BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 276Kpts-II1999 tanggal 7 Mei 1999 kawasan Cagar Alam Pancoran Mas Depok
diubah fungsinya menjadi kawasan Taman Hutan Raya Tahura Pancoran Mas Depok dan dikelola oleh pemerintah pusat, pada waktu itu adalah Departemen
Kehutanan dan Perkebunan yang kemudian pengelolaannya diserahkan kepada Pemda Provinsi Jawa Barat dan selanjutnya diserahkan kepada pemerintah kota
Depok sesuai Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999. Badan Lingkungan Hidup Kota Depok merupakan institusi di bawah Pemerintah Daerah Kota Depok yang
mempunyai tugas dan kewenangan dalam pengelolaan kawasan Tahura Pancoran Mas Depok. Sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 107Menhut-
II2003 bahwa kawasan konservasi yang berfungsi sebagai Tahura pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Provinsi untuk lintas kabupaten,
dan kepada Pemerintah KabupatenKota untuk kawasan Tahura yang berada dalam wilayah satu kabupatenkota. Tahura Pancoran Mas Depok memiliki luas
sebesar + 6 Ha. Setelah dilakukan pengukuran dan penataan batas pada bulan Desember 2009 bahwa luas kawasan Tahura Pancoran Mas Depok adalah 71.559
m
2
. Saat ini potensi yang ada di dalamnya belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Prospek potensi utama yang dapat dikembangkan di kawasan ini
adalah sesuai dengan fungsinya yaitu untuk kegitan wisata, pendidikan, penelitian, dan koleksi tumbuhan baik asli maupun introduksi. Masyarakat memiliki persepsi
terhadap kehadiran Tahura saat ini adalah dengan mengetahui manfaat Tahura sebagai sumber air dan sebagai penyejuk kota Badan Lingkungan Hidup Kota
Depok 2010. Tahura Pancoran Mas Depok sebelumnya merupakan Cagar Alam Pancoran
Mas Depok, yang dulunya merupakan bagian dari tanah milik seorang tuan tanah peranakan Belanda–Perancis eks VOC bernama Cornells Chastelein. Dia dikenal
sebagai saudagar warga negara Belanda yang membuka lahan perkebunan di Depok. Hal ini terjadi pada akhir abad ke 17, Chastelein membelinya dengan
harga 700 ringgit dan status tanah ini adalah tanah partikelir atau terlepas dari kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Setelah Chastelein meninggal pada
tanggal 28 Juni 1714 tanah tersebut dihibahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, selanjutnya kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam
berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 7 tanggal 13 Mei 1926 Staat Blad No. 245. Kawasan ini merupakan kawasan cagar alam
pertama yang ditetapkan dan kemudian menjadi cikal bakal ditunjuknya kawasan cagar alam yang lain. Pada tanggal 4 Agustus 1952 pemerintah Indonesia
memberikan ganti rugi sebesar Rp 229.261,26 sehingga seluruh tanah partikelir Depok menjadi hak milik pemerintah Indonesia kecuali hak-hak eigendom dan
beberapa bangunan seperti Gereja, Sekolah, Pastoran, Balai Pertemuan, dan Pemakaman seluas 0,8621 Ha. Sejak itu pula kawasan Cagar Alam Pancoran Mas
Depok dikelola oleh Pemerintah Indonesia. Awalnya pengawasan Cagar Alam Pancoran Mas Depok berada di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Bogor. Adanya perubahan ketentuan membuat pengelolaan Cagar Alam Pancoran Mas Depok berpindah dan dilimpahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam
DKI Jakarta. Beberapa tahun kemudian pengelolaan diserahkan kepada Pemda Tingkat I Jawa Barat dan selanjutnya diserahkan kepada pemerintah Kabupaten
Bogor yang kemudian diserahkan lagi kepada Pemda DKI Jakarta Badan Lingkungan Hidup Kota Depok 2010.
Cagar Alam memiliki luas sebesar + 6 Ha. Salah satu hal yang nampaknya kawasan ini seolah-olah tidak terkelola adalah status awalnya yang merupakan
fungsi cagar alam. Cagar alam adalah kawasan konservasi yang mempunyai tingkat yang paling tinggi untuk tidak dijamah, sehingga kesan tersebut masih
tersirat hingga kini. Padahal saat ini fungsinya telah diubah menjadi Tahura, dimana kawasan ini bisa digunakan untuk kepentingan wisata sesuai pembagian
blok pengelolaannya Badan Lingkungan Hidup Kota Depok 2010.
1.2 Rumusan Masalah