Perbedaan tingkat kestabilan emosi pada orang dewasa yang mengikuti kegiatan meditasi dan orang dewasa yang tidak mengikuti kegiatan meditasi.

(1)

Mahasiswa Psikologi

Universitas Sanata DharmaYogyakarta Fitri Aprilly

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kestabilan emosi pada orang dewasa yang mengikuti kegiatan meditasi dan pada orang dewasa yang tidak mengikuti kegiatan meditasi. Jenis penelitian komparatif dengan variabel bebas meditasi mindfulness dan variabel terikat tingkat kestabilan emosi. Sampel 50 orang dewasa dini berusia 18-40 tahun dan dewasa madya berusia 40-60 tahun yang melakukan kegiatan meditasi dan yang tidak melakukan kegiatan meditasi masing-masing sebanyak 25 orang dan diambil menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner skala stabilitas emosi, dan dianalisis menggunakan metode independent sample t-test dengan menggunakan SPSS versi 16 for Windows pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari sebagian orang yang mengikuti kegiatan meditasi (64,0%) dan yang tidak mengikuti kegiatan meditasi (64,0%) berusia 40 – 60 tahun. Lebih dari sebagian orang yang mengikuti meditasi (68,0%) dan yang tidak mengikuti kegiatan meditasi (56,0%) berjenis kelamin perempuan. Lebih dari sebagian (52,0%) orang yang mengikuti meditasi telah mengikuti meditasi selama 6 – 10 tahun. Terdapat perbedaan tingkat kestabilan emosi pada orang yang mengikuti meditasi dan orang yang tidak mengikuti kegiatan meditasi (t=2,154, p=0,036).

Kata Kunci : Tingkat kestabilan emosi, meditasi  

                           


(2)

MEDITATIONAL PRACTITIONERS AND NON MEDITATIONAL PRACTITIONERS Study in Psychology of Sanata Dharma University

Fitri Aprilly Abstract

The purpose of this research was to know the difference of emotional stability level between adult meditational practitioners and non meditational practitioners. This was a comparative type research. The independent variable was mindfulness meditation while the dependent was the emotional stability level. Sample were 50 adults consisted of 18-40 years old of early adults and 40-60 years old of middle adults both practice and not practice the meditation that were 25 adults each and which were taken using purposive sampling technique. Data was collected through questionnaire of emotional stability scale and was analyzed using independent sample t-test with the 95% of confident level (α=0.05). The results showed that more than a half of the adult meditational practitioners (64.0%) and non meditational practitioners (64.0%) was 40–60 years old of age. More than a half of the adult meditational practitioners (68.0%) and non meditational practitioners (56.0%) was female. More than a half (52.0%) of the practitioners was having the meditational practice during 6–10 years. There was difference of emotional stability level between adult meditational practitioners and non meditational practitioners (t=2.154, p=0.036).

Keywords : Emotional stability level, meditation  

                     


(3)

i

PERBEDAAN TINGKAT KESTABILAN EMOSI PADA ORANG DEWASA YANG MENGIKUTI KEGIATAN MEDITASI DAN ORANG

DEWASA YANG TIDAK MENGIKUTI KEGIATAN MEDITASI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

NAMA : Fitri Aprilly NIM : 109114085

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2016


(4)

(5)

(6)

iv MOTTO

Bangunlah setiap hari dengan sebuah impian untuk membuat mimpi-mimpimu jadi nyata

-Manoj Lalavat-

Raihlah semua yang kamu inginkan karena kamu bisa


(7)

v

Kupersembahkan Skripsi ini

dengan segenap Cinta dan Kasih Sayang

teruntuk,

Tiratana (Budha, Dharma, dan Sangha)

Papa Z. Arifin. S.

dan

Mama Sulsan Mareta

untuk segala do’a, cinta, kasih sayang, dukungan,

dan pengorbanannya

Kedua adikku,

yang selalu memotivasi dan menjadi semangat juangku

Sahabat,


(8)

(9)

vii

PERBEDAAN TINGKAT KESTABILAN EMOSI PADA ORANG DEWASA YANG MENGIKUTI KEGIATAN MEDITASI DAN ORANG DEWASA

YANG TIDAK MENGIKUTI KEGIATAN MEDITASI Mahasiswa Psikologi

Universitas Sanata DharmaYogyakarta Fitri Aprilly

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kestabilan emosi pada orang dewasa yang mengikuti kegiatan meditasi dan pada orang dewasa yang tidak mengikuti kegiatan meditasi. Jenis penelitian komparatif dengan variabel bebas meditasi mindfulness dan variabel terikat tingkat kestabilan emosi. Sampel 50 orang dewasa dini berusia 18-40 tahun dan dewasa madya berusia 40-60 tahun yang melakukan kegiatan meditasi dan yang tidak melakukan kegiatan meditasi masing-masing sebanyak 25 orang dan diambil menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner skala stabilitas emosi, dan dianalisis menggunakan metode independent sample t-test dengan menggunakan SPSS versi 16 for Windows pada tingkat kepercayaan 95%

(α=0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari sebagian orang yang mengikuti

kegiatan meditasi (64,0%) dan yang tidak mengikuti kegiatan meditasi (64,0%) berusia 40 – 60 tahun. Lebih dari sebagian orang yang mengikuti meditasi (68,0%) dan yang tidak mengikuti kegiatan meditasi (56,0%) berjenis kelamin perempuan. Lebih dari sebagian (52,0%) orang yang mengikuti meditasi telah mengikuti meditasi selama 6 – 10 tahun. Terdapat perbedaan tingkat kestabilan emosi pada orang yang mengikuti meditasi dan orang yang tidak mengikuti kegiatan meditasi (t=2,154, p=0,036).


(10)

viii

THE DIFFERENCE OF EMOTIONAL STABILITY LEVEL BETWEEN ADULT MEDITATIONAL PRACTITIONERS AND NON MEDITATIONAL

PRACTITIONERS

Study in Psychology of Sanata Dharma University Fitri Aprilly

Abstract

The purpose of this research was to know the difference of emotional stability level between adult meditational practitioners and non meditational practitioners. This was a comparative type research. The independent variable was mindfulness meditation while the dependent was the emotional stability level. Sample were 50 adults consisted of 18-40 years old of early adults and 40-60 years old of middle adults both practice and not practice the meditation that were 25 adults each and which were taken using purposive sampling technique. Data was collected through questionnaire of emotional stability scale and was analyzed using independent sample t-test with the 95% of confident level

(α=0.05). The results showed that more than a half of the adult meditational practitioners

(64.0%) and non meditational practitioners (64.0%) was 40–60 years old of age. More than a half of the adult meditational practitioners (68.0%) and non meditational practitioners (56.0%) was female. More than a half (52.0%) of the practitioners was having the meditational practice during 6–10 years. There was difference of emotional stability level between adult meditational practitioners and non meditational practitioners (t=2.154, p=0.036).


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Terpujilah Tuhan Yang Maha Esa dan Triratna, yang telah melimpahkan Kasih dan RahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan Tingkat Kestabilan Emosi Pada Orang Dewasa Yang Mengikuti Kegiatan Meditasi dan Orang Dewasa Yang Tidak Mengikuti Kegiatan Meditasi”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Skripsi ini dapat terselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak maka pada kesempatan ini perkenankanlah penulis dengan ketulusan dan segala kerendahan hati menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, selaku Dekan Fakutas Psikologi. 2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si selaku Kaprodi Fakultas Psikologi. 3. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi., selaku Dosen Pembimbing skripsi,

yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan banyak waktu dan memberikan motivasi, bimbingan, dan arahan yang sangat berharga.

4. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S., selaku Dosen Pembimbing Akademik, atas segala nasihat, dukungan, bimbingan, dan arahan selama penulis menempuh studi.

5. Seluruh Jajaran Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah memberikan ilmu selama penulis menempuh studi.

6. Pak Gi, mas Muji, mas Gandung, dan ibu Nanik, atas segala bantuan dan keramahannya.


(13)

xi

7. Kedua orang tua tersayang, Papa Z. Arifin. S. dan Mama Sulsan Mareta, atas semua support yang telah diberikan.

8. Kedua adik ku, yang selalu memberikan dorongan dan semangat.

9. Bapak Agus, selaku Guru Meditasi Mindfullnes di Vihara Budha Prabha, yang telah memberikan fasilitas, dorongan, masukan, dan nasihat yang sangat berharga.

10. Teman-teman Angkatan 2010, untuk segala moment yang telah dilewati bersama.

11. Teman-teman bimbingan, atas semangat yang selalu diberikan.

12. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu per satu, untuk doa, dukungan, dan bantuan yang senantiasa diberikan.

Penulis menyadari skripsi ini masih perlu penyempurnaan lebih lanjut, sehingga penulis mengharapkan masukan, koreksi dan kritik membangun dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca pada umumnya dalam pengembangan Ilmu Psikologi.

Yogyakarta, Februari 2016


(14)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II LANDASAN TEORI A. Masa Dewasa ... 7

B. Kestabilan Emosi ... 9

1. Emosi ... 9

2. Teori Emosi ... 10

3. Proses terjadinya Sensasi Emosi ... 14

4. Kestabilan Emosi ... 19

5. Ciri-ciri Kestabilan Emosi ... 23

6. Ciri-ciri Ketidakstabilan Emosi ... 25

7. Aspek-aspek Kestabilan Emosi ... 26

8. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kestabilan Emosi ... 29

C. Meditasi ... 30

1. Pengertian Meditasi ... 30

2. Tujuan Meditasi ... 33

3. Manfaat Meditasi ... 34

4. Proses Alamiah yang Terjadi Pada Tubuh Saat Meditasi ... 35

D. Dinamika Perbedaan Tingkat Kestabilan Emosi Orang Dewasa Dalam Kaitannya Dengan Meditasi ... 36


(15)

xiii

E. Hipotesis ... 42

F. Skema Perbedaan Tingkat Kestabilan Emosi pada Orang Dewasa yang Mengikuti Kegiatan Meditasi dan yang Tidak Mengikuti Kegiatan Meditasi ... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 44

B. Identifikasi Variabel ... 44

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 45

D. Subjek Penelitian ... 46

E. Perolehan Data ... 46

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 47

G. Pertanggungjawaban Mutu Skala ... 48

H. Metode Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 54

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 54

C. Hasil Penelitian ... 57

1. Uji Asumsi ... 57

2. Uji Hipotesis ... 58

D. Pembahasan ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA


(16)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3 : Blue Print Skala Kestabilan Emosi Uji Coba ... 48

Tabel 4 : Blue Print Skala Kestabilan Emosi ... 51

Tabel 5 : Perbandingan Karakteristik Antara Subjek Yang Mengikuti Meditasi dan Yang Tidak Mengikuti Meditasi . 55 Tabel 6 : Kestabilan Emosi Subjek ... 56

Tabel 7 : Hasil Uji Normalitas ... 57

Tabel 8 : Hasil Uji Homogenitas ... 58

Tabel 9 : Hasil Uji T-test ... 58

Tabel 10 : Perbandingan Tingkat Kestabilan Emosi Subjek Yang Mengikuti Meditasi dan Tidak Mengikuti Meditasi Berdasarkan Aspek Adequasi Emosi ... 59

Tabel 11: Perbandingan Tingkat Kestabilan Emosi Subjek Yang Mengikuti Meditasi dan Tidak Mengikuti Meditasi Berdasarkan Aspek Kematangan Emosi ... 60

Tabel 12 : Perbandingan Tingkat Kestabilan Emosi Subjek Yang Mengikuti Meditasi dan Tidak Mengikuti Meditasi Berdasarkan Aspek Kontrol Emosi ... 61


(17)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 : Proses Terjadinya Emosi ... 15

Gambar 2 : Skema Perbedaan Tingkat Kestabilan Emosi pada Orang Dewasa yang Mengikuti Kegiatan Meditasi dan Yang


(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Master Tabel

Lampiran 2 : Hasil Analisis Data


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia baik laki-laki maupun perempuan pada saat ini banyak yang hidup didalam tekanan baik di dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari. Mereka selalu dituntut untuk melakukan segala sesuatunya dengan baik dan memberikan usaha yang maksimal. Tekanan dalam pekerjaan dapat menyebabkan perubahan tingkat emosi seseorang dengan cepat dan sangat drastis. Apabila perubahan tingkat emosi seseorang berlangsung secara terus-menerus dan tanpa terkendali maka orang tersebut dapat mengalami stress. Selain itu, perubahan emosi dapat mempengaruhi kinerja orang tersebut sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal (Manz, 2009).

The New World Dictionary (2009) mendefinisikan emosi yang berasal dari bahasa Perancis dan Latin memiliki akar makna mengganggu atau mengacaukan setiap perasaan tertentu; setiap ragam reaksi-reaksi yang kompleks baik dengan perwujudan yang bersifat mental atau fisik. Secara umum, seseorang dapat merasakan dan mengendalikan emosinya. Emosi sendiri akan muncul didalam perilaku manusia sehari-hari baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Perasaan kesal, rasa cemas, rasa cemburu, sedih, atau marah merupakan dinamika emosi yang akan menimbulkan perilaku yang positif maupun negatif (Manz, 2009).


(20)

Contoh perilaku negatif tampak dalam Harian Kompas edisi Rabu, 22 Oktober 2014 yang merilis berita “Suami Bacok Istri di Tengah Keramaian Pasar”. Berita tersebut menyebutkan bahwa sang suami (38 tahun) membacok istrinya (28 tahun) di tengah keramaian pasar karena adanya perbedaan pendapat diantara pasangan suami isteri tersebut saat sedang menggelar dagangan pecah belahnya di pasar. Perbedaan pendapat tersebut berlanjut menjadi cekcok mulut dan sang istri menampar suaminya sehingga memicu kemarahan sang suami dan akhirnya berimbas pada pembacokan. Contoh lain tampak pada peristiwa yang terjadi pada Sabtu, 1 Maret 2014, dimana sepasang suami istri yang berusia 71 dan 70 tahun dibunuh oleh anak dan menantunya yang berusia 43 tahun disebabkan karena perebutan harta warisan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat melihat ketidakstabilan emosi pada diri seseorang dalam bentuk perilaku reaktif, yang bahkan seringkali kita sendiri lakukan, seperti pada saat menunggu lampu merah, dan ketika sudah berubah menjadi lampu hijau dan kendaraan di depan kita belum berjalan maka kita sering kali memencet klakson berkali-kali sampai kendaraan di depan kita berjalan, atau tanpa disadari kita juga sering memaki-maki dengan kata yang kasar.

Perilaku-perilaku reaktif yang bersifat negatif tersebut merupakan manifestasi ketidakstabilan emosi. Menurut situs Rodesmith, ciri-ciri orang yang reaktif adalah terburu-buru dalam mengambil tindakan, mengejar-ngejar orang lain untuk membereskan persoalannya, bersikap subjektif dan sangat


(21)

melindungi diri, kabur ke arah yang lain, mudah tersinggung, jengkel dan marah, kurang memiliki rasa humor atau menganggap humor sebagai hal yang hanya membuang waktu dan tenaga, mencari dukungan pihak lain, suka menggurui dan berharap orang lain menjadi pengikutnya, merebut tanggungjawab yang menjadi porsi orang lain, pendendam, menyingkirkan orang yang menghalangi langkahnya, memiliki pemahaman yang hanya sebatas bagaimana cara membela diri, selalu merasa terancam, dan merasa benar sendiri.

Menurut Goleman (2004), contoh-contoh perilaku negatif diatas menunjukkan bahwa individu-individu tersebut belum memiliki kecerdasan emosi yang baik. Hal tersebut ditandai dengan ketidakstabilan emosi didalam diri individu-individu tersebut yang berupa kesadaran diri, empati, dan keterampilan social sebagai komponen dasar kecakapan emosi dan kecakapan sosial.

Kestabilan emosi menurut Tjandrasa dan Zarkasih (1999:229) dapat diartikan sebagai kemampuan untuk merubah emosi yang tidak menyenangkan menjadi emosi yang menyenangkan. Dalam kehidupan, seseorang yang memiliki kestabilan emosi mampu memberikan ekspresi emosi yang baik walaupun dalam kondisi yang sangat memicu timbulnya emosi negatif. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kestabilan emosi, antara lain faktor fisik, pengalaman, dan kondisi lingkungan. Faktor fisik dan pengalaman secara tidak langsung juga berkaitan dengan faktor usia, dimana orang yang tergolong kedalam kelompok usia dewasa madya (40-60


(22)

tahun) diharapkan memiliki tingkat kestabilan emosi yang lebih baik daripada orang yang memiliki umur di bawahnya, karena pada usia dewasa madya seseorang telah memiliki fisik yang telah berkembang dengan sempurna dan telah memiliki pengalaman kehidupan yang lebih banyak. Perilaku yang cerdas harus memiliki komponen dasar kecakapan emosi (Goleman, 2004).

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh dan menjaga kestabilan emosi adalah dengan meditasi. Praktek meditasi yang teratur akan mengubah individu menjadi lebih tenang. Individu akan mereaksi gangguan‐gangguan emosi dengan cara yang tidak melukai baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Meditasi menenangkan pikiran dan membawa individu pada pengertian yang jernih, dimana individu merasa terhubung dengan setiap orang dan segala sesuatu (Bastis, 2000). Meditasi merupakan fase dimana seseorang memusatkan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu (Jaenudin, 2012).

Terdapat beberapa jenis meditasi diantaranya adalah meditasi mindfulness. Meditasi mindfulness tidak memiliki suatu objek untuk memusatkan pikiran tetapi melatih individu untuk mengamati segala yang terjadi dalam pikiran dan menerima semua buah pikir yang timbul-tenggelam serta mengamati aliran kesadaran (stream of consciousness).

Meditasi mindfulness memiliki beberapa pengaruh positif seperti memberikan kemampuan untuk mengamati aliran kesadaran tanpa menghakimi, dapat meningkatkan awareness dan memberikan kemampuan untuk meregulasi emosi sehingga emosi negatif dapat dikelola secara adaptif


(23)

(Coffey dan Hartman, 2008). Penelitian Greeson (2009) menunjukkan bahwa meditasi mindfulness dapat meningkatkan ketenangan (equanimity) dan kemampuan untuk tidak merespons stimulus secara reaktif (nonreactivity).

Dari latar belakang di atas maka peneliti menjadi tertarik untuk melihat apakah orang dewasa yang mengikuti kegiatan meditasi memiliki tingkat kestabilan emosi yang lebih baik dibandingkan orang dewasa yang tidak mengikuti kegiatan meditasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Apakah ada perbedaan tingkat kestabilan emosi pada orang dewasa yang mengikuti kegiatan meditasi dan yang tidak mengikuti kegiatan meditasi?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan tingkat kestabilan emosi pada orang dewasa yang mengikuti kegiatan meditasi dan pada orang dewasa yang tidak mengikuti kegiatan meditasi.


(24)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi mengenai tingkat kestabilan emosi pada orang dewasa yang mengikuti dan yang tidak mengikuti kegiatan meditasi.

2. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan cara-cara praktis sebagai upaya solutif memperoleh dan menjaga kestabilam emosi

:


(25)

7 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Masa Dewasa

Dewasa adalah orang yang bukan lagi anak- anak dan telah menjadi pria atau wanita seutuhnya. Masa dewasa biasanya dimulai sejak usia 18 tahun hingga 60 tahun. Masa dewasa biasanya ditandai dengan selesainya pertumbuhan pubertas dan organ kelamin seseorang telah berkembang dan mampu bereproduksi (Desmita, 2013).

Hurlock (2002) membagi masa dewasa menjadi tiga bagian, yakni: 1. Masa Dewasa Awal (Young Adult)

Masa dewasa awal adalah masa pencarian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreatifitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Masa dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun- 40 tahun.

2. Masa Dewasa Madya (Middle Adult)

Masa dewasa madya berlangsung dari umur 40- 60 tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial antara lain masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih


(26)

Besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, yang kadang-kadang minat dan perhatian tersebut dilandasi oleh kebutuhan pribadi dan sosial.

3. Masa Dewasa Lanjut (Older Adult)

Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur 60 tahun sampai akhir hayat, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Ciri-ciri dari dewasa lanjut ini adalah adanya perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam sistem syaraf, dan penampilan.

Tingkat emosi seseorang merupakan kriteria kedua yang digunakan untuk mengukur keberhasilan seseorang dalam menyesuaikan dirinya dengan masa dewasa. Pengendalian emosi tersebut tidak dapat diperoleh secara instan namun harus dilatih dari hari ke hari. Orang yang telah mampu menguasai dan mengendalikan emosinya dengan disertai oleh kemampuan mental yang cukup dewasa pasti dapat mengendalikan dirinya menuju kehidupan yang bahagia dikarenakan selalu bersifat terbuka dalam menghadapi berbagai kenyataan-kenyataan hidup, tabah dalam menghadapi setiap kesulitan dan persoalan hidup, dan dapat merasa puas dan sanggup menerima segala sesuatunya dengan lapang dada.

B. Kestabilan Emosi 1. Emosi

Emosi berasal dari bahasa Perancis emotion, dari kata emouvoir, yang berarti kegembiraan. Selain itu, emosi juga berasal dari bahasa Latin yaitu


(27)

emovere, yang berarti bergerak. Emosi adalah kecenderungan untuk memiliki perasaan yang khas bila berhadapan dengan objek tertentu dalam lingkungannya (Sobur, 20133). Lahey (2003) menyatakan bahwa emosi merupakan suatu hal yang dihasilkan oleh fisiologis yang menyebabkan munculnya reaksi emosi. Reaksi ini tidak dapat dibaca tetapi terlihat dari ekspresi dan perilaku.

