Privat-nya Ruang Publik MEREBUT JALANAN SENI DI INDONESIA

sebagai keinginan untuk mencapai “khalayak” yang sifatnya serupa sebuah horizon yang utopis; bila didekati selalu menjauh, tidak pernah tercapai. Secara umum, ruang publik adalah tempat pertemuan semua orang. Secara khusus, ruang publik adalah dialog antara arsitektur dan seni rupa pada proses penciptaannya; dalam menafsirkan masyarakat dan meminta perhatian mereka atas kualitas urbanitas dan seni budaya. Para pekerja seni jalanan yang menampilkan karyanya di tempat umum atau di ruang kota yang terbuka menyadari bahwa mereka memasuki wilayah publik yang juga wilayah penciptaan disiplin ilmu yang lain arsitektur, serta persoalan masyarakat setempat. Namun begitu, karya yang dibuat di ruang publik tentunya tidak bisa begitu saja terlepas dari inspirasi dan tujuan egoistik para pelakunya. Adanya kenyataan berupa tuntutan dari kalangan awam dan seniman pada pemerintah, tentang perlunya regulasi Pemda untuk mengatur tata cara memproduksi seni rupa di ruang publik dan aturan hukum untuk melindungi karya mural di jalanan, bagaimana pun juga tetap mengandung unsur negatif. Unsur negatif itu bisa berupa usaha sterilisasi pesan mural yang bermuatan politis dan kebebasan, demi alasan norma sosial, etika dan moralitas. Di sisi lain, regulasi tersebut juga akan bermakna negatif karena memungkinkan adanya sterilisasi terhadap pelaku seni; yang boleh memproduksi seni di jalanan hanyalah para pekerja seni. Sebagai dampak sterilisasi ini adalah terciptanya kesan mengekslusifkan para pekerja seni. Masyarakat awam pembuat grafiti tidak diberi peluang, atau dihambat, untuk mengekspresikan ide-ide seni dan kreativitas mereka dalam sebuah ruang. Posisi mural yang ditempatkan sebagai solusi untuk mengurangi coret-coret di jalanan Yogyakarta, seperti yang banyak diwacanakan oleh media cetak, telah memunculkan kesan bahwa seni grafiti membawa pengaruh buruk bagi tampilan wajah kota yang sedang membangun kesan bersih, rapi dan tertata ini. Maka tidak mengherankan jika dalam setiap aksinya, kelompok grafiti kerap berurusan dengan Satpol Pamong Praja atau pihak Kepolisian. Sebuah kenyataan yang justru dianggap sebagai tantangan oleh para pembuat grafiti, dan memicu perkembangan grafiti yang terus meningkat sejak tahun 2000-an; seiring kecanggihan teknologi yang memberikan kemudahan mengakses referensi dan berinteraksi dengan komunitas sejenis lewat media internet. Hal ini berakibat visual yang dihadirkan oleh para pembuat grafiti semakin artistik pula; tidak lagi berupa coretan liar nama sekolah, nama kelompok, atau kata-kata yang tidak bermakna. Berbeda dengan mural yang proses pengerjaannya lebih lama, seni grafiti maupun stensil bisa diselesaikan dalam waktu yang cukup singkat. Lamanya proses pengerjaan itu menyebabkan seniman mural mau tidak mau harus berkompromi dengan pihak pemegang otoritas. Selain itu, seni mural juga menuntut adanya relasi sosial antara seni itu sendiri dengan kondisi masyarakat sekitar. 15 Sifat mural yang penuh ketelitian dalam pengerjaan memunculkan kesan sempurna, yang berbeda dari kesan yang dihasilkan grafiti atau bentuk street art lainnya. Namun terlepas dari semua itu, Pemda Kodya Yogyakarta tampaknya tidak terlalu mempersoalkan apakah karya seni yang menghias tembok dan sisi jalan di ruang publik itu mural atau grafiti. Yang penting bagi pemerintah adalah hasil karya tersebut tidak bertentangan dengan program pembangunan yang sedang mereka jalankan dan yang pasti dapat memperindah tampilan kota.

