Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki koping nyeri baik 83.3. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 80 responden
memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengatasi nyeri kronik dengan usaha penjagaan, latihan dan peregangan, pernyataan menyemangati diri sendiri,
mencari dukungan sosial dan istirahat terkait dengan aktivitas sehari-hari pasien. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kemampuan untuk mengatur stimulus tinggi.
2.2 Intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga 33.3 usia responden adalah lanjut usia awal dan diikuti kurang dari sepertiga 29.6 usia
responden adalah lanjut usia akhir. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian tidak ditemukan adanya pengaruh usia terhadap intensitas nyeri. Hal ini
disebabkan karena adanya pengalaman yang sama dalam menghadapi nyeri kronis.
Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang berarti antara jumlah responden intensitas nyeri lanjut usia awal dan intensitas nyeri lanjut usia akhir.
Pada tahap perkembangan lanjut usia awal hingga lanjut usia akhir individu sudah mampu mengatakan pengalaman nyeri dan kebutuhan mereka terkait dengan nyeri
yang dialaminya, berbeda dengan anak usia dibawah 18 tahun dan manula diatas 65 tahun Kozier, 2010.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian menurut Potter Perry 2006 yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara nyeri dengan seiring
bertambahnya usia, yaitu pada tingkat perkembangan. Perbedaan tingkat perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok anak-anak dan lanjut usia
Universitas Sumatera Utara
dapat mempengaruhi bagaimana cara bereaksi terhadap nyeri. Orang dewasa akan mengalami perubahan neurofisiologis dan mungkin mengalami penurunan
persepsi sensorik stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga 33.3
pendidikan responden adalah SMA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu yang
datang dari luar. Dimana pada seseorang dengan pendidikan tinggi akan memberikan respon lebih rasional daripada yang berpendidikan menengah atau
rendah. Hal ini selanjutnya menunjukkan kesadaran dan usaha pencapaian atau peningkatan derajat kesehatan yang lebih baik pada yang berpendidikan tinggi
daripada yang berpendidikan menengah atau rendah. Hasil penelitian ini didukung oleh Asri 2006, tingkat pendidikan
mempengaruhi persepsi seseorang dalam merasakan nyeri pada proses modulasi. Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen dengan input nyeri
yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis disebut proses modulasi. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi subyektif dan
ditentukan oleh makna atau arti suatu input nyeri. Menurut Harsono 2009, tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor
yang mendukung peningkatan pengetahuan yang berkaitan dengan daya serap informasi. Orang yang memiliki pendidikan tinggi diasumsikan lebih mudah
menyerap informasi. Pengetahuan tentang pengelolaan nyeri dapat diperoleh dari pengalaman klien sendiri atau dari sumber lain. Sehingga tingkat pendidikan
bukan merupakan variabel yang dapat mempengaruhi persepsi nyeri.
Universitas Sumatera Utara
Mayoritas responden telah menikah 94.4 menunjukkan adanya dukungan dari lingkungan sosial yakni keluarga pendamping hidup dan anak.
Kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka kepada pasien juga merupakan faktor yang mempengaruhi respon nyeri. Salah satu adalah
pasangan hidup. Pasangan hidup mengambil peranan yang besar dalam penguatan pasien akan nyeri yang dialami Potter Perry, 2001.
Pasien yang menghadapi nyeri sendiri tanpa dukungan dari orang lain akan merasa bahwa nyeri yang dialami sangat berat Kozier, et al 2010. Salah satu
manajemen nyeri nonfarmakologik yang efektif untuk menurunkan intensitas nyeri adalah dengan mengalihkan perhatian individu terhadap hal yang lain
distraksi Potter Perry, 2006. Interaksi dengan keluarga terdekat dapat mengalihkan perhatian pasien dari nyeri yang dihadapinya sehingga dapat
mengurangi kecemasan dan depresi. Suku asal juga berperan penting dalam hal mempersepsikan dan merespon
nyeri. Lebih dari setengah 59.3 responden bersuku Batak dikarenakan lokasi penelitian yang berada di daerah yang mayoritas bersuku Batak. Data ini sesuai
dengan data yang didapat dari pemerintahan provinsi Sumatera Utara 2002 bahwa penduduk Sumatera Utara mayoritas suku Batak. Di Indonesia Suza 2003
menemukan bahwa nyeri yang dialami oleh pasien yang berasal dari suku Batak dan Jawa ternyata berbeda. Berbeda dalam laporan nyerinya serta respon terhadap
nyeri itu sendiri. Kultur atau budaya memiliki peran yang kuat untuk menentukan faktor
sikap individu dalam mempersepsikan dan merespon nyerinya. Sementara itu
Universitas Sumatera Utara
sikap individu ini juga berkaitan dengan faktor usia, jenis kelamin dan ras. Menurut penelitian McGuire 1984 dalam McGuire Sheilder, 1993
menemukan bahwa wanita berkulit non-putih dan yang berkulit putih memiliki perbedaan yang signifikan dalam melaporkan nyerinya. Wanita berkulit bukan
putih melaporkan nyeri yang lebih rendah bila dibandingkan dengan wanita berkulit putih ketika mengalami nyeri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga 37 responden menunjukkan intensitas nyeri ringan dan intensitas nyeri sedang dan diikuti
kurang dari seperempat 18.5 responden memiliki intensitas nyeri berat. Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu Tamsuri, 2007.
2.3 Hubungan koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis