhan ekonominya. Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan (kapabilitas) manusia, tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan kemampuan manusia tersebut secara optimal.

Paradigma pembangunan lama menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang menempatkan pendapatan sebagai acuan, dan yang menjadi alat ukurnya adalah GNP atau GDP per kapita. Alat ukur ini dirasa kurang komprehensip karena hanya melihat satu sisi kehidupan manusia. Sejak tahun 1990, UNDP mengadopsi suatu paradigma baru mengenai pembangunan. Paradigma ini melihat manusia dari sisi yang lebih baik dan komprehensip karena disamping memperhitungkan keberhasilan pembangunan manusia dari aspek ekonomi, juga memperhitungkan keberhasilan pembangunan manusia dari aspek non-ekonomi. Paradigma pembangunan yang dimaksud tersebut mengandung empat komponen utama yaitu :

a. Produktivitas. Manusia harus berkemampuan untuk meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi penuh dalam mencari penghasilan dan lapangan kerja. Oleh karena itu pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan manusia.

b. Pemerataan. Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapuskan,


(15)

sehingga semua orang dapat berpartisipasi dan mendapat keuntungan dari peluang yang sama.

c. Berkelanjutan. Akses terhadap peluang/kesempatan harus tersedia bukan hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Semua sumber daya harus dapat diperbaharui.

d. Pemberdayaan. Semua orang diharapkan berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan dalam proses aktivitasnya.

Penyertaan konsep pembangunan manusia dalam kebijakan-kebijakan pembangunan sama sekali tidak berarti meninggalkan berbagai strategi pembangunan terdahulu, antara lain mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan mencegah perusakan lingkungan. Namun perbedaannya adalah bahwa dari sudut pandang pembangunan manusia, semua tujuan tersebut diletakkan dalam kerangka untuk memperluas pilihan-pilihan bagi manusia.

2.2. Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah variabel tak bebas yang bersifat state, yaitu suatu variabel yang perubahannya berlangsung lambat dan akan meningkat/menurun sedikit demi sedikit sebagai respon terhadap perubahan berbagai kondisi fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Agar mudah dipahami, maka variabel-variabel sosial dan ekonomi tersebut disusun menjadi indeks komposit yang digabung menjadi indeks tunggal.

Angka IPM sangat penting untuk melihat sampai seberapa jauh pertumbuhan dan pemerataan hasil pembangunan mampu secara nyata memberikan output berupa


(16)

peningkatan kebutuhan fisik dasar manusia dan perluasan kemampuan manusia untuk melakukan pilihan-pilihan.

Mulai tahun 2014 dilakukan penyempurnaan metodologi penghitungan IPM. Beberapa alasan yang dijadikan dasar perubahan metodologi penghitungan IPM antara lain :

 Beberapa indikator sudah tidak tepat untuk digunakan dalam penghitungan IPM. Angka melek huruf sudah tidak relevan dalam mengukur pendidikan secara utuh karena tidak dapat menggambarkan kualitas pendidikan. Selain itu, karena angka melek huruf di sebagian besar daerah sudah tinggi, sehingga tidak dapat membedakan tingkat pendidikan antar daerah dengan baik.

 PDB per kapita tidak dapat menggambarkan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah.

 Penggunaan rumus rata-rata aritmatik dalam penghitungan IPM menggambarkan bahwa capaian yang rendah di suatu dimensi dapat ditutupi oleh capaian tinggi dari dimensi lain.

Dengan menggunakan indikator yang lebih tepat maka IPM metode baru dapat membedakan perkembangan IPM antar wilayah antar waktu dengan lebih baik (diskriminatif).

Diagram di bawah ini menyajikan gambar indeks-indeks yang disajikan pada Indeks Pembangunan Manusia yang dihitung berdasarkan metode baru tahun 2014 dan diperlihatkan secara jelas persamaan dan perbedaan antara masing-masing indeks.


(17)

Gambar 1. Diagram Penghitungan IPM

DIMENSI UMUR PANJANG

DAN HIDUP SEHAT PENGETAHUAN

STANDAR HIDUP LAYAK

INDIKATOR Angka Harapan Hidup pada saat lahir

Harapan lama Sekolah (HLS)

Rata-rata Lama Sekolah (RLS)

Pengeluaran per Kapita Riil yang Disesuaikan

(PPP Rupiah)

INDEKS Indeks Kesehatan Indeks Pendidikan

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)

Indeks Daya Beli

Secara umum metode penghitungan IPM yang digunakan di Indonesia sama dengan metode penghitungan yang digunakan oleh UNDP. IPM di Indonesia disusun berdasarkan tiga komponen indeks, yaitu:

1) Indeks kesehatan, yang diukur berdasarkan angka harapan hidup saat lahir (rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang sejak lahir);

2) Indeks pendidikan, yang diukur berdasarkan harapan lama sekolah (lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu (7 tahun ke atas) di masa mendatang) dan rata-rata lama sekolah (jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk (usia 25 tahun ke atas) dalam menjalani pendidikan formal); serta

3) Indeks daya beli, yang diukur dengan pengeluaran per kapita (PPP-Purchasing Power Parity / paritas daya beli dalam rupiah).


(18)

Masing-masing terlebih dahulu dihitung indeksnya sehingga bernilai 0 (buruk) dan 1 (terbaik). Untuk memudahkan analisa biasanya dikalikan 100. Teknik penyusunan indeks tersebut pada dasarnya mengikuti rumus sebagai berikut:

dimana

dimana:

I(i) : Indeks komponen IPM ke i (i=1,2,3)

X(i) : Nilai indikator komponen IPM ke i

Max.X(i) : Nilai maksimum X(i)

Min. X(i) : Nilai minimum X(i)

Berdasarkan nilai IPM yang diperoleh, kita dapat melakukan analisis lebih lanjut, diantaranya tingkat status pembangunan manusia dan tingkat pertumbuhan IPM. Nilai maksimum dan minimum yang digunakan dalam penghitungan IPM menurut BPS sebagai berikut:

Tabel 1. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM

Indikator Komponen IPM Nilai Minimum Nilai Maksimum Catatan

Angka Harapan Hidup Harapan Lama Sekolah Rata-rata Lama Sekolah Pengeluaran per Kapita *)

20 0 0 1.007.436 a) 85 18 15 26.572.352 b) Standar UNDP Standar UNDP Standar UNDP Disesuaikan

Catatan * a) Daya beli minimum merupakan garis kemiskinan terendah kabupaten tahun 2010 (data empiris) yaitu di Tolikara-Papua.

b) Daya beli maksimum merupakan nilai tertinggi kabupaten yang diproyeksikan hingga 2025 (akhir RPJPN) yaitu perkiraan pengeluaran per kapita Jakarta Selatan tahun 2025.

}

.

.

{

}

.

{

) ( ) ( ) ( ) ( ) ( i i i i i

X

Min

X

Max

X

Min

X

I

100

3

tan

I

keseha

I

pendidikan

I

dayabeli


(19)

Hasil penghitungan IPM akan memberikan gambaran seberapa jauh suatu wilayah telah mencapai sasaran yang ditentukan. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, maka semakin dekat pula wilayah tersebut dengan sasaran yang ingin dicapai. Untuk memahami makna nilai IPM, maka PBB malalui UNDP memberikan kriteria sebagai berikut:

Tabel 2. Tingkatan Status dan Kriteria Nilai IPM

Tingkatan Status Kriteria

Rendah Sedang Tinggi

Sangat Tinggi

IPM < 60 60 ≤ IPM < 70 70 ≤ IPM < 80

IPM ≥ 80

Sedangkan tahapan untuk menghitung masing-masing komponen IPM adalah sebagai berikut :

a. Angka Harapan Hidup Saat Lahir - AHH (Life Expectancy - e0)

Pembangunan manusia harus lebih mengupayakan agar penduduk dapat mencapai usia hidup yang panjang dan sehat. Sebenarnya banyak indikator yang dapat digunakan untuk mengukur usia hidup, tetapi dengan mempertimbangkan ketersediaan data secara global, UNDP memilih indikator angka harapan hidup saat lahir. Angka harapan hidup saat lahir adalah rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang sejak lahir. Di Indonesia angka harapan hidup dihitung dengan metode tidak langsung. Metode ini menggunakan dua macam data dasar yaitu rata-rata anak yang dilahirkan hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Prosedur penghitungan angka harapan hidup yang diperoleh dengan metode tidak langsung ini merujuk pada keadaan 3-4 tahun dari tahun survei.


(20)

Besarnya nilai maksimum dan nilai minimum untuk masing-masing komponen ini merupakan nilai besaran yang telah disepakati oleh semua negara. Pada komponen ini, angka tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 20 tahun. Angka ini diambil sesuai standar UNDP.

b. Rata-rata Lama Sekolah – RLS (Mean Years Schooling - MYS) dan Angka

Harapan Lama Sekolah - HLS (Expected Years of Schooling - EYS)

Pengetahuan diakui secara luas sebagai unsur mendasar dari pembangunan manusia. Dua indikator yang digunakan untuk menghitung komponen indeks pendidikan, yaitu Harapan Lama Sekolah (EYS) dan Rata-Rata Lama Sekolah (MYS).

Angka Harapan Lama Sekolah didefinisikan lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang. Diasumsikan bahwa peluang anak tersebut akan tetap bersekolah pada umur-umur berikutnya sama dengan peluang penduduk yang bersekolah per jumlah penduduk untuk umur yang sama saat ini. Angka Harapan Lama Sekolah dihitung untuk penduduk berusia 7 tahun ke atas. HLS dapat digunakan untuk mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang yang ditunjukkan dalam bentuk lamanya pendidikan (dalam tahun) yang diharapakan dapat dicapai oleh setiap anak.

Langkah penghitungan EYS adalah pertama-tama menghitung jumlah penduduk menurut umur (7 tahun ke atas), kemudian menghitung jumlah penduduk yang masih sekolah menurut umur (7 tahun ke atas). Setelah itu menghitung rasio penduduk masih sekolah menurut umur (7 tahun ke atas) dan


(21)

menghitung harapan lama sekolah, yaitu dengan menjumlahkan semua rasio penduduk masih sekolah menurut umur (7 tahun ke atas) dengan formula sebagai berikut :

di mana :

: Harapan lama sekolah pada umur a di tahun t : Jumlah penduduk usia i yang bersekolah pada tahun t : Jumlah penduduk usia i pada tahun t

: Usia (a, a+1, ..., n)

Sedangkan Rata-Rata Lama Sekolah didefinisikan sebagai jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal. Diasumsikan bahwa dalam kondisi normal rata-rata lama sekolah suatu wilayah tidak akan turun. Cakupan penduduk yang dihitung dalam penghitungan rata-rata lama sekolah adalah penduduk berusia 25 tahun ke atas.

Untuk penghitungan indeks pendidikan ini, dua batasan dipakai sesuai kesepakatan beberapa negara. Batas maksimum untuk Angka Harapan Lama Sekolah adalah 18 tahun dengan batas minimum 0 tahun. Sementara itu batas maksimum untuk Rata-Rata Lama Sekolah (MYS) adalah 15 tahun dan batas minimum adalah 0 tahun. Batas maksimum 15 tahun mengindikasikan tingkat pendidikan maksimum yang ditargetkan adalah setara lulus Sekolah Menengah Atas.

Langkah pertama penghitungan MYS adalah menyeleksi penduduk pada usia 25 tahun ke atas. Langkah kedua, mengelompokkan jenjang pendidikan yang pernah/sedang diduduki. t a EYS t i E t i P i

n a i t i t i t a

P

E

EYS


(22)

Tabel 3. Pengelompokkan Jenjang Pendidikan Yang Pernah/Sedang Diduduki

Jenis Pendidikan Jenjang

SD/SDLB Sekolah Dasar Madrasah Ibtidaiyah Paket A SMP/SMPLB SMP Madrasah Tsanawiyah Paket B SMA/SMLB SMA Madrasah Aliyah SMK Paket C

Program D1/D2 D1/D2

Program D3/Sarjana Muda D3

Program D4/S1 S1

Program S2/S3 S2/S3

Langkah ketiga, mengelompokkan ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki.

Tabel 4. Pengelompokkan Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki

Jenis Pendidikan Ijazah

Tidak punya ijazah SD Tidak punya ijazah SD

SD/SDLB Sekolah Dasar Madrasah Ibtidaiyah Paket A SMP/SMPLB SMP Madrasah Tsanawiyah Paket B SMA/SMLB SMA Madrasah Aliyah SMK Paket C

Program D1/D2 D1/D2

Program D3/Sarjana Muda D3

Program D4/S1 S1


(23)

Langkah keempat, mengkonversi tahun lama sekolah menurut ijazah terakhir.

Tabel 5. Ijazah dan Konversi Tahun Lama Sekolah

No. Ijazah Konversi Tahun Lama

Sekolah (Th)

1. Tidak punya ijazah 0

2. Sekolah Dasar 6

3. SMP 9

4. SMA 12

5. D1/D2 14

6. D3 15

7. S1/D4 16

8. S2/S3 18

Langkah selanjutnya adalah menghitung lamanya bersekolah sampai kelas terakhir dan menghitung lamanya bersekolah.

Setelah mendapatkan nilai EYS dan MYS, maka Indeks Pendidikan dihitung dengan rumus sebagai berikut:

c. Standar Hidup Layak

Untuk mengukur indikator Standart Hidup Layak, UNDP menggunakan GDP per kapita yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita). Namun dalam penghitungan IPM sub nasional (propinsi dan kabupaten/kota) tidak dapat menggunakan data PDRB per kapita yang kurang lebih setara dengan ukuran UNDP. Hal ini dikarenakan PDRB per kapita hanya mengukur produksi suatu wilayah dan tidak mampu menggambarkan daya beli riil dari masyarakat yang merupakan fokus dari IPM. Sedangkan data pengeluaran per kapita yang diperoleh

2

MYS EYS

pendidikan

I

I


(24)

dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) merupakan pendekatan dari daya beli masyarakat lokal yang lebih baik.

Untuk mengukur daya beli masyarakat antar kabupaten/kota, digunakan rata-rata konsumsi 96 komoditi terpilih dari hasil Susenas yang dianggap paling dominan dikonsumsi oleh masyarakat dan telah distandarkan agar dapat dibandingkan antar daerah dan antar waktu serta disesuaikan dengan indeks PPP. Rata-rata pengeluaran per kapita dibuat konstan/riil dengan tahun dasar 2012=100. Dari 96 komoditi terpilih tersebut, 66 komoditi diantaranya adalah jenis makanan sementara 30 komoditi lainnya adalah jenis non makanan. Metode penghitungan paritas daya beli menggunakan metode Rao.

Penghitungan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang telah disesuaikan dilakukan melalui 5 (lima) tahapan sebagai berikut :

1) Menghitung value (rupiah yang dikeluarkan) dan quantity (jumlah barang yang dikonsumsi) 96 komoditas PPP dari data Susenas Modul Konsumsi.

2) Menghitung quantity komoditi perumahan dari data Susenas Kor.

3) Menghitung harga rata-rata setiap komoditas. Harga yang tidak dapat diperoleh dari Susenas modul konsumsi diproksi dengan harga dari Indeks Harga Konsumen (IHK).

4) Menghitung relatif harga terhadap Jakarta Selatan.

5) Menghitung penyesuaian PPP (rupiah) atau rata-rata konsumsi riil dengan menggunakan formula :





m i ik ij j m

p

p

PPP

1 1


(25)

dimana:

P(ij) : harga komoditas i di kab/kota j

P(ik) : harga komoditas i di Jakarta Selatan


(26)

BAB III

GAMBARAN UMUM

3.1. Profil Kabupaten Ponorogo

Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten yang ada di bagian barat Provinsi Jawa Timur. Luas wilayahnya 1.371,78 km2 yang terletak antara 111°17' sampai dengan 111°52' Bujur Timur dan 7°49' sampai dengan 8° 20' Lintang Selatan. Kabupaten Ponorogo secara langsung berbatasan dengan Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Nganjuk di sebelah Utara. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Trenggalek. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pacitan, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri (Provinsi Jawa Tengah). Wilayah Kabupaten Ponorogo terbagi habis atas 21 Kecamatan yang terdiri dari 307 desa/kelurahan.


(27)

Kondisi topografi Kabupaten Ponorogo bervariasi mulai dari dataran rendah hingga pegunungan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Ponorogo yaitu sebesar 78,83% terletak di ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut, 14,66% berada di antara 500-700 meter, dan sisanya 6,51% berada pada ketinggian di atas 700 meter. Secara klimatologis Kabupaten Ponorogo merupakan dataran rendah dengan iklim tropis yang mengalami dua musim yaitu kemarau dan penghujan dengan suhu berkisar 18° - 31°C. Kecamatan Ngrayun mempunyai wilayah terluas (184,76 Km2) dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten Ponorogo, sementara wilayah terkecil adalah Kecamatan Ponorogo (22,31 Km2).

Sumber : Ponorogo Dalam Angka 2016, BPS

Berdasarkan hasil proyeksi BPS tahun 2015, jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo sebesar 867.393 jiwa, yang terdiri dari 433.504 jiwa penduduk laki-laki dan 433.889 jiwa penduduk perempuan dengan kepadatan penduduk mencapai 632 jiwa/km2. Komposisi penduduk laki-laki dan perempuan di Kabupaten Ponorogo hampir seimbang. Tercatat rasio jenis kelamin (Sex Ratio) sebesar 99,91 yang berarti bahwa secara rata-rata pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki.


