57
kilat menyambar dan guntur bergemuruh. Saya menggerutu
“Hujan setan. Tidak tahukah dia bahwa kita sedang Memikul beban berat ?”
Tetapi engkau menegurku sambil berkata: “Kalau hujan tidak turun
padi dan jagung akan mati.” Kita pun berteduh dibawah sebuah pohon besar
hingga hujan berhenti.
e. Protes Kemunduran Sosial
Tema protes sosial adalah tema yang menggambarkan tentang suatu daerah yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk
sosial harus saling berbagai, tolong-menolong satu dengan yang lainnya, tegur sapa. Hal inilah yang disebut dengan makhluk sosial.
Dalam puisi “Emperan Rumah”, penyair kurang setuju dengan perilaku masyarakat yang semakin berbeda jiwa sosialnya. Semakin bertambah hari, hidup
individualistis mulai dianut. Zaman dahulu sampai zaman sekarang, wajah bangunan rumahmasyarakat semakin modern, besar dan dibuat bertingkat.
Namun, mereka melupakan satu hal dalam membangun kebersamaan bagi orang yang dikenal, maupun tidak dikenal, yaitu emperan rumah. Mereka perluh berkaca
pada masa lalu, meskipun kelihatan reot rumah zaman dahulu, tetapi emperan paling dinomorsatukan.
EMPERAN RUMAH
Dulu... Rumah-rumah kita reyot
Menyerupai gubuk sederhana, Beratap rumput alang-alang atau daun lontar.
58
Biar kecil, Tetapi rumah kita punya emperan.
Siapa yang lewat di depan rumah Kita panggil untuk duduk di emperan rumah.
Saudaraku, Mau kemana?
Mari dudu sebentar di emperan Dan nikmatilah segulung rokok koli.
Saudariku, mau kemana?
Mari duduk sebentar di emperan rumah Makanlah siri-pinang.
Opa, mau ke pantai? Mari singgah sebentardi emperan rumah,
Minumlah segelas air Ina...Ama...Mio ata alaka lefu?
...”Kamu orang apa?” Mari duduk sebentar di emperan rumah
Makan jagung titi dan minum air Supaya kuat meneruskan perjalanan.
Anak-anak Mari makan jagung goreng bersama.
Rumah kita, rumah kecil Rumah kita tak punya apa-apa
Tetapi punya emperan. Emperan rumah
Tempat kita saling bertemu Saling berbelah rasa
Dan berbagai kasih sayang. Sekarang ini,
Rumah kita besar dan luas Tapi tak punya emperan yang selalu terbuka bagi siapa saja.
Rumah kita besar
59
Hanya untuk diri sendiri. Rumah kita...
Rumah kekikiran Rumah ingat diri
Rumah kesombongan.
SVD House Nagoya-Jepang, 21 Februari 2010 Minggu: AM 9:37Bruno, hlm. 104
Wujud kikir atau individualis dan menipu diri sendiri dan orang lain juga tertuang dalam puisi “Kosong”. Masyarakat Lamalera mulai melupakan kebiasaan
yang seharusnya dibudayakan dari generasi ke generasi. Sebagai makhluk sosial, berbagi atau sama-sama merasakan pahit manisnya sebuah kehidupan adalah hal
yang sangat dibutuhkan, apalagi hidup dalam sebuah kelompok yang telah menjadi tradisi dan sudah mendarah daging. Penyair sangat menyayangkan
kemunduran sosial masyarakat setempat.
KOSONG
Waktu mereka pulang memancing dari laut “ada yang ditangkap?”
Mereka hanya tunduk dan menjawab sambil bermurung muka “kosong... sama sekali tidak ada.”
Padahal kantong mancingnya mengembung Dan tampak berat.
Mereka kembali mengikuti urusan adat Dan kita tanya:
“minumnya banyak?” Dengan semangat merekamenjawab:
“Kosong...kami hanya minum satu gelas.” Tetapi,
Raut wajah dan mata tampak memerah, Langkah kakinya tidak teratur,
Aroma badannya menyeruak bau tuak
60
Bicaranyapun ngawur dan tak karuan Dalam hati
“itukah yang kamu bilang kosong...kosong.”
