“Kromonisasi” Seni Jalanan Yogyakarta

Pemasangan poster karya para seniman dilakukan pada tanggal 29 Juni 2005, pukul 00.00, di sejumlah lokasi seperti: Perempatan Jokteng Timur, Perempatan Depan Mirota Kampus, perlintasan K.A Stasiun Lempuyangan, depan Stasiun K.A Lempuyangan, perempatan Tugu, depan THR, perempatan Gayam, dan Jalan Cendana. Pameran yang berlangsung sejak tanggal 7-31 Juli 2005 ini merupakan seri dokumentasi proses dan catatan para seniman tentang jalan raya sebagai medan pertarungan kuasa. Gambar 24. Suasana ruang pamer Kedai Kebun Forum Yogyakarta pada event Re:Publik Art Foto: Dok. Dwi Rahmanto, IVAAYSC Seniman-seniman yang terlibat dalam pameran ini antara lain, Decky “Leos” Firmansyah, Hendra “Blangkon” Priyadhani, Fathurchman Alwathoni “Indun”, Danang Catur Prastyawan, Daniel “Timbul” Cahya Krisna, M.Ali Rachman, Teguh Hariyanta, Marfianto Sobirin, Gde Krisna Widiathama, Uji Handoko Eko.S, Toto Nugroho, Gintani Nur Apresia Swastika, Mokomoki, Eko Didik S “Codit”, dan Yudha Sandy. 15 15 http:www.cemetiarthouse.comidproject2005counter-attract diakses 10 Juni 2006 Setahun setelah acara yang diadakan Rumah Seni Cemeti, sebuah kafe yang mempunyai ruang pamer dan forum, Kedai Kebun, menggelar acara bertema Re:Publik Art, Mencari Ruang Publik Lewat Seni Rupa Temporer, yang diadakan pada bulan Agustus hingga September 2006. Pada pengantarnya ditulis: “Bagi masyarakat Indonesia, khususnya warga Yogyakarta, kata ‘mural’ bukan lagi sesuatu yang asing. Setelah projek mural kota Sama-Sama Apotik Komik, 2002 berhasil menciptakan wabah mural di Yogya, hingga perusahaan-perusahaan besar ikut terjangkit wabah ini, kemudian muncul pertanyaan; masihkah sebuah projek mural perlu digerakan? Dengan berjubelnya advertising out-door yang sudah sangat polutif, bukankah sebaiknya dinding-dinding kota dibiarkan bersih dan kosong sebagai tempat istirahat mata publik? Dalam niat yang sederhana, projek ini bertujuan untuk mempresentasikan karya- karya seni rupa publik para seniman Yogyakarta dan kota lainnya Jakarta, Bandung, Bali, Paris dalam bentuk mural dan artistic grafiti, signage dan iklan kampanye, yang diharapkan mampu mempresentasikan ekspresi-ekspresi baru yang lebih segar, juga mendefinisikan kembali bagaimana seharusnya seni rupa publik merespon lingkungan sosial dimana seni rupa publik itu ditempatkan. Projek Re:PublicArt bagaimana pun berusaha meminimalisir eskalasi polusi visual dengan menghindari motif-motif lukisan ornamentif dan lebih menekankan pada respon sosial dimana karya-karya tersebut dikerjakan 16 .” Acara ini berbentuk seminar, workshop, pameran dan aksi. Dimasukannya karya seni jalanan ke dalam ruang pamer sontak mengundang kontroversi di kalangan seniman jalanan, disebabkan Rumah Seni Cemeti dan Kedai Kebun menggunakan istilah seni rupa publik, sementara seni jalanan mempunyai kelebihan yaitu ke-vandal-an yang memicu andrenalin. Beberapa kelompok grafiti Yogyakarta menganggap Rumah Seni Cemeti dan Kedai Kebun ingin mengkooptasi seni jalanan dengan membuat terminologi seni jalanan 16 Re:Publik Art, http:www.tembokbomber.com diakses 10 Juni 2006 sebagai seni rupa publik untuk kepentingan seni rupa kontemporer, yang merupakan ruang lingkup kedua lembaga itu. 17 Pernyataan dalam pengantar acara Re:Publik Art tidak lagi menyinggung grafiti sebagai visual pengotor, tetapi sebagai salah satu cara untuk mempresentasikan ekspresi- ekspresi yang lebih segar. Grafiti pada acara ini tidak lagi vandal, tetapi teratur dan mengikuti lokasi yang ditentukan. Karya yang dibuat dan ditampilkan