44
Sedangkan, Dalam puisi “Keterasingan”, larik yang menjorok ke tengah halaman memberikan jawaban kepada larik sebelumnya. Selain itu, puisi
“Keterasingan”yang dibuat menjorok ke tengah menggambarkan sosok seseorang atau mungkinjuga penyair sendiri yang hidup dalam dilema. Artinya sulit memilih
sehingga dibuat menjorok ketengah. Space kiri atau kanan menunjukan keadaan dilema, sebenarnya mau ke kiri atau ke kanan selalu salah atau dalam posisi yang
tidak benar.
KETERASINGAN
Kembali ke kampung halaman Wajanya mulai bopeng
Dicorat coret lekak lekuk garis-garis kemajuan Tak beraturan.
Banyak anak yang datang mengerumuniku. Tetapi aku tak mengenali nama mereka.
Mereka tak mengenal aku. Hatiku terluka,
Jiwaku melayang, Aku seorang asing
Di kampungku sendiri. Lamalera, 24 September 2005
Bruno, hlm. 44
2.3 Struktur Batin Puisi Pukeng Moe, Lamalera, Karya Yoseph Arakiê Ulanaga Bruno Dasion
Unsur batin puisi merupakan pengungkapan tentang apa yang hendak dikemukakan penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya Waluyo, 1987:106.
Unsur-unsur tersebut berupa tema, perasaan, nada dan suasana, dan amanat.
45
Keempat unsur tersebut akan membantu untuk mengetahaui pokok-pokok masalah yang akan diungkapkan oleh pengarang.
1. Tema Puisi
Tema adalah gagasan pokok subject-matter yang dikemukakakan oleh penyair melalui puisinya. Tema mengacu pada penyair. Pembaca sedikit banyak
harus mengetahui latar belakang penyair agar tidak salah menafsirkan tema puisi tersebut. Karena itu, menurut Waluyo 1987:107 bahwa tema bersifat khusus
diacuh dari penyair, objektif semua pembaca harus menafsirkan sama, dan lugas bukan makna kias yang diambil dari konotasinya.
Ada berbagai macam tema dalam puisi: tema ketuhanan religious, tema kemanusiaan, cinta, patriotisme, perjuangan, kegagalan hidup, alam, keadilan,
kritik sosial, demokrasi, dan tema kesetiakawanan. Dalam sampel yang diambil dari antologi puisi Pukeng Moe, Lamalera, yang dijelaskan hanya tema
ketuhanan, tema kemanusiaan, tema cinta kampung halaman, dan tema pendidikan atau budi pekerti.
a. Tema Ketuhanan
Tema ketuhanan sering disebut dengan tema religious filosofis, yaitu tema puisi yang mampu membawa manusia untuk lebih bertakhwa, lebih merenungkan
kekuasaan Tuhan, dan menghargai alam seisinya. Penyair merupakan seorang yang religious biarawan sehingga sangat pekah dengan keadaan sekitarnya yang
sudah tidak dihargai lagi, dalam hal ini hutan yang tidak dianggap sakral, maupun tempat-tempat ibadah. Hal itu terjadi di tempat kelahiran penyair Yoseph
46
ArakiêUlanaga Bruno Dasion sendiri. Untuk itu dapat dibaca dalam sajak “Tempat Suci”.
Hutan suci Lelaone. Dulu, kami merasa sangat takut,
Ketika lewat di depanmu. Sekecil apapun ranting pepohonanmu
Tak boleh kami patahkan. Kami harus membuat tanda salib dan berdoa
bila melewatimu. Hutan suci Tufaone
Engkau juga sama. Bele Guru Bura mengajarkan kami
Bahwa di dalammu berdiam roh kampung halaman. Engkau berdiri dan melindungi sekolah kami, SDK 1 Lamalera.
Guru kami yang lain Willem Killa Keraf menasihati kami, Tidak boleh mengotorimu dengan 1 dan 2.
Kami harus masuk ke hutan Tufa dan rumput gatal Di bagian barat sekolah.
Tempat suci Gereja lama. Dulu, kami harus sudah membuat tanda salib
Ketika menginjakkan kaki di ebbe Karena pelataranmu adalah tempat suci,
Pelataran sang khalik. Bila kami sudah berada di dalammu,
Kami harus berlutut diam dan berdoa khusuk Pastor, Guru, anggota Konveria, Santa Ana, Santu Aloisius
Dan Santa Maria, Adalah para malaikatmu
Yang menjaga dan menertibkan kami, Supaya berdoa dengan sungguh-sungguh.