Menurut Prezz dalam Syukur (2011) emosi merupakan reaksi tubuh saat menghadapi situasi tertentu. Intensitas emosi berkaitan dengan aktifitas kognitif (berfikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi yang dialami. Reaksi manusia terhadap hadirnya emosi baik yang disadari ataupun tidak disadari memiliki dampak yang positif maupun negatif.

Goleman (2004) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis, psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Chaplin (2002) dalam Safaria (2009) merumuskan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, memiliki sifat yang mendalam, dan menyebabkan perubahan perilaku.

Albin (1986) merumuskan emosi sebagai perasaan yang begitu hebat dan menuntut untuk diungkapkan. Muhana (2000) menjelaskan bahwa emosi adalah perasaan yang bergerak dan memiliki intensitas yang cukup kuat dan sebagian besar stimulusnya berasal dari luar diri individu atau eksteren.


(28)

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan suatu perasaan yang sangat mendalam, kuat, bersifat subjektif, yang timbul karena adanya stimulus yang berasal dari dalam dan luar diri individu, serta memungkinkan timbulnya gejolak jasmaniah.

2. Teori Emosi

Timbulnya gejala emosi dapat dijelaskan melalui tiga teori emosi yakni (Sobur, 2013):

a. Teori Emosi Dua Faktor Schachter-Singer

Teori ini dikenal sebagai teori yang paling klasik yang berorientasi pada rangsangan. Reaksi fisiologik dapat saja sama (seperti hati berdebar, tekanan darah naik, nafas bertambah cepat, adrenalin dialirkan kedaalam darah, dan sebagainya), namun jika rangsangannya menyenangkan, seperti diterima di sebuah perguruan tinggi idaman, maka emosi yang timbul dinamakan senang. Sebaliknya, jika rangsangannya membahayakan, seperti melihat ular berbisa, maka emosi yang timbul dinamakan takut.

Teori ini lebih sesuai dengan teori kognisi. Teori ini menyatakan bahwa emosi yang dirasakan merupakan hasil dari interpretasi seseorang tentang sesuatu yang membangkitkan atau menaikkan keadaan tubuh. Jadi menurut teori ini, individu mengalami emosi terlebih dahulu baru kemudian mengalami perubahan-perubahan dalam kejasmaniannya. Ada tiga rangkaian dalam memproduksi perasaan emosi menurut teori ini, yakni persepsi dari situasi potensial yang


(29)

menghasilkan emosi, keadaan tubuh yang terbangkitkan dengan hasil dari persepsi yang ambigu (mendua), dan interpretasi dan menamai keadaan tubuh sehingga cocok dengan situasi yang diterima.

b. Teori Periferal James-Lange

Teori ini dikemukakan oleh William James (1884) yang berasal dari Amerika Serikat dan Carl Lange (1885) dari Denmark. Teori ini menyebutkan bahwa emosi timbul setelah terjadinya reaksi psikologik, misalnya seseorang merasa senang karena orang tersebut meloncat-loncat setelah melihat pengumuman dan orang tersebut takut karena lari setelah melihat ular.

Menurut teori ini, emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respons terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar. Misalnya, jika seseorang melihat harimau, reaksinya adalah peredaran darah makin cepat karena denyut jantung makin cepat, paru-paru lebih cepat memompa udara, dan sebagainya. Respons-respons tubuh ini kemudian dipersepsikan dan timbullah rasa takut. Rasa takut tersebut timbul akibat pengalaman dan proses belajar. Orang tersebut dari pangalamannya telah mengetahui bahwa harimau adalah makhluk yang berbahaya, karena itu debaran jantung dipersepsikan sebagai takut.

Emosi terjadi karena adanya perubahan pada sistem vasomotor (otot-otot). Suatu peristiwa dipersepsikan menimbulkan perubahan


(30)

fisiologis dan perubahan psikologis yang disebut emosi. Seseorang bukan tertawa karena senang melainkan senag karena tertawa.

Persepsi seseorang terhadap reaksi adalah dasar untuk emosi yang dialami, sehingga pengalaman emosi-emosi yang dirasakan terjadi setelah perubahan tubuh. Perubahan tubuh (perubahan internal dalam sistem syaraf otomatis atau gerakan dari tubuh) memunculkan pengalaman emosional. Jadi menurut teori ini gejala-gejala kejasmanian bukanlah merupakan akibat dari emosi yang dialami oleh individu, tetapi emosi yang dialami oleh individu merupakan akibat dari gejala-gejala kejasmanian.

c. Teori Emergency Cannon-Bard

Teori ini dikemukakan oleh Walter B. Cannon (1929) yang menyatakan bahwa karena gejolak emosi menyiapkan seseorang untuk mengatasi keadaan genting maka orang-orang primitif bisa survive dalam hidupnya. Organ-organ dalam bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan suasana emosional. Emosi, sebagai pengalaman subjektif psikologik, timbul bersama-sama dengan reaksi fisiologik (hati berdebar, tekanan darah naik, nafas bertambah cepat, adrenalin dialirkan kedalam darah, dan sebagainya).

Teori Cannon selanjutnya diperkuat oleh Philip Bard. Teori ini menyatakan bahwa emosi adalah reaksi yang diberikan oleh organisme dalam situasi emergency (darurat) teori ini didasarkan pada pendapat bahwa ada antagonisme (fungsi yang bertentangan) antara saraf-saraf


(31)

simpatis dengan cabang-cabang oranial dan sacral daripada susunan saraf otonom, sehingga jika saraf-saraf simpatis aktif maka saraf otonom nonaktif, dan begitu sebaliknya.

Menurut teori ini, seseorang pertama kali menerima emosi potensial yang dihasilkan dari dunia luar, kemudian daerah otak yang lebih rendah, seperti hypothalamus diaktifkan. Otak yang lebih rendah ini kemudian mengirim output dalam dua arah yakni ke organ-organ tubuh dalam dan otot-otot eksternal untuk menghasilkan ekspresi emosi tubuh, dan ke korteks cerebral, dimana pola buangan dari daerah otak lebih rendah diterima sebagai emosi yang dirasakan. Jadi emosi merupakan suatu aktifitas pribadi dimana pribadi ini tidak dapat dipisahkan dalam jasmani dan psikis. Oleh karena itu emosi juga meliputi perubahan-perubahan kejasmanian.

Dari paparan di atas penulis mengambil kesimpulan untuk merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Schachter-Singer dan teori yang dikemukakan oleh James-Lange. Hal ini dikarenakan kedua teori yang telah dikemukakan tersebut seringkali merupakan pengalaman sehari-hari yang dialami manusia. Contoh dari teori yang dikemukakan oleh Schachter-Singer adalah pada saat seseorang merasakan adanya emosi kesedihan, setelah itu direspon oleh otak dan kemudian akan muncul dalam perilaku individu seperti menangis, tidak bersemangat dalam menjalani aktifitas keseharian, dan sebagainya. Sedangkan contoh yang dikemukakan oleh James- Lange adalah ketika seseorang melihat orang


(32)

yang berada di sekitarnya menangis karena kehilangan orang yang disayangi maka individu tersebut akan merespon dengan ikut menangis. 3. Proses terjadinya Sensasi Emosi

Di dalam kehidupan seseorang seringkali menghadapi suatu peristiwa yang dapat menimbulkan emosi baik itu emosi yang positif maupun negatif. Pada umumnya individu yang mengalami sesuatu hal yang menghasilkan emosi dapat merespon dengan cara yang berbeda. Berikut adalah proses terjadinya emosi menurut teori James-Lange (Sarlito, 2000:85-86) :

Gambar 1

Proses Terjadinya Emosi

(Sumber: James-Lange dalam Sarlito, 2000:85-86) Stimulus

Reseptor

Syaraf sensorik

Pengkodean di korteks

Syaraf motorik

Syaraf otonom

Efektor

Viscera (organ dalam)


(33)

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi emosi, antara lain: a. Sistem limbik, yang memiliki peranan dalam reaksi emosi. Sistem

limbik terdiri dari: 1) Amigdala

Merupakan bagian terkecil dari otak dan memiliki peranan penting dalam emosi terutama yang berkaitan dengan rasa takut. Amigdala terletak di bawah hipothalamus, bertugas untuk mengevaluasi informasi sensorik yang diterima dan dengan cepat menentukan kepentingan emosional, serta membuat keputusan untuk mendekati atau menjauhi suatu objek atau situasi. Bagian ini bereaksi dengan cepat ketika mengevaluasi keadaan yang membahayakan atau mengancam.

Apabila bagian ini mengalami kerusakan maka akan menyebabkan abnormalitas dalam memproses rasa takut.

2) Hipotalamus

Memiliki peranan utama dalam pengaturan sistem syaraf otonom. Selain itu, bagian ini juga mengintegrasikan refleks dan mengatur kegiatan yang berkaitan dengan mempertahankan hidup, dan berperan dalam mempengaruhi sistem hormonal.

b. Prefrontal korteks

Bagian ini terdiri dari dua bagian yaitu kanan dan kiri. Setiap bagian memiliki peranan yang berbeda, bagian kanan berperan khusus dalam situasi menarik diri atau melarikan diri, seperti pada emosi jijik atau


(34)

takut, sedangkan bagian kiri merupakan bagian yang berperan khusus dalam memotivasi orang orang dalam mendekati orang lain, seperti pada saat bahagia maka yang timbul adalah emosi yang positif.

c. Hormon

Pada saat individu mengalami suatu emosi yang kuat maka divisi simpatetik dari sistem saraf otonom akan memerintahkan kelenjar adrenalin untuk melepaskan hormon epinephrine dan norepinephrine. Para pembawa pesan kimiawi ini akan memberikan stimulasi yang kuat dan menyebabkan tubuh individu menjadi lebih siaga. Pupil mata melebar sehingga memungkinkan mata menerima cahaya lebih banyak, detak jantung akan meningkat sehingga kecepatan bernafas juga meningkat, dan tekanan darah akan meningkat, sehingga menghasilkan tambahan tenaga agar tubuh dapat bergerak lebih cepat. Pada saat individu melakukan meditasi maka tubuh akan melepaskan hormon endorphine yang akan membuat tubuh menjadi lebih rileks sehingga membuat orang merasa bahagia.

Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa antara sistem limbik, prefrontal korteks, dan hormon memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya didalam proses terjadinya sensasi emosi. Pada tahap awal individu mendapatkan stimulus, stimulus tersebut secara perlahan akan masuk ke dalam otak, dan pada bagian amigdala stimulus tersebut akan diolah, selanjutnya stimulus akan dibawa menuju ke hipotalamus yang merupakan pusat emosi. Bagian hipotalamus sendiri juga dapat


(35)

mempengaruhi sistem hormonal. Prefrontal korteks juga turut berperan dalam emosi dengan cara memberikan respon yang sesuai dengan stimulus yang telah diterima.

Menurut pandangan kognitif, emosi lebih banyak ditentukan dari hasil interpretasi individu terhadap sebuah peristiwa. Keterlibatan kognitif pada emosi diawali dari persepsi awal terhadap suatu peristiwa (Lazarus, 2000a). Dari pernyataan yang telah dipaparkan dapat ditarik kesimpulan bahwa kognitif turut berperan dalam proses terjadinya sensasi emosi. Hal ini terlihat dari cara individu memberikan respon atas terjadinya suatu peristiwa, dimana sebelum individu memberikan respon akan ada proses pemikiran yang terjadi didalam otak untuk memberikan respon yang sesuai. Pada saat individu melakukan meditasi maka tubuh akan mendapatkan informasi dimana informasi tersebut dapat mengubah pandangan dan persepsi individu terhadap suatu hal. Secara umum, individu dapat memandang dan menginterpretasikan sebuah peristiwa tersebut secara positif maupun negatif.

Pada saat melakukan meditasi, individu akan berfokus, sehingga akan mempengaruhi kognitif individu tersebut. Interpretasi terhadap sebuah peristiwa yang dibuat individu akan mengkondisikan dan membentuk perubahan fisiologis pada tubuh individu tersebut secara internal, sehingga jika individu tersebut menilai sebuah peristiwa secara positif maka perubahan fisiologis individu tersebut akan menjadi lebih positif, dan demikian pula sebaliknya.


(36)

Secara umum, fisiologi dan kognisi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pengalaman emosi. Kognisi dan fisiologi adalah yin dan yang dari hasrat manusia. Kedua hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain secara terus menerus, kognisi dapat mempengaruhi emosi dan kondisi emosi dapat mempengaruhi kognisi (Gray, 2004). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa ada keterkaitan antara fisiologi dan kognisi dalam proses terjadinya sensasi emosi. Keterkaitan tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dengan pola yang selalu berputar. Selain kognisi mempengaruhi fisiologi, fisiologi pun dapat mempengaruhi kognisi.

Keterkaitan dari kognisi dan fisiologi dapat dicontohkan pada saat seseorang melihat seekor singa dimana tubuh memberikan respon emosi ketakutan. Respon tersebut dimulai dari kognisi orang tersebut yang memberikan sinyal bahaya kepada tubuh untuk melarikan diri dan mempengaruhi sistem fisiologis tubuh orang tersebut sehingga mulai mengeluarkan keringat dingin dan kaki segera bergerak untuk menjauhi bahaya tersebut.

4. Kestabilan Emosi

Ide dasar dari kestabilan emosi adalah Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence/EQ). Kestabilan emosi berkaitan dengan kematangan emosi dan merupakan komponen didalam Kecerdasan Emosi (EQ). Kecerdasan emosi adalah dua buah produk dari dua skill utama yaitu kompetensi personal dan kompetensi sosial. Menurut Steiner (1997) Kecerdasan


(37)

Emosional adalah suatu kemampuan yang dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan pribadi. Mayer dan Salovey (Goleman, 1999; Davies, Stankov, dan Roberts, 1998) mendefinisikan Kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, dan menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Patton (1998) mendefinisikan Kecerdasan Emosi sebagai kemampuan untuk mengetahui emosi secara efektif guna mencapai tujuan dan membangun hubungan yang produktif dan dapat meraih keberhasilan. Bar-on (2000) mendefinisikan Kecerdasan Emosi adalah suatu rangkaian emosi, pengetahuan emosi, dan kemampuan-kemampuan yang mempengaruhi kemampuan keseluruhan individu untuk mengatasi masalah tuntutan lingkungan secara efektif.

Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa Kecerdasan Emosi adalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri dan orang lain. Sedangkan pengertian dari kestabilan atau stability menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo (1987: 487) yaitu: “salah satu dari dimensi yang dikemukakan oleh B. Weiner mengenal teori sifat dari motivasi prestasi, berkenaan dengan persepsi mengenai sebab-sebab dari sukses dan kegagalan-kegagalan seseorang yang condong timbul berulang kali (stabil), atau condong untuk tidak timbul kembali


(38)

(tidak stabil).” Dari pendapat ahli mengenai kestabilan maka kita dapat mengetahui mengenai keberadaan manusia yang sebenarnya, betapa sulitnya seseorang untuk dikatakan stabil. Hal tersebut melukiskan bahwa kehidupan seseorang adalah unik, khas, khusus, dan tidak ada duanya.

Menurut Tjandrasa dan Zarkasih (1999:229) “Kestabilan emosi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk merubah emosi yang tidak menyenangkan menjadi emosi yang menyenangkan. Menurut Khalid (1994) emosi dikatakan stabil apabila ekspresi emosi ditampilkan dengan konstruktif dan tidak membahayakan, interpretasi yang obyektif terhadap suatu peristiwa dan membiasakan diri menghadapi segala tantangan dan menciptakan jalan keluar. Menurut Najati (2000), kestabilan emosi adalah tidak berlebih-lebihan dalam pengungkapan emosi, karena emosi yang diungkapkan secara berlebih-lebihan bisa membahayakan kesehatan fisik dan psikis manusia.

Hurlock (1999) berpendapat bahwa kestabilan emosi memiliki beberapa kriteria. Pertama, yaitu emosi yang secara sosial dapat diterima oleh lingkungan sosial. Individu yang emosinya stabil dapat mengontrol ekspresi emosi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial atau dapat melepaskan dirinya dari belenggu energi mental maupun fisik yang selama ini terpendam dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Kedua, pemahaman diri. Individu yang punya emosi stabil mampu belajar mengetahui besarnya kontrol yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya, serta menyesuaikan diri dengan


(39)

harapan-harapan sosial, bersikap empati yang tinggi terhadap orang lain. Ketiga, peggunaan kecermatan mental. Individu yang stabil emosinya mampu menilai situasi secara cermat sebelum memberikan responnya secara emosional. Kemudian individu tersebut mengetahui cara yang tepat untuk bereaksi terhadap situasi tersebut.

Abbas (1997) berpendapat bahwa emosi dapat dikatakan menuju ke tingkat stabil ditandai dengan hal-hal berikut: adanya organisasi dan integrasi dari semua aspek emosi, emosi menjadi bagian integral dari keseluruhan kepribadian, dan individu dapat menyatakan emosinya secara tepat dan wajar. Al Hasyim (1999) mengungkapkan bahwa orang yang stabil emosinya adalah orang yang bisa menstabilkan atau menyeimbangkan antara kebutuhan fisik dan psikis.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kestabilan emosi adalah keadaan emosi seseorang yang diperlihatkan dengan sikap yang sesuai dengan harapan sosial, tidak berlebih-lebihan dalam mengekspresikan emosi serta bisa menyeimbangkan antara kebutuhan fisik dan psikis.

Sementara di dalam kehidupan ini kebanyakan orang memiliki emosi yang tidak stabil hal ini dapat disebabkan karena banyak hal, seperti kebiasaan dan tekanan yang sedang dihadapi oleh individu itu sendiri. Emosi yang tidak stabil ini dapat dilihat pada saat individu mengalami situasi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan baik itu yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Contohnya pada saat


(40)

seseorang merasakan emosi yang membuatnya merasa senang atau gembira maka orang tersebut akan terlihat loncat-loncat kegirangan. Apabila orang tersebut mengalami emosi yang menyedihkan maka orang tersebut akan menangis dengan berlebihan.

Berdasarkan kesimpulan diatas bahwa orang yang stabil emosinya adalah orang yang mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Ketika dihadapkan pada suatu permasalahan, tidak mengekspresikan emosinya dengan berlebihan. Sementara itu orang yang tidak stabil emosinya adalah orang yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Pada saat dihadapkan pada suatu permasalahan, orang tersebut akan mengekspresikan emosinya dengan berlebihan.

5. Ciri-ciri Kestabilan Emosi

Menurut Goleman (1997:430-435), ciri-ciri kestabilan emosi antara lain lebih bertanggung jawab dan mandiri, lebih terampil dalam menyelesaikan konflik, terampil dalam bergaul dengan teman sebaya, berbagi rasa, dapat mengendalikan diri, keseimbangan antara emosi dan pola berfikir, berkurangnya perilaku kasar, lebih terampil dalam mengatasi masalah antar pribadi, perbaikan keterampilan berkomunikasi, lebih peka terhadap perasaan orang lain, lebih mampu mengatasi kesukaran di sekolah, meningkatkan kendali diri dan kesadaran sosial, dan meningkatkan keterampilan untuk belajar bagaimana caranya belajar.

Menurut pendapat Hamalik (1992:97), ciri-ciri kestabilan emosi antara lain mampu menahan emosi yang negatif atau dapat meyatakan


(41)

secara tidak langsung, membina dan mengembangkan emosi positif, mengembangkan toleransi yang tinggi terhadap situasi atau hal-hal yang tidak berkenan di hati, kebebasan dalam bertindak yang terus bertambah, kemampuan untuk melakukan pilihan, bebas dari rasa takut yang tidak beralasan, bertindak sesuai dengan batas-batas kemampuan, sadar akan kemampuan dan prestasi orang lain, mampu meraih kemenangan secara terhormat, mampu bangkit kembali setelah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan atau kegagalan, mampu menggunakan pemuasan dorongan yang bersifat jasmaniah, kemampuan untuk bersikap terbuka dan menerima keterbukaan dalam hubungan interpersonal, dan merasa senang dengan kehidupan sehari-hari.Menurut pendapat dari Wahlroos (dalam Andriani, 2007) ciri-ciri kestabilan emosi, antara lain: tidak melukai diri sendiri atau orang lain dengan tindakan atau perkataan baik yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar, memiliki kebiasaan untuk memilih, memiliki konsep diri yang positif, dapat menunda pemenuhan kebutuhan, dapat mengevaluasi kenyataan emosional dan memahami perasaannya sendiri dan orang lain, dapat menjalin hubungan emosional yang mendalam dan tahan lama, fleksibel dan mau belajar dari pengalaman, dan memiliki antusias dalam menjalani kehidupan yang konstruktif dan menantang.

Menurut Santrock (2003) seseorang yang memiliki kestabilan emosi memiliki ciri-ciri:


(42)

a. Keyakinan akan kemampuan diri: sikap positif individu tentang dirinya, bahwa ia mengerti sungguh-sungguh akan apa yang dilakukan.

b. Optimis: sikap positif individu yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri, harapan, dan kemampuannya. c. Obyektif: sikap individu yang memandang permasalahan ataupun

sesuatu sesuai dengan kebenaran semestinya bukan menurut kebenaran pribadi atau yang menurutnya benar.

d. Bertanggungjawab: kesediaan individu untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.

e. Rasional dan realistik: kemampuan menganalisa masalah, sesuatu hal, suatu kejadian dengan menggunakan pemikiran yang dapat diterima akal sehat dan sesuai kenyataan.