(28)

Tabel 6. Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Kecamatan Tahun 2015

No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Ratio

1 Ngrayun 28.166 28.207 56.373 99.85

2 Slahung 24.269 25.155 49.424 96.48

3 Bungkal 17.013 17.577 34.590 96.79

4 Sambit 17.688 17.996 35.684 98.29

5 Sawoo 26.575 27.561 54.136 96.42

6 Sooko 10.883 11.091 21.974 98.12

7 Pudak 4.643 4.735 9.378 98.06

8 Pulung 23.332 23.349 46.681 99.93

9 Mlarak 20.645 16.184 36.829 127.56

10 Siman 21.803 21.067 42.870 103.49

11 Jetis 14.132 14.898 29.030 94.86

12 Balong 20.345 21.283 41.628 95.59

13 Kauman 19.437 19.829 39.266 98.02

14 Jambon 19.261 19.880 39.141 96.89

15 Badegan 14.627 14.750 29.377 99.17

16 Sampung 17.612 18.005 35.617 97.82

17 Sukorejo 25.710 25.032 50.742 102.71

18 Ponorogo 38.040 38.745 76.785 98.18

19 Babadan 32.831 32.621 65.452 100.64

20 Jenangan 26.611 26.345 52.956 101.01

21 Ngebel 9.881 9.579 19.460 103.15

Jumlah 433.504 433.889 867.393 99.91

Sumber : Ponorogo Dalam Angka 2016, BPS

Dari 21 kecamatan yang ada di Kabupaten Ponorogo, Kecamatan Ponorogo merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar, yaitu 76.785 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 3.442 jiwa/Km2, diikuti oleh Kecamatan Babadan 65.452 jiwa (1.490 jiwa/Km2) dan Kecamatan Ngrayun 56.373 jiwa (305 jiwa/Km2). Sementara kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit sekaligus tingkat kepadatan terendah adalah Kecamatan Pudak 9.378 jiwa dengan tingkat kepadatan 192 jiwa/Km2.


(29)

Jika dilihat menurut sebaran penduduk berdasarkan kelompok umur, mayoritas penduduk Kabupaten Ponorogo merupakan penduduk produktif dengan persentase penduduk usia 15-64 tahun sebesar 68,00%. Sedangkan penduduk usia di bawah 15 tahun sebesar 21,03% dan penduduk usia 65 tahun ke atas sebesar 10,97%. Dengan demikian dapat diketahui bahwa angka rasio ketergantungan di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 mencapai 47,05 yang berarti secara rata-rata dari setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 47 penduduk usia tidak produktif.

3.2 Gambaran Umum Sosial Ekonomi Kabupaten Ponorogo

Sebagaimana paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai titik sentral dari pembangunan itu sendiri, maka upaya-upaya peningkatan kualitas manusia baik secara fisiologis, ekonomis, maupun spiritual perlu diupayakan. Dalam menggambarkan upaya-upaya pembangunan manusia tersebut biasanya digunakan indikator-indikator sosial ekonomi yang meliputi bidang pendidikan, kesehatan masyarakat, ketenagakerjaan, maupun pertumbuhan ekonomi.

3.2.1. Bidang Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan.


(30)

Pendidikan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas SDM. Melalui pendidikan, pengetahuan seseorang akan bertambah yang bermanfaat untuk mempelajari keterampilan yang berguna di dunia kerja. Dengan demikian pendidikan dapat dimasukkan sebagai investasi pembangunan yang hasilnya dapat dinikmati di kemudian hari. Pembangunan di bidang pendidikan baik secara formal maupun non formal mempunyai andil besar terhadap kemajuan sosial ekonomi masyarakat di suatu wilayah.

Perencanaan yang cepat, tepat dan terarah dalam pembangunan pendidikan mutlak diperlukan. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, akan mempengaruhi kualitas sumber dayanya. Pendidikan bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat dan keluarga. Pendidikan yang memadai dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki setiap individu.

Hal ini sejalan dengan program Pemerintah Kabupaten Ponorogo yang

salah satu misinya adalah “meningkatnya peran aktif Pemerintah Daerah dalam memajukan sistem pelayanan pendidikan dan kesehatan masyarakat, guna mendorong kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang hebat dan bertaqwa”. Pendidikan yang berbasis pengetahuan dan moral sangat dibutuhkan dalam rangka menghadapi abad globalisasi dimana berbagai pengaruh dari luar yang masuk dengan bebas ke negeri ini.

Kemampuan baca tulis merupakan kemampuan intelektual minimum karena sebagian besar informasi dan ilmu pengetahuan diperoleh melalui membaca. Diharapkan dengan meningkatnya kemampuan baca tulis maka akan meningkat pula akses terhadap berbagai informasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan pengetahuan secara umum. Kemampuan baca tulis tercermin dari


(31)

tinggi rendahnya angka melek huruf. Angka buta huruf merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk membandingkan tingkat kesejahteraan antar wilayah, mengingat buta huruf selalu identik dengan keterbelakangan serta ketidakberdayaan yang umumnya menjadi ciri masyarakat marginal.

Gambar 4. Angka Melek Huruf Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015

Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan

92,88

83,26

88,03

Sumber : BPS Jawa Timur (Statistik Kesra 2015)

Persentase angka melek huruf di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 sebesar 88,03 persen atau dengan kata lain masih ada sekitar 11,97 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta huruf (belum melek huruf). Secara umum, angka melek huruf penduduk laki-laki lebih tinggi dibanding angka melek huruf perempuan, yaitu 92,88 persen dibanding 83,26 persen. Tingkat melek huruf yang tinggi menunjukkan adanya sebuah sistem pendidikan dasar yang efektif dan/atau program keaksaraan yang memungkinkan sebagian besar penduduk untuk memperoleh kemampuan menggunakan kata-kata tertulis dalam kehidupan sehari-hari dan melanjutkan pembelajarannya.

Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pencapaian program wajib belajar 9 tahun dapat dilakukan dengan cara mengakses seluruh fasilitas


(32)

pendidikan yang ada bagi penduduk usia sekolah. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat pemanfaatan atau jangkauan pendidikan, maka digunakan indikator Angka Partisipasi Sekolah (APS).

Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Angka partisipasi dapat menjadi indikator proses di bidang pendidikan yang menggambarkan proses partisipasi aktif penduduk usia belajar dalam proses belajar. APS yang tinggi menunjukkan terbukanya peluang yang lebih besar dalam mengakses pendidikan secara umum. Pada kelompok umur mana peluang tersebut terjadi dapat dilihat dari besarnya APS setiap kelompok umur.

Gambar 5. Angka Partisipasi Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015

SD/MI (7 - 12 Thn) SMP/MTs (13 - 15 Thn) SLTA sederajat (16 - 18 Thn)

Perguruan Tinggi (19 - 24 Thn)

99,26

99,06

77,22

27,42

Sumber : BPS Jawa Timur (Statistik Kesra 2015)

Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 7-12 tahun yang mempresentasikan usia di tingkat sekolah dasar/sederajat mencapai 99,26 persen pada tahun 2015, dengan APS laki-laki (100,00 persen) lebih tinggi dibanding perempuan (98,55 persen). Sementara APS usia 13-15 tahun yang mempresentasikan usia sekolah


(33)

tingkat lanjutan pertama mencapai 99,06 persen dengan APS pada perempuan (100,00 persen) lebih tinggi dibanding pada laki-laki (98,35 persen) . Upaya peningkatan pendidikan dasar bagi masyarakat melalui program wajib belajar sembilan tahun (setara SLTP) telah membawa dampak meningkatnya angka partisipasi sekolah khususnya pada kelompok usia sasaran program ini hingga berada pada kisaran di atas 99 persen.

Angka partisipasi sekolah kelompok usia 16-18 tahun yang mempresentasikan usia sekolah tingkat lanjutan atas pada tahun 2015 sebesar 77,22 persen dengan APS pada laki-laki (86,35 persen) lebih tinggi dibanding perempuan (63,99 persen). Sementara APS untuk kelompok usia 19-24 tahun yang mempresentasikan usia sekolah tingkat perguruan tinggi pada tahun 2015 mencapai 27,42 persen, lebih tinggi dibanding APS Jawa Timur yang sebesar 21,95 persen. Bila dicermati menurut jenis kelaminnya, APS laki-laki pada kelompok ini mencapai 29,81 persen, lebih tinggi dibanding APS perempuan (24,93 persen).

Hal ini memberikan gambaran bahwa di Kabupaten Ponorogo secara rata-rata pada setiap 100 anak usia 7-12 tahun (SD/MI) sekitar 1 anak diantaranya sedang tidak bersekolah, dan untuk setiap 100 anak usia 13-15 tahun (SMP/MTs) juga terdapat 1 anak diantaranya yang sedang tidak bersekolah. Sementara untuk usia 16-18 tahun (SLTA sederajat) terdapat 23 anak yang sedang tidak bersekolah, dan untuk usia 19-24 tahun (perguruan tinggi) terdapat 73 orang yang sedang tidak bersekolah. Angka APS tersebut menunjukkan tren penurunan seiring dengan kenaikan usia, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah persentase penduduk yang sedang bersekolah.


