39
f. Ironi
Dalam “Perantau”yakni ada kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran. Hal tersebut terdapat di akhir puisi, yaitu Oh,
perantau yang kurang bijaksana, mengapa merantau hanya untuk menjadi miskin-merana?
PERANTAU Setiap kali baru pulang dari rantau
Tiap hari mereka tidur bangun dengan Celana dan jaket jeans.
Kepala mereka bertopi, Leher mereka selendangi dengan handuk putih.
Mata tertangkup rayban Tangan berhiaskan cincin emas dan arloji.
Tanpa alasan pun mereka tertawa lebar Hanya untuk memamerkan gigi emasnya.
Itulah tingkahlaku perantau. Tiap hari ,
Ketika hari mulai senja, Sambil menjinjing tape dengan
Musik bervolume tinggi, Mereka pergi mengunjungi
Tempat-tempat minum tuak. Lama kelamahan kita dapat melihat,
Harta milik mereka yang melekat di badannya Mulai hilang satu demi satu.
Jaket dan celana juga mereka jual Dan mereka mulai mengenakan sarung
Seperti kita yang lain. Paling terakhir mereka menggade arloji, cincin, tape.
Bahkan gigi emasnya dicungkil dan dijual Dan kembalilah mereka ke tanah rantau.
40
Oh, perantau yang kurang bijaksana, Mengapa merantau hanya untuk
Menjadi miskin-merana?
Desember 2002Bruno, hlm. 35
5. Versifikasi Rima, Ritma, dan Metrum
Pemilihan kata dalam sebuah baris puisi maupun dari satu baris ke baris yang lain mempertimbangkan kata-kata yang mempunyai persamaan bunyi yang
harmonis. Bunyi-bunyi yang berulang ini menciptakan konsentrasi dan kekuatan bahasa atau sering disebut daya gaib kata seperti dalam mantra.
Dalam puisi Yoseph Arakiê Ulanaga Bruno Dasion, persamaan bunyi tersebut malah dibuat sangat penting seperti dalam mantra. Hal tersebut dapat
dihayati dalam puisinya “Lamalera Knummu” ‘Jari-Jemari Kampungku’.
LAMALERRA KNUMMU Leffuk Lamalera knumu léma
Senner…knumu innê Futung….knumu pnurru
Sarabia…knumu tukkê Baofutung…knumu killê
Futunglollo…knumu ênne …………………………………
Futunglollo…knumu innê Baofutung…knumu pnurru
Sarabia…knumu tukkê Futung…knumu killê
Senner….knumu ênne.
Lamalera, September 2005 Bruno, hlm. 99
41
Dalam puisi ini kesatuan baris-baris puisi diikat oleh pengulangan kata tertentu sehingga menciptakan gelombang yang teratur, seperti dalam “Bau
Busuk.”
BAU BUSUK No, Mamma.....
Hari ini saya di kota besar. …………………………
No dan Mamma, Kalau kita dengar kota besar
Kita hanya berkhayal tentang bau harumnya. …………………………...
No dan Mamma, Berdoalah bagi orang-orang kita yang tinggal di kota besar
Agar hati mereka tidak hancur-rusak dan membusuk.
Februari, 2007 Bruno, hlm. 23 Dalam puisi di atas ada pengulangan pada kata No dan Mamma. No dan
Mamma adalah panggilan dalam bahasa Lamalera dari seorang penyair kepada orang tuanya yang artinya ayah dan ibu. Penyair dalam keheningan merefleksikan
keadaan kota besar yang penuh dengan tantangan yang siap mengubah prilaku seseorang sehingga ia berseru-seru kepada orangtuanya agar kuatkan hatinya
dalam menghadapi kota yang banyak tantangannya. Hal diatas pun terlihat dalam puisi “Paket Kirimandari Kampung”:
Saudariku, Suratmu sudah saya terima dua hari yang lalu.
………………………….. Saudariku,
Jangan bersedih hati Tetapi saya harus menyampaikan berita ini.
