Respon Pemerintah MEREBUT JALANAN SENI DI INDONESIA
bagian dari acara Jakrt yang dipelopori oleh Institut Kesenian Jakarta, dan sudah mengantongi ijin penyelenggaraan acara.
10
Persoalan penghapusan mural oleh Pemerintah DKI Jakarta menimbulkan perdebatan. Banyak yang menilai pemerintah seharusnya lebih luwes dan mencoba belajar
dari apa yang berkembang di masyarakat. Namun tindakan Pemerintah DKI Jakarta itu ternyata tidak bisa mencegah munculnya kembali mural dan grafiti di jalanan kota Jakarta,
yang dilakukan para pelakunya dengan cara sembunyi-sembunyi. Jika ditinjau lebih jauh, kesan kotor pada tampilan wajah kota sebetulnya bukan
hanya karena keberadaan grafiti atau mural semata, tetapi juga penempatan iklan besar billboard, poster, brosur yang sembarangan. Terlebih mendekati musim Pemilihan
Umum Pemilu atau pemilihan yang bersifat daerah Pilkada, maka spanduk, tempelan poster atau atribut partai pun bermunculan di mana-mana menambah kesan kumuh kota.
Pada tahun 2004, berawal dari perang poster antara perusahaan periklanan dan partai politik di sejumlah dinding fondasi jembatan layang, Pemerintah DKI Jakarta yang merasa
gerah karena persoalan itu akhirnya angkat bicara. Sebagai langkah lanjutan yang tampaknya berasal dari hasil pembelajaran pemerintah terhadap persoalan di tahun 2001,
Gubernur Pemerintah DKI Jakarta, Sutiyoso menegaskan bahwa dinding fondasi jembatan layang sebaiknya dihiasi mural saja., dengan syarat pemilihan gambar harus tidak
menimbulkan kesan “kotor” tema bukan kritik sosial. ”Saya memberikan kesempatan kepada seniman-seniman untuk memperindah kota ini dengan aneka lukisan. Tetapi,
gambarnya harus bersifat mendidik,” ujar Sutiyoso. Mendidik yang dimaksud adalah, ”Gambar yang bernuansa flora dan fauna.”
11
10
Lebih lanjut dijelaskan, acara itu adalah acara seni urban yang diadakan secara berkala tahunan yang dipelopori oleh IKJ. Karya-karya yang ditampilkan merupakan watak dari seniman urban Jakarta pada
umumnya.Agung Puspito, Mengenal Aksi Seniman Urban, http:www.art-ysri.or.idsenirupa.asp?xy=20
11
Kompas Cyber Media, 8 April 2004.
Agaknya kebijakan Pemerintah DKI Jakarta ini memberikan pelajaran bagi pemerintah kota Pemkot Yogyakarta yang mempunyai persoalan kota yang hampir sama.
Pemkot Yogyakarta melihat kotornya tampilan kota adalah akibat dari banyaknya grafiti, untuk itu dipandang perlu untuk melibatkan semua elemen masyarakat untuk
menyelesaikan persoalan itu. Pemkot Yogyakarta kemudian tertarik melihat perkembangan mural di Yogyakarta dan menganggap mural dapat menekan
perkembangan grafiti yang dianggap kegiatan liar. Pembuatan mural di Yogyakarta sebelum tahun 2002 masih sebatas gerakan sporadis
beberapa seniman maupun kelompok seniman. Barulah pada tahun 2002–2003, pembuatan mural berkembang semakin pesat melebihi kota lainnya di Indonesia; tepatnya setelah
Apotik Komik membuat projek mural kota. Projek mural kota ini menginspirasi masyarakat untuk ikut membuat mural dengan mengadakan lomba, sehingga terciptalah
“fenomena mural” yang menjadikan tembok-tembok kota Yogyakarta dipenuhi lukisan dinding.
Melalui lomba tersebut pemerintah berharap dapat menumbuhkan minat warga terhadap karya seni dan meningkatkan kesadaran mereka terhadap pentingnya arti menjaga
keindahan dan kebersihan lingkungan. Kegiatan semacam itu juga diharapkan dapat menjadi sarana untuk menyalurkan hobi seni lukis dan grafiti masyarakat setempat,
sekaligus dapat mengurangi aksi corat-coret liar di dinding ruang publik.