(34)

Tabel 7. Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan

di Kabupaten PonorogoTahun 2015

u m

Sumber : BPS Jawa Timur (Statistik Kesra 2015)

Persentase pendidikan yang ditamatkan dapat digunakan sebagai bahan acuan perencanaan pembangunan terutama untuk melakukan perencanaan penawaran tenaga kerja, dengan menyesuaikan kualifikasi pendidikan angkatan kerja di suatu wilayah. Hal tersebut menunjukkan pula tingkat pendidikan pada suatu wilayah tertentu.

Apabila dilihat menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan, pada tahun 2015 hampir 29,83 persen penduduk Kabupaten Ponorogo usia 15 tahun ke atas yang telah menamatkan pendidikan tertingginya minimal setingkat SD sederajat. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah masih terdapat penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak mempunyai ijazah SD mencapai 27,14 persen. Persentase penduduk perempuan yang tidak mempunyai ijazah SD mencapai 32,30 persen, lebih tinggi dibanding penduduk laki-laki yang sebesar 21,91 persen.

No Tingkat Pendidikan Yang

Ditamatkan Laki-laki Perempuan

Laki-laki + Perempuan

1 Tidak punya ijazah SD 21,91 32,30 27,14

2 SD/MI/SDLB/Paket A 30,95 28,73 29,83

3 SMP/MTs/SMPLB/Paket B 22,95 19,24 21,08

4 SMA/MA/SMLB/Paket C 13,87 11,79 12,82

5 SMK/MAK 5,44 2,32 3,87

6 D1/D2/D3 1,13 0,89 1,01

7 D4/S1 3,44 4,60 4,03

8 S2/S3 0,31 0,14 0,23


(35)

Gambar 6. Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 25 Tahun ke Atas Tahun 2011- 2015

0 1 2 3 4 5 6 7 8

2011 2012 2013 2014 2015

6,45 6,57 6,86

6,91 6,96

Sumber : BPS Jawa Timur 2016

Angka rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk untuk menempuh semua jenis pendidikan formal yang pernah dijalani. Lamanya sekolah atau years of schooling adalah sebuah angka yang menunjukkan lamanya bersekolah seseorang dari masuk sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir.

Angka rata-rata lama sekolah merupakan kombinasi antara partisipasi sekolah, jenjang pendidikan yang sedang dijalani, kelas yang diduduki, dan pendidikan yang ditamatkan. Tetapi jumlah tahun bersekolah ini tidak mengindahkan kasus-kasus tidak naik kelas, putus sekolah yang kemudian melanjutkan kembali, dan masuk sekolah dasar di usia terlalu muda atau sebaliknya, sehingga nilai dari jumlah tahun bersekolah menjadi terlalu tinggi (overestimate) atau bahkan terlalu rendah (underestimate).


(36)

Rata-rata lama sekolah penduduk usia 25 tahun ke atas di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 untuk mengenyam pendidikan formal adalah 6,96 tahun. Apabila dihubungkan dengan tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan maka hal ini sejalan dengan banyaknya penduduk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Ponorogo yang menamatkan pendidikannya hanya sebatas SD sederajat. Selama kurun waktu lima tahun terakhir terjadi peningkatan rata-rata lama sekolah penduduk usia 25 tahun ke atas dari 6,45 tahun pada tahun 2011 meningkat menjadi 6,96 tahun pada tahun 2015.

Selain indikator mengenai angka melek huruf, angka partisipasi sekolah, pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan rata-rata lama sekolah, informasi tentang banyaknya sarana pendidikan, tenaga pengajar, kelas, perpustakaan dan lain-lain mutlak diperlukan guna mengetahui sejauh mana ketersediaan fasilitas pendidikan yang ada. Walaupun informasi ini belum dapat mendeteksi kualitas dari sarana pendidikan tersebut. Untuk menggambarkan ketersediaan fasilitas pendidikan paling tidak digunakan dua indikator, yaitu rasio guru dan rasio murid-sekolah.

Rasio murid guru diperoleh dari perbandingan antara jumlah murid dan jumlah guru. Angka rasio ini digunakan untuk menggambarkan beban kerja guru dalam mengajar. Sedangkan rasio murid sekolah didapat dari perbandingan jumlah murid dan jumlah sekolah, dimana angka rasio ini dapat digunakan untuk memantau daya tampung sekolah. Pada tahun ajaran 2015/2016, angka rasio murid guru di Kabupaten Ponorogo cukup rendah. Secara rata-rata setiap guru pada setiap jenjang pendidikan mengajar 10 orang murid. Melalui hal ini diharapkan


(37)

pengawasan dan perhatian guru terhadap siswa didiknya dapat lebih fokus sehingga pada akhirnya mutu pengajaran di kelas akan meningkat.

Tabel 8. Rasio Murid-Guru dan Murid-Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun Ajaran 2015/2016

Sumber : Dinas Pendidikan & Departemen Agama Kabupaten Ponorogo

Sementara untuk rasio murid terhadap sekolah, semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar pula angka rasio murid-sekolah. Untuk SD sederajat rata-rata satu sekolah menampung 108 murid, SMP sederajat 234 murid, dan SMA sederajat sebanyak 274 murid. Rasio murid-sekolah merupakan cerminan perhatian pemerintah dalam menyediakan sarana belajar bagi anak usia sekolah. Dengan terus bertambahnya jumlah penduduk tentunya juga harus diiringi penambahan fasilitas belajar berupa sekolah selain juga perlu diperhatikan tingkat penyebaran guru dan sekolah yang seimbang antara daerah perkotaan dan perdesaan.

3.2.2. Bidang Kesehatan Masyarakat

Pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara merata, mudah dan murah. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif

Jenjang Pendidikan Rasio Rasio

Murid-Guru Murid-Sekolah

(1) (2) (3)

SD sederajat 10 108

SMP sederajat 10 234


(38)

secara sosial dan ekonomis. Dengan kondisi sehat setiap orang dapat melakukan semua aktivitasnya untuk mencapai apa yang diinginkan. Tubuh yang sehat secara fisik memungkinkan seseorang untuk melakukan segala kegiatan sehingga mencapai hasil yang optimal dan mampu menjadi manusia berkualitas. Derajat atau tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh faktor perilaku individu, keturunan, pelayanan kesehatan dan lingkungan.

Mengingat pentingnya peranan kesehatan dalam investasi sumber daya manusia, maka upaya pemenuhan kesehatan perlu untuk semua penduduk, mulai dari usia dini bahkan saat dalam kandungan dan dilakukan secara berkesinambungan dalam arti yaitu bayi yang masih dalam kandungan, pasca kelahiran, masa balita, usia dewasa dan tua. Peningkatan derajat keseahtan masyarakat dapat dilaksanakan dengan tindakan nyata misalnya melalui penyediaan berbagai fasilitas kesehatan dilengkapi dengan peralatan medis yang memadai, yang diiringi ketersediaan tenaga medis berkualitas.

Kesehatan reproduksi yaitu kesehatan pada ibu khususnya dan perempuan pada umumnya di masa usia subur (15-49 tahun) juga perlu mendapat perhatian karena kesehatan bayi semasa dalam kandungan sangat bergantung pada kesehatan ibu yang mengandungnya. Usia perkawinan pertama seorang perempuan berpengaruh terhadap resiko melahirkan, karena semakin muda usia perkawinan pertama, maka semakin besar resiko keselamatan ibu maupun anak selama masa kehamilan maupun saat melahirkan. Hal ini antara lain disebabkan belum matangnya rahim untuk proses berkembangnya janin atau karena belum siapnya mental dalam menghadapi masa kehamilan maupun saat melahirkan.


(39)

4,42

19,07

65,85

10,66

< 17 tahun 17 - 18 tahun 19 -24 tahun 25 tahun ke atas

Gambar 7. Penduduk Perempuan Usia 10 Tahun Ke Atas yang Pernah Kawin menurut Umur Kawin Pertama di Kabupaten

Ponorogo Tahun 2015 (%)

Sumber : BPS Jawa Timur (Statistik Kesra 2015)

Sebagian besar penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang pernah kawin di Kabupaten Ponorogo melakukan perkawinan pertama pada rentang usia 19-24 tahun. Namun masih ada sekitar 4,42 persen penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang melakukan perkawinan pertama di usia sangat muda (kurang dari 17 tahun). Perkawinan di usia muda masih ada saat ini, mengingat ada sekitar 0,08 persen penduduk perempuan kelompok usia 10-14 tahun yang berstatus pernah kawin. Perkawinan pertama yang dimaksud dalam hal ini adalah umur pertama kali seorang perempuan melakukan hubungan suami istri. Semakin maraknya pergaulan bebas di kalangan pelajar yang masih berusia belia berpengaruh terhadap semakin rendahnya usia perkawinan pertama.

Dalam proses kelahiran faktor penolong persalinan sangat mempengaruhi keselamatan ibu dan bayi. Kekeliruan penanganan baik pada saat melahirkan maupun pasca kelahiran akan berakibat fatal bagi kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi. Penolong persalinan yang dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga berpengalaman yang sudah dibekali dengan pengetahuan serta kemampuan kebidanan akan membantu kelancaran proses persalinan.