dalam ruang pamer Kedai Kebun sangat bagus dan mempunyai tingkat kreativitas dan teknik yang tinggi; berbeda dari grafiti atau seni jalanan yang dibuat secara ilegal. Namun jika merujuk pada sifat seni jalanan yang vandal, maka desain yang rumit dan tingkat teknik pembuatan yang tinggi sangat tidak cocok jika dipraktekkan langsung di jalanan. Ada beberapa unsur yang tidak memungkinkan seorang seniman jalanan melakukan hal tersebut, antara lain waktu pembuatan, suasana lokasi dimana karya akan dibuat, dan resiko yang harus ditanggung karena menggunakan ruang atau properti tanpa seijin sang pemilik. Lewat acaranya, Kedai Kebun seakan menempatkan seni jalanan pada sejenis aliran atau karya visual yang bergaya jalanan, yang seolah memberikan pandangan baru pada kalangan seniman jalanan bahwa dengan cara seperti itu mereka mendapat pengakuan sebagai bagian seni rupa kontemporer yang lebih menjanjikan. 17 Wawancara Hmzt nama disamarkan 33 tahun, aktivis seni jalanan, banyak membuat grafiti politik di Yogyakarta. Wawancara dilakukan tanggal 14 Januari 2007 oleh penulis. Dikatakan bahwa gerakan mural adalah salah satu gerakan yang membungkam kemerdekaan bicara lewat grafiti, upaya melakukan klasifikasi, pameran seni jalanan di ruang pamer, merupakan usaha kooptasi dari penyelenggara cemeti dan kedai kebun untuk kepentinngan seni rupa kontemporer bukan seni jalanan itu sendiri, hendaknya teman- teman seniman jalanan mengingat penggerak mural pernah berkolaborasi dengan pemda untuk menekan grafiti. Dia juga mengatakan tidak semua kelompok seni jalanan di Yogyakarta setuju dengan apa yang dilakukan Kedai Kebun, tetapi dia menghargai kegiatan tersebut. Gambar 25. Grafiti pada acara Re:Publik Art Lokasi: ruang pamer Kedai Kebun Forum Yogyakarta Foto: Dok. Dwi Rahmanto, IVAAYSC Selain mengadakan pameran, acara Re:Publik Art juga mengemas karya seni publik, seperti membuat halte tunggu jemputan di beberapa Sekolah Dasar SD Jetis Harjo, SD Samirono, SD Kanisius Wirobrajan oleh Handoko, membuat zebra cross yang lengkap dengan beberapa nomor telepon penting Polisi, Rumah Sakit, Pemadam Kebakaran oleh Sadat Laope, dan tentu juga membuat mural di daerah Gejayan oleh Iwan Effendi dan Iyok Prayoga, serta sejumlah karya lainnya. Adapun pada sesi diskusi yang menghadirkan Mahatmanto staf pengajar Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana, Samuel Indratma seniman mural dan penggagas Apotik Komik serta Kepala Dinas Pertamanan dan Tata Ruang Kota Yogyakarta, terlontar banyak pertanyaan kritis dari para pengunjung. Acara Re:Publik Art dapat dipandang sebagai usaha yang menjinakan nilai vandal pada seni jalanan. Upaya ini dapat disebut sebagai “kromonisasi” seni jalanan sebagaimana diterangkan oleh Anderson bahwa “kromonisasi” dapat dilihat sebagai sarana untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mengidentifikasi masa kini dengan masa lalu yang heroik dengan melakukan upaya pengagungan. 18 Hal ini dapat dilihat pada perkembangan seni mural dan grafiti yang dipertentangkan dihadap-hadapkan dan di bawa masuk ke dalam ruang-ruang pameran sehingga dianggap sebagai suatu yang ideal serta dipandang menguntungkan. Makna “jalanan” liar kemudian bergeser menjadi jalanan yang teratur. Pada keseharian masyarakat Yogyakarta khususnya Jawa umumnya, masalah kromonisasi ini dapat dilihat sebagai suatu hal yang biasa terjadi dan bisa diterima. Pada upacara pernikahan misalnya, walaupun berasal dari keluarga biasa saja tetapi penyelenggaraannya selalu dibisa-bisakan menggunakan upacara kraton Jawa. Agaknya