Entah berapa banyak kali Telinga kami dijewerlah para malikat ini
Karena ribut dan tidak sopan. Tempat suci, Pantai Lamalera.
Dimasa kecil, bagi kami anak-anak Lamalera, Engkau juga adalah tempat suci.
Waktu mandi kami juga harus pakai celana, Sebelum menceburkan diri ke lautmu
Kami harus membuat tanda salib. Di musim Lefa melaut,
47
Meski sambil bermain dan mandi, Kami tidak boleh berteriak dan membuat keributan.
Orangtua-tua duduk menekuni kerjanya di bangsal-bangsal perahu, Dalam diam penuh harapan dan doa.
Dan mata mereka tak pernah berhenti menatap ke laut luas. Anak-anak kecil yang ribut
Akan mereka tegur. “perahu-perahu kita sedang melaut” Hutan suci Lelaona dan Tufaone,
Gereja lama dan Pantai Lamalera. Kalian mengingatkan kami
Bahwa kampung kami punya penjaga Yang berdiam di tempat-tempat suci seperti dirimu,
Kampung kami adalah kampung yang baik. Adamu mengajarkan kami
Bahwa kami tidak hidup sendirian. Ada Yang Maha Tinggi yang kami sapa dengan
Matahar-Bulan-Bumi. Ada roh-roh leluhur kami
Khususnya mereka yang menemui ajalnya di laut. Mereka hidup bersama kami setiap hari.
Tapi sayang, Dewasa ini siapa yang menaruh rasa hormat dan segan
Dengan semua ? Orang-orang kami
Mulai melupakan dirimu Dan petuah-petuah sucimu.
Nagoya, April 2010 Bruno, hlm. 40
Dalam puisi tersebut, penyair ingin mengajak masyarakat Lamalera agar kearifan lokal yang berhubungan dengan tempat-tempat roh-roh leluhur tinggal
hutan susi Tufaone, Lelaone, pantai Lamalera dan gereja Tuhan harus dihormati seperti nenek moyang zaman dahulu yang mempertahankan kearifan
tersebut. Bruno pun mengangkat tema soal ketuhanan dalam puisi “Tanjung Suba
Tanjung Naga”. Puisi ini menunjukkan krisis iman masyarakat Lamalera.
48
Masyarakat Lamalera dikatakan sedang menghadapi krisis iman karena melupakan Tuhan jika dalam keadaan senangbahagia. Saat dalam sedih,
kesulitan, bahaya, serta cobaan, “mereka” mulai pura-pura munafik mengambil Rosario atau buku doa dan menyebut nama Tuhan memohon pertolongan.
Seandainya Tuhan bisa bicara mungkin Dia akan meneggur mereka dan bertanya, Apakah saat bahagia Anda bersukur dan menyebut-nyebut nama-Ku? Pertanyaan
itu merupakan pertanyaan refleksi bagi siapa saja yang masih merasa diri krisis dalam iman.
TANJUNG SUBA TANJUNG NAGA Engkaulah tempat kami mengenali diri kami sendiri.
Di musim arus-arus liarmu bertabrakan Lautmu bergelora dengan gelombang-gelombangnya yang buas
Perahu-perahu kami terombang-ambing Membuat kami terkejut ketakutan dan berteriak sambil berdoa
“ya, YESUS, MARIA, YOSEF” “Ya, Allah”
“tolonglah kami agar kami tidak tenggelam mati.” Kontas Rosario kami pegang erat
Sambil berteriak histeris ketakutan Hingga suara kami parau,
Kerongkongan kami pecah. Tetapi kami melampauimu
Kami duduk tertawa dan lupa akan Allah. Salah satu kesuakaanku
Kembali ke kampung Dengan menumpang perahu kecil melewatimu
Agar engkau mengajarkanku Untuk selalu ingat akan Allah
Di sepanjang usia hidupku. Dewasa ini orang-orang sekampungku
Lebih suka melewati jalan darat Karena mereka sudah banyak bemo dan ojek.
Tidak ada lagi sesuatu menyerupai dirimu
49
Yang dapat menyadarkan mereka akan Allah. Hidup kami semakin baik dan menyenangkan,
Tetapi yang baik dan menyenangkan itu Meracuni jiwa kami
Membutakan mata kami Dan melesuhkan harapan kami
Untuk menengada ke langit Memandang Allah dan berdoa kepada-Nya.
Di atas SABAT, 22 Oktober 2009 Bruno, hlm. 76
b. Tema Kemanusiaan