(40)

Tabel 9. Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 15-49 Tahun Menurut Tempat dan Penolong Kelahiran Terakhir

di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015

Sumber : BPS Jawa Timur (Statistik Kesra 2015)

Perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun di Kabupaten Ponorogo yang melahirkan anak lahir hidup kurang dari 2 tahun yang lalu berdasarkan tempat melahirkan anak yang terakhir, sebagian besar melahirkan di Klinik/Bidan/Praktek Dokter yaitu mencapai 50,25 persen. Klinik/Bidan/Paktek Dokter menjadi pilihan yang utama karena biasanya lokasinya dekat dengan rumah dan biayanya dipandang lebih terjangkau dan juga kemungkinan besar karena proses kelahirannya normal sehingga tidak memerlukan penanganan serta peralatan yang lebih serius.

Menurut penolong kelahirannya seluruh kelahiran di Kabupaten Ponorogo ditolong oleh tenaga kesehatan yaitu 33,21 persen ditolong oleh dokter dan 66,79 persen lainnya ditolong oleh bidan. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 telah mengalami peningkatan karena pada tahun 2014 masih ada kelahiran yang dibantu oleh tenaga non medis sebesar 3,69 persen.

Tempat Melahirkan Persentase Penolong Terakhir

Kelahiran Persentase

(1) (2) (3)

Rumah Sakit/ RS Bersalin 38,81 Dokter 33,21

Klinik/Bidan/Praktek

Dokter 50,25 Bidan 66,79

Puskesmas/Pustu/Polindes 5,64 Tenaga Medis Lain -

Rumah 5,30 Dukun -

Lainnya - Famili/Lainnya -


(41)

Hal penting lainnya untuk melindungi balita pada masa tumbuh kembangnya dan menjaga kesehatannya hingga dewasa kelak adalah pemberian imunisasi. Dengan imunisasi, sistem kekebalan tubuh anak akan siap untuk menghadapi penyakit menular tertentu di masa depan, sesuai dengan jenis vaksin yang diberikan. Imunisasi yang tepat pada balita dapat bermanfaat dalam memberikan kekebalan terhadap penyakit-penyakit tertentu, sehingga melalui imunisasi diharapkan dapat menurunkan jumlah kematian bayi dan balita.

Tabel 10. Persentase Balita yang Mendapat Imunisasi Menurut Jenisnya di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 - 2015

Jenis Imunisasi 2014 2015

(1) (2) (3)

BCG 97,38 96,82

DPT 93,40 98,72

Polio 95,95 98,79

Campak 79,99 79,50

Hepatitis B 89,87 98,09

Lengkap 63,67 85,24

Sumber : BPS Jawa Timur (Statistik Kesra 2015)

Pada tahun 2015 balita di Kabupaten Ponorogo yang mendapatkan imunisasi lengkap (satu kali untuk BCG dan Campak, serta tiga kali untuk DPT, Polio, dan Hepatitis B) sebanyak 85,24 persen. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 balita yang telah diimunisasi lengkap menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.

Indikator lain yang terkait dengan kesehatan masyarakat yaitu keluhan kesehatan yang dialami oleh penduduk. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2015, sekitar 36,98 persen penduduk Kabupaten Ponorogo menyatakan bahwa sebulan yang lalu mengalami keluhan kesehatan. Dari penduduk yang mengalami


(42)

kesehatan tersebut 19,26 persen diantaranya mengalami sakit (keluhan kesehatan yang dirasakan menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari). Dari penduduk yang mengalami keluhan kesehatan yang menyebabkan terganggu aktivitas keseharian, terdapat sekitar 52,51 persen yang terganggu kurang dari 4 hari dan terdapat 31,94 persen dengan lama hari terganggu 4-7 hari. Secara rata-rata jumlah hari penduduk yang mengalami sakit di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 adalah selama 5,98 hari.

Tabel 11. Persentase Penduduk Menurut Keluhan Kesehatan, Sakit dan Rata-rata Hari Sakit di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015

Indikator Persentase

(1) (2)

Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan 36,98

Persentase penduduk yang mengalami sakit 19,26

Persentase rata-rata jumlah hari sakit :

-Kurang dari 4 hari 52,51

-4 sampai 7 hari 31,94

-8 sampai 14 hari 7,22

-15 sampai 21 hari 3,03

-22 sampai 30 hari 5,30

Rata-rata jumlah hari sakit 5,98 hari

Sumber : BPS Jawa Timur (Statistik Kesra 2015)

Dalam mengatasi keluhan kesehatan yang dialami, ada sekitar 60,98 persen penduduk berobat jalan dan sisanya 39,02 persen tidak melakukan berobat jalan. Berbagai alasan penduduk tidak berobat jalan dalam mengatasi keluhan kesehatannya, yang paling besar adalah karena mereka mengobati sendiri keluhan kesehatannya yaitu sebesar 66,31 persen dan berikutnya adalah karena merasa tidak perlu untuk berobat jalan (29,53 persen) karena keluhan kesehatan yang dirasakan dianggap biasa dan tidak perlu berobat jalan. Penduduk yang berobat jalan kebanyakan mendatangi tempat praktek dokter/bidan yaitu sebesar 57,97


(43)

persen dan berikutnya yang banyak didatangi adalah Puskesmas/Pustu sebesar 23,17 persen.

Gambar 8. Persentase Penduduk yang Berobat Jalan Menurut Tempat Berobat Jalan Tahun 2015

3,28% 3,75% 57,97% 3,00% 23,17% 9,55% 2,35% 1,67% R S P em e ri nta h R S S w a st a P ra k tek do kt e r/b ida n K lini k /p ra k tek do kt e r be rsa m a P usk esm a s/P u stu U K B M (P osk esde s, P ol ind es, P osy a nd u, B a la i P en gob a ta n ) P ra k te k p e n g o b a tan tr a d isi on a l/ a lte rn a ti f La inn y a

Sumber : BPS Jawa Timur (Statistik Kesra 2015)

Peningkatan status dan derajat kesehatan masyarakat tentunya harus didukung dengan ketersediaan fasilitas kesehatan karena pelayanan kesehatan kepada masyarakat terkait erat dengan jumlah fasilitas kesehatan. Di Kabupaten Ponorogo terdapat 6 rumah sakit umum, 31 puskesmas, 57 puskesmas pembantu, 1.122 posyandu, 36 Klinik/Balai Kesehatan dan 165 Polindes. Sementara jumlah tenaga kesehatan yang terdiri dari tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya pada tahun 2015 sebanyak 950 orang.

Dengan jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo yang mencapai 867.393 jiwa, maka dapat diketahui bahwa secara rata-rata setiap puskesmas (termasuk


(44)

puskesmas pembantu) harus siap melayani sekitar 9.857 penduduk, setiap tenaga medis melayani hampir 14.457 penduduk, dan setiap tenaga keperawatan harus melayani sekitar 2.271 penduduk. Seiring dengan peningkatan jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia maka beban pelayanan menjadi semakin berkurang. Dengan demikian diharapkan kualitas pelayanan yang diberikan akan semakin meningkat.

Tabel 12. Banyaknya Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015

Fasilitas Kesehatan Jumlah

(1) (2)

Sarana Kesehatan

Rumah Sakit Umum 6

Puskesmas 31

Puskesmas Pembantu 57

Posyandu 1.122

Klinik/Balai Kesehatan 36

Polindes 165

Tenaga Kesehatan

Tenaga Medis 60

Tenaga Keperawatan 382

Tenaga Kebidanan 382

Tenaga Kefarmasian 26

Tenaga Kesehatan Lainnya 100

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo 2016

3.2.3. Bidang Perekonomian

Salah satu cara melihat kesejahteraan penduduk dari sisi ekonomi adalah dengan melihat pendapatannya. Dengan pendapatan yang meningkat dimungkinkan secara ekonomi penduduk lebih sejahtera. Namun untuk memperoleh informasi tentang pendapatan rumahtangga sangatlah sulit sehingga dalam pendekatannya menggunakan pengeluaran. Secara umum jumlah pengeluaran berbanding lurus dengan pendapatan. Rumahtangga yang


(45)

pengeluarannya banyak dapat mencerminkan tingkat kemampuan ekonomi masyarakat.

Tabel 13. Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Kelompok Pengeluaran Perkapita per Bulan Tahun 2013-2015 (%)

Sumber : BPS Jawa Timur 2013-2015

Pada kelompok pengeluaran menunjukkan adanya kenaikan persentase penduduk pada kelompok pengeluaran diatas 500.000 rupiah perkapita per bulan. Dapat dilihat juga bahwa dari tahun ke tahun pengeluaran perkapita penduduk semakin besar, hal ini dibuktikan oleh persentase penduduk yang bergeser menuju pada kelompok pengeluaran yang semakin besar.