12
Walikota Yogyakarta H. Herry Zudianto mengatakan bahwa kehidupan kota Yogyakarta yang kental dengan nuansa seni budaya telah memposisikan seni sedemikian
rupa sehingga seolah-olah telah menjadi nafas bagi seluruh warga kota. Berkesenian bukan lagi aktivitas eksklusif yang dimiliki kalangan seniman profesional, tetapi merupakan hak
12
Mural bagi Keindahan Kota, http:upik.jogja.go.idnewsindex.cfm, diakses 12 September, 2006
seluruh individu. Karenanya, setiap individu dapat mengekspresikan ide, gagasan dan perasaannya melalui ragam bentuk seni, diantaranya seni lukis, termasuk mural,
13
namun pada kenyataannya walaupun mural dipandang mampu memberikan ruang alternatif untuk
mengaktualisasikan ide seni oleh siapapun dapat menjadi kontraproduktif bagi keindahan tampilan kota semula positif berubah menjadi negatif, jika mural yang dibuat tidak
terkonsep dan pembuatnya tidak menguasai teknik melukis dengan baik.
Gambar 30. Iklan di barisan mural.
Lokasi: Kotabaru, Yogyakarta. Foto: Dok. penulis, 2008
Sementara itu di lain pihak, perusahaan biro iklan yang menyadari bahwa ruang publik sudah kembali ke masyarakat terpaksa harus mencari jalan untuk memasarkan
produknya di ruang yang sama. Dengan pintar, biro iklan kemudian mencoba memanfaatkan mural dan fenomena yang sedang merebak itu. Maka muncullah mural
jenis baru, yaitu mural iklan. Selain beriklan lewat muralnya sendiri, tidak jarang beberapa biro iklan menempatkan diri sebagai sponsor dalam projek pembuatan mural masyarakat,
dan meminta agar produknya dijadikan bagian dari mural. Menurut data yang dikumpulkan Samuel Indratma, penggagas mural di Yogyakarta
sekaligus seniman Apotik Komik, telah lebih dari lima ratus karya mural yang dihasilkan
13
Dalam sambutan tertulis Walikota Yogyakarta, H.Herry Zudianto, yang dibacakan Drs M. Sudibyo, Kabid Seni-Budaya. Dinparsenibud Kota Yogyakarta, pada pembukaan lomba mural yang diadakan oleh
masyarakat RT.03-04, RW 01, Kelurahan Ngampilan, pada hari Minggu, 10 September. Lomba tersebut mengambil lokasi di dinding Kantor Pertanian dan Kehewanan Kota Yogyakarta.
masyarakat Yogyakarta. Hal tersebut mengindikasikan adanya usaha untuk menjauhkan masyarakat dari penyakit sosial, selain juga sebagai usaha yang bagus untuk mengajak
berbagai lapisan masyarakat, mulai dari yang muda hingga tua, untuk bersama-sama menciptakan kondisi kota yang bersih dan indah.
14
Pemkot Yogyakarta mendukung projek mural kota Yogyakarta karena motif yang mendasari projek mural Yogyakarta, yaitu untuk menjaga kebersihan dan keindahan kota
dari aksi grafiti yang dianggap mengotori dan mengancam tampilan wajah kota, sejalan dengan kebijakan pembangunan Pemkot Yogyakarta; menjaga kebersihan, keindahan dan
citra pembangunan. Selain itu, kebanyakan tema atau pesan yang diusung tidak berbentuk kritik sosial, bahkan terkesan sangat meminamalisir atau bahkan menjauhi isi pesan
semacam itu isu atau kritik sosial. Mural kota Yogyakarta pada tahun 2002-2003 memang terbukti berhasil menekan
perkembangan grafiti, tetapi tidak lama kemudian grafiti yang berkembang menjadi seni jalanan street art bermunculan kembali, bahkan dengan visual dan warna-warna yang
lebih menarik. Respon pemerintah terhadap seni jalanan dengan berbagai cara untuk menghentikan agaknya tidak berhasil.