Mural dan Apotik Komik
melalui jalur formal, yaitu galleri.
5
Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa ruang pamer bukanlah satu-satunya tempat untuk memamerkan karya, melainkan bisa
berpameran di mana saja. Pada tahun 2002, Apotik Komik mengajukan proposal kerja sama kepada Pemkot
Dati II Yogyakarta untuk menghias dan memperindah kota melalui sebuah projek mural. Dalam projek ini, mereka akan menghias sejumlah tembok kota di beberapa kawasan
penting dengan mural, yang bertujuan untuk menghilangkan, mencegah, dan mengurangi corat-coret grafiti yang dianggap belum terlihat mempunyai kualitas visual dan tulisan
yang menarik. Adapun hal yang melatarbelakangi dicetuskannya projek tersebut adalah kegelisahan para seniman Apotik Komik melihat wajah kota yang tampak kumuh karena
berhias corat-coret liar.
6
Gambar 21. Projek mural Sama-sama oleh Nano Warsono, 2002.
Lokasi: jembatan layang Lempuyangan. Foto : Dok. Yayasan Seni Cemeti
5
Ibid. p.82
6
Lih. tulisan dari redaksi pada Tabloid Dipublik, 12 November 2002, diterbitkan oleh Apotik Komik pada Proyek Mural Kota Sama-sama.
Pihak Pemda yang sudah lama merasa gerah dengan merebaknya grafiti, yang dalam bahasa mereka disebut tindakan vandalis karena mengotori dan mengganggu tampilan kota
Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kota pariwisata, langsung menyambut baik proposal Apotik Komik itu. Mereka percaya bahwa kehadiran mural mampu mengatasi vandalisme
grafiti; hal yang sama juga banyak dipercaya masyarakat. Kepercayaan itu terlihat dari sejumlah opini yang ditulis di beberapa harian lokal.
7
Perkembangan mural di Yogyakarta sepanjang tahun 2003-2004 semakin pesat, tidak heran kemudian predikat kota Yogyakarta bertambah satu lagi, yaitu kota mural—julukan
yang diberi oleh para pekerja seni rupa, kalangan pers dan sebagian masyarakat umum. Sayangnya, oleh masyarakat umum, projek mural yang telah banyak dilakukan di kota
Yogyakarta hingga saat ini dilihat tidak lebih dari sekedar projek untuk memperindah dan menjaga kebersihan kota semata. Padahal kenyataannya tidak demikian. Projek mural
tersebut mendapatkan pemaknaan dalam wilayah retorika pemerintah daerah. Mural yang seharusnya tidak hanya menjadi seni dekoratif untuk kepentingan menghias dan menjaga
kebersihan kota mengalami penurunan derajat, menjadi sekedar dekorasi pelengkap tampilan atau performance kota. Secara politis dapat dikatakan bahwa para pekerja seni
jalanan—sadar atau tidak—telah difasilitasi, diadopsi dan dibuat sedemikian rupa hingga terjebak ke dalam permainan politik demi kepentingan program pemerintah daerah yang
sudah dan sedang dijalankan; menjaga citra pembangunan, penataan tata kota, menjaga kebersihan kota.
7
- Opini M. Aulia Rahman Kedaulatan Rakyat edisi 18 November 2003, halaman 10. - Opini Sri Wintala Achmad Minggu Pagi edisi 17 November 2002, halaman 11.
Menanggapi persoalan ini, Mahatmanto, seorang praktisi arsitektur tata ruang kota, memandang bahwa idealnya mural sebagai projek puitisasi ruang.
8
Kalaupun mural tidak berhasil memerankan fungsi sebagai puitisasi ruang dengan tujuan menciptakan kesan
pelebaran dan perluasan ruang— sehingga lebih dari sekedar batas-batas pengertian fisik yang sempit mengurung—dan hanya merupakan suatu usaha menggambari atau melukisi
tembok-tembok kosong demi menjaga kebersihan dan memperindah hasil pembangunan agar tidak dikotori grafiti, maka projek mural menjadi tidak signifikan kegunaannya.
