97
Masyarakat Lamalera saat ini sudah seperti hilang akal dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam lingkungannya sendiri. Para perantau sendiri sering
melupakan apa yang telah diajarkan nenek moyang. Perantau bukan dalam arti pekerja tetapi juga pelajar yang semestinya berpendidikan pun disoroti. Keadaan
kota besar yang serba canggih memaksa orang-orang berdomisili di sana dimanjahkan. Keadaan lingkungannya pun tidak mendukung karena sampah
bertebaran dimana-mana. Puisi “Bau Busuk” dan “Manusia Kota Besar”Bruno, 2011:23,25memperlihatkan bahwa manusianya berprilaku busuk seperti sampah
dan kotoran yang bertumpuk di selokan. Ketika pulang ke kampung halaman, kebiasaan prilaku manja selalu diagung-agungkan dan menganggap diri mereka
seperti raja. Keringat keluar bukan disyukuri tapi diumpati dalam “Keringat”, hlm: 33. Begitu pun turun hujan. Kebanyakan orang tidak bersyukur. Mereka
tidak tau kalau para petani sangat membutuhkan air agar padi atau jagung yang ditanam dapat membuahkan hasil melimpah, apalagi Lamalera yang kering seperti
ini.Selain itu, mereka tidak ingin mencium bau ikan ikan paus sehingga banyak
sekali alasan agar tidak membawa paket kiriman yang dititipkan, “Paket Kiriman
dari Kampung”, hlm 28.
3.3.2.7 Transformasi Ekonomi
Penduduk desa Lamalera zaman dahulu 90 bermatapencaharian sebagai nelayan, sisanya adalah tukang dan pegawai negeri sipil. Secara ekonomi
masyarakat Lamalera masih sangat sederhana, terlihat dari masih bertahannya budaya pasar barter yang sekaligus menjadi atraksi wisata. Pasar barter
berlangsung setiap hari sabtu dimulai pukul 09.00 waktu setempat. Sesuai dengan
98
namanya maka pasar ini sama sekali tidak menggunakan uang sebagai alat tukar- menukar, hanya mengandalkan kesepakatan antara pembeli dan penjual seperti
apa yang akan ditukarkan. Masyarakat Lamalera mengandalkan paus dan olahannya untuk dijual. Selain daging paus, minyak dari lemak paus pun dijual
sebagai obat luka bakar maupun bahan bakar lampu tradisional. Curah hujan yang sangat terbatas hanya 81 hari hujan dalam setahun
serta tanah yang tidak produktif, mereka menggantungkan kehidupannya dari hasil pertanian di pedalaman yang diperoleh lewat barter atau tukar menukar-
barang dengan barang itu. Pendapatan keluarga nelayan sangat sulit diukur. Hal ini disebabkan karena semua tangkapan akhirnya dibarter untuk mendapat bahan
makanan. Hasil barter yang didapatkan, selebihnya disimpan di matagapu sebagai stok mengahadapi paceklik.
Dengan prinsip hidup hemat, tiap keluarga bisa membuat matagapu, yakni wadah dari anyaman daun lontar yang agak besar, tempat menyimpan jagung hasil
barter. Tiap keluarga paling kurang punya satu matagapu dan itu cukup untuk melewati masa paceklik menunggu panen di pedalaman tiba. Mereka juga
menanam jagung di sekitar rumah atau kebun di Lamalera, tapi hasilnya tidak seberapa.
Mata pencaharian orang Lamalera, yaitu pertama, menangkap ikan ola- nue atau tuba feda, dan kedua, barter di pasar atau pedalaman fule-pnete.
Berdasarkan pembagian kerja secara seksual, Ola –nue dijalankan oleh laki-laki, sedangkan fule –pnete dijalankan oleh perempuan. Perempuan juga membantu
99
laki-laki dalam memperlacar proses pembagian hasil penangkapan di pantai, sampai pengawetan dan penyimpanan.
a. Ola-Nue
Ola nue berarti kerja mencari ikan di laut, sedangkan tuba-feda menunjukan pada penangkapan dengan teknologi tradisional tuba=menikam
ikan-ikan besar; feda= memancing ikan –ikan kecil. Pledang dan Jhonson merupkan kerja kolektif untuk menangkap ikan-ikan besar kotoklema ‘paus’ dan
lumba-lumba, sampai hiu, pari, dan penyu. Jhonson atau skoci bisa menangkap ikan dengan teknologi tradisional pada pledang, maupun dengan cara modern
pukat. Sampan dan berok lebih bersifat individual karena hanya melibatkan
paling banyak dua orang, dengan alat-alat yang masih tradisional memancing maupun modern semua di atas merupakan pekerjaan kaum pria. orang-orang lain,
termasuk perempuan serta anak-anak, menangkap kepiting, mengambil rumput laut, siput, kerang di batu-batu sepanjang pantai. Banyak keluarga juga memasak
garam dan kapur sirih, semuanya kemudian dibarter di pedalaman atau di pasar. Leluhur telah menetapkan bahwa kotoklema dan ikan-ikan besar diangkap
untuk pau lefo memberi makan seluruh kampung, terkhusus kaum kide-knuke yatim piatufakir miskin dan para janda. Etika ini tercermin pada pola
pembagian tradisional yang memungkinkan sebanyak-banyaknya orang di kampung memperoleh bagiannya. Pada kotoklema, misalnya, selain para awak
peledang, pemilik perahu tena alep, pembuat perahu labaktilo, pemilik layar,