E. Jalanan Potret Imajinasi demokrasi Indonesia

Visual seni jalanan yang biasanya berupa teks inisialtag sangat sulit dimengerti maksudnya, karena biasanya teks yang tertulis sering berupa rangkaian huruf dan bukan 15 ibid merupakan kata. Huruf-huruf yang dirangkai sedemikian rupa dengan menggunakan banyak warna ini biasanyanya dibuat malam hari ketika jalanan telah sepi. Menurut keterangan Suratno 30 tahun pedagang angkringan di sisi timur Jl. Gejayan dekat Bank Niaga, tepat di seberang jalan tempat ia berjualan, ada grafiti di rolling door sebuah dealer motor, yang bertuliskan YORC, dibuat dengan perpaduan warna hitam, putih dan biru. Ia mengaku tau, saat tulisan itu dibuat. Kira-kira pukul 00.00 oleh beberapa anak muda yang bersepeda BMX. Ia mengganggap sekumpulan anak muda itu adalah anggota gank. Kalau yang biasa, cukup menulis QZR, JXZ atau RGZ dengan satu warna, tetapi yang membuat YORC itu rada nyeni, begitu katanya. Warna dan jenis huruf yang dipakai beragam, dan juga gaya pakaian yang dikenakan sejumlah anak muda itu rada nyeleneh. “Ada yang beli es teh di sini, anting-anting yang dipakai besar dan memakai topi mirip pelukis” kata pedagang angkring itu. Saat ditanya kesannya pada grafiti itu, ia malah balik bertanya, “Piye yo?” Ia menambahkan, “Mungkin kalau si pemilik dealer tau, bisa marah. Lha rolling door-nya dicorat-coret”. Saat ia diminta membayangkan kalau saja ia yang jadi pemilik dealer, ia bilang begini, “Aku minta mereka menggambar yang bagus sekalian”. 16 Sedangkan Dian 21 tahun mahasiswi, yang sesekali berkunjung ke diskotik atau kafe dan menggemari musik jenis techno, yang biasa disebut juga etnic rhythm dan hip hop, agak kebingungan saat ditanya bagaimana kesannya terhadap grafiti yang pernah dilihatnya. Ia bilang lupa dan tidak pernah melihat grafiti dengan jeli, hanya sepintas. Pendapatnya: “...kan aku mesti konsentrasi memperhatikan jalan, rambu lalu lintas dan kendaraan-kendaraan yang lain. Kalau aku memperhatikan grafiti, bisa-bisa aku nabrak orang”. Ia menambahkan, tak merasa perlu memperhatikan sejumlah grafiti di ruas-ruas 16 Wawancara dilakukan pada tanggal 20 November di Yogyakarta. jalan yang ia lewati. 17 Menurutnya seni jalanan yang berkembang akhir-akhir ini kemudian hanya dapat dimengerti oleh masyarakat yang terlibat di dalamnya karena orang awam tidak terlalu mengerti maksud dari seni jalanan itu. Suratno tentu berbeda dengan Dian, Suratno yang tidak berkendaraan tentunya akan bisa lebih lama memandang sebuah karya seni jalanan dibanding dengan Dian yang berkendaraan mobil. Bagi pelaku pembuat seni jalanan tentunya mempunyai bayangan karyanya akan dilihat orang, bisa dari dalam mobil yang ber “AC” atau siapapun berkendaraan atau tidak untuk melihat karyanya. Seharusnya prinsip-prinsip kepublikan harus dijadikan pertimbangan sewaktu membuat karya seni jalanan, karena seni jalanan mengambil ruang publik tembok jalanan dan agar juga mudah dimengerti maksudnya. Ruang publik secara umum dapat diartikan sebagai sebuah ruang tempat pertemuan semua orang yang tidak dimiliki oleh siapapun, bersifat terbuka, sekuler dan non partisan. Ketika berada di ruang publik, seseorang senantiasa sadar bahwa dia harus membatasi atau menyesuaikan diri dengan sifat ruang publik yang dimasuki. 18 Ruang publik umumnya berbentuk taman, alun-alun town square, jalanan dan tempat-tempat yang dapat dikunjungi secara bebas tanpa batas waktu, tanpa ijin, dan tidak mengeluarkan biaya. Ruang publik adalah bagian penting dari kota, sebab di tempat ini masyarakat saling bertemu dan berinteraksi, sekaligus merupakan simbol yang bisa digunakan untuk memahami kota beserta budayanya. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa ruang publik merupakan persepsi kolektif dan imajinasi masyarakat, yaitu tempat dimana mereka bisa berkumpul, berjalan-jalan, berkendaraan, ataupun berolahraga. Di tempat itu masyarakat bertemu, saling sapa, berinteraksi dan berpartisipasi dalam kehidupan keseharian komunal yang kemudian disebut kota. Pembangunan atau pemekaran kota tanpa 17 Wawancara dilakukan pada tanggal 20 November di Yogyakarta. 18 Marco Kusumawijaya. 2000, Ruang publik: dialog antara arsitektur dengan seni rupa, http:www.karbonjournal.org?p=59language=id diakses 14 April 2007.