Pergeseran persentase pengeluaran rumah tangga dari kelas pengeluaran yang lebih rendah ke kelas pengeluaran yang lebih tinggi, mengandung dua kondisi, yaitu pertama terjadi karena adanya peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau kedua karena adanya peningkatan harga berbagai kebutuhan rumah tangga. Meningkatnya kesejahteraan penduduk biasanya juga ditandai dengan semakin berkurangnya proporsi pengeluaran untuk keperluan makanan yang selanjutnya bergeser pada pengeluaran untuk keperluan bukan makanan.

No Kelompok Pengeluaran 2013 2014 2015

(1) (2) (3) (4) (5)

1 < 99.999 - - -

2 100.000 – 149.999 0,14 0,29 -

3 150.000 – 199.999 6,61 5,30 3,49

4 200.000 – 299.999 25,02 24,81 20,56

5 300.000 – 499.999 39,74 40,39 31,95

6 500.000 – 749.999 17,68 16,41 17,92

7 750.000 – 999.999 4,47 6,07 11,85

8 > 1.000.000 6,34 6,73 14,23


(46)

Gambar 9. Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Menurut Jenis Konsumsi di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015

Non Makanan;

54,54% Makanan;

45,46%

Sumber : BPS Jawa Timur (Statistik Kesra 2015)

Pada tahun 2015 sebagian besar pengeluaran penduduk sudah bergeser ke arah untuk memenuhi kebutuhan non makanan, yaitu mencapai 54,54 persen dan mengalami peningkatan dibanding tahun 2014 yang sebesar 47,84 persen dari total pengeluaran. Kondisi ini juga mendukung adanya peningkatan kesejahteraan sejalan dengan peningkatan pengeluaran konsumsi rumahtangga.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Tingkat pertumbuhan ekonomi haruslah lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk, agar peningkatan pendapatan perkapita dapat tercapai.

Menurut beberapa ahli, perekonomian daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi daerah dan penciptaan lapangan kerja. Besarnya pertumbuhan ekonomi tergantung dari nilai PDRB setiap tahunnya. Sedangkan penciptaan lapangan kerja dapat dilakukan setelah terjadi akumulasi aliran modal.


(47)

Aliran modal masuk akan berdampak pada tersedianya lapangan kerja yang seluas-luasnya.

Dengan membagi PDRB atas dasar harga berlaku dengan jumlah penduduk pertengahan tahun akan menghasilkan PDRB per kapita yang merupakan indikator dalam melihat tingkat kesejahteraan penduduk secara makro. Meskipun PDRB per kapita ini tidak dapat menggambarkan secara riil pendapatan yang diterima masyarakat, namun indikator ini masih relevan untuk mengetahui apakah secara rata-rata pendapatan masyarakat mengalami peningkatan atau tidak. Jumlah penduduk dapat dijadikan penimbang karena jumlah penduduk merupakan pelaku pembangunan yang menghasilkan output.

Nilai nominal PDRB sebagai salah satu indikator makro ekonomi di Kabupaten Ponorogo dalam lima tahun terakhir ini selalu menunjukkan peningkatan hingga mencapai 14,91 trilyun rupiah. Pada tahun 2015 ini perekonomian Kabupaten Ponorogo menunjukkan pertumbuhan yang sedikit lebih cepat dari tahun sebelumnya yaitu dari 5,21 persen pada tahun 2014 menjadi 5,24 persen pada tahun 2015. Semakin membaiknya kinerja lapangan usaha pertanian, perdagangan dan informasi komunikasi merupakan faktor pendorong percepatan pertumbuhan PDRB Kabupaten Ponorogo tahun 2015. Meski demikian pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ponorogo tersebut masih kalah cepat dengan Jawa Timur yang mencapai 5,44 persen.

Dari tahun ke tahun PDRB per kapita penduduk Kabupaten Ponorogo mengalami kenaikan. PDRB per kapita penduduk Kabupaten Ponorogo tahun 2013 adalah 14,07 juta rupiah per penduduk per tahun, naik menjadi 15,47 juta rupiah per tahun pada 2014 dan meningkat kembali menjadi 17,19 juta rupiah per


(48)

penduduk per tahun di tahun 2015. Bila dilihat dari persentase kenaikannya, maka terdapat kenaikan sebesar 9,96 persen dari tahun 2013 ke tahun 2014, dan terdapat kenaikan sebesar 11,14 persen dari tahun 2014 dan 2015.

Tabel 14. PDRB Per Kapita (ADHB) Kabupaten Ponorogo Tahun 2013-2015

Sumber : PDRB Kabupaten Ponorogo 2013-2015, BPS

3.2.4. Bidang Ketenagakerjaan

Dalam tinjauan makro ekonomi, salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari sejauh mana angkatan kerja di daerah tersebut terserap ke dalam lapangan kerja yang ada. Penyerapan angkatan kerja ke dalam lapangan kerja yang tersedia di daerah tertentu nantinya akan berhubungan dengan tingkat pengangguran di daerah tersebut.

Penduduk yang termasuk dalam kategori angkatan kerja adalah penduduk yang secara ekonomis berpotensi menghasilkan output atau pendapatan, baik yang sudah bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan pengangguran meliputi penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan, atau mempersiapkan suatu usaha, atau merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (putus asa), atau sudah diterima bekerja namun belum mulai bekerja. Tingkat

No Uraian 2013 2014 2015

(1) (2) (3) (4) (5)

1 PDRB ADHB (Juta Rupiah) 12.153.617,7 13.393.595,3 14.912.841,6 2 Penduduk Pertengahan Tahun

(Jiwa) 863.890 865.809 867.393


(49)

pengangguran merupakan perbandingan antara jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja.

Tabel 15. Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Variabel Ketenagakerjaan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015

No Variabel Ketenagakerjaan Agustus 2015

(1) (2) (3)

1 Angkatan Kerja (Jiwa) 485.245

2 Bekerja (Jiwa) 467.372

3 Pengangguran (Jiwa) 17.873

4 Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 3,68

Sumber : BPS Jawa Timur (Sakernas 2015)

Dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dapat diketahui bahwa jumlah angkatan kerja pada bulan Agustus 2015 di Kabupaten Ponorogo mencapai 485.245 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja sebesar 467.372 jiwa atau 96,32 persen dari total angkatan kerja. Tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 3,68 persen, lebih tinggi dibanding tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2014 yang mencapai 3,66 persen.

Angka tingkat pengangguran terbuka Kabupaten Ponorogo ini masih lebih rendah dibanding angka Jawa Timur yang mencapai 4,47 persen dan kabupaten/kota di wilayah Karesidenan Madiun lainnya, namun masih lebih tinggi dibanding Kabupaten Pacitan (0,97 persen). Namun kedepannya pemerintah harus terus berupaya menciptakan lapangan kerja dengan memaksimalkan dan menggunakan seefisien mungkin segala sumber daya yang ada agar angka pengangguran dapat ditekan pada level yang rendah.


(50)

3.2.5. Bidang Perumahan

Rumah adalah salah satu hak dasar rakyat, oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain sebagai tempat tinggal, rumah juga berfungsi sebagai pusat pendidikan keluarga dan penyiapan generasi muda, sehingga rumah dengan lingkungan yang layak dan sehat merupakan wadah untuk pengembangan sumber daya masyarakat di masa depan. Bahkan saat ini rumah sudah menjadi bagian dari gaya hidup, lambang tingkatan sosial dan investasi. Rumah akan menjadi tempat tinggal yang nyaman dan aman, bila memiliki kualitas bangunan yang baik, lengkap dengan fasilitasnya, serta berada dalam lingkungan yang bersih dan sehat.

Kondisi dan estetika perumahan yang baik akan memberikan kenyamanan bagi seluruh anggota rumah tangga. Semakin baik kondisi dan kualitas rumah yang ditempati menunjukkan semakin baik keadaan sosial ekonomi rumah tangga. Secara umum rumah dapat dikatakan layak huni apabila memiliki lantai, dinding dan atap yang memenuhi syarat, serta mempunyai luas lantai yang mencukupi/sebanding dengan banyaknya orang yang tinggal di dalamnya. Selain itu, rumah layak huni juga ditentukan oleh fasilitas penerangan, air minum dan tempat pembuangan akhir kotoran/tinja.

Berdasarkan status tempat tinggal/rumah yang ditempati oleh rumah tangga di Kabupaten Ponorogo, sekitar 94,90 persen menempati rumah milik sendiri. Sementara 1,43 persen menempati rumah dengan status kontrak/sewa, 3,56 persen menempati rumah bebas sewa, dan 0,11 persen sisanya menempati rumah dinas.


(51)

Gambar 10. Persentase Rumah Tangga Menurut Status Rumah Yang Ditempati di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015

94,90%

1,43% 3,56% 0,11%

Milik Sendiri Kontrak/Sewa Bebas Sewa Dinas

Sumber : BPS Jawa Timur (Statistik Kesra 2015)

Informasi merupakan salah satu kunci kemajuan suatu wilayah. Pengelolaan sumber-sumber informasi yang baik dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat.

