Seni Jalanan Yogyakarta Siasat absurd Kalah dan Menang

disebabkan Rumah Seni Cemeti dan Kedai Kebun menggunakan istilah “seni rupa publik”, sementara pada kenyataannya seni jalanan identik dengan ke-vandal-an dan bersifat ilegal. Beberapa kelompok grafiti di Yogyakarta menganggap Rumah Seni Cemeti dan Kedai Kebun ingin mengkooptasi seni jalanan dengan cara membuat terminologi seni jalanan sebagai seni rupa publik untuk kepentingan seni rupa kontemporer. Pameran ini dapat dipandang sebagai upaya “penjinakan” atau “pencaplokan” dengan berupaya menempatkan serta menganggap perlu disetarakan dengan seni-seni visual lain seni yang biasanya dipamerkan pada ruang pamer yang tentunya dianggap telah mapan konsumsi khas kalangan kurator dan seniman. Kemudian wacana yang muncul sekitar seni jalanan, jika dikritisi lebih dalam, persinggungan antara seni ruang publik dan seni jalanan hanya terbatas pada persoalan karya yang ditempatkan di lokasi yang sama, yaitu ruang publik atau di jalan. Seni jalanan bisa saja dianggap sebagai seni ruang publik, tetapi hal itu tidak berarti sebaliknya. Seni ruang publik bukan seni jalanan. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah yang menganggap seni jalanan adalah kriminal dan sebagai aktivitas anak muda yang sulit diatur dengan berbagai macam usaha nampaknya hanya berhasil sesaat karena sampai saat ini seni jalanan semakin berkembang dan pelakunya semakin banyak. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan seni jalanan Yogyakarta bukan sekedar berangkat dari keisengan anak muda saja, tetapi berhubungan dengan banyak hal termasuk kebijakan pemerintah sendiri. Kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan tata kota tanpa melibatkan peran serta masyarakat telah mendorong pemikiran kritis di sebagian masyarakat para pelaku seni jalanan untuk merespon dan membuat seni jalanan grafiti. Dapat dikatakan bahwa pemerintah, disadari atau tidak telah mendorong tumbuhnya seni jalanan.

BAB IV MEREBUT JALANAN SENI DI INDONESIA

Seni seringkali dianggap sebagai gambaran budaya serta cerminan hidup masyarakat. Anggapan ini memunculkan pertanyaan, budaya dan cerminan masyarakat yang mana? atau memang tidak mencerminkan apapun? Oleh karena itu pada pembahasan bab ini akan diuraikan bentuk-bentuk tanda atau visual yang ada di jalan termasuk kepentingan yang menyertainya, respon pemerintah terhadap keberadaan seni jalanan juga mural serta siasat para pelaku seni jalanan untuk mengatasi kondisi tersebut. Selain itu pada bab ini, visual yang ada dijalan dipahami sebagai fenomena tanda. Upaya untuk memahami ruang berarti menganggapnya sebagai bermuatan pesan-pesan sosial budaya. Sebagai suatu fenomena tanda, ruang menjadi arena pertukaran tanda dan pesan-pesan sekaligus menjadi tempat perebutan tanda dan hegemoni kultural. Pada bab ini juga akan diungkap kembali apa arti seni jalanan mengingat bagi kalangan rakyat kecil yang kebanyakan masih berjalan kaki, tentu mempunyai pola pandang yang berbeda dengan kelas sosial menengah ke atas yang rata-rata berkendaraan bermotor di jalanan.

A. Perang Gerilya Tanda

Secara umum, bentuk-bentuk visual yang biasa ditemukan di jalan adalah hasil produksi pemerintah, perusahan iklan, kelompok atau individu pelaku seni jalanan. Umumnya, benda atau gambar visual milik pemerintah bertujuan memberikan pesan kepada masyarakat sehubungan program tertentu yang sedang dijalankannya. Perusahaan iklan memasang benda visual dengan tujuan untuk menggoda dan memikat hasrat konsumen memberikan informasi berupa penawaran beragam produk dan jasa. Sedangkan mural dan seni jalanan grafiti mengisi ruang-ruang kosong yang dijalan menawarkan “keindahan” yang juga beragam. Keberadaan mural di tembok-tembok kota Yogyakarta yang terawat baik telah memberikan gambaran bahwa masyarakat setempat telah dapat menerima bentuk seni mural dalam kehidupan keseharian mereka. Berdasarkan pengamatan di lapangan, fenomena mural ini juga diikuti dengan perubahan taktik perusahaan periklanan. Mereka mulai menggunakan mural sebagai corong produk dan tembok sebagai ruang iklan. Bahkan, beberapa di antara perusahaan tersebut turut mengadopsi teknik grafiti untuk mendesain iklan. Gambar 26. Warning not for comercial space Lokasi Sagan utara Galeria mal Yogyakarta. Foto: Dok. pribadi, 2008 Gerakan mural di Yogyakarta memberikan inspirasi bagi para pengusaha dan beberapa organisasipartai politik untuk turut memanfaatkannya. Dari keterangan Samuel bahwa ada ratusan mural di kota Yogyakarta, tentunya dalam menciptakannya membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit. Keterlibatan perusahaan-perusahaan yang turut ambil bagian dalam gerakan mural Yogyakarta ini sangat membantu dalam hal pendanaannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gerakan mural Yogyakarta memberikan keuntungan terhadap banyak kalangan Seniman, pemerintah, pihak swasta dan masyarakat yang terlibat. Iklan berbentuk mural pun kian menjamur dan menghias tembok-tembok kota hingga dinding kolong jembatan layang. Terhitung cukup banyak perusahaan yang mau menjadi sponsor dalam pembuatan mural yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi tentu saja disertai syarat. Syaratnya adalah perusahaan tersebut meminta logo perusahaan atau gambar produk mereka dijadikan bagian dari mural. Sebagai contoh, mural yang ada di tembok depan SMA “17” I Bumijo atau iklan pada mural di tembok stadion Kridasono-Kota Baru, yang kemudian tercatat dalam rekor MURI sebagai Iklan Terpanjang. Gambar 27. Mural iklan produk tabungan sebuah bank yang dibuat tahun 2004. Lokasi: depan SMA “17” 1 Bumijo, Yogyakarta, Foto: Dok. penulis, 2007 Munculnya mural iklan di Yogyakarta membuat suasana jalan semakin ramai dengan beragam tampilan visual. Kota pun terkesan penuh tanpa ruang kosong. Terlebih lagi