sistem kehidupan kraton dianggap kehidupan yang ideal sempurna dan baik. Contoh yang lain, pada setiap perayaan ritual satu Suro, benda pusaka dan kereta-kereta kuda kraton dicuci, masyarakat berduyun-duyun berebut berkah berupa air bekas cucian pusaka-pusaka tersebut, walaupun masyarakat tahu kereta-kereta kuda dan pusaka-pusaka itu banyak yang berasal dari Eropa. Contah-contoh ini dapat memberikan gambaran masyarakat Yogyakarta masa kini dalam memandang modernitas yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan tradisionalnya. Seni jalanan dapat diumpamakan sebagai sebuah ucapan bebas ngoko dan langsung, sedangkan ruang pamer atau galeri adalah ucapan yang diatur dan dikumpulkan, sehingga mempunyai argumen simbolik atau alasan kuratorial kromo. Memamerkan seni jalanan pada ruang pamer dapat diartikan sebagai upaya membuat lebih sopan ucapan karena mengikuti “tatakrama” aturan yang baku dalam mempertontonkan karya seni. 19 18 B.R.O.G Anderson. 2000. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Tr. Revianto Budi Santosa .Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa. p.311 19 B.R.O.G Anderson. ibid. Disebutkan: Kromo dan ngoko, secara berurutan adalah tingkatan “tinggi” sopan, formal dan “rendah” akrab, informal pada bahasa Jawa. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang bentuk-bentuk kromo dan ngoko dalam hubungan wacana politik di Indonesia lihat bab 4 dan lihat pula hal. Perubahan-perubahan ini mengidentifikasikan rentannya nilai-nilai kerakyatan dalam karya seni sebagai akibat “rayuan konsumtivisme kapitalistik” dengan nikmat rasional yang samar-samar.

E. Seni Jalanan Yogyakarta Siasat absurd Kalah dan Menang

Seni jalanan tumbuh dan berkembang tidak terlepas dari realitas keadaan sehari-hari yang keras dan bukan serta merta merupakan seni sebagai refleksi atas kehidupan, tetapi lebih merupakan cemoohan terhadap absurditas realitas kehidupan dalam gerakan yang dipandang illegal. Absuditas realitas kehidupan di Indonesia dapat dilihat pada masa lalu masa pemerintahan Orde Baru kondisi yang menekan terlihat tegas, misalnya pelarangan terhadap ideologi tertentu, represi militer pada kesenian dalam bentuk pelarangan pentas dan pameran yang sering dilakukan atas nama stabilisasi keamanan, di masa sekarang kondisi-kondisi yang makin menekan terlihat samar-samar tetapi bertambah banyak. Pada masa sekarang memang masyarakat mempunyai kebebasan berbicara yang agak lebih terbuka dibanding pada masa Orde Baru, namun terkadang timbul kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang bertentangan misalnya tuduhan komunis untuk menstop demonstrasi buruh oleh Kelompok anti komunis tetapi tidak ada kelompok anti komunis yang mau terlibat membela buruh dengan cara “anti komunis”nya. Pada penyelenggaraan CP Bienalle Jakarta 2006 yang dikuratori oleh Jim Supangkat ditutup setelah FPI Front Pembela Islam Jakarta menuduh adanya unsur pornografi pada salah satu karya seni yang dipamerkan. Seringnya terjadi persoalan macam ini telah 328-329 disebutkan bahwa ucapan langsung ngoko merupakan tipe ucapan yang agak jarang moralistic atau optimistic. Pengabaian atas tipe ucapan langsung ini memiliki akar dalam konvensi akademis. Pada “kromo” ucapan dikomunikasikan, diatur, dicetak, terlihat lebih permanent, lebih dapat diperbanyak, sehingga lebih terpercaya. menyebabkan keadaan yang relatif sama tertekannya seperti pada masa Orde Baru dan memasung kreatifitas masyarakat. Kesemrawutan di bidang hukum juga menjadikan masyarakat berusaha untuk melepaskan diri dari