SVD House, Nagoya-Jepang, Senin, 7 Juni 2010 AM 11:25 Bruno, hlm. 109
2. Nada dan Suasana Puisi
Disamping tema, puisi juga mengungkapkan nada dan suasana kejiwaan. Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca. Dari sikap itu terciptalah
suasana puisi. Ada puisi yang bernada sinis, protes, memberontak, main-main, serius sungguh-sungguh, patriotik, belas kasih memelas, takut, mencekam,
santai, masa bodoh pesimis, humor bergurau, mencemooh, kharismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya. Dari antologi puisi Pukeng Moe, Lamalera
karya Yoseph Arakiê Ulanaga Bruno Dasion, dapat ditelaah bagaimana nadanya. Nada puisi dalam ”Manusia Kota Besar” ini bernada sinis. Penyair
menyatakan nada sinis dapat dilihat dalam bait pertama: Kota Besar itu baik tetapi ia bisa saja meracuni hati orang.Manusia yang tinggal di dalamnya bisa
berbesar kepala dan menjadi congkak. Oleh karena itu, dapat diketahui sebesar apa “kota besar” mempengaruhi masyarakat sehingga menjadi racun dan congkak
seperti dalam bait pertama. Untuk bait selanjutnya dapat diketahui secara jelas. Masihkah kalian ingat,
Ketika mereka pulang kampung dan bercerita tentang Kota Besar ? Mabuk dengan tuak putih,
Kenyang dengan jagung titi yang kita suguhkan, Mereka tak habis menuturkan kisah-kisah khayalan ,
Tentang kota besar, dari pagi hingga malam,
61
Dari malam hingga pagi. Kisah berganti kisah terus mengalir dari mulut.
Ibarat mata air bersumber tujuh, Mengalir tak kenal henti seperti sungai Atafai
Sepertinya mereka tahu segalanya tentang kota besar. Menyaksikan cara bicaranya
Kita pikir mereka adalah orang-orang sekolah tinggi. Ditanya satu mereka menjawab sepuluh.
Tidak ditanya pun mereka bicara sendiri. Mulut mereka sangat cerewet dan gatal.
Manusia model ini, cumalah manusia bebal, pembohong kawakan, Tinggi hati, sombong dan congkak.
Saya ingat kata-kata bijak “Bele Guru” “Olla kenni one emmu, alang klinggo-klinggo”
Kata-kata ini sama artinya dengan: “Tong kosong, nyaring bunyinya.”
Bruno, hlm. 25 Dalam“Perantau”pun Bruno menunjukan bahwa seorang perantau yang
baru saja pulang merantau pasti ritual yang digunakan untuk menunjukan kerja kerasnya selama di negeri orang yaitu “aksi pamer”. Boleh dikatakan aksi seperti
itu sudah menjadi kekhasan orang perantau dari Lembata, khususnya masyarakat Lamalera: “Setiap kali baru pulang dari rantauTiap hari mereka tidur bangun
dengancelana dan jaket jeans.Kepala mereka bertopi,Leher mereka selendangi dengan handuk putih. Mata tertangkup rayban Tangan berhiaskan cincin emas
dan arloji. Tanpa alasan pun mereka tertawa lebarhanya untuk memamerkan gigi emasnya Itulah tingkahlaku perantau.Lalu dalam bait selanjutnya penyair
menggambarkan bahwa: Tiap hari ,
Ketika hari mulai senja, Sambil menjinjing tape dengan
Musik bervolume tinggi, Mereka pergi mengunjungi
Tempat-tempat minum tuak.
62
Lama kelamahan kita dapat melihat, Harta milik mereka yang melekat di badannya
Mulai hilang satu demi satu. Jaket dan celana juga mereka jual
Dan mereka mulai mengenakan sarung Seperti kita yang lain.
Paling terakhir mereka menggade arloji, cincin, tape. Bahkan gigi emasnya dicungkil dan dijual
Dan kembalilah mereka ke tanah rantau. Oh, perantau yang kurang bijaksana,
Mengapa merantau hanya untuk Menjadi miskin-merana?
Desember 2002 Bruno, hlm. 35 Di akhir bait dalam “Perantau”, Bruno dengan nada sinis ingin sendiri
bertanya kepada para perantau Oh perantau yang kurang bijaksana, Mengapa merantau hanya untuk menjadi miskin-merana. Dalam “Keringat” Bruno, hlm.