6. Ciri-ciri Ketidakstabilan Emosi

Ketidakstabilan emosi dapat terlihat dari ciri-ciri yang berkebalikan dari kestabilan emosi, yaitu: kurang bertanggung jawab dan mandiri, kurang keterampilan dalam menyelesaikan konflik, kurang keterampilan bergaul dengan teman sebaya, kurang berbagi rasa, kurang dapat mengendalikan diri, kurang yakin terhadap kemampuan diri, kurang optimis, kurang obyektif, kurang rasional dan realistik. Dalam kehidupan sehari-hari individu terkadang menunjukkan ciri-ciri tersebut ketika menghadapi hal yang tidak menyenangkan. Hal tersebut dapat dicontohkan ketika mengalami kegagalan dalam ujian akhir, individu tersebut akan mengalami rasa tidak percaya pada kemampuannya sendiri. Pada


(43)

kenyataannya kegagalan dalam ujian akhir belum tentu disebabkan karena kemampuan diri yang kurang melainkan ada faktor-faktor lain dari luar yang dapat menyebabkan hal tersebut. Jika individu tersebut tidak memiliki kestabilan emosi maka individu tersebut akan melakukan hal-hal yang diluar batas, seperti bunuh diri, ataupun berteriak-teriak sambil menangis. Sedangkan pada individu yang memiliki kestabilan emosi, individu tersebut akan merenungkan dan mencari penyebab kegagalan tersebut dan akan mencoba mengikuti ujian akhir kembali.

7. Aspek-aspek Kestabilan Emosi

Menurut Scheneider dalam Rosdiana (2012), kestabilan emosi mencakup tiga aspek yaitu:

a. Adequasi emosi, yaitu reaksi emosi yang sesuai dengan rangsang yang diterimanya, reaksi ini berkaitan dengan macam atau isi emosi dan ditujukan kepada siapa emosi tersebut. Individu yang adequasi emosi yang baik ditandai dengan ciri- ciri:

1) Bersikap optimis dalam menghadapi masa depan memiliki pengertian bahwa individu memiliki keyakinan yang baik dan positif terhadap masa depan yang akan dilaluinya.

2) Tidak apatis dalam menjalani kehidupan memiliki pengertian bahwa individu tidak bersikap acuh tak acuh terhadap kehidupan atau dapat dikatakan selalu peduli terhadap kehidupan bermasyarakat.


(44)

3) Bersikap respek terhadap diri sendiri dan orang lain memiliki pengertian bahwa individu memiliki rasa hormat dan kagum terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

4) Bersikap altruis memiliki pengertian bahwa individu tersebut mau memperhatikan kepentingan orang lain atau dapat dikatakan tidak bersikap egois.

Contoh dari adequasi emosi ini adalah pada saat kita sedang marah kepada kakak kita, maka kita mampu menyampaikan kemarahan kita secara konstruktif kepada kakak kita, bukan kepada semua orang yang ada di dalam rumah. Selain itu contoh lain dari adequasi emosi ini adalah ketika kita melihat keberhasilan orang lain dalam pekerjaan maka kita harus mampu memberikan penghargaan kepada orang tersebut, bukan malah kita mencemooh pekerjaannya ataupun tidak mengakui hasil pekerjaaannya.

b. Kematangan emosi adalah suatu kemampuan individu untuk mengarahkan emosi dasar yang kuat menjadi suatu tujuan, sedangkan tujuan itu memuaskan diri sendiri dan dapat diterima lingkungan sekitar (Hergenhahn, 2001). Kematangan emosi ditandai dengan adanya kemampuan untuk memberikan reaksi emosi yang tepat pada situasi dan kondisi yang tidak menentu. Ada tiga faktor yang mempengaruhi kematangan emosi menurut Schneider (dalam Kenenbudi, 2007), antara lain: Adequacy of Emotional Response, Emotional Range & depth, dan Emotional Control.Menurut Hollingworth & Morgan (dalam Cyrillia,


(45)

2006) individu yang memiliki kematangan emosi memiliki ciri-ciri, antara lain:

1) memiliki derajat toleransi terhadap frustasi memiliki pengertian bahwa individu mampu untuk mengendalikan diri dari situasi emosi yang dirasakan seperti pada saat sedang sedih individu memiliki kemampuan untuk menahan untuk tidak menangis secara tersedu-sedu.

2) memiliki sikap menghargai diri sendiri memiliki pengertian bahwa individu memiliki rasa hormat kepada diri sendiri maupun orang lain.

3) manifestasi emosional memiliki pengertian wujud dari suatu perasaan yang kita rasakan.

Contoh dari hal ini adalah ketika kita sedang dalam kondisi yang tertekan dan sedang mengalami kemarahan tetapi pada saat itu juga kita harus menemui atasan yang tidak menyukai kita, tetapi kita masih dapat menunjukkan kinerja terbaik kita di depan atasan tanpa menunjukkan rasa tertekan dan marah kita di depannya.

c. Kontrol emosi, merupakan dasar dari kematangan emosi hal ini berpengaruh pada penyesuaian diri. Hal ini berkaitan dengan secara sadar menahan diri untuk tidak melakukan suatu hal. Individu yang memiliki kontrol emosi yang baik dapat dilihat dari ciri-ciri:


(46)

1) mampu merespon situasi frustrasi secara wajar (realistik) memiliki pengertian bahwa individu memberikan reaksi yang tidak berlebihan dalam kondisi yang tidak menyenangkan.

2) bersikap tabah dalam menghadapi masalah, tidak bersikap agresif, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain memiliki pengertian bahwa individu mampu berpasrah ketika mengalami suatu permasalahan, individu mampu bersikap konstruktif, memiliki keyakinan yang penuh terhadap dirinya sendiri.

3) mampu mengendalikan diri dari dorongan seksual memiliki pengertian bahwa individu memiliki kemampuan untuk mengontrol diri dari dorongan seksual.

Contohnya pada saat sedang marah pada teman maka secara sadar individu tersebut tidak akan meluapkan kemarahannya, tetapi dalam hal ini bukan memendam kemarahan melainkan menyadari dalam suatu hal kita tidak perlu untuk marah.

8. Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan emosi

Menurut Hurlock (1995), ada beberapa faktor yang mempengaruhi kestabilan emosi, yaitu:

a. Fisik

Pada saat individu dalam kondisi sehat secara jasmani maka akan cenderung untuk tidak mudah marah dan cepat tersinggung. Individu akan merasa nyaman dan tentram dalam kondisi jasmani yang sehat. Di sisi lain, individu akan menjadi cepat marah dan cepat tersinggung


(47)

apabila ada salah satu anggota badannya kurang sehat secara medis. Hal ini disebabkan karena adanya sesuatu kekurangan yang dirasakan individu, dan hal ini membuat individu merasa tidak nyaman.

b. Kondisi Lingkungan

Merupakan kondisi lingkungan dimana tempat individu berada. Lingkungan yang dapat menerima kehadiran individu dan individu mudah diterima pada lingkungan tersebut akan membuat individu mengalami kestabilan dalam emosi. Tetapi bila lingkungan tidak bisa menerima kehadiran individu, maka individu merasa tidak dianggap oleh lingkungan dan hal ini menyebabkan individu merasa tidak dihargai dan terhina.

c. Faktor Pengalaman

Melalui pengalaman individu dapat mengetahui bagaimana anggapan orang lain tentang berbagai ungkapan emosi. Individu akan mempelajari bagaimana cara mengungkapkan emosi yang bisa diterima oleh lingkungan sosial dan bagaimana ungkapan emosi yang tidak dapat diterima. Hal ini berkaitan dengan kondisi norma budaya setempat.

Menurut Afiatin, dkk (1994) faktor yang mempengaruhi kestabilan emosi adalah faktor lingkungan dan individu. Faktor lingkungan berkaitan dengan pengaruh lingkungan tempat tinggal individu, baik lingkungan keluarga maupun sosial-masyarakat. Faktor individu berkaitan dengan masalah pertumbuhan fisik biologis. Menurut Bastaman (2001) faktor yang mempengaruh kestabilan emosi adalah individu itu sendiri.


(48)

C. Meditasi

1. Pengertian Meditasi

Meditasi adalah latihan olah jiwa yang dapat menyeimbangkan fisik, emosi, mental,dan spiritual seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata meditasi diartikan sebagai pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Dari segi etimologi meditasi berasal dari bahasa Latin, meditatio, artinya hal bertafakur, hal merenungkan; memikirkan, mempertimbangkan; atau latihan, pelajaran persiapan. Sedangkan dari segi terminologi meditasi adalah penggunaan pikiran secara terus menerus untuk merenungkan beberapa kebenaran, misteri atau objek penghormatan yang bersifat keagamaan sebagai latihan ibadah.

Secara umum, meditasi dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain meditasi konsentrasi, meditasi loving-kindness, dan meditasi mindfulness. Dalam penelitian ini peneliti memilih jenis meditasi Mindfulness. Hal ini dikarenakan meditasi mindfulness tidak memiliki suatu objek untuk memusatkan pikiran, meditasi mindfulness melatih individu untuk mengamati segala yang terjadi dalam pikiran, menerima semua buah pikir yang timbul-tenggelam, mengamati aliran kesadaran (stream of consciousness).

Baer (2003) menjelaskan bahwa mindfulness adalah pengamatan terhadap munculnya stimulus-stimulus internal dan eksternal seperti apa adanya dan tanpa menghakimi. Menurut Kabat-Zinn (2003), mindfulness adalah kesadaran yang muncul melalui pengamatan momen saat ini, secara


(49)

tanpa menghakimi dari waktu ke waktu. Germer dalam Didonna (2009) menyatakan bahwa mindfulness adalah kemampuan untuk menyadari dan menerima pengalaman saat ini. Tidak seperti meditasi lain, objek dari meditasi mindfulness adalah keseluruhan pikiran yang terus-menerus berubah dan mengalir.

Meditasi mindfulness memiliki beberapa pengaruh. Coffey dan Hartman (2008) menemukan bahwa kemampuan untuk mengamati aliran kesadaran tanpa menghakimi dalam meditasi mindfulness dapat meningkatkan awareness dan kemampuan untuk meregulasi emosi sehingga emosi negatif dapat dikelola secara adaptif.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Greeson (2009), kemampuan dalam mindfulness dapat meningkatkan ketenangan (equanimity) dan kemampuan untuk tidak merespons stimulus secara reaktif (nonreactivity).