Fasilitas telepon sebagai alat komunikasi di rumahtangga mencerminkan kemajuan aksesibilitas untuk menyerap berbagai informasi. Selain telepon, internet merupakan salah satu teknologi informasi yang semakin populer. Dampak penggunaan internet sangat kompleks di masyarakat. Internet sangat berguna bagi pendidikan sebagai sarana memperluas pengetahuan serta mempermudah pertukaran informasi yang dibutuhkan oleh pihak pemerintah maupun kalangan pengusaha.

Saat ini penggunaan fasilitas telepon dan internet menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting untuk mendukung aktivitas rumah tangga, baik untuk keperluan pendidikan maupun mengakses berbagai kebutuhan lain. Semakin berkembangnya sektor komunikasi akan sangat memberikan pengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ponorogo.


(52)

Gambar 11. Persentase Rumah Tangga Menurut Kepemilikan Telepon Seluler dan Penduduk Yang Pernah Akses Internet dalam 3 Bulan Terakhir di Kabupaten

Ponorogo Tahun 2013-2015

84,82% 85,43% 84,63%

14,17% 15,74%

20,26%

2013 2014 2015

Telepon Selular Pernah Akses Internet

Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2013-2015)

Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa 85 persen rumah tangga di Kabupaten Ponorogo ada anggota rumah tangganya yang telah memiliki telepon selular. Sementara persentase penduduk berumur yang pernah mengakses internet selama 3 bulan yang lalu terus meningkat hingga mencapai 20,26 persen pada tahun 2015.

Semakin mudahnya akses masyarakat terhadap berbagai informasi secara bebas dari seluruh sumber informasi dapat membawa dampak positif maupun negatif. Kemajuan teknologi informasi akan membawa dampak yang baik apabila penggunanya mampu memilah mana informasi yang bermanfaat dan mana informasi yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat.

Komponen perumahan lainnya yang cukup penting untuk dilihat kaitannya dengan kesejahteraan rakyat yaitu jenis lantai terluas. Jenis lantai terluas dibedakan menjadi dua yaitu tanah dan bukan tanah. Kriteria ini dibedakan


(53)

berdasarkan syarat minimal rumah sehat. Rumah yang memiliki jenis lantai tanah dapat menyebabkan mudahnya terjangkit berbagai penyakit. Dari segi sosial ekonomi jika jenis lantai terluas adalah tanah dapat menggambarkan tingkat sosial ekonomi penghuninya lebih rendah dibandingkan penghuni rumah yang jenis lantai terluasnya bukan tanah.

Gambar 12. Persentase Rumah Tangga Menurut Jenis Lantai Terluas Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015

Bukan Tanah;

85,97%

Tanah;

14,03%

Sumber : BPS Jawa Timur (Statistik Kesra 2015)

Dari gambar di atas yang menginformasikan mengenai persentase rumah tangga menurut jenis lantai terluas di Kabupaten Ponorogo, dapat diketahui bahwa sebanyak 85,97 persen rumah tangga di Kabupaten Ponorogo memiliki jenis lantai terluasnya adalah bukan tanah sedangkan rumah tangga yang lantai terluasnya tanah sebanyak 14,03 persen.

Pola hidup bersih akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Oleh karena itu keberadaan sanitasi menjadi sangat penting di dalam setiap rumah tangga. Bahan buangan (limbah) yang dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti tinja manusia atau binatang, dapat dicegah dengan menggunakan teknologi


(54)

sederhana seperti membuat kakus dan tangki septik. Derajat kesehatan masyarakat akan meningkat bila penyediaan sarana sanitasi dibarengi dengan perbaikan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sanitasi tersebut.

Gambar 13. Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Tempat Buang Air Besar Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014-2015

Sendiri Bersama Umum Tidak Ada

74,99%

17,98%

0,71%

6,31% 79,11%

15,06%

0,26%

5,57%

2014 2015

Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2014-2015)

Berdasarkan data Susenas 2015, rumah tangga di Kabupaten Ponorogo yang menggunakan fasilitas tempat buang air besar sendiri sebesar 79,11 persen. Fasilitas tempat buang air besar bersama, umum dan rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar mengalami penurunan masing-masing sebesar 2,92 persen, 0,45 persen dan 0,74 persen. Dengan demikian secara keseluruhan persentase rumah tinggal yang bersanitasi (mempunyai fasilitas tempat buang air besar sendiri, bersama, umum) ada peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya dari 93,68 persen tahun 2014 menjadi 94,43 persen pada tahun 2015. Peningkatan persentase rumah tangga yang bersanitasi ini tentunya akan berpengaruh positif terhadap tingkat kesehatan masyarakat.


(55)

BAB IV

STATUS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN PONOROGO

4.1. Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo

Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, IPM merupakan indeks komposit yang disusun melalui tiga dimensi dasar dengan cakupan yang sangat luas. Selanjutnya, ketiga dimensi tersebut terangkum dalam satu nilai tunggal yaitu angka IPM. Angka IPM tidak memiliki makna apabila dalam analisis tidak menyertakan angka IPM tahun sebelumnya dan dibandingkan dengan angka IPM daerah lain untuk melihat posisi relatif IPM suatu daerah dengan daerah lain.

Data IPM digunakan sebagai rujukan dalam berbagai kebijakan pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan penentuan dana perimbangan daerah melalui DAU. IPM juga dapat digunakan untuk menilai keberhasilan kinerja pembangunan manusia yang terkait dengan peningkatan kapasitas dasar penduduk yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan, serta ekonomi. Untuk itu, pemerintah sangat berkepentingan dengan data IPM sebagai bahan perencanaan, evaluasi, dan monitoring.

Berdasarkan skala internasional, capaian IPM dapat dikategorikan menjadi empat kategori yaitu kategori sangat tinggi (IPM≥80), kategori tinggi (70≤IPM<80), kategori sedang (60≤IPM<70), dan kategori rendah (IPM<60). Jika diukur berdasarkan skala internasional, maka selama tahun 2010-2014 IPM Kabupaten Ponorogo masuk dalam kategori sedang.


(56)

Gambar 14. Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

65,28

66,16

67,03

67,4

68,16

2011 2012 2013 2014 2015

Dari grafik di atas diketahui bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Ponorogo selama tahun 2011-2015 terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 IPM Kabupaten Ponorogo sebesar 65,28 naik hingga mencapai 68,16 di tahun 2015 atau rata-rata tumbuh 0,01 persen per tahun. Nilai yang meningkat telah menaikkan peringkat IPM Kabupaten Ponorogo di Provinsi Jawa Timur dari peringkat 23 pada tahun 2011 menjadi peringkat 21 dari 38 kabupaten/kota pada tahun 2015. Secara umum dapat dikatakan bahwa kenaikan angka IPM menandakan pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo mengalami kemajuan ke arah yang lebih baik.

Meskipun menunjukkan tren yang terus meningkat setiap tahunnya, namun angka IPM Kabupaten Ponorogo masih rendah bila dibandingkan dengan angka IPM Provinsi Jawa Timur. Bila dibandingkan dengan angka IPM se-Karesidenan Madiun, angka IPM Kabupaten Ponorogo menempati posisi ke lima setelah Kota Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ngawi.


(57)

79,48

71,39 69,39 68,32

68,16

64,92 68,95

Kota Madiun

Magetan Madiun Ngawi Ponorogo Pacitan Jawa Timur

Gambar 15. IPM Kabupaten/Kota se-eks Kabupaten Madiun

Tahun 2015

Secara umum, IPM Kabupaten Ponorogo dibanding kabupaten lain se-eks Karesidenan Madiun berada di bawah kabupaten/kota lainnya, hanya berada diatas Kabupaten Pacitan dan lebih rendah daripada IPM Provinsi Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo masih perlu ditingkatkan dengan terus memaksimalkan segala potensi sumber daya yang ada di Kabupaten Ponorogo.

4.2. Perkembangan Komponen IPM

Perkembangan IPM yang terjadi dipengaruhi oleh perubahan pada komponen-komponen pembentuk IPM. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan atau penurunan indeks dari setiap komponen penyusun IPM, yaitu indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks pengeluaran. Perubahan pada komponen-komponen ini sangat dipengaruhi oleh optimalisasi terhadap sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah.


(58)

4.2.1. Indeks Kesehatan

Indikator penyusun indeks kesehatan adalah Angka Harapan Hidup saat lahir. Angka harapan hidup adalah perkiraan banyaknya tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup (secara rata-rata). Angka harapan hidup merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan.

Dalam usaha meningkatkan nilai indeks kesehatan ini, pemerintah daerah perlu mengupayakan kemudahan bagi masyarakat untuk dapat mengakses sarana kesehatan, peningkatan kualitas dan pembangunan sarana kesehatan yang memadai, serta aktif memberikan pembinaan kepada masyarakat untuk selalu menerapkan pola hidup sehat. Capaian komponen angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo selama periode 2011-2015 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, meski tidak terlalu signifikan.