kesemrawutan, baik dengan tak acuh, melakukan hal yang sama atau diam saja. Kesemrawutan yang dimaksud ialah dilanggarnya undang-undang tetapi oleh pihak berwenang didiamkan, misalnya tidak menggenakan helm pada pawai suporter sepak bola, mengantar jenasah, serta knalpot keras pada pawai kampanye partai-partai politik dan yang lebih parah ialah lepasnya kuroptor dari jerat hukum. Sedangkan kesemrawutan yang terlihat dikeseharian ialah tata letak visual iklan, rambu, bendera, spanduk dan sebagainya di jalanan yang kacau. Mengamati tata letak visual di jalan akan jelas terlihat, antara propaganda, faktual, kontekstual, masa lalu, masa sekarang yang muncul berdampingan. Situasi ini bersifat sosial, politis dan historis yang membingungkan karena semua muncul bersamaan. Pada situasi seperti itu, seni jalanan Yogyakarta dapat dikatakan sebagai cara para pelaku seni jalanan menyiasati keadaan secara langsung dan tegas dengan imaji-imaji teks serta logika yang absurd. Selain itu seni jalanan Yogyakarta bisa juga dilihat sebagai cara melupakan, atau sebentuk ruang imajiner tempat orang bisa melepaskan diri dari kondisi-kondisi yang makin lama makin menekan. Setelah ruang gerak seni jalanan terutama grafiti dipersempit oleh gerakan mural dan usaha-usaha yang dilakukan pemerintah lewat sekolah-sekolah, hal ini kemudian malah semakin tidak menyurutkan perkembangan seni jalanan. Seni jalanan bentuknya malah semakin bervariasi, beragam teknis dan merambah keruang-ruang lain misalnya internet. Dimasukannya karya seni jalanan ke dalam ruang pamer, oleh Rumah Seni Cemeti dan Kedai Kebun, mengundang kontroversi di kalangan seniman jalanan. Hal itu disebabkan Rumah Seni Cemeti dan Kedai Kebun menggunakan istilah “seni rupa publik”, sementara pada kenyataannya seni jalanan identik dengan ke-vandal-an dan bersifat ilegal. Beberapa kelompok grafiti di Yogyakarta menganggap Rumah Seni Cemeti dan Kedai Kebun ingin mengkooptasi seni jalanan dengan cara membuat terminologi seni jalanan sebagai seni rupa publik untuk kepentingan seni rupa kontemporer. Pameran ini dapat dipandang sebagai upaya “penjinakan” atau “pencaplokan” dengan berupaya menempatkan serta menganggap perlu disetarakan dengan seni-seni visual lain seni yang biasanya dipamerkan pada ruang pamer yang tentunya dianggap telah mapan konsumsi khas kalangan kurator dan seniman. Kemudian wacana yang muncul sekitar seni jalanan, jika dikritisi lebih dalam, persinggungan antara seni ruang publik dan seni jalanan hanya terbatas pada persoalan karya yang ditempatkan di lokasi yang sama, yaitu ruang publik atau di jalan. Seni jalanan bisa saja dianggap sebagai seni ruang publik, tetapi hal itu tidak berarti sebaliknya. Seni ruang publik bukan seni jalanan. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah yang menganggap seni jalanan adalah kriminal dan sebagai aktivitas anak muda yang sulit diatur dengan berbagai macam usaha nampaknya hanya berhasil sesaat karena sampai saat ini seni jalanan semakin berkembang dan pelakunya semakin banyak. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan seni jalanan Yogyakarta bukan sekedar berangkat dari keisengan anak muda saja, tetapi berhubungan dengan banyak hal termasuk kebijakan pemerintah sendiri. Kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan tata kota tanpa melibatkan peran serta masyarakat telah mendorong pemikiran kritis di sebagian masyarakat para pelaku seni jalanan untuk merespon dan membuat seni jalanan grafiti. Dapat dikatakan bahwa pemerintah, disadari atau tidak telah mendorong tumbuhnya seni jalanan.