Pengantar Struktur Fisik Puisi Pukeng Moe, Lamalera, Karya Yoseph Arakiê

25

BAB II CIRI-CIRI STRUKTUR PUISI

DALAM KUMPULAN PUISI PUKENG MOE, LAMALERA

2.1 Pengantar

Sastra sebagai ciptaan manusia yang khas karena penyair berhak ingin menjadi apa saja dalam karyanya. Bisa saja ekspresi pengalaman batin jiwa penyair mengenai kehidupan manusia, alam, dan Tuhan melalu media bahasa yang indah estetik yang secara padu dan utuh dipadatkan kata-katanya, dalam bentuk teks yang dinamakan puisi. Masalah kehidupan yang disuguhkan penyair dalam puisinya tentu saja tidak sekadar refleksi realitas penafsiran kehidupan, rasa simpati kepada kemanusiaan, renungan mengenai penderiataan manusia dan alam sekitar, melainkan juga sesuatu yang belum terbayangkan dan terpikirkan oleh pembaca sehingga puisi sering dianggap mengandung suatu misteri yang sulit diterima. Puisi sebagai karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Karena penuh arti, puisi sangat digemari oleh mereka yang berpikir dan juga suka berefleksi. Di dalam memahami puisi terdapat dua hal penting yang digunakan, yaitu aspek kebahasaan dan hal yang diungkap penyair. Puisi yang digunakan sebagai 26 kajiannya adalah antologi puisi Pukeng Moe, Lamalera, karya yoseph Arakiê Ulanaga Bruno Dasion. Mengapa dua hal tersebut digunakan untuk mengkaji puisi tersebut karena melalui cara ini puisi-puisi yang dikaji dapat diketahui unsur fisik dan batinnya secara utuh.

2.2 Struktur Fisik Puisi Pukeng Moe, Lamalera, Karya Yoseph Arakiê

Ulanaga Bruno Dasion 1. Diksi Pilihan Kata Bahasa dipadatkan atas dasar pemilihan kata agar berkekuatan gaib. Kekuatan tersebut hanya terterah pada kata yang tergambar di dalam sebuah kalimat yang dibentuk. Dengan menggunakan diksi, seolah-olah orang terhipnotis. Jika puisi itu dibaca, dereten kata-kata tidak membentuk kalimat dan alinea, tetapi membentuk larik dan bait yang sama sekali berbeda hakikatnya. Larik memiliki makna yang lebih luas dari kalimat. Kata-kata yang dirangkai merupakan pilihan kata yang tepat,jika diubah maka daya gaibnya akan hilang. Maka penyair memilih kata secermat-cermatnya Altenbern via Pradopo, 2010: 54. Berikut ini puisi “Mata Ibuku-1”, karya Yoseph Arakiê Ulanaga Bruno Dasion. MATA IBUKU-1 Aku menggamit lengan ibuku dan memintanya “berikanlah aku pesan kehidupan. “ Tetapi ibuku hanya menatapku dengan tatapan matanya yang teduh dan bening. Teduh bagai laut tak bergelombang bening bagai langit tak berawan. Lamalera , September 2008 Bruno, hlm. 11 27 Bait puisi tersebut terdiri atas satu bait. Meskipun hanya satu bait, tetapi memiliki kunci utamanya. Kunci utama baris pertama dan kedua,“pesan kehidupan”. Pesan kehidupan dalam hal apa, tentang apa, dan banyak pertanyaan lain. Dari pertanyaan tersebut hal atau tentang apa, selalu merujuk pada “pesan kehidupan” sesuai lirik puisi diatas. Baris ketiga dengan kata kunci tatapan. Tatapan apa maksudnya? Agar apa? Ditafsirkan bahwa penyair sangat sulit berkomunikasi dengan ibunya apalagi dengan tatapan saja. Dalam kegoyahan iman, kesulitan berdialog memang dimungkinkan. Namun dari tatapan seorang ibu pesan yang disampaikan sudah dapat terbaca oleh anaknya. Disitulah peran batin antara seorang ibu dan anak terjalin. Sementara itu, baris keempat kata kuncinya adalah teduh dan bening. Teduh ini mewakili suatu yang redup atau tidak memancakan sinar, sedangkan bening itu bersih dan berkilau. Penyair bermaksud untuk menyatakan bahwa dengan mata ibunya yang teduh dan bening itu sudah tersirat pesan kehidupan sehingga jika melakukan sesuatu yang dianggap tidak benar atau tidak dibanggakan, dengan mengingat tatapan mata ibunya ia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dengan mata yang tedu dan bening, berbagai pesan kehidupan dapat diketahui. Dalam “Usia Bapak dan Ibu-Ku”, penyair dalam memilih kata-kata, ia sangat mempertimbangkan daya sugesti kata-kata tersebut. Sugesti itu ditimbulkan oleh makna kata yang dipandang sangat tepat mewakili perasaan penyair Waluyo, 1987:77. Daya sugesti yang tertuang dalam puisi tersebut adalah yaitu jawaban yang sama dari ibu dan bapak si penyair, “sama dengan 28 usiamu”. Di akhir bait bait kedua jawaban tersebut masih terngiang di teling penyair, namun ada kegembiraan tersendiri yang dirasakannya. USIA BAPA DAN IBU-KU Pada suatu hari Saya bertanya kepada bapaku “No, berapa usiamu ?” Sambil memotong ikan, ia menjawab “ sama dengan usiamu”. Saya berbalik dan bertanya kepada ibuku yang sedang menanak nasi. “Mamma, bagaimana denganmu. Berapa usiamu ?” Ia menjawab “sama dengan usiamu.” Pada waktu itu saya heran kebingungan tetapi ada kegembiraan yang meluap dari lubuk hatiku. Agustus 1993Bruno, hlm. 9