33 ini juga menunjukan perasaan penyair yang melihat keadaan manusia kota- kota besar yang sangat takut kalau berkeringat “Mereka mengutuk keringat sambil
berkata, “Uh, keringat bau.” Sementara dalam “MariKitake Laut” nada penyair sangat persuasif dan
terlihat di awal bait dengan seruan “Wahai orang Lamalera”, dandi akhir bait, yaitu kalimat-kalimat yang menunjukan sebuah ajakan: “Panggil dan
kumpulkanlah…Mari kita duduk bersama di pantai...kita harus teruskan.” Wahai orang Lamalera
Janganlah kita lupa akan perahu dan kerja kita di laut.
63
Biar zaman berganti zaman Mari jaga dan rawat laut, taman kehidupan.
Angin timur berhembus, arus mengalir, matahari perlahan terbit Dengan cahaya bagaikobaran api.
Sabahat, dorong perahu, dirikan tiang dan tariklah layar Kayulah perahu kita dalam irama
Hilibe, hilibe, hilibe...mari kita ke laut. Sebab, inilah tugas hidup warisan leluhur,
Kita harus pergi. Kampungkita kelaparan dan penuh susah
Yatim-piatu dan para janda menangis pilu Dengan tangan terulur mereka menanti rezeki dari laut.
Sahabat, mari bersatu kita mengayuh perahu ke laut. Sebab inilah tugas hidup warisan leluhur,
Kita harus pergi. Panggil dan kumpulkanlah
Kedua Tuan Tanah-Gule-Narague dan Libbu-Soge, Tiga tungku, pemilik perahu, ahli pembuat perahu
Dan seluruh masyarakat. Mari kita duduk bersama di pantai,
Sebagai saudara Kita bicara bersama tentang nasib hidup kita.
Inilah adat yang diwariskan leluhur, Kita harus teruskan.
Bruno, hlm.112 Dalam “Pantai Sakral Lamalera” menandakan bahwa penyair sangat tidak
setuju dengan perilaku masyarakat yang semakin hari semakin menghilangkan kebiasaan, sala satunya selalu melawati Nemefattekemanapun pergi. Tempat suci
itu dianggap sakral dan jika melewati tempat itu sebelum dan sesudah berangkat maka ia akan terberkatidiberkati. Namun sekarang ritual itu tidak lagi dilakukan
sehingga penyair bertanya bahwa orang yang tidak melapor atau tidak permisi,
64
dan tidak menyapa itu apakah “pencuri”. Pertanyaan itulah yang menjadi gambaran kekecewaan penyair.
Nemefatte.... Sekarang, orang keluar dari kampung ini
Lewat belakangmu. Mereka membelakangimu.
Pergi tanpa permisi, Pulang juga tanpa memberitahu.
Apakah mereka pencuri? Mereka pergi dan datang diam-diam tanpa
Minta berkat darimu.
Nagoya-Jepang, Rabu, 17 Pebruari 2010, pkl.18 Bruno, hlm. 101
3. Perasaan dalam Puisi
Puisi mengungkapkan perasaan penyair. Nada dan perasaan penyair akan dapat kita tangkap kalau puisi itu dibaca keras dalam Poetry reading atau
deklamasi. Membaca puisi dengan suara keras akan lebih membantu kita menemukan perasaan penyair yang melatarbelakangi terciptanya puisi tersebut.
Perasaan yang menjiwai puisi bias saja perasaan gembira, sedih, terharu, terasing, tersinggung, patah hati, sombong, tercekam, cemburu, kesepian, takut, dan
menyesal. Dalam puisi yang berjudul “Anak Penyu” penyair menunjukan
perasaan yang bahagia ketika memiliki sebuah binatang piaraan yang diberikan ayahnya. Ia sangat banggga dengan piaraan tersebut. Setiap hari diberi makan
hingga besar dan penyair mengerti bawa binatang piaraannya pasti dicari oleh ibunya sehingga ia meminta ijin kepada orangtuanya agar melapaskan kembali ke
65
laut. Tidak pernah ada rasa penyesalan yang timbul dalam dirinya, ia bangga karena telah menemukan dan paling tidak mengembalikannya ke tempat asalnya,
laut. Wujud bahagia penyair terlihat dalam bait terakhir: sepertinya ia menoleh dan melihat kami. Itu menandakan bahwa penyair mengarti bahwa apa yang ia
lakukan itu betul dan mungkin itu tanda terima kasihnya sehingga dalam benaknya timbul pertanyaan: Adakah ia mengucapkan “limpah terima kasih”?
ANAK PENYU
Bapaku kembali dari laut Membawaku seekor penyu kecil.
Kuisi air laut ke dalam sebuah pasu Dan melepaskannya di dalamnya.
