Seni Jalanan dan Komunitasnya
Memasuki tahun 2000, grafiti di Yogyakarta berkembang ke arah yang lebih beragam, baik dalam hal variasi kata, bentuk, dan permainan warna. Jika sebelumnya
hanya berupa singkatan nama kelompok atau inisial, kini grafiti lebih bernuansa individu. Organisasi, kelompok atau klub grafiti pun mulai banyak bermunculan di Yogyakarta.
Misalnya, Jogja Hip-hop Foundation Yayasan Bernyanyi Cepat Jogja yang terbentuk pada tahun 2001.
Gambar 11. The Kid
, Yogyakarta. Teknis perwujudannya cukup rumit dilihat dari shadow dan pencampuran warnanya.
Foto: dokumentasi penulis, 2006
Dari keterangan salah satu anggota Jogja Hip-hop Foundation, terdapat 25 grup dalam kelompok ini. Namun begitu, Jogja Hip-hop Foundation bukanlah sebuah
organisasi formal yang memiliki aturan atau ketentuan yang mengikat. Mereka bahkan sama sekali tidak memiliki susunan organisasi. Jogja Hip-hop Foundation hanyalah
sekedar nama perkumpulan informal yang dibentuk untuk mewakili kegiatan para PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
anggotanya dalam berbagai bidang seperti breakdance, Disc Jockey DJ, Master of Ceremony MC,
dan grafiti.
22
Grafiti masa kini sangat berbeda perwujudannya dengan grafiti dimasa lalu. Jika diperhatikan dari bentuk dan corak pencampuran warnanya, terkesan para pembuatnya
selain menginginkan teksnya terbaca juga ingin menunjukkan kecanggihan teknis yang dikuasai. Hal ini terlihat dari penggunaan teknis shadow bayangan dan duotone yang
memberi kesan volume atau kedalaman pada warna latar belakangnya. Grafiti yang semula berupa tulisan lambat-laun berubah menjadi gambar atau penggabungan gambar dan
tulisan. Karya yang dihasilkan menjadi rapih dan bersih karena perencanaan yang matang.
Gambar 12. Dream
Lokasi:Pertigaan Krapyak-Jl.Bantul, Yogyakarta Foto: dokumentasi penulis, 2007
Komunitas grafiti lainnya adalah Yogya Art Crime YORC. YORC terbentuk setelah beberapa perkumpulan kecil para pembuat grafiti, yang ternyata memiliki hubungan
22
Wawancara Mohammad Marzuki 30 tahun oleh Dwi Rahmanto IVAA. Wawancara dilakukan tanggal
pertemanan atau sering mengerjakan grafiti bersama, memutuskan untuk membuat satu komunitas yang lebih besar untuk mewadahi sejumlah perkumpulan kecil antara lain:
AKA, ARTZ, ANS, BLANK, BURN, BAD, CHALK, DEKA, FUCK, HELTZ, HK, DIST, IENT, LUPS, HEAT, MAPS, NASTI, PAWS, ROT, REST, OAK, BEST, SIC,
LOVEHATELOVE, OCS, REIDS, STALL, RUNE, NEST, ENPI, AGE, TAT, Sewon Bomber, School Terror, Gelagat Buruk, Psycho, MYAC, Hallo, YSAC, Devil Crew,
Horny dan YKILC. Kebanyakan dari mereka adalah alumni atau pernah mengenyam pendidikan seni
rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa SMSR Yogyakarta, Sekolah Menengah Industri Kerajinan Yogyakarta SMIK, atau Sekolah Menengah Kejuruan SMK 5 Yogyakarta.