Secara umum dapat disimpulkan meditasi mindfulness adalah proses untuk mengamati dan menerima segala sesuatu yang ada di dalam diri setiap individu. Dari beberapa jenis meditasi yang telah disebutkan, peneliti memilih jenis meditasi mindfulness karena meditasi ini mengajak individu untuk menyadari dan menerima apa yang ada di dalam diri individu baik itu kelebihan maupun kekurangan dirinya. Dimana hal ini diperkuat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Baer (2003) yang mengatakan bahwa mindfulness merupakan pengamatan terhadap stimulus-stimulus yang berasal dari dalam maupun luar yang sesuai dengan keadaan pada saat tersebut. Sementara itu menurut Kabat-Zinn


(50)

(2003) mindfulness merupakan kesadaran yang muncul melalui apa yang dilihat pada saat ini tanpa ada penghakiman dari waktu ke waktu. Germer, dalam Didonna (2009) mengatakan bahwa mindfulness merupakan kemampuan untuk menyadari dan menerima apa yang terjadi pada saat ini. Sedangkan Coffey dan Hartman (2008) mengatakan bahwa mindfulness merupakan kemampuan untuk mengamati aliran kesadaran, sehingga mampu meningkatkan awareness dan kemampuan meregulasi emosi sehingga emosi yang negatif dapat dikelola secara adaptif. Di sisi lain Greeson (2009) mengatakan bahwa mindfulness dapat meningkatkan ketenangan, dan kemampuan untuk tidak merespons stimulus secara reaktif .

2. Tujuan Meditasi

Tujuan meditasi yang sebenarnya adalah untuk memperlambat dan menenangkan pikiran, serta, pada saatnya menyehatkan tubuh. Dalam meditasi, kita dapat mencapai pengendalian pikiran dan perasaan yang lebih baik. Meditasi dalam hal ini menjadi sebuah metode untuk mencapai keahlian dalam hal proses berpikir, mengajari untuk memusatkan pikiran supaya tidak terpecah-pecah atau dengan kata lain tetap fokus.

Tujuan meditasi mindfulness adalah terbebasnya seseorang dari penderitaan yang didasari oleh keserakahan, ketidaktahuan, dan kebencian. Selain itu, meditasi mindfulness juga bertujuan untuk tidak memberikan reaksi apapun terhadap berbagai hal yang terjadi pada diri kita tetapi kita diajak untuk lebih menyadari hal tersebut.


(51)

Melalui meditasi, sejatinya kita melatih pikiran dengan berkonsentrasi atau memusatkan perhatian pada suara, kata, doa, imajinasi, benda, alam, atau sebuah gagasan pemikiran. Tujuan meditasi menurut J. Sudrijanta,S.J adalah untuk mendapatkan pemurnian hati atau pencerahan jiwa. Selain itu, meditasi juga bertujuan untuk mencapai penyatuan kembali dengan Sang Maha Pencipta.

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa meditasi mindfulness adalah proses menyadari segala sensasi yang ada di dalam tubuh dan di sekitar kita. Meditasi juga bertujuan untuk melatih kita agar dapat tetap fokus terhadap suatu hal.

3. Manfaat Meditasi

Meditasi adalah proses yang dilakukan secara sadar untuk memusatkan perhatian pada satu titik. Dalam keadaan meditasi, kita dapat mencapai taraf keseimbangan; semua sistem yang ada dalam diri kita akan aktif bekerja secara maksimum dengan mengeluarkan energi tubuh seminimum mungkin. Dalam keadaan meditasi, kita juga dapat mencapai trance hening, dalam suatu tingkat kesadaran tinggi. Dalam keadaan tersebut, kita akan mampu mengontrol emosi, memahami apa yang harus dilakukan, dan menguasai situasi yang ada dalam diri kita.

Meditasi secara tidak langsung bisa mengubah kondisi fisik dan mental seseorang menjadi lebih baik. Namun, meditasi memerlukan waktu untuk mampu mengendalikan dan mengatur sistem yang ada dalam diri manusia. Untuk dapat memanfaatkan fungsi meditasi, kita memerlukan


(52)

waktu dan kedisiplinan dalam melakukan meditasi tanpa memasang target pencapaian yang muluk-muluk. Meditasi juga bermanfaat untuk membentuk pribadi yang lebih supel alias gampang bergaul.

Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa meditasi terutama meditasi Mindfulness berkaitan dengan emosi terutama kestabilan emosi. Hal ini dikarenakan pada saat meditasi kita dapat mencapai kondisi kesadaran penuh dan hal ini dapat mempengaruhi emosi kita di dalam kehidupan sehari-hari.

4. Proses alamiah yang Terjadi Pada Tubuh Saat Meditasi

Pada saat meditasi individu akan mengalami perasaan baal atau kebal yang dimulai dari kaki kemudian naik ke pinggang, dada, dan tangan. Perasaan baal atau kebal terus akan naik ke leher hingga kepala. Setelah itu, tangan akan mulai terasa ringan dan akhirnya tanpa rasa. Alur nafas yang naik-turun akan terasa terhenti, suhu tubuh yang panas akan mulai mendingin sampai akhirnya tidak terasa panas atau dingin. Penglihatan kadang jernih dan redup, bahkan kadang adanya kilatan cahaya atau bayangan sekilas. Mata dan telinga kadang terasa berdenyut-denyut. Suara dengungan darah akan melemah dan akhirnya tidak terdengar lagi. Penglihatan yang kadang remang dan terang akhirnya akan menjadi jernih.

Proses ini timbul secara alamiah karena gambaran pikiran yang mulai melemah dan kondisi tubuh juga turut melemah. Sementara pada otak individu yang mengikuti meditasi akan mengalami beberapa hal


(53)

seperti berikut: Korteks Frontal adalah bagian yang paling sangat berkembang dari otak yang bertanggung jawab untuk penalaran, perencanaan, emosi, dan kesadaran diri. Pada saat meditasi korteks frontal ini akan cenderung untuk offline. Lobus Parietalis adalah bagian yang memproses informasi sensorik tentang dunia sekitarnya, orientasi dalam ruang dan waktu. Pada saat meditasi aktivitas pada lobus parietalis akan melambat.

Sementara otak bagian thalamus adalah penjaga arus informasi untuk indra yang berfokus pada perhatian dengan menyalurkan beberapa data sensorik lebih dalam ke otak dan memeberhentikan sinyal lain. Pada saat meditasi otak bagian thalamus akan mengurangi arus informasi yang masuk secara berhamburan di dalam pikiran. Reticular Formasi–menerima stimulus masuk dan menempatkan otak agar selalu waspada dan siap untuk merespon.

Setelah selesai melakukan kegiatan meditasi maka tubuh akan merasa lebih rileks, dan hembusan nafas akan menjadi lebih teratur. Selain itu, pikiran akan menjadi lebih fokus dan tubuh akan menjadi lebih bersemangat.

D. Dinamika Perbedaan Tingkat Kestabilan Emosi Orang Dewasa Dalam Kaitannya Dengan Meditasi

Kestabilan emosi adalah perilaku tidak berlebih-lebihan dalam mengungkapkan emosi yang ditandai dengan sikap lebih bertanggung jawab dan mandiri, lebih terampil dalam menyelesaikan konflik, memiliki


(54)

keterampilan bergaul dengan teman sebaya, dapat berbagi rasa, dapat mengendalikan diri, memiliki keseimbangan antara emosi dan pola berfikir, berkurangnya perilaku kasar, lebih terampil dalam mengatasi masalah antar pribadi, perbaikan keterampilan berkomunikasi, lebih peka terhadap perasaan orang lain, lebih mampu mengatasi kesukaran di sekolah, meningkatkan kendali diri dan kesadaran sosial, meningkatkan keterampilan untuk belajar bagaimana caranya belajar.

Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kestabilan emosi berkaitan dengan kematangan emosi dan merupakan salah satu komponen dari kecerdasan emosi. Di dalam kehidupan sehari-hari kita terkadang terlalu berlebihan dalam mengekspresikan emosi yang kita rasakan, sehingga menyebabkan munculnya perilaku reaktif yang cenderung negatif. Kita dapat menanggulangi ekspresi emosi yang berlebihan tersebut dengan cara melakukan kegiatan meditasi hal tersebut dikarenakan dalam keadaan meditasi, kita dapat mencapai taraf keseimbangan; semua sistem yang ada dalam diri kita akan aktif bekerja secara maksimum dengan mengeluarkan energi tubuh seminimum mungkin. Dalam keadaan meditasi, kita juga dapat mencapai trance hening, dalam suatu tingkat kesadaran tinggi. Untuk mencapai tingkat kesadaran tertinggi tersebut dibutuhkan waktu latihan yang cukup lama kurang lebih satu tahun masa latihan yang dilakukan secara terus menerus. Pada keadaan tersebut, kita akan mampu mengontrol emosi, memahami apa yang harus dilakukan, dan menguasai situasi yang ada dalam diri kita.


(55)

Dalam kehidupan ada beberapa hal yang mempengaruhi emosi, antara lain: sistem limbik yang berkaitan dengan amigdala dan hipotalamus, prefrontal korteks, dan hormon. Ketiga hal tersebut berperan dalam proses terjadinya sensasi emosi. Proses terjadinya sensasi emosi dimulai pada saat individu mendapatkan stimulus yang secara perlahan stimulus tersebut akan masuk ke dalam otak pada bagian amigdala stimulus tersebut akan di olah setelah melewati bagian ini selanjutnya stimulus akan dibawa menuju ke hipotalamus dimana bagian hipotalamus ini sendiri merupakan pusat emosi. Selain itu, bagian hipotalamus ini sendiri juga dapat mempengaruhi sistem hormonal. Yang berperan dalam hal memberikan respon yang sesuai dengan stimulus yang diterima adalah bagian prefrontal korteks. Di sisi lain kognitif individu juga turut berperan di dalam proses terjadinya sensasi emosi. Hal ini terlihat dari cara individu memberikan respon atas terjadinya suatu peristiwa, dimana sebelum individu memberikan respon akan ada proses pemikiran yang terjadi di dalam otak individu untuk memberikan respon yang sesuai. Pada saat individu melakukan meditasi maka tubuh akan mendapatkan informasi dimana informasi tersebut dapat mengubah pandangan dan persepsi individu terhadap suatu hal. Secara umum, individu dapat memandang dan menginterpretasikan sebuah peristiwa tersebut secara positif maupun negatif.

Pada saat melakukan meditasi individu akan berfokus pada satu hal, sehingga hal ini akan mempengaruhi kognitif individu tersebut. Interpretasi yang individu buat atas sebuah peristiwa akan mengkondisikan dan membentuk perubahan fisiologis pada tubuh individu tersebut secara internal,


(56)

sehingga dari hal ini jika individu menilai sebuah peristiwa secara positif maka perubahan fisiologis individu tersebut akan menjadi lebih positif dan sebaliknya.