Pagi berikut Saya katakan kepada bapa dan ibuku:
“Saya akan melepaskannya kembali ke laut. Pasti ibunya sedang mencarinya.”
Mereka berdua mengangguk setuju. Bersama bapa dan ibu,
Kami membawanya ke Futung dan melepaskannya ke laut. Sambil berenang,
Sepertinya ia menoleh dan melihat kami. Adakah ia mengucapkan “limpah terimakasih?”
Dan, Ia menyelam hilang ke dalam laut.
Kebahagiaan juga terdapat dalam puisi yang berjudul “Rommel”. Rommel merupakan nama anjing piaraan. Nama anjing ini berasal dari nama Olever
Cromwell 25 April 1599-3 September 1658, seorang pemimpin militer dan politik Inggris yang terkenal. Anjing ini dirawat dan dipelihara penyair sekeluarga
dengan kasih sayang. Suatu ketika diserahkan kepada kenalan keluarga mereka di
66
kampung Penikene, yang jaraknya cukup jauh dari kampung Lamalera. Penyair sangat berat hati sehingga timbul rasa sedih di dalam diri penyair. Namun,
penyair membisikan sesuatu kepada Rommel “engkau boleh pergi, tetapi jangan lupa jalan kembali ke sini.” Selang beberapa hari kemudian Rommel kembali ke
rumah penyair disitulah perasaan penyair sangat senang dan timbul pertanyaan dalam benaknya: “engkau ingat pesanku ?”.
ROMMEL Saya masih ingat
dulu kami punya seekor anjing jantan di rumah warna kulitnya hitam-putih.
Namanya Rommel.
Kami menyayanginya seperti saudara sendiri. Dia pun menyayangi kami dan setia menjagai rumah.
Suatu hari, bapa mengatakan “Rommel akan kita jual kepada kepala Akeonga.”
Mendengar itu saya menangis. Sambil memberi makan
saya mengelus Rommel sambil berbisik di telinganya:
“engkau boleh pergi, tetapi jangan lupa jalan kembali ke sini.” Ia mengibas ekornya
seolah mengerti kata-kataku. Cukup lama dia tinggal di Penikene
Suatu pagi ketika kami masih tidur kami mendengar ada yang menggarit pintu depan rumah.
Bapa bergegas bangun menuju pintu dan berteriak “Rommel pulang ”
Kami semua pun bangun dan menemukan Rommel sedang
67
mengibas-ngibas ekornya. Saya mengelus-elus lehernya sambil bertanya:
“engkau ingat pesanku ?” Yang disahutnya dengan gonggongan kegembiraan.
Sejak hari itu Rommel tinggal di rumah.
menjaga kami, menjaga rumah. Dia hidup hingga saya SMP Kelas III.
Suatu sore ia menghembuskan nafas terakhir di samping dapur.
Ibu dan aku membawanya ke Futung mengucapkan terimakasih dan kata pisah untuknya
dan melepaskannya ke laut. Rommel,
anjing yang baik dan pintar. Setiap saat aku mengingatnya
air mataku berlinang, Oh, angin dan arus
Oh, Fato Mannu datanglah dan hantarlah dia ke Nua Bele.
Ditulis Februari 2007 Bruno, hlm. 20
Dalam puisi “Guru Kehidupan” Bruno, hlm. 86 ini menyatakan perasaan penyair dalam keadaan patah semangat dan takut jikalau tradisi khas yang sudah
bertahun-tahun dipelihara dan dilestarikan sebagai bagian dari warisan nenek moyang mulai tergerus begitu saja dan tak ada usah warga untuk
merefitalisasinya. Maka dari itu, penyair dalam doanya memohon agar semua guru kehidupan, yaitu tuan tanah, para pemimpin kampung, para imam Tuhan,
para pemilik perahu, para ahli pembuat perahu, para juru tikam, para dukun kampung, para tukang bangunan, dan para guru kehidupan, ”Kamu semua telah
68
hidup dan bekerjabagi kampung, bagi orang banyak.Tidur dan beristirahatlah di surgatetapi jangan tidur lelap Jangan lupa kampung.Kembalilah ke tengah-
tengah kamilewat mimpiatau datanglah menjenguk kami dengan rohmu.”
