Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Daerah perbatasan dikenal sebagai beranda rumah bagi suatu negara. Indonesia memiliki banyak pulau yang secara geografis, sebagian pulau letaknya berbatasan dengan negara lain seperti Malaysia, Philipina, Papua New Guinea, dan Timor Leste. Selain secara geografis, daerah perbatasan juga secara kultural berbatasan, sehingga tidak jarang masyarakat perbatasan memiliki persamaan budaya dengan negara tetangga. Pada umumnya pembangunan di daerah perbatasan Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan daerah perbatasan negara tetangga. Hal ini dikarenakan terbatasnya telekomunikasi, pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, dan listrik yang memadai. Kalimantan Barat merupakan salah satu pulau yang dimiliki oleh Indonesia yang kaya akan sumber daya hutan, memiliki lima daerah perbatasan dengan Malaysia yaitu : Aruk yang berada di Kabupaten Sambas, bengkayang di Jagoi Babang, Entikong di Kabupaten sanggau, Senaning di Kabupaten Sintang, dan Badau di Kabupaten Kapuas Hullu. Jauh sebelum Indonesia menetapkan keempat daerah tersebut sebagai daerah perbatasan, warga Indonesia yang ada diperbatasan telah menjalin hubungan sosial-ekonomi dengan warga Malaysia dan sering melakukan perdagangan lintas batas. shttp:www.indonesiatourism.comwestkalimantanmapwest_kalimantanhigh.png Hubungan Sosial-ekonomi yang terjalin antara warga Indonesia di perbatasan dengan warga Malaysia memberikan banyak keuntungan bagi warga Indonesia yang tinggal di sepanjang daerah perbatasan, khususnya warga Indonesia di Badau. Masyarakat yang tinggal di daerah Badau merupakan masyarakat lokal yaitu suku Dayak dan Melayu dengan mayoritas jenis pekerjaannya di bidang pertanian dan sebagian di bidang wirausaha. kesulitan untuk mendapatkan barang kebutuhan pokok dari dalam negeri ditambah dengan akses jalan dari Ibu Kota Pontianak ke perbatasan Badau yang buruk, membuat harga barang kebutuhan pokok menjadi mahal. Kebanyakan dari masyarakat di daerah Badau menjual hasil komoditi pertanian mereka ke Malaysia berupa lada, madu, ikan sungai, ayam kampung, buah-buahan, kopi, dan kayu dikarenakan harga jual dari komoditi pertanian mereka dihargai lebih mahal dibanding dengan harga jual di kota Putussibau. Hasil pertanian tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari dari masyarakat Badau berupa: gula, bensin, garam, minyak goreng, gas, daging, serta makanan dan minuman ringan yang tidak bisa mereka dapatkan dari pedagang Pontianak. http:www.aisyiyah.or.idappwebrootuploadedkapuas20hulu20map.jpg Peluang terbesar untuk mendapatkan produk kebutuhan sehari-hari yang lebih murah dari produk buatan dalam negeri membuat warga Indonesia dan para pedagang yang ada di Badau tertarik untuk berbelanja ke Malaysia. Hal ini didukung oleh letak geografis yaitu jarak tempuh dari Badau-Sarawak yang lebih singkat sekitar 30 menit dengan jalan yang beraspal mulus. Berbeda dengan jarak Badau-Putussibau yang harus menempuh perjalanan sekitar 5 Jam dengan jalan yang rusak seringkali membuat penduduk perbatasan Badau-Lanjak harus merogoh uang transportasi sebesar Rp80.000-Rp140.000 yang belum lagi resiko bahan makanan seperti daging membusuk di perjalanan. Produk kebutuhan pokok merupakan salah satu dari sekian banyak produk yang dibeli dengan harga murah dari Sarawak. Selain produk kebutuhan pokok, mayoritas kendaraan roda dua dan roda empat juga didatangkan dari Malaysia. Perbandingan harga kendaraan baik itu kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat yang relatif lebih murah merupakan faktor terkuat yang mempengaruhi masyarakat Badau membelinya. Akantetapi, kendaraan roda dua dan roda empat ini hanya beroperasi di daerah Badau dan Malaysia saja, dikarenakan kendaraan ini pada umumnya tidak memiliki surat menyurat. Orientasi harga yang murah dengan kualitas produk yang lebih baik dari buatan dalam negeri membuat neraca pembelian untuk produk buatan Malaysia lebih tinggi daripada produk buatan Indonesia. Kondisi geografis yang mendukung serta kesamaan budaya di tambah dengan belum adanya kebijakan pemerintah yang mengatur perdagangan lintas batas, membuat masyarakat perbatasan di Badau maupun warga Malaysia dengan leluasa keluar masuk Malaysia-Indonesia. Dengan kondisi yang seperti ini tidak jarang kegiatan ekonomi yang dilakukan antara masyarakat perbatasan di Badau dengan warga Malaysia dalam hal pembelian kebutuhan pokok maupun kendaraan terjadi secara illegal. Ketertarikan masyarakat perbatasan di Badau tidak hanya sampai pada kebutuhan pokok dan kendaraan, akan tetapi merambat pada ketenagakerjaan yang illegal juga. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat perbatasan di Badau dengan negara tetangga sangat kuat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan dari masyarakat perbatasan yang bekerja di Malaysia memiliki dua kartu identitas KTP, karena dengan adanya kartu identitas dari Malaysia mereka akan diakui dan diterima untuk bekerja di Negara Tetangga ini. Banyaknya masyarakat Badau yang bekerja di Malaysia membuat mereka mengenal dua mata uang yaitu Ringgit Malaysia dan Rupiah. Dengan kondisi seperti ini, pemerintah kota tidak mengeluarkan kebijakan yang mengatur hubungan perdagangan lintas batas layaknya seperti di Entikong. Akibat dari tidak adanya kebijakan yang tegas ini dapat terlihat bahwa produk-produk Malaysia membanjiri daerah perbatasan bahkan sampai ke Pontianak, dan bebasnya warga Indonesia dan warga Malaysia keluar masuk pintu perbatasan serta ditambah banyaknya warga Indonesia diperbatasan pindah kewarganegaraan tanpa melalui jalur hukum resmi. Lain halnya dengan produk fashion, masyarakat Badau lebih tertarik akan produk fashion asal Indonesia yang didatangkan dari Bandung dan Jakarta. Kebanyakan toko pakaian yang ada didaerah Badau menjual pakaian dengan model terbaru yang sedang trend di Indonesia. Media Indonesia berupa program televisi yang dilihat dan didengar oleh masyarakat Badau sangat berperan akan ketertarikan masyarakat Badau terhadap produk fashion Made in Indonesia. Hal ini dikarenakan media Indonesia memperlihatkan model berbusana artis Indonesia, sehingga model pakaian yang digunakan oleh artis Indonesia menjadi acuan trend pakaian untuk masyarakat Badau. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Perbatasan di Badau sudah mengenal perdagangan antar Negara. Keterbatasan infrastruktur yang jauh menimbulkan biaya yang tinggi, sehingga harga kebutuhan pokok menjadi mahal. Oleh karena itu, masyarakat Badau terdorong untuk berbelanja ke Malaysia untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti beras, gas, minyak goreng, gula, garam bawang, serta makanan kemasan dan minuman kaleng. Berdasarkan fenomena ini, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul “Analisis Sikap Masyarakat Perbatasan di Badau Terhadap Produk Made In Malaysia Versus Produk Made In Indonesia”

B. Rumusan Masalah