Fenomena Mural Yogyakarta JALAN SENI GRAFITI DAN BAHASA POLITIK MURAL

secara gradual, karena pemerintah setempat menanggapi masyarakat yang semakin vokal dan berdaya. 12 Menurut Samuel Indratma, lebih dari lima ratus karya mural telah dihasilkan oleh masyarakat Yogyakarta yang dapat dilihat sebagai salah satu trik menjauhkan masyarakat dari penyakit sosial, selain juga sebagai usaha yang bagus untuk mengajak berbagai lapisan masyarakat, mulai dari yang muda hingga tua, untuk bersama-sama menciptakan kondisi kota yang bersih dan indah. 13 Kegiatan program mural di kota Yogyakarta untuk menekan perkembangan grafiti yang dianggap meresahkan dan membuat suasana lingkungan tidak nyaman ini, dalam pelaksanaannya dimanfaatkan oleh Pemkot Yogyakarta untuk sekalian mempropagandakan program kerja pemerintah yang berkaitan dengan masyarakat, Misalnya, Gerakan Anti Narkoba, Program Jam Belajar Warga, dan sebagainya. Kegiatan mural tidak sekedar memberi keuntungan seniman bisa membuat karya diluar ruang, keuntungan turut pula dirasakan pemerintah daerah dan masyarakat karena mendapat suntikan dana untuk menghias kampung.

D. “Kromonisasi” Seni Jalanan Yogyakarta

Setelah tembok-tembok di Yogyakarta dipenuhi oleh ragam karya seni jalanan yang mempertunjukkan variasi bentuk, teknik dan warna, perlahan-lahan seni ini mulai memasuki ruang-ruang pamer seni rupa di Yogyakarta. Dapat dikatakan bahwa masuknya seni jalanan ke ruang pamer ini terinspirasi oleh langkah Jean Michael Basquiat, seorang seniman jalanan Amerika, yang pada tahun 1980 mengusung gaya grafitinya untuk dipamerkan di ruang pamer seni rupa atas dorongan Andy Warhol. Sebaliknya, hal itu 12 Bambang Witjaksono, 2006 Fenomena Mural di Yogyakarta Tahun 2002-2003, Bandung, Program Pascasarjana ITB. tidak dipublikasikan-dengan ijin. 13 Obed Bima Wicandra. Street Art Menyapa Kota, Harian Jawa Pos, 5 Februari 2006. memberi inspirasi pula pada Keith Hearing, seorang seniman dan pelukis, untuk berkarya di jalan-jalan. 14 Selain dipamerkan di galeri, kini seni jalanan telah dijadikan elemen hias pada produk, dengan cara memindah visual yang biasa dibuat di jalanan ke dalam produk keseharian. Misalnya pada t-shirt, celana dan sepatu. Pembicaraan tentang seni jalanan di Yogyakarta, dalam perkembangan seni rupa, menjadi mengemuka setelah fenomena mural di Yogyakarta—yang mendorong para pelaku mengembangkan grafiti yang sudah ada menjadi bentuk yang lebih artistik dan terlepas dari fungsinya terdahulu, yaitu sebagai wacana geng meski coretan inisial geng masih ada sampai sekarang. Hal ini rupanya menarik perhatian beberapa pemilik ruang pamer seni rupa untuk mengusung dan mendukung seni jalanan. Rumah Seni Cemeti, misalnya, pada tahun 2005 mengadakan sebuah pameran bertajuk Counter Attract yang merupakan sebuah projek seni publik secara kolaboratif. Pameran ini dilaksanakan dengan mengusung semangat dan bentuk seni jalanan street art yang sesungguhnya; dengan meminjam beberapa site spesifik di ruang pertemuan publik Yogyakarta. Adapun tujuan projek tersebut sebagai sebuah counter attract terhadap otoritas yang dimunculkan oleh materi-materi publikasi yang ada di sejumlah ruang publik itu. Secara bentuk, projek ini akan merespon beberapa sudut kota Yogyakarta yang selama ini dipakai sebagai tempat pemasangan poster-poster yang menyampaikan informasi acara, produk komersial, maupun pesan layanan masyarakat, dengan mengkooptasi materi yang ada melalui penghadiran karya-karya seni publik poster, stiker, stensil, foto kopi selebaran yang tidak memiliki kecenderungan pesan atau informasi yang serupa—meski secara bentuk dapat dikatakan tidak berbeda. 14 http:www.aftenposten.nonyheteririksarticle1260136.ece Norwegian newspaper article about acid tagging diakses 12 April 2007. Lebih lanjut lihat juga tulisan Sihar Ramses Simatupang, http:www.sinarharapan.co.idberita060413hib03.html diakses 12 Juli 2006. Pemasangan poster karya para seniman dilakukan pada tanggal 29 Juni 2005, pukul 00.00, di sejumlah lokasi seperti: Perempatan Jokteng Timur, Perempatan Depan Mirota Kampus, perlintasan K.A Stasiun Lempuyangan, depan Stasiun K.A Lempuyangan, perempatan Tugu, depan THR, perempatan Gayam, dan Jalan Cendana. Pameran yang berlangsung sejak tanggal 7-31 Juli 2005 ini merupakan seri dokumentasi proses dan catatan para seniman tentang jalan raya sebagai medan pertarungan kuasa. Gambar 24. Suasana ruang pamer Kedai Kebun Forum Yogyakarta pada event Re:Publik Art Foto: Dok. Dwi Rahmanto, IVAAYSC Seniman-seniman yang terlibat dalam pameran ini antara lain, Decky “Leos” Firmansyah, Hendra “Blangkon” Priyadhani, Fathurchman Alwathoni “Indun”, Danang Catur Prastyawan, Daniel “Timbul” Cahya Krisna, M.Ali Rachman, Teguh Hariyanta, Marfianto Sobirin, Gde Krisna Widiathama, Uji Handoko Eko.S, Toto Nugroho, Gintani Nur Apresia Swastika, Mokomoki, Eko Didik S “Codit”, dan Yudha Sandy. 15 15 http:www.cemetiarthouse.comidproject2005counter-attract diakses 10 Juni 2006