4. Amanat Puisi
Amanat, pesan atau nasihat merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi. Amanat dirumuskan sendiri oleh pembaca. Sikap dan
pengalaman pembaca sangat berpengaruh kepada amanat puisi. Cara menyimpulkan amanat puisi sangat berkaitan dengan cara pandang pembaca
terhadap suatu hal. Meskipun ditentukan berdasarkan cara pandang pembaca, amanat tidak dapat lepas dari tema dan isi puisi yang dikemukakan penyair. Puisi
“Terantuk” walaupun sederhana, tetapi memiliki pesan atau amanat. TERANTUK
Ketika terantuk Saya mengumpat batu dengan kata-kata makian.
Lain kesempatan, Kalau terantuk
Saya berteriak menyebut nama “Yesus, Maria dan Yoseph”
Kadang juga saya menyebut nama semua anggota keluargaku, “No, Mamma, Aki, Dami, Oa, Juli, Josse”
Terantuk memang sakit. Tetapi ia mengingatkan diri kita
Sebagai manusia yang berdosa yang bisa maki, Yang bisa berdoa.
Atau, ia juga menyadarkan kita bahwa kita Masih punya keluarga: Bapa, mama dan saudara.
SVD House, Nagoya-Jepang, 11 Desember 2009 Bruno, hlm. 97
69
Puisi “Terantuk”, karya Yoseph Arakiê Ulanaga Bruno Dasion mengandung bermacam-macam amanat, yaitu
9 Setelah kita menyebut kata-kata kotor makian, hendaknya
kita kembali ke jalan Tuhan dengan menyebut nama-Nya. 9
Agar tidak mengeluarkan kata-kata makian umpatan, sebutlah nama keluarga dekat kita.
9 “Terantuk” merupakan perbuatan tanpa kita sadari dan secara
spontan kita menyebut kata kotor. Maka dari itu, jalan yang terbaik menuju kebaikan adalah bertobat sebab Tuhan Maha
pengampun. 9
Tidak menggunakan kata umpatan melainkan menyebut nama keluarga atau nama orang-orang kudus itu menggingatkan dan
menyadaran kalau kita masih punya keluarga dan masih ber- Tuhan.
Dalam puisi “Tanjung Suba Tanjung Naga” pun memiliki pesan atau amanat yang diangkat oleh penyair baik pembaca maupun penikmat puisi dalam
dua hal penting, yaitu amanat bagi orang atau sesama ketika mengalami sebuah kesulitan, cobaan atau dalam bahaya maka seruan-seruan meminta pertolongan
akan datang kepada-Nya. Namun, saat dalam keadaan senang dan bahagia bukan disyukuri tetapi seolah-olah melupakan keikutsertaan-Nya yang memberikan
kebahagiaan itu.
70
Sementara amanat yang berikutnya ditujukan secara khusus masyarakat Lamalera yang tidak lagi bepergian menggunakan jalur laut atau boleh dikatakan
masyarakat setempat sudah mulai melupakan tradisi setempat dan mulai menggunakan alat transportasi sebagai alat transportasi yang notabene adalah alat
modern. Oleh karena itu penyair berharap agar masyarakatnya boleh menggunakan kendaraan umum, namun jangan dilupakan atau sesekali
menggunakan alat transportasi laut yang menjadi kendaraan khas zaman dahulu. Ada pesan atau amanat yang ditujukan kepada orang dewasa bahwa tidak
boleh menggap remeh dengan anak-anak karena mereka secara tidak langsung, baik dalam tutur kata, tingkahlaku sehari juga dapat memberikan pesan yang
berguna bagi kita semua. Dalam “Anak Kecil”, penyair sangat bangga kalau melihat anak kecil bermain bersama teman sebayanya di pesisir pantai dan luapan
kegembiraan itu sangat lepas tanpa beban apapun. Ketika engkau merasa lelah
Tertindih beban kehidupan Duduklah, dan ......perhatikanlah anak-anak kecil
Yang sedang bermain. Kadang mereka saling berbicara seperti orang dewasa,
Kadang mereka saling memandang penuh daya tarik, Berbisik satu sama lain sambil tertawa kecil.
Kadang juga mereka saling berciuman seperti dua sejoli Yang sedang jatuh cinta.
Kadang pula mereka duduk melantunkan Nyanyian dengan suaranya yang merdu.
Anak kecil adalah titipan dai sang khalik. Mereka menasihati kita orang dewasa:
“Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. Jangan disimpan sampai esok atau lusa.” Matius 6:34
71
Nagoya, Oktober 2007Bruno, hlm. 37
2.4 Rangkuman