Perang Gerilya Tanda MEREBUT JALANAN SENI DI INDONESIA

Gerakan mural di Yogyakarta memberikan inspirasi bagi para pengusaha dan beberapa organisasipartai politik untuk turut memanfaatkannya. Dari keterangan Samuel bahwa ada ratusan mural di kota Yogyakarta, tentunya dalam menciptakannya membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit. Keterlibatan perusahaan-perusahaan yang turut ambil bagian dalam gerakan mural Yogyakarta ini sangat membantu dalam hal pendanaannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gerakan mural Yogyakarta memberikan keuntungan terhadap banyak kalangan Seniman, pemerintah, pihak swasta dan masyarakat yang terlibat. Iklan berbentuk mural pun kian menjamur dan menghias tembok-tembok kota hingga dinding kolong jembatan layang. Terhitung cukup banyak perusahaan yang mau menjadi sponsor dalam pembuatan mural yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi tentu saja disertai syarat. Syaratnya adalah perusahaan tersebut meminta logo perusahaan atau gambar produk mereka dijadikan bagian dari mural. Sebagai contoh, mural yang ada di tembok depan SMA “17” I Bumijo atau iklan pada mural di tembok stadion Kridasono-Kota Baru, yang kemudian tercatat dalam rekor MURI sebagai Iklan Terpanjang. Gambar 27. Mural iklan produk tabungan sebuah bank yang dibuat tahun 2004. Lokasi: depan SMA “17” 1 Bumijo, Yogyakarta, Foto: Dok. penulis, 2007 Munculnya mural iklan di Yogyakarta membuat suasana jalan semakin ramai dengan beragam tampilan visual. Kota pun terkesan penuh tanpa ruang kosong. Terlebih lagi ketika billboard iklan semakin banyak terpasang di hampir setiap sudut perempatan dan batas kota, bahkan terkadang membelah jalan. Hal ini mengindikasikan ketatnya persaingan antara perusahaan periklanan, baik menyangkut pemilihan tempat, variasi bentuk iklan, hingga teknik pembuatannya. Di saat seperti itulah keberadaan mural ternyata dianggap sebagai salah satu pilihan yang patut dicoba. Di dalam dunia ekonomi, iklan sering diartikan sebagai ujung tombak industri kapitalisme tetapi juga tidak dipungkiri, iklan mampu memberikan kontribusi pemasukan yang cukup besar bagi pemerintah kota Yogyakarta, industri periklanan itu sendiri, bahkan masyarakat misalnya pengadaan gerobak rokok atau biaya sewa tembok. Diterimanya keberadaan iklan oleh masyarakat dapat juga dilihat sebagai ciri dari kehidupan masyarakatnya. Mungkin saja persoalan mural iklan yang menggantikan mural seni dipandang sebagai masuknya “budaya global” yang merupakan dampak dari globalisasi ekonomi yang memberi pengaruh besar pada budaya—artinya, budaya global sebagai konsekuensi dari aktivitas ekonomi. Ekspresi budaya kemudian dibentuk berdasarkan landasan paradigma ekonomi, sehingga menciptakan sejumlah kategori baru di bidang budaya, yaitu kebudayaan yang diorganisir dan dibangun atas dasar prinsip industri kapitalisme yang mendudukkan kebudayaan sebagai komponen komoditi. Hal ini mendorong semakin majunya budaya konsumerisme di kehidupan masyarakat. Selain meramaikan dunia periklanan, banyak pula mural yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang sarat muatan politis. Misalnya, mural yang wajib digambar oleh para peserta dalam suatu lomba mural dengan tema yang ditentukan oleh panitia penyelenggara. Tema-tema yang wajib digunakan oleh peserta telah ditentukan sedemikian rupa sehingga mural yang dihasilkan dapat menciptakan keseragaman, baik nuansa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI maupun makna dari mural tersebut secara keseluruhan. 1 Mural yang identik dengan gambar berukuran besar, yang pada masa Orde Baru pernah dikembangkan oleh Pemerintah dalam bentuk gambar besar yang biasa disebut baliho. Baliho tersebut berisi kampanye program-program kerja pemerintah yang sengaja disebarluaskan ke masyarakat. Gambar 28. Mural PAN. Sketsa rancangan Ismail. Visualiser Eko S Widodo. Foto: Dok. pribadi, 2004 Keberadaan mural juga mewarnai masa kampanye Pemilu. Beberapa Partai Politik Parpol mengembangkan mural sebagai sarana untuk menyampaikan pesan politik atau mengenalkan calon pemimpin yang dijagokan. Untuk mural jenis ini biaya pembuatan biasanya berasal dari Parpol, meski ada pula mural yang dibuat atas inisiatif warga sendiri, seperti yang terjadi di beberapa tempat di Yogyakarta. 