Ada pula yang masih terdaftar sebagai mahasiswa Institut Seni Indonesia ISI Yogyakarta. Serupa dengan Jogja Hip-hop Foundation, komunitas YORC tidak memiliki struktur
organisasi yang baku atau sejenis garis koordinasi, melainkan hanya sekedar sebuah komunitas yang terbentuk karena para anggotanya memiliki kesamaan minat pada aktivitas
tertentu. YORC memiliki jadwal temu bersama setiap hari Jumat dan Minggu. Pertemuan ini
dilakukan untuk merencanakan proyek grafiti baru bersama. Biasanya, sketsa dibuat pada pertemuan hari Jumat, adapun hari Minggu adalah waktunya menggarap sketsa. Namun
tidak jarang sketsa yang dibuat bersama pada hari Jumat langsung digarap hari itu juga. Menyangkut pemilihan tempat, YORC memilihnya berdasarkan referensi personal yang
dimiliki masing-masing anggota. Referensi tempat sering juga disebut simpanan tempat. Dalam komunitas YORC, ada yang dinamakan black book, yaitu buku seukuran folio
yang berisi kumpulan sketsa grafiti. Umumnya, setiap pembuat grafiti mempunyai dua
11 Juni 2006, di Yogyakarta. Marzuki adalah seniman seni jalanan yang banyak berkarya di Jakarta dan
buku; satu berisi sketsa sendiri yang disimpan secara personal, satunya lagi adalah milik bersama yang disimpan secara bergilir antar anggota. Setiap kali black book milik bersama
digilir, maka isinya akan bertambah satu sketsa grafiti yang dibuat oleh anggota yang menyimpan black book itu.
Gambar 13. Grafiti kolaborasi Lovehatelove dan Plus.
Lokasi: Utara perempatan Tugu, Yogyakarta Foto: dokumentasi penulis, 2007
Dalam pengerjaannya tidak selalu dikerjakan sendiri, tetapi biasanya dibantu oleh beberapa orang yang biasa disebut crew, selain itu tidak jarang terjadi kolaborasi berkarya
bersama dengan kelompok atau pelaku individu lain. Pada karya kolaborasi sering terlihat mereka saling menonjolkan kemampuan dan kreativitas yang dimiliki, bahkan
terkesan seakan saling berlawanan bersaing. Secara teknis, cara yang digunakan dalam komunitas ini untuk membuat grafiti sama dengan yang digunakan pendahulunya, yaitu
blocking dan spray. Adapun bahan persediaan yang digunakan untuk membuat grafiti yang
Yogyakarta Cebolang, DJ dan pernah mengikuti festival Street Art di Paris, Perancis.
disebut logistik misalnya, cat, disediakan bersama-sama secara patungan tanpa ada paksaan atau ketentuan.
Membuat grafiti di ruang publik ternyata mampu memberi kebanggaan tersendiri dan menciptakan kesan tertentu pada kelompok atau individu yang melakukannya, terutama di
lokasi tertentu yang dianggap strategis. Namun hal itu dapat berubah menjadi kecewa ketika mendapati karya mereka ditutupi karya kelompok atau individu lain. Di sinilah
persaingan kembali terjadi antara para pelaku seni jalanan dalam memperebutkan ruang publik, yang biasanya akan berakhir atau diselesaikan dengan menggunakan cara mereka
sendiri. Ada ritus menarik dalam komunitas YORC, yaitu tableg dan battle. Tableg adalah
sebutan untuk grafiti yang menindih grafiti lain yang lebih dulu dibuat. Biasanya, hal ini terjadi karena si pembuat grafiti yang belakangan merasa tidak suka pada pemilik grafiti
sebelumnya. Sebagai akibat dari tindakan itu, pemilik grafiti yang karyanya di-tableg ditutup meminta pertanggungjawaban dari si penableg. Ritus yang menyusul dari
tindakan tableg, sebagai bentuk pertanggungjawaban, disebut battle. “Kalau antar geng grafiti biasanya bukan persaingan namanya. Persaingan
eksistensi pasti, karena prinsip yang sebenarnya adalah mereka battle. Namun battle
bukan untuk berantem, tapi cara perang mereka memang seperti itu. Grafiti ditutup dengan grafiti. Breakdance dibalas breakdance. Atau perang
kata-kata untuk battle net atau battle MC. Memang begitulah prinsipnya. Maksudnya, gaya battle mereka memang seperti itu dan di situlah letak
persaingannya. Spirit-nya memang seperti itu. Membesarkan kelompok mereka dengan cara begitu”.