Secara umum, fisiologi dan kognisi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pengalaman emosi. Kognisi dan fisiologi adalah yin dan yang dari hasrat manusia. Kedua hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain secara terus menerus. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa ada keterkaitan antara fisiologi dan kognisi dalam proses terjadinya sensasi emosi. Dimana keterkaitan tersebut dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dari paparan tersebut dapat dilihat keterkaitan antara kognisi dan fisiologi. Dimana pola keterkaitan tersebut selalu berputar. Selain kognisi mempengaruhi fisiologi, fisiologi pun dapat mempengaruhi kognisi.

Meditasi sendiri dapat mempengaruhi dua faktor dari kestabilan emosi, antara lain: faktor fisik, dan faktor pengalaman. Meditasi dapat mempengaruhi faktor fisik karena pada saat meditasi seluruh aktifitas kognitif akan melemah dan bagian-bagian dari otak yang memiliki aktifitas untuk membawa arus informasi akan melambat. Hal ini mempengaruhi kondisi tubuh sehingga tubuh dapat menjadi lebih rileks, kadar stress berkurang, meringankan rasa cemas dan emosi negatif, dan menurunkan tekanan darah. Hal tersebut berdampak pada kondisi fisik seseorang yang menjadi lebih nyaman dan tentram, sehingga individu dapat lebih tenang dalam menghadapi segala permasalahan dan individu dapat memikirkan jalan keluar yang terbaik tanpa ada unsur kekerasan. Sedangkan pada individu yang tidak melakukan


(57)

kegiatan meditasi mereka akan cenderung merespon segala stimulus yang diterima baik itu berupa respon yang positif maupun respon yang negatif. Hal ini dikarenakan seluruh tubuh individu tersebut tetap beraktifitas seperti biasa tanpa adanya kesempatan untuk memahami dan mencerna sebuah peristiwa. Disamping itu, individu yang tidak melakukan kegiatan meditasi tidak melakukan proses berpikir secara jernih yang dapat membantu seseorang dalam menyeimbangkan emosi yang dirasakan.

Meditasi juga dapat mempengaruhi faktor pengalaman. Hal ini dikarenakan kondisi tenang yang ditimbulkan dari kegiatan meditasi dapat membantu individu untuk menyadari apa yang terjadi pada saat ini, sehingga individu dapat berpikir dengan lebih jernih dan dapat mengekspresikan apa yang ada di dalam dirinya baik itu pendapat, rasa suka maupun rasa tidak suka individu kepada orang lain dengan baik dan dapat diterima di dalam masyarakat luas.

Sedangkan orang dewasa yang tidak mengikuti kegiatan meditasi cenderung memberikan reaksi emosi berdasarkan stimulus karena dipengaruhi oleh faktor emosi. Emosi itu sendiri merupakan reaksi terhadap stimulus yang berasal dari luar Hal ini dikarenakan orang yang tidak mengikuti meditasi tidak mengalami kondisi trance hening yang merupakan tingkat kesadaran tinggi. Sehingga apabila ada stimulus emosi yang terjadi cenderung akan langsung direspon secara situasional. Hal ini bisa disebabkan karena faktor kebiasaan dan faktor tuntutan untuk memberikan respon secara cepat, faktor tersebut mengakibatkan emosi orang tersebut tidak terkendali.


(58)

Selain itu, orang tersebut juga tidak peka dengan kondisi sekitarnya. Sehingga segala bentuk tindakan yang dilihat akan langsug direspon oleh individu. Respon yang dilakukan oleh orang tersebut dapat berupa respon yang baik maupun yang buruk.

Berdasarkan teori emosi yang telah dikemukakan dapat ditarik kesimpulan bahwa kebanyakan orang merespon berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Schachter dan Singer; dan teori yang dikemukakan oleh James-Lange. Dimana teori yang dikemukakan oleh Schachter dan Singer mengatakan bahwa tiap emosi yang dirasakan individu dapat dirasakan dari kondisi dalam tubuhnya dan individu akan memberikan interpretasiya. Maksud dari teori ini adalah setiap tubuh individu telah merasakan adanya emosi baik itu menyenangkan ataupun tidak menyenangkan dan kemudian akan direspon oleh otak dan kemudian akan ditampilkan dalam perilaku sehari-hari. Sedangkan teori yang dikemukakan oleh James-Lange mengatakan bahwa emosi merupakan akibat dari persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi didalam tubuh sebagai respons terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar. Maksud dari teori ini adalah emosi yang dirasakan oleh diri individu merupakan efek dari stimulus dari luar yang diterima oleh individu dan kemudian akan ditampilkan dalam bentuk perilaku di dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari apabia kita sedang menghadapi situasi yang tidak menyenangkan maka secara tidak langsung kita akan


(59)

merespon dengan mengekspresikan perasaan kita dengan marah-marah ataupun dengan menangis yang berlebihan.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan melakukan kegiatan meditasi, kita akan dapat mencapai trance hening, dalam suatu tingkat kesadaran tinggi. Pada keadaan tersebut, kita akan mampu untuk mengontrol emosi, memahami apa yang harus dilakukan, dan menguasai situasi yang ada di dalam diri kita, sehingga dapat dikatakan apabila kita melakukan meditasi kita dapat menstabilkan segala emosi yang ada di dalam diri kita dikarenakan kita menyadari apa yang harus kita lakukan.

E. Hipotesis

Dalam penelitian ini peneliti membuat hipotesis bahwa ada perbedaan tingkat kestabilan emosi pada orang yang mengikuti kegiatan meditasi dan orang yang tidak mengikuti kegiatan meditasi.


(60)

F. Skema Perbedaan Tingkat Kestabilan Emosi pada Orang Dewasa yang Mengikuti Kegiatan Meditasi dan yang Tidak Mengikuti Kegiatan Meditasi

Memiliki tingkat adequasi emosi yang lebih tinggi Memiliki tingkat kematangan emosi yang lebih tinggi

Memiliki tingkat kontrol emosi yang lebih tinggi

Gambar 2

Skema Perbedaan Tingkat Kestabilan Emosi

pada Orang Dewasa yang Mengikuti Kegiatan Meditasi dan yang Tidak Mengikuti Kegiatan Meditasi

Memiliki tingkat adequasi emosi yang lebih rendah Memiliki tingkat kematangan emosi yang lebih rendah Memiliki tingkat kontrol emosi yang lebih rendah Meditasi

Orang Dewasa Yang Mengikuti Kegiatan Meditasi

Orang Dewasa Yang Tidak Mengikuti

Kegiatan Meditasi

Kestabilan Emosi Kestabilan Emosi


(61)

43 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian komparatif. Jenis penelitian komparatif digunakan untuk menyesuaikan sifat dari penelitian ini yaitu sifat perbandingan. Dengan menggunakan penelitian komparatif, peneliti dapat lebih mudah membandingkan tingkat kestabilan emosi pada individu yang mengikuti kegiatan meditasi dengan individu yang tidak mengikuti kegiatan meditasi (Siregar, 2013).

B. Identifikasi Variabel

Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel, yaitu: 1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab atau mempengaruhi variabel lain (Siregar, 2013). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah meditasi mindfulness. Meditasi mindfulness adalah aktifitas yang berkaitan dengan proses menyadari segala kelebihan dan kekurangan yang ada di dalam diri dan di lingkungan sekitar. Dalam penelitian ini, meditasi mindfulness yang menjadi variabel bebas diasumsikan dapat mempengaruhi variabel tergantung.

2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel lain (Siregar, 2013). Variabel tergantung


(62)

dalam penelitian ini adalah kestabilan emosi. Kestabilan emosi adalah keadaan emosi seseorang yang diperlihatkan dengan sikap yang sesuai dengan harapan sosial, tidak berlebih-lebihan dalam mengekspresikan emosi serta bias menyeimbangkan antara kebutuhan fisik dan psikis. Dalam penelitian ini, variabel tergantung diasumsikan dipengaruhi oleh variabel bebas.

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional pada penelitian ini,antara lain: 1. Meditasi Mindfulness

Meditasi mindfulness adalah proses untuk mengamati dan menerima kelebihan dan kekurangan yang ada di dalam diri yang dilakukan dengan cara menarik nafas lalu dihembuskan secara perlahan berulang-ulang sampai tubuh terasa rileks. Keaktifan dalam melakukan kegiatan meditasi ini diukur menggunakan kejujuran subjek pada saat mengisi data di dalam kuesioner.

2. Kestabilan emosi

Kestabilan emosi adalah keadaan emosi seseorang yang diperlihatkan dengan sikap yang sesuai dengan harapan sosial, tidak berlebih-lebihan dalam mengekspresikan emosi. Tingkat kestabilan emosi diukur menggunakan skala kestabilan emosi yang meliputi adequasi emosi, kematangan emosi, dan kontrol emosi. Hasil skor yang diperoleh akan menunjukkan tingkat kestabilan emosi seseorang, dimana semakin tinggi


(63)

hasil skor yang diperoleh individu maka emosi individu tersebut dapat dikatakan semakin stabil.

D. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah individu dewasa yang melakukan kegiatan meditasi dan yang tidak melakukan kegiatan meditasi dengan rentang usia dewasa awal 18-40 tahun dan dewasa madya 40-60 tahun. Peneliti memilih subjek tersebut dikarenakan sesuai dengan tujuan penelitian. Subjek yang melakukan kegiatan meditasi adalah subjek yang menjadi peserta dan mengikuti kegiatan meditasi mindfulness minimal 18 hari setiap bulan selama kurang lebih satu tahun dan di tempat latihan minimal dua kali dalam satu bulan. Subjek yang tidak melakukan meditasi adalah subjek yang tidak menjadi peserta dan tidak mengikuti kegiatan meditasi mindfulness.

Pengambilan subjek sebagai responden dalam penelitian ini dilakukan menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik penetapan responden berdasarkan kriteria-kriteria tertentu (Siregar, 2013).

E. Perolehan Data

Perolehan data dalam peneitian ini dilakukan dengan menyebarkan skala stabilitas emosi yang dibagikan kepada subjek yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 50 orang yang dikelompokkan menjadi dua yaitu 25 orang yang melakukan kegiatan meditasi dan 25 orang yang tidak melakukan kegiatan meditasi.


(64)

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan skala stabilitas emosi, yang disertai beberapa informasi yang diperlukan dari subjek seperti nama/inisial subjek, usia subjek, jenis kelamin, dan keikutsertaan dalam kegiatan meditasi,. Skala stabilitas emosi ini menggunakan metode skala Likert yang terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan negatif (Siregar, 2013).