2 Di mata seorang perupa bernama Eko S Widodo, kampanye adalah peluang bisnis yang bagus. Menurutnya, dahulu parpol hanya mengandalkan percetakan untuk membuat media kampanye. Namun kini para seniman mural mulai bisa ikut merasakan panen rejeki 1 Banyak kampung di Yogyakarta, pada perayaan 17 Agustus 2003-2004, membuat even lomba mural dengan tema yang ditentukan. Hal ini dianggap biasa oleh sebagian masyarakat. 2 Wawancara dengan Agus Botol 30 tahun warga Gampingan, “Gambar mural Megawati di Pasar Serangan adalah inisiatif warga dengan biaya sendiri.” lewat kampanye. Berkampanye lewat mural atau lukisan dinding dianggap sebagai strategi kampanye model baru, yang dianggap bisa menarik perhatian publik lebih banyak. Bagi Eko, demi membiayai hidup keluarga, dia tidak terlalu peduli dengan perkembangan seni rupa ataupun tafsiran orang yang menganggap rendah pekerjaannya itu. 3 Masyarakat sudah menerima keberadaan mural tanpa merasa perlu mempermasalahkan isi pesan yang dikandungnya—apakah mural seni, propaganda atau mural iklan. Mereka lebih melihat mural sebagai ornamen atau hiasan tembok semata. Namun jika ditinjau lebih jauh, maka akan terlihat campur tangan kapitalisme dalam persoalan ini. Kapitalisme dengan kekuatan maha dahsyat yang mampu mencairkan segala sesuatu yang menghalanginya; dalam hal ini adalah kebebasan yang mengalir ke segala arah yang kemudian secara parsial memenuhi kehendak lewat berbagai bentuk produk dan pencitraan tanda—meski hanya bersifat sementara. Persoalan tersebut dapat pula dilihat sebagai ajang “perang gerilya tanda” antara sejumlah kepentingan yang dilakukan melalui cara saling berebut tanda dan memberi makna. Inilah gambaran dari dunia konsumerisme, sebagai produk kapitalisme global yang menawarkan sebuah ruang dimana tanda, makna dan citra dapat mengalir bebas seiring mengalirnya kebebasan kapital dan komoditi. Salah satu gejala dari era kapitalisme yang jelas terlihat lewat bentuk visual iklan dan karya seni yang semakin sulit dibedakan, baik dari segi estetis atau teknik pembuatannya. Penentuan tema biasanya oleh kelurahan, kecamatan yang dibuat pada saat lomba mural yang kerap dilakukan menjelang hari Kemerdekaan Republik Indonesia di kampung-kampung Yogyakarta menandakan adanya fenomena hubungan kekuasaan 3 Wawancara dengan Eko S Widodo 33 tahun, seniman lulusan FSR ISI Yogyakarta, pada tanggal 12 Maret 2004. pemerintah yang diterima begitu saja oleh masyarakat, dalam hal ini kampanye program pemerintah yang dijadikan tema mural.

B. Konteks Politik Kemunculan Seni Jalanan

Sejumlah kalangan mendeskripsikan seni jalanan sebagai bagian dari perkembangan seni rupa kontemporer yang mencoba membongkar batasan-batasan mapan seni rupa. Selama ini, seni rupa identik dengan karya di atas kanvas dan hanya dipamerkan di ruang-ruang galeri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seni jalanan telah menyodorkan konvensi, pemahaman-pemahaman baru, metode dan perlengkapan teknis berkesenirupaan lainnya, pilihan alternatif media, model penghadiran seni rupa di ruang publik. Seni jalanan dapat pula ditafsirkan sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap seni modern yang sudah diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi secara kapitalistis. Ketika seni rupa sudah masuk ke dalam sistem pasar masyarakat kapitalis, maka karya seni rupa akan diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi sesuai budaya dominan yang ada di masyarakat tersebut kapitalisme. Karya seni akan menjadi komoditi serupa barang hasil produksi manufaktur lainnya, yang diproduksi oleh produsen para pekerja seni rupa demi tujuan produksi kapitalis. Dengan menggunakan ide-ide individual si pekerja seni, karya seni rupa tercipta semata untuk memenuhi hukum ekonomi; kebutuhan, permintaan dan penawaran terhadap beragam jenis komoditi seni rupa yang sesuai tren di pasaran seni rupa. Karya seni rupa hanya menjadi salah satu dari sejumlah besar komoditi pasar kapitalis yang diperjualbelikan demi meraup keuntungan. Karya seni rupa dianggap sederajat dengan barang suvenir atau kerajinan. Perbedaannya terletak hanya pada jumlah karya seni rupa yang