Adapun yang sesungguhnya terjadi adalah kecenderungan mural dipandang sebagai aktivitas mengambar atau melukis pada dinding kosong kota semata—agar tidak dipenuhi
coretan grafiti—dan sebagai pengimbang menjamurnya iklan yang dipasang sembarangan pada tembok.
Celakanya, menurut pengakuan salah seorang inisiator projek mural Yogyakarta, Samuel Indratma, salah satu latar belakang pemikiran yang mendasari munculnya ide
projek mural tersebut adalah karena “...merasa prihatin dengan kondisi Yogyakarta. Sebagai kota pelajar dan mahasiswa dengan segala predikatnya, dan kota seni dan budaya,
mengapa wajah Yogyakarta kotor dan tidak artistik sama sekali karena adanya corat- coret?”.
9
Corat-coret yang dimaksud Samuel ialah tulisan teks-teks yang tidak jelas maksudnya.
10
Dengan demikian, projek mural di Yogyakarta dapat dipahami hanya sebagai—tidak lebih dan tidak kurang—solusi terhadap kenyataan agar tembok tidak dicorat-coreti grafiti
dan atau usaha untuk menjaga kebersihan dan keindahan tembok-tembok kota. Pernyataan Samuel ini mendapatkan dukungan dari sebagian besar masyarakat awam non pekerja seni.
8
Pembahasan Mahatmanto, Harian Bernas, 18 Maret 2003, hal. 4.
9
Samuel Indratma, Masalah Kita Interaksi Dewan-Rakyat-Pakar-Birokrat, rubrik Masalah Kita, Harian Kedaulatan Rakyat, 22 Juli 2003 dan Harian Kedaulatan Rakyat 5 Februari 2003.
10
Wawancara Samuel Indratma oleh Dwi Rahmanto IVAA. Wawancara dilakukan tanggal 11 Juni 2006,
Rata-rata masyarakat, dosen seni rupa, birokrat, kalangan pers dan jurnalis memahami bahwa projek mural hanyalah usaha untuk melawan aksi para vandalis yang semakin
sering “mengotori kebersihan dan keindahan kota Yogyakarta”.
11
Gambar 22. Seorang pembuat mural sedang
memblok tembok yang sebelumnya berisi grafiti politik. Lokasi: Jl. Perwakilan, Yogyakarta
Foto diambil dari: Dipublik, tabloid projek mural ”Sama-sama”, 12 November 2002
Pada kenyataannya, jika karya mural yang banyak dipajang di tembok-tembok kota Yogyakarta dibandingkan dengan grafiti atau corat-coret berbentuk stensil maka akan
terlihat bahwa beberapa grafiti yang ada mengandung pesan yang bersifat politis; seruan penolakan terhadap kenaikan harga dasar BBM, Bank Dunia, IMF dan WTO, serta
kampanye anti eksploitasi kapitalisme dan perdagangan bebas, atau kampanye lainnya. Di sini jelas terlihat bahwa kecenderungan pesan atau tema yang diangkat grafiti lebih lugas
dan tegas daripada mural. Namun begitu tidak dapat dipungkiri bahwa ada pula grafiti
11
Pendapat sejumlah masyarakat di rubrik yang sama di harian yang sama: - Ny Anie Muqodis, Harian Kedaulatan Rakyat, 23 Juli 2003.
- Dr Agus Burhan MHum, Harian Kedaulatan Rakyat, 23 Juli 2003. - C. Puspitasari, Mahasiswa UGM, Harian Kedaulatan Rakyat, 21 Juli 2003
- Dra. Noor S. Rahmani MSc, Psikolog, Harian Kedaulatan Rakyat, 21 Juli 2003.
yang tidak membawa pesan sosial apapun, selain hanya layak dipandang sebagai kerja produksi seni rupa yang lebih mementingkan estetika dan artistik grafiti. Hampir mirip
dengan grafiti, pesan yang disampaikan oleh beberapa karya stensil juga terkesan lebih lugas dan jelas daripada mural; disampaikan dengan bahasa visual yang mudah dicerna
oleh kalangan awam.