23
Battle adalah istilah yang disepakati sehubungan dengan cara menyelesaikan konflik
yang muncul saat tableg terjadi. Battle biasanya diadakan melalui sebuah kompetisi. Dua pembuat grafiti yang terlibat konflik saling bersaing untuk menciptakan grafiti yang dapat
menarik perhatian audiens, yaitu orang-orang yang diundang oleh masing-masing pihak untuk memberi dukungan. Pemenangnya adalah siapa yang lebih disukai dan mendapat
sambutan meriah dari audiens. Namun biasanya sebelum battle diadakan, dua orang yang berkonflik itu akan menunjuk seorang penengah; sebab tak jarang keberadaan audiens
tidak bisa menyelesaikan konflik. Sebagai hadiah bagi sang pemenang, pihak yang kalah akan memberikan sesuatu yang sebelumnya telah disepakati bersama sebelum battle
berlangsung. Sesuatu itu bisa berupa logistik atau uang. Meski battle jelas merugikan pihak yang kalah, namun pada kenyataannya hal
tersebut seringkali terjadi. Dengan begitu, muncul dugaan bahwa tableg dilakukan dengan sengaja; terlepas dari perasaan suka atau tak suka si penableg terhadap pemilik grafiti yang
di-tableg. Boleh jadi, kesengajaan itu didorong rasa ingin bersaing, baik dalam hal kekhasan atau daya tarik desain, pemilihan lokasi, atau persaingan artistik yang timbul
karena penguasaan teknik pembuatan.
Gambar 14. Battle, karya yang sudah ada ditumpuk dengan karya baru
namun dipertanggungjawabkan. Lokasi: perempatan Taman Sari,Yogyakarta
Foto: dokumentasi penulis, 2007
23
ibid
Ada sejenis pengakuan “hebat” yang ditujukan pada si pembuat grafiti yang berhasil memenuhi beberapa syarat tertentu saat membuat karya, yaitu tingkat kesulitan dari sebuah
tempat yang dipilih sebagai tempat berkarya, karakter serta ukuran grafiti. Di Yogyakarta, ada beberapa tempat yang sering menjadi rebutan para pembuat grafiti karena dianggap
favorit. Di tempat itulah tableg sering terjadi. Misalnya, daerah di sebelah utara makam pahlawan Semaki.
24
Gambar 15. Pengerjaan grafiti LHL di kolong jembatan Janti, malam hari
Foto: dokumentasi penulis, 2007
Persaingan menyebabkan kelompok-kelompok anak muda itu terpicu untuk berkarya semakin banyak, termasuk pula semakin giat mencari lokasi baru. Persaingan diartikan
sebagai hal yang positif karena mereka sadar dan paham bahwa mereka berada di jalanan yang merupakan milik umum, dan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang
24
Wawancara Nano Warsono 32 tahun oleh Dwi Rahmanto YSC. Wawancara dilakukan tanggal 14 Juni 2006, di Yogyakarta. Nano Warsono adalah seniman seni jalanan yang bermula dari kesenangannya
membuat mural. Sekarang ia bekerja sebagai tenaga pengajar di FSR ISI Yogyakarta. Hal senada juga dikatakan oleh Tatang 30 tahun pada wawancara dengan pertanyaan yang sama.
ilegal. Hal itu menyebabkan perkelahian antar geng atau kelompok, seperti yang dulu terjadi hanya gara-gara masalah grafiti yang ditumpuk dengan grafiti lain, tidak lagi terjadi.
Jika grafiti biasanya dibuat pada malam hari, maka yang terjadi belakangan ini adalah sebaliknya; grafiti dibuat sebelum hari menjelang gelap. Hal tersebut terjadi karena sikap
publik yang semakin terbuka dan permisif terhadap grafiti. Pendek kata, ilegalitas yang melekat pada grafiti mulai berubah. Situasi ini, menurut beberapa pembuat grafiti,
diibaratkan sebagai keuntungan bagi mereka, karena membuat grafiti di saat hari masih terang jauh lebih mudah disebabkan mereka tidak kesulitan mengenali warna.