42
…………………………………… Saudariku,
itulah nasib orang miskin dan tak berpunya. Nasi kita nasi jagung,
……………………………… Saudariku,
Kali berikut kalau mau kirim sesuatu Harap pilih orang. Dan... perhatikan baik-baik wajah mereka.
Saudariku, Jangan sedih hatimu,
Jangan kita menyumpahi dan membenci mereka. …………………………
Bruno, hlm. 28
6. Tata Wajah Tipografi
Dalam puisi mutakhir setelah tahun 1976, banyak ditulis puisi yang mementingkan tata wajah, bahkan penyair berusaha menciptakan puisi seperti
gambar. Puisi sejenis itu disebut puisi konkret karena tata wajahnya membentuk gambar yang mewakili maksud tertentu. Dibandingkan tata wajah non-
konvensional, jauh lebih banyak puisi dengan tata wajah konvensional apa adanya, tanpa membentuk gambar atau bentuk tertentu lainnya. Dalam antologi
puisi Pukeng Moe, Lamalera, penulis menemukan sebuah puisi yang berjudul “Baofutung” berikut, dengan tata wajah rata kanan. Setiap puisi yang ditulis
penyair, sebagian besar tipografinya rata kiri, namun salah satu puisi yang penulis temukan ini memilki tipografi rata kanan.
43
Setiap tipografi yang dibuat seorang penulis terkadang atau sebagian besar memiliki makna tersendiri. Oleh karena itu, penulis ingin mengartikan apa
maksud penyair, Yoseph Arakiê Ulanaga Bruno Dasion dari tipografinya, dalam Baofutung. Baofutung merupakan sebuah tanjung. Tanjung ialah tanah ujung
atau pegunungan yang menganjur ke laut atau ke danau KBBIOffline 1.5.1. Di sini penulis dapat menangkap maksud penyair bahwa rata kanan dari puisi
tersebut melambangkan sebuah tanjung dan tanjung yang dimaksud adalah tanjung Baofutung.
BAOFUTUNG
Berok , sampan besar telah punah. Pancing ikan tidak lagi digemari,
Peledang berkurang,pelae angi entah kemana. Pantai tak lagi sakral
Oooo Gulat tradisional dan bakar jagung di pantai, Ambil dan masak darah paus dan beli bolu,
Di manakah kamu Satu demi satu
Semua kebiasaan lenyap Dari ingatan dan kehidupan kampungku.
Hanya Baofutung Yang masih menghibur kedukaanku.
Ia masih tetap seperti dulu, Membiarkan punggungnya jadi tumpuan kaki anak-anak Lamalera
Yang masih menyimpan serpihan mimpi jadi Lamafa. Lamalera, 15 Juli
2006 Bruno, hlm. 47 Dalam puisi diatas, penyair mengemukakan kekesalannya yang begitu
hebatnya karena kehidupan masyarakat sebagai nelayan lama- kelamaan semakin hilang atau punah dari kebiasaan-kebiasaan yang dilestarikan sejak dulu.
44
Sedangkan, Dalam puisi “Keterasingan”, larik yang menjorok ke tengah halaman memberikan jawaban kepada larik sebelumnya. Selain itu, puisi
“Keterasingan”yang dibuat menjorok ke tengah menggambarkan sosok seseorang atau mungkinjuga penyair sendiri yang hidup dalam dilema. Artinya sulit memilih
sehingga dibuat menjorok ketengah. Space kiri atau kanan menunjukan keadaan dilema, sebenarnya mau ke kiri atau ke kanan selalu salah atau dalam posisi yang
tidak benar.
KETERASINGAN
Kembali ke kampung halaman Wajanya mulai bopeng
Dicorat coret lekak lekuk garis-garis kemajuan Tak beraturan.
Banyak anak yang datang mengerumuniku. Tetapi aku tak mengenali nama mereka.
Mereka tak mengenal aku. Hatiku terluka,
Jiwaku melayang, Aku seorang asing
Di kampungku sendiri. Lamalera, 24 September 2005
Bruno, hlm. 44
2.3 Struktur Batin Puisi Pukeng Moe, Lamalera, Karya Yoseph Arakiê Ulanaga Bruno Dasion