2. Pengimajian

Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian: kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris atau disebut juga pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, atau cita rasa. Imaji visual menampilkan kata atau kata-kata yang menyebabkan apa yang digambarkan penyair. Hal ini dapat terlihat dalam puisi Yoseph ArakiêUlanaga Bruno Dasion, “Lamalera-1”.”Memandangmu dari laut aku melihat dirimu seperti seekor rajawaliyang sedang terbang melayang dengan matanya menatap tajam.Kedua sayapmu adalah Tebulele dan TomastobbiKepalamu adalah IlegopolRuas paruhmu... Sarabia Lamalera A... mata kananmu Lamalera B... 29 mata kiriku. Kuku-kuku tajam kakimu Sarabia, Blorre, Senner, Futung, Baofutung, FutunglolloLamalera, Agustus 1997, Bruno, hlm. 3. Imaji visual juga terdapat dalam puisi yang berjudul “Ombak”, ”Hari ini engkau tiba di sini, di pantai kampungku.Aku melihat engkau mendekati dan mencium bibir pantaikuKadang lembut, diam dan malu-malu,Kadang dalam hempasan gejolak.Entahkah itu kemarahanmu?Entahkah itu gelegar cinta dan rindumu tak terhempang?Ditulis kembali:SVD House, Nagoya, Minggu, 1 Februari 2009, pkl. 15:50Bruno, hlm. 57. Dalam puisi “Bisikan Ombak” menunjukan adanya imaji. Dari judulnya sudah dapat ditebak bahwa penyair menggunakan imaji auditif. “Ombak bergulung-gulung,kecil dan besar.Bergulung datang dan pecah di bibir pantai.Sempat ku dengar suaranyaketika pecah di bibir pantaiseolah ia membisikan sesuatu. Lamalera, 16 Juni 2008 Bruno, hlm. 51. Dilain pihak imaji taktil atau sesuatu yang dapat kita penyair rasakan yaitu dalam puisi “Futung”, “Dalam hati pasti engkau berkata:“siapa suruh kamu berani berenang di depanku.Berenanglah di sampingku agar aku dapat menjagaimu.”SVD House, Nagoya-Jepang,18 April 2009, AM. 11:15Bruno, hlm. 60. Dalam puisi “Batu Kursi dan Batu Meja” terlihat jelas imaji visual di setiap bait puisi yang ditulis Yoseph Arakiê Ulanaga Bruno Dasion. Untuk itu penulis memperlihatkan beberapa kutipannya.Pertama, dalam bait pertama, penyair dengan imaji visualnya melihat seperti ada yang bersandar di atas batu yang menyerupai kursi, Batu kursi, engkau kursi milik siapa?Ikan apa yang duduk bersandar di atasmu?Ikan kbeku? Ikan ketupat? Ikan kupu-kupu?Atau kepiting, 30 atau kpoi?Kerja apakah ikan yang duduk bersandar di atasmu?Kakang? Kepala Desa?Hansip? Jurutulis?Jangan-jangandia adalah pastor,atau guru, ahli pembuat perahu, pemilik perahu,atau tuan tanah seperti opa Gule dan opa Libbu? Kedua, dalam bait kedua, penyair melihat ada yang mengadakan perjamuan makan bersama, Dan engkau Batu Meja.Meja apakah dirimu?Meja makan?Setiap hari pasang, saya melihat banyak ikan berenang mengelilingimu sepertinya mereka sedang makan bersama.Bolehkah saya bertanya.Makan apakah mereka?Rumput-rumput laut seperti kre, fafekbingur, dan mukololo?Atau siput-siput laut seperti knima, kebek, kebbo, menunait? Ketiga, dalam bait ketiga, Meja Altar, meja Tuhankah dirimu?Pada kesempatan lain saya melihat seekor ikan putihberenang di bagian kepalamu, dan di sampingnya ada dua ekor ikan kecil.Ikan putih itu seperti pastor Duppont, ikan kecil seperti ajudamisdinar.Sepertinya mereka sedang merayakan Misa Suci.Tetapi misa untuk siapa?Koloboso? Piet Sita?Linus Ratu, Prasso Sulaone, Datto Kenni, dan semua yang meninggal di laut? keempat, dalam bait keempat, dengan imaji visualnya seperti melihat ada yang bernyanyi di batu kursi dan batu meja tersebut, Ada juga banyak ikan yang lain.Barangkali mereka sedang menyanyikan“nyanyikanlah lagu pujian bagi Allah di hari Tuhan” atau” Ya, Pemilik-ku, Engkau mengenal aku.”Organisnya guru Lasse Bataone atau, Romo Gerardus Mure Korohama.Kalau dirigen pasti tidak ada yang lainPater Dan Kiti Tapoone,Solisnya ibu Agnes Java Dasione,Penata tari, ibu Nika Bataone. 31 Sedangkan kelima, dalam bait kelima, dilihatnya penyair banyak kerumunan ikan, Meja adatkah dirimu? Di lain waktu saya melihat banyak ikan berkerumun Mengitarimu, Sepertinya mereka sedang berkumpul membicarakan adat. Apakah mereka sedang Tobu Neme-Fatte Dan membicarakan hal tentang Kerja dan hidup kami di laut? Nagoya, SVD House, 6 Maret 2010 Bruno, hlm. 64