terbatas, karena diproduksi satuan dan tidak secara masif. Sebagai produsen, pekerja seni rupa tidak punya kuasa untuk masuk begitu saja ke dalam jaringan distribusi ala kapitalisme yang berlapis-lapis. Di dalam jaringan itu ada pihak pedagang perantara para kritikus dan kurator yang berperan sebagai pembuat iklan sekaligus memberi penaksiran dan penilaian nilai jual, ada pula kolektor lokal dan internasional yang merupakan kalangan terbatas pemonopoli jalur jual-beli komoditi, juga pasar terbuka dan tertutup museum pribadi, ruang pamer pribadi, galeri, ruang pamer umum, balai lelang seni sebagai tempat memajang komiditi yang akan dijual. Akibatnya, karya seni rupa tidak bisa dinikmati secara bebas oleh semua lapisan masyarakat, melainkan terbatas untuk kalangan elit tertentu atau golongan pemilik kapital. Sebagai komiditi pasar kapitalis, penciptaan karya seni–baik unsur artistik atau estetikanya, muatan tema atau isi pesannya—tidak terjadi begitu saja sesuai kehendak sang pekerja seni, melainkan diarahkan dan ditentukan oleh pihak ketiga 4 sesuai pesanan. Lalu bagaimana halnya dengan fenomena seni jalanan yang merebak selama dekade 1990-an akhir hingga tahun 2000-an? Apakah gejala tersebut mengindikasikan adanya tendensi resistensi terhadap sistem pasar seni rupa yang kapitalistis? Berkaitan dengan pertanyaan ini, A. Sujud Dartanto mensinyalir bahwa praktek seni rupa jalanan, khususnya mural, “...dipercakapkan oleh adanya resistensi terhadap praktek seni tinggi high art sebagaimana dalam tuturan sejarah seni rupa modern Barat.” 5 Pendapat ini masih bisa dipertajam lagi dengan melontarkan dua pertanyaan. Resistensi yang bagaimana dan apa yang dimaksud dengan high art itu? Dari tulisan yang sama, yang merupakan makalah yang disampaikan pada sebuah diskusi bertema Diskusi Mural Kota Yogya yang terselenggara sebagai hasil kerja sama antara Jogja Fine Art Community dan Harian Bernas yang kemudian dipublikasikan 4 Pihak ketiga yang dimaksud adalah kepentingan jaringan pedagang seni rupa dan tuntutan pasar. 5 Harian Bernas, 17 Maret 2003, hal. 4. secara luas dalam Harian Bernas tidak ada penjelaskan secara eksplisit mengenai pengertian resistensi dan seni tinggi high art yang dimaksudkan. Namun secara implisit dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud sebagai seni rupa tinggi high art adalah seni rupa yang terpisah dari publik luas 6 sekalipun dalam tulisan yang sama dia juga mempersoalkan tentang salah kaprah pengertian yang melihat galeri, museum, ruang pamer dan art shop bukan sebagai ruang publik. Terpisah dari publik luas dapat dikatakan juga sebagai tidak diarahkan untuk kepentingan membangun dialog dengan masyarakat tetapi lebih mengedepankan unsur estetik dan artistik yang diinginkan oleh individu pekerja seninya lebih terkesan menjunjung tinggi seni untuk seni dan tidak mengadvakoasi persoalan ekstra estetik. Sedangkan resistensi dimaksudkan sebagai usaha untuk melakukan pengeseran dari pengertian negatif seni rupa tinggi high art seperti yang tersebut di atas. Dimana, seni rupa mural memindahkan lokus seni rupa modern yang terkurung dalam ruang privat seniman ke ruang publik, mencoba membangun dialog dengan masyarakatnya dan memperkecil monolog pekerja seni dengan karyanya; mencoba mengadvokasi persoalan ekstra estetik berupa persoalan sosial politik yang berkembang di masyarakatnya. Dari pernyataan ini terlihat bahwa kehadiran seni rupa pada umumnya, dan seni jalanan khususnya, mengindikasikan adanya jalinan sosial yang rumit. Jalinan sosial itu berupa keterlibatan dan keterkaitan seni rupa dengan unsur-unsur di luar dirinya, yang sebenarnya merupakan kaitan sosiologi dan seni. Pada asumsi Sudjud terasa adanya sedikit tendensi perlawanan seni jalanan terhadap dunia seni rupa mapan di era kapitalisme ini. Pertanyaan di atas dapat ditinjau kembali lewat pertanyaan berikut; apakah boleh dikatakan kehadiran seni jalanan merupakan wujud resistensi terhadap dominasi tendensi 6 “… seni rupa modern makin terpisah jauh dari masyarakat; yang hanya dipajang atau terisolasi di ruangan privat seniman, yang diasumsikan sebagai bukan ruang publik. seperti galeri, museum, art shop.” A. Sujud Dartanto, Harian Bernas, 17 Maret 2003, hal. 4.