Adapun pihak berwenang, seperti polisi atau satpam, tidak sepermisif masyarakat dalam menangani kelompok ini. Menyadari hal tersebut, beberapa kelompok grafiti malah
menganggapnya sebagai suatu tantangan yang memacu semangat mereka. Meski begitu, untuk membuat grafiti pada lokasi-lokasi tertentu yang mendapat penjagaan khusus,
misalnya pertokoan atau perkantoran, tetap dibutuhkan tingkat kesabaran yang tinggi, mulai dari melakukan survei lokasi, mengamati dan mempelajari kebiasaan petugas
keamanan, hingga menentukan waktu pengerjaan. Jika langkah-langkah tersebut diabaikan, kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti tertangkap, menjadi
semakin besar. Main Corat-coret Gerbong Kereta Api: Lima ‘Pelukis’ Ditangkap Polisi
adalah judul headline
berita yang dimuat harian Kedaulatan Rakyat, edisi Minggu, 31 Agustus 2005. Peristiwa penangkapan itu, seperti yang dituturkan oleh salah satu saksi mata, sebenarnya
terjadi tiga hari sebelumnya 27 Agustus 2005 sekitar jam 5 pagi. Aksi kelompok grafiti ini sebenarnya bukan pertama kali, tetapi sudah yang kelima.
“Dengan tidak menentukan tema, kita langsung membuat nickname sendiri- sendiri. Setelah itu ngebom nickname, bikin sket dulu. Sekitar jam 2-an selesai
90 dan tinggal nge-line. Akhirnya ketahuan satpam, tapi kita bisa lolos PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
semua. Tapi karena merasa tanggung kerjaan belum selesai, kita coba untuk ke sana lagi lewat pintu Barat. Ternyata, satpam sudah menunggu. Waktu subuh
akhirnya kita tertangkap, setelah dua kali tembakan peringatan. Kita semua takut. Sebelum polisi datang, kepala Stasiun Lempuyangan dan seseorang yang
mengaku pemilik gerbong datang dan terus meneror biaya pengecatan itu; habis dua ratus lima puluh juta satu gerbong. Akhirnya ya, diselesaikan dengan
kekeluargaan”
25
Dijelaskan pula oleh salah seorang pelaku bernama Tatang, yang juga anggota kelompok tersebut, bahwa sebenarnya rencana membuat grafiti itu sudah mereka
persiapkan beberapa bulan sebelumnya. Persiapan tersebut antara lain mengumpulkan dana untuk membeli logistik hingga melakukan survei lokasi dua kali sehari: siang dan sore.
Peristiwa penangkapan yang dialami Tatang dan kelompoknya ternyata tidak membuat mereka kapok atau takut membuat grafiti lagi, malah sebaliknya semakin
bersemangat dan berhati-hati. Menyadari kegiatan mereka tergolong ilegal, proses pembuatan grafiti pun hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang dianggap aman.
Misalnya, antara pukul 22.00-24.00 malam. Pengalaman yang sama juga dialami pembuat grafiti LoveHateLove. Tidak hanya
sering berurusan dengan petugas keamanan, terkadang ia juga terpaksa berurusan dengan preman setempat.
“Resiko dari perbuatan ilegal memang tidak menyenangkan. Terkadang saat bikin
grafiti, kami dikompasi preman yang nongkrong dekat tempat yang dipilih. Bekerja malam juga tepat dengan saat preman-preman itu mulai mabuk
minuman. Persamaan waktu ini mirip botol ketemu tutup. Saat yang mirip tepat. Selain preman, kami pernah juga dimintai uang oleh polisi. Tapi bukan polisi
berseragam, melainkan yang berpakaian preman. Polisi yang berseragam malah seperti membiarkan”
26
.
25
Wawancara Tatang 28 tahun, mahasiswa Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, oleh Dwi Rahmanto YSC. Tatang menyukai dan membuat grafiti sejak masih bersekolah di SMA. Wawancara
dilakukan tanggal 14 Juni 2006.
Tidak jarang beberapa kelompok grafiti membuat kesepakatan kerja sama dengan kelompok grafiti dari kota lain untuk berkarya bersama. Adapun untuk meningkatkan
kemampuan mendesain atau sekedar mencari referensi desain, mereka selalu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Lewat internet pula mereka saling
berinteraksi, bertukar informasi, berbagi ide dan pendapat, dengan menggunakan forum khusus yang sudah tersedia di beberapa situs komunitas seni grafiti.