Pernyataan positif adalah pernyataan yang menunjukkan tingkat kestabilan emosi yang tinggi, sedangkan pernyataan negatif adalah pernyataan yang menunjukkan tingkat kestabilan emosi yang rendah. Pernyataan-pernyataan pada skala dikembangkan dari aspek-aspek kestabilan emosi yang dikemukakan oleh Scheneider. Setiap pernyataan memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Sangat Tidak Setuju (STS), Setuju (S), dan Tidak Setuju (TS). Setiap subjek memberikan satu jawaban dari setiap pernyataan dengan memberikan tanda ().

Pernyataan yang dibuat diseleksi kemudian dipilih. Setelah itu dilakukan analisis item terhadap item terpilih, dimana item yang tidak valid akan gugur dan tidak dipakai dalam penelitian ini.

Aspek-aspek kestabilan emosi yang akan digunakan dalam membuat pernyataan yakni:

1. Adequasi emosi 2. Kematangan emosi 3. Kontrol emosi


(65)

Blue Print skala kestabilan emosi yang digunakan untuk uji coba tampak dalam Tabel 3

Tabel 3

Blue Print Skala Kestabilan Emosi Uji Coba

No. Indikator

Positif Negatif Prosentase Distribusi Jumlah Distribusi Jumlah

1. Adequasi emosi

2, 7, 8, 10, 11, 14, 16, 17, 18, 20

10 1, 3, 4, 5, 6, 9, 12, 13, 15, 19,

10 20

(33,33%)

2. Kematangan emosi

21,22, 23,25, 26, 27,28, 32, 33, 38

10 24,29, 30, 31, 34, 35, 36, 37, 39, 40

10 20

(33,33%)

3. Kontrol emosi

41, 42, 45, 46, 47, 48, 54, 55, 56, 57, 59, 60

12 43, 44, 49, 50, 51, 52,53, 58

8 20

(33,33%)

TOTAL 32 28 60

(100%)

G. Pertanggungjawaban Mutu Skala

Pelaksanaan uji coba skala dilakukan pada akhir bulan November 2015. Peneliti menyebarkan skala kepada subjek yang memenuhi kriteria. Penyebaran skala dilakukan baik secara langsung oleh peneliti maupun dibantu oleh teman-teman yang sebelumnya telah diberikan arahan mengenai kriteria subjek.

Pada tahap uji coba ini peneliti menyebarkan 50 skala. Selanjutya, data yang telah terkumpul dianalisis menggunakan program SPSS versi 16 for Windows.


(66)

1. Validitas

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengujian validitas isi (content validity). Menurut Azwar (2015), validitas isi berkaitan dengan kemampuan suatu instrumen mengukur isi (konsep) yang harus diukur. Validitas isi diselidiki menggunakan analisis rasional atau professional judgement terhadap isi tes. Hal ini dilakukan dengan berkonsultasi kepada ahlinya yaitu dosen pembimbing untuk memeriksa setiap item sebagai dasar dilakukannya seleksi terhadap spesifikasi pernyataan yang ada dan menetapkan pernyataan-pernyataan yang sesuai untuk mengukur aspek yang hendak diukur, atau adanya kesesuaian fungsi masing-masing item dengan fungsi skala secara keseluruhan serta melihat distribusi item pada masing-masing aspek yang akan diukur.

Setelah melakukan uji validitas isi kepada ahlinya, skala pengukuran dapat dikatakan sebagai alat ukur penelitian yang valid. Hal ini menunjukkan bahwa alat ukur memiliki validitas yang baik karena dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran (Azwar, 2015). Dengan kata lain, data diungkapkan secara tepat dan dapat menggambarkan dengan cermat mengenai perbedaan secara mendetail diantara subjek satu dengan subjek lainnya.

2. Seleksi Item

Selain berkonsultasi kepada ahli, peneliti melakukan seleksi item setelah data uji coba terkumpul. Skala yang telah diuji coba kepada sampel subjek diseleksi untuk menguji kualitas item agar mendapatkan item yang


(1)

PERNYATAAN KESEDIAAN

Dengan ini, saya menyatakan bahwa saya bersedia mengisi pernyataan dengan sukarela tanpa tekanan atau paksaan dari pihak tertentu, melainkan untuk membantu terlaksananya penelitian ilmiah ini.

Semua jawaban yang saya berikan, murni dari apa yang saya rasakan dan alami, bukan berdasarkan pandangan ataupun masukan dari orang lain.

Yogyakarta, November 2015


(2)

PETUNJUK PENGERJAAN

Berikut ini terdapat beberapa pernyataan. Bacalah setiap pernyataan dengan cermat dan teliti. Pilihlah jawaban yang sesuai dengan kondisi Bpk./Ibu/Sdr./i dengan memberi tanda centang () pada kotak yang telah disediakan. Adapun pilihan jawaban dari tiap pernyataan, yaitu:

STS : Sangat Tidak Setuju, apabila Bpk./Ibu/Sdr./i sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut.

TS : Tidak Setuju, apabila Bpk./Ibu/Sdr./i tidak setuju dengan pernyataan tersebut

S : Setuju, apabila Bpk./Ibu/Sdr./i setuju dengan pernyataan tersebut

SS : Sangat Setuju, Bpk./Ibu/Sdr./i sangat setuju dengan pernyataan tersebut

Bpk./Ibu/Sdr./i bebas untuk menentukan jawaban yang sesuai dengan diri Bpk./Ibu/Sdr./i dan tidak ada jawaban benar atau salah.

Contoh pengerjaan :

No. Pernyataan Pilihan Jawaban STS TS S SS

1. Setiap permasalahan saya

selesaikan secara spontan


(3)

Nama/ Inisial :

Usia :

Jenis Kelamin :

Keikutsertaan dalam kegiatan meditasi :

No. Pernyataan Pilihan Jawaban STS TS S SS

1. Menjaga kebersihan lingkungan sangat penting bagi saya

2. Ajakan orang lain tidak mudah mempengaruhi saya

3. Kesempatan kerja yang semakin sempit membuat saya berputus asa 4. Sulit bagi saya untuk melihat

keberhasilan orang lain

5. Ketika tidak mampu memenuhi

kebutuhan hidup saya tetap

berusaha untuk mencari jalan keluar

6. Kekecewaan saya ungkapkan

secara jujur kepada orang yang mengecewakan

7. Saya mampu berpegang teguh pada prinsip yang saya pegang


(4)

No. Pernyataan Pilihan Jawaban STS TS S SS

8. Ketidaksukaan pada orang saya tunjukkan dengan memalingkan muka dan meninggalkannya

9. Kekurangan yang saya miliki bukan alasan saya untuk minder

10. Setiap mengalami permasalahan saya selalu pergi mencari hiburan 11. Setiap masalah adalah pelajaran

untuk menjadi yang lebih baik

12. Saya akan mengumpat- umpat ketika dibuat tidak nyaman

13. Saya mampu bertahan dalam

menghadapi permasalahan yang tidak kunjung selesai

14. Saya mampu menerima kelebihan dan kekurangan yang ada di dalam diri saya

15. Saya akan membantu orang

meskipun tidak dalam bentuk materi

16. Ketika mengalami permasalahan saya ingin segera menyelesaikan permasalahan

No. Pernyataan Pilihan Jawaban STS TS S SS

17. Kegagalan adalah media

pembelajaran untuk menjadi lebih baik

18. Perubahan yang terjadi selalu saya perhatikan dan dukung


(5)

TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA

20. Saya akan tetap bertahan meskipun tidak mendapat dukungan

21. Membanting barang adalah cara saya mengungkapkan kemarahan

22. Saya merasa kesulitan untuk

berpikiran positif terhadap masa depan

23. Deadline bukan halangan bagi saya untuk bekerja dengan baik

24. Saya akan marah ketika kelemahan saya menjadi bahan obrolan rekan kerja

25. Saya akan membantu orang yang kesulitan menyeberang jalan

No. Pernyataan Pilihan Jawaban STS TS S SS

26. Kehidupan ini saya rasakan terlalu berat untuk dijalani

27. Saya tidak malu dengan


(6)

Dokumen yang terkait

PERBEDAAN BERPIKIR KRITIS PADA SISWA YANG MENGIKUTI DAN TIDAK MENGIKUTI BIMBINGAN BELAJAR

7 101 2

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN ANTARA ORANG DEWASA YANG MELAKUKAN YOGA DAN TIDAK MELAKUKAN YOGA

2 10 45

PERBEDAAN PEMAHAMAN MORAL ANTARA SISWA YANG MENGIKUTI EKSKUL ROHIS DAN YANG TIDAK MENGIKUTI Perbedaan Pemahaman Moral Antara Siswa Yang Mengikuti Ekskul Rohis dan Yang Tidak Mengikuti Ekskul Rohis.

0 3 17

PERBEDAAN PEMAHAMAN MORAL ANTARA SISWA YANG MENGIKUTI EKSKUL ROHIS DAN YANG TIDAK MENGIKUTI Perbedaan Pemahaman Moral Antara Siswa Yang Mengikuti Ekskul Rohis dan Yang Tidak Mengikuti Ekskul Rohis.

0 3 17

KESEJAHTERAAN SISWA: SUDI KOMPARATIF SISWA YANG MENGIKUTI KEGIATAN TAHFIDZ Kesejahteraan Siswa : Studi Komparatif Siswa Yang Mengikuti Kegiatan Tahfidz Al-Qur’an Dan Siswa Yang Tidak Mengikuti Kegiatan Tahfidz Al-Qur’an.

0 4 17

KESEJAHTERAAN SISWA : STUDI KOMPARATIF SISWA YANG MENGIKUTI KEGIATAN Kesejahteraan Siswa : Studi Komparatif Siswa Yang Mengikuti Kegiatan Tahfidz Al-Qur’an Dan Siswa Yang Tidak Mengikuti Kegiatan Tahfidz Al-Qur’an.

0 2 17

PERBEDAAN STATUS GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN PRESTASI BELAJAR SISWA YANG MENGIKUTI DAN TIDAK MENGIKUTI KEGIATAN Perbedaan Status Gizi, Aktivitas Fisik Dan Prestasi Belajar Siswa Yang Mengikuti Dan Tidak Mengikuti Kegiatan Ekstrakurikuler Di SMA Muhammadiya

0 2 18

PERBEDAAN STATUS GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN PRESTASI BELAJAR SISWA YANG MENGIKUTI DAN TIDAK MENGIKUTI Perbedaan Status Gizi, Aktivitas Fisik Dan Prestasi Belajar Siswa Yang Mengikuti Dan Tidak Mengikuti Kegiatan Ekstrakurikuler Di SMA Muhammadiyah 1 Gubug

0 2 16

PERBEDAAN STATUS INSOMNIA ANTARA ORANG DEWASA YANG MELAKUKAN YOGA DENGAN YANG TIDAK MELAKUKAN YOGA.

0 1 11

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI ANTARA ORANG DEWASA YANG MELAKUKAN YOGA DAN TIDAK DI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 71