Gambar 16. Perkembangan Angka Harapan Hidup Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015 (Tahun)

2011 2012 2013 2014 2015 Ideal

71,7 71,78 71,85 71,88 72,08


(59)

Dari grafik di atas terlihat bahwa angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo mengalami peningkatan dari periode 2011 hingga 2015. Tahun 2011 tercatat angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo adalah 71,70 tahun dan terus mengalami kenaikan menjadi 72,08 tahun pada tahun 2015. Angka ini masih jauh dibawah standar global atau selisih 12,92 tahun, dimana standar harapan hidup ideal adalah 85 tahun. Namun angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo tahun 2015 lebih tinggi daripada angka harapan hidup Jawa Timur yang sebesar 70,68 tahun.

Jika dibandingkan dengan angka harapan hidup dengan kabupaten/kota lain se-eks Karesidenan Madiun, angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 sekitar 72,08 tahun berada pada urutan kedua setelah Kota Madiun (72,41 tahun), naik satu peringkat dibanding tahun sebelumnya (peringkat ketiga. Namun bila dilihat secara umum, rata-rata angka harapan hidup tahun 2015 dari seluruh kabupaten/kota se-eks Karesidenan Madiun mencapai 71,57 tahun mengalami peningkatan dibanding tahun 2013 (71,30 tahun) dan 2014 (71,34 tahun). Hal ini mengindikasikan bahwa derajat kesehatan penduduk di eks Karesidenan Madiun mengalami peningkatan.

Tabel 16. Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2013-2015

Tahun Pacitan Ponorogo Madiun Magetan Ngawi Kota

Madiun

2013 70,70 71,85 69,70 71,87 71,28 72,38

2014 70,75 71,88 69,76 71,91 71,33 72,41


(60)

Berdasarkan nilai angka harapan hidup tersebut dapat disusun indeks kesehatan sebagai salah satu komponen dalam penghitungan IPM. Pada tahun 2015 indeks kesehatan Kabupaten Ponorogo berada pada angka 0,80, masih lebih tinggi dibanding indeks kesehatan Provinsi Jawa Timur yang sebesar 0,78.

Tabel 17. Indeks Kesehatan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2013-2015

Tahun Pacitan Ponorogo Madiun Magetan Ngawi Kota

Madiun

2013 0,780 0,798 0,765 0,798 0,789 0,806

2014 0,781 0,798 0,766 0,799 0,790 0,806

2015 0,785 0,801 0,775 0,800 0,793 0,806

4.2.2. Indeks Pendidikan

Indeks pendidikan disusun oleh komponen harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah. Angka harapan lama sekolah dapat digunakan untuk mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang yang ditunjukkan dalam bentuk lamanya pendidikan (dalam tahun) yang diharapkan dapat dicapai oleh setiap anak.

Angka harapan sekolah dihitung untuk penduduk berusia 7 tahun ke atas. Hal ini disesuaikan dengan program wajib belajar 9 tahun yang dimulai pada usia 7 tahun. Kelemahannya tidak mencakup anak sekolah yang masuk SD pada usia 5 atau 6 tahun.


(1)

Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo

59 4.3. Pertumbuhan

Keberhasilan pembangunan suatu daerah tidak hanya dilihat dari rangking atau urutan posisi IPM nya saja, tetapi juga dilihat dari nilai pertumbuhannya. Berdasarkan nilai pertumbuhan ini dapat dilihat seberapa besar akselerasi capaian pembangunan manusia di suatu daerah. Semakin tinggi nilai pertumbuhan IPM suatu wilayah, maka semakin cepat kenaikan IPM yang dicapai dalam suatu periode.

1,79

1,35 1,31

0,56

1,12

2011 2012 2013 2014 2015

Gambar 19. Pertumbuhan IPM Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

Dari gambar grafik di atas diketahui bahwa pertumbuhan IPM Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 sebesar 1,12 persen, lebih cepat dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan IPM selama periode lima tahun terakhir cenderung melambat meskipun pada tahun 2015 sedikit meningkat. Pertumbuhan IPM tahun 2011 tercatat sebesar 1,79 persen, kemudian melambat menjadi 1,35 persen di tahun 2012 dan kembali melambat pada tahun 2013 sebesar 1,31 persen dan terus melambat pada tahun 2014 menjadi 0,56 persen.

Di antara kabupaten/kota se-Karesidenan Madiun, pertumbuhan IPM Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 berada pada posisi terendah keempat di bawah Kabupaten


(2)

Pacitan (1,75 persen), Kabupaten Magetan (1,56 persen), dan Kabupaten Madiun (1,15 persen). Bahkan pertumbuhan IPM Kabupaten Ponorogo masih kalah cepat dengan rata-rata pertumbuhan IPM Jawa Timur yang mencapai 1,19 persen. Pertumbuhan IPM terendah di wilayah eks Karesidenan Madiun dialami oleh Kabupaten Ngawi yang sebesar 0,79 persen.

Diperlukan upaya yang berkelanjutan dari segenap pelaku pembangunan yang ada di Kabupaten Ponorogo agar tingkat kesejahteraan masyarakat semakin membaik yang tercermin melalui peningkatan angka IPM. Utamanya peningkatan pada dimensi kesehatan dan standar hidup layak tanpa meninggalkan upaya pembangunan pada dimensi pendidikan.


(3)

Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 61 BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis Penyusunan Indeks Pembangunan Manusia ini diperoleh beberapa kesimpulan, antara lain :

1. Pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo selama periode 2011-2015 mengalami peningkatan yang ditunjukkan dengan naiknya nilai IPM dari tahun ke tahun. Tahun 2015 nilai IPM Kabupaten Ponorogo tercatat sebesar 68,16 meningkat dibandingkan tahun 2011-2014 yaitu masing-masing sebesar 65,28; 66,16; 67,03 dan 67,40.

2. Selama tahun 2015 IPM Kabupaten Ponorogo mengalami pertumbuhan mencapai 1,12 persen, lebih cepat dibanding pertumbuhan tahun sebelumnya yang sebesar 0,56 persen. Percepatan pertumbuhan IPM juga terjadi pada tingkat Jawa Timur dari 0,88 persen pada tahun 2014 menjadi 1,19 persen pada tahun 2015. Laju pertumbuhan keseluruhan indeks pembentuk komponen IPM yang lebih cepat dibanding tahun sebelumnya terutama indeks daya beli membawa pengaruh percepatan pertumbuhan IPM Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015.

3. Peningkatan nilai IPM ini indikasi keberhasilan kinerja pembangunan manusia yang terkait dengan peningkatan dasar penduduk yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.


(4)

4. Jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain se-eks Karesidenan Madiun, pada tahun 2015 posisi IPM Kabupaten Ponorogo menempati posisi ke lima setelah Kota Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Ngawi. Peringkat Kabupaten Ponorogo pada lingkup kabupaten/kota se-Jawa Timur mengalami peningkatan yaitu peringkat 23 pada tahun 2011 menjadi peringkat 21 pada tahun 2015 dari 38 kabupaten/kota. Namun angka IPM Kabupaten Ponorogo masih lebih rendah bila dibanding dengan angka IPM Provinsi Jawa Timur.Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo masih perlu lebih ditingkatkan.

5. Dari aspek pendidikan dapat dilihat bahwa angka harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Ponorogo terus meningkat. Angka harapan lama sekolah tahun 2016 sebesar 13,29 tahun (setara dengan tingkat pertama perguruan tinggi) dan angka rata-rata lama sekolah sebesar 6,96 tahun (setara dengan kelas pertama pada tingkat sekolah menengah tingkat pertama). Namun di sisi lain masih harus diberikan perhatian yang lebih terhadap sarana dan prasarana sekolah baik dari segi jumlah, aksesibilitas dan pemerataannya.

6. Dari aspek ekonomi, kesejahteraan penduduk Kabupaten Ponorogo mengalami peningkatan dengan ditandai semakin tingginya daya beli masyarakat Kabupaten Ponorogo dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, pengeluaran per kapita riil disesuaikan masyarakat Kabupaten Ponorogo sebesar 8,65 juta rupiah meningkat dibandingkan tahun 2013 dan 2014 yang masing-masing sebesar 8,35


(5)

Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 63

dibanding kabupaten/kota lain di wilayah eks Karesidenan Madiun dan bahkan pada tingkat Jawa Timur.

7. Dari aspek kesehatan, angka harapan hidup saat lahir penduduk Kabupaten Ponorogo semakin meningkat. Pada tahun 2015 angka harapan hidup saat lahir penduduk Kabupaten Ponorogo telah mencapai 72,08 tahun yang meningkat dibandingkan tahun 2013 dan 2014 yang masing-masing sebesar 71,85 tahun dan 71,88 tahun. Angka harapan hidup saat lahir Kabupaten Ponorogo lebih tinggi daripada angka harapan hidup saat lahir Jawa Timur tahun 2015 yang mencapai 70,68 tahun.


(6)