3. Kata Konkret

Penyair ingin mengambarkan sesuatu yang lebih konkret. Oleh karena itu, kata-kata diperkonkret. Bagi penyair dirasa atau dianggap lebih jelas karena lebih konkret, namun bagi pembaca sering lebih sulit ditafsirkan maknanya. MATA IBUKU -2 Mata ibuku ibarat cermin tempat aku meneliti diri, melihat kebaikan dan keburukanku, dosa dan salahku. Setiap kupandang mata ibuku, hatiku yang kurang baik hilang entah kemana. Cahaya mata ibuku ibarat tetesan air suci dari surga membersihkan segala kekotoranku. Meski merasa takut dengan mata ibuku tak pernah bosan aku menatapnya. Dengan menatapnya aku lahir kembali seperti seorang bayi Lamalera, September 2008 Bruno, hlm. 13 32 Dalam puisi di atas penyair menunjukan bahwa mata ibunya ibarat cermin yang dapat melihat keburukan, kebaikan, dosa, dan salahnya. Penggambaran penyair yang melihat mata ibunya tanpa bosan dan merasa tidak lagi memiliki dosa, maka diperkonkret seperti seorang bayi yaitu seorang bayi yang bersih dari dosa. Hal lain terlihat dalam “Mata Ibuku-3”bahwa segala perbuatan, tingkah- laku, ucapan, gerak-gerik, serta segala kebaikan dan keburukan dalam kehidupan penyair disebut atau diperkonkret dengan “Perahu kehidupan”. MATA IBUKU -3 Setiap hari, setiap musim kehidupan ibuku selalu berdoa Dan tak pernah berhenti menatap perahu kehidupanku. Ketika taufan berhembus, arus menjadi liar gelombang buas meninggi, hujan deras, guntur bergemuruh, perahu kehidupanku tetap meluncur tenang ibuku tak pernah lepas memandangku dengan matanya. Lamalera, September 2008 Bruno, hlm. 15

4. Bahasa Figuratif

a. Lambang

Dokumen yang terkait

Bentuk-bentuk Diskriminasi dalam Kumpulan Puisi Esai Atas Nama Cinta Karya Denny JA: Tinjauan Sosiologi Sastra

2 109 67

Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

9 84 213

ASPEK MORAL DALAM KUMPULAN PUISI ASMARADANA KARYA GOENAWAN MOHAMAD: TINJAUAN SEMIOTIK DAN Aspek Moral Dalam Kumpulan Puisi Asmaradana Karya Goenawan Mohamad: Tinjauan Semiotik Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 13

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 12

PENDAHULUAN Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

2 6 33

DAFTAR PUSTAKA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 4

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

2 10 13

Transformasi budaya dalam kumpulan puisi Pukeng Moe, Lamalera karya Yoseph Arakie Ulanaga Bruno Dasion : sebuah tinjauan siologi sastra.

0 2 160

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN CERPEN LUPA ENDONESA KARYA SUJIWO TEJO: SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA.

0 0 1

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI AKU MANUSIA KARYA A. MUSTOFA BISRI (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA) - repository perpustakaan

0 0 12