Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 tahun sampai masa remaja akhir atau awal usia duapuluhan, dan masa tersebut membawa perubahan besar saling bertautan dalam semua ranah perkembangan. Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang mengandung perubahan besar fisik, kognitif dan psikososial Papalia, dkk, 2008:534. Semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, membuat para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa saja belum cukup, maka remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan Hurlock, 1980:209. Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan remaja yang dapat berupa perilaku minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan, terlibat perbuatan seks, membolos sekolah, perkelahian, mencuri atau perilaku asosial lain yang dapat mengganggu ketenangan umum, merugikan baik diri sendiri maupun orang lain. Perilaku- perilaku tersebut sudah bisa disebut sebagai kenakalan remaja dan bahkan beberapa diantaranya sudah dikategorikan melanggar hukum. Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia SDKI 2007 menunjukkan jumlah remaja di Indonesia mencapai 30 dari jumlah penduduk, jadi sekitar 1,2 juta jiwa. Hal ini tentunya dapat menjadi aset bangsa jika remaja dapat menunjukkan potensi diri yang positif namun sebaliknya akan menjadi petaka jika remaja tersebut menunjukkan perilaku yang negatif bahkan sampai terlibat dalam kenakalan remaja. Kenakalan remaja adalah perilaku yang menyimpang dari kebiasaan atau melanggar hukum Sarwono, 2010: 256. Santrock 2003:519 menjelaskan bahwa kenakalan remaja juvenile delinquency mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial, misalnya bersikap berlebihan disekolah sampai pelanggaran status seperti melarikan diri hingga tindak kriminal misalnya pencurian. Kenakalan remaja di Indonesia jumlahnya semakin meningkat setiap tahunnya, berikut beberapa data kenakalan remaja yan terjadi di Indonesia. Tawuran antar remaja semakin naik daun pasca tawuran pelajar SMAN 70 dengan SMAN 6 yang menewaskan Alawi, siswa kelas X SMA 6. Tawuran pelajar seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perilaku pelajar. Meski sudah ba nyak jatuh korban, “perang kolosal” ala pelajar terus terjadi. Data dari Komnas Anak, jumlah tawuran pelajar sudah memperlihatkan kenaikan pada enam bulan pertama tahun 2012. Hingga bulan Juni, sudah terjadi 139 kasus tawuran di wilayah Jakarta dan sebanyak 12 kasus menyebabkan kematian. Pada 2011, ada 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia Vivanews.com, 280912. Penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja semakin meningkat jumlahnya. Penelitian yang pernah dilakukan Badan Narkotika Nasional BNN menemukan bahwa 50 – 60 persen pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Total seluruh pengguna narkoba berdasarkan penelitian yang dilakukan BNN dan UI adalah sebanyak 3,8 sampai 4,2 juta, demikian seperti disampaikan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kabag Humas BNN, Kombes Pol Sumirat Dwiyanto detikHealth, Rabu -662012. Data resmi dari kementrian pemuda dan olahraga mencatat selama tahun 2008, jumlah tindak kriminalitas yang dilaporkan sebanyak 346.921 kejadian. Dari sejumlah kasus yang dilaporkan, tercatat 197.423 jumlah pelaku laki-laki maupun perempuan. Gambaran pelaku kriminalitas tahun 2008 ditandai kekhawatiran dengan meningkatnya jumlah pelaku tindak kriminalitas yang masih berusia anak-anak dan remaja. Terungkap pada tahun 2008 berdasarkan laporan Polri secara keseluruhan, jumlah anak-anak dan remaja pelaku tindak kriminalitas sebanyak 3.280 orang, yang terdiri dari 2.797 laki-laki dan 483 perempuan, jumlah ini meningkat sebesar 4,3 persen dibandingkan tahun 2007 yang sebesar 3.145 orang Kementrian Pemuda dan Olahraga, 2009. Kenakalan remaja semakin tahun semakin mengalami peningkatan bila dilihat dari data-data diatas. Kenakalan remaja sekarang ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tetapi juga di kota-kota kecil seperti Sragen. Harian Joglo Semar mengungkapkan pada 22 juli 2011 siswa salah satu SMA swasta di Sragen terjaring razia pelajar yang digelar tim gabungan. Tidak hanya itu, siswa yang diketahui anak dari seorang PNS di lingkungan Pemkab Sragen itu juga tertangkap tangan membawa ponsel yang berisi koleksi video porno. Ia tertangkap bersama 10 pelajar bandel lainnya saat nongkrong disejumlah lokasi pada saat jam masih efektif sekolah. Pihak Satpol PP kota Sragen sering mengadakan razia rutin terhadap para pelajar yang berkluyuran diluar sekolah saat jam pelajaran berlangsung. Tak jarang petugas menemukan benda-benda tajam, rokok, ponsel yang berisi video porno bahkan kondom dari tas para siswa tersebut. Perbuatan tidak senonoh terkadang dilakukan di tempat-tempat umum. Seorang pelajar SMK swasta di Kalijambe Sragen, MAG 17 tahun tepergok tengah masyuk dengan teman perempuannya yang juga berstatus pelajar, FNA 16 tahun, di salah satu bilik warung internet warnet di Dukuh Lemah Putih, Geneng, Miri, Senin 992013 sekitar pukul 14.00 WIB. Mereka tidak menyadari ada kamera pengawas di warnet tersebut boyolalipos, 1092013 Kehamilan di luar nikah kota Sragen jumlahnya semakin meningkat setiap tahunnya. KUA Gemolong, Sragen mencatat hingga pertengahan tahun 2011 jumlah remaja yang hamil diluar nikah mencapai 20 orang. Jumlah tersebut diketahui berdasarkan surat keterangan dari puskesmas yang terlampir dalam persyaratan permohonan nikah. Hamil diluar nikah ini disebabkan karena perilaku seks bebas yang diakibatkan pergaulan sosial yang buruk, kebanyakan dari mereka tidak kuasa menolak ajakan pacar. Solopos, 2072011. Anggota Polres Sragen juga menemukan beberapa barang bukti yang diduga akan digunakan pasangan muda mudi yang tertangkap di salah satu hotel melati Sragen untuk pesta shabu-shabu Boyolalipos, 1292013. Menurut catatan kepolisian pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan Kartono, 2005:7 dan berdasarkan data resmi dari kementrian pemuda dan olahraga seperti yang diapaparkan diatas, kenakalan remaja lebih banyak dilakukan oleh remaja laki-laki, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Jensen dalam Sarwono 2010:255-256 bahwa faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja adalah adanya “Male phenomena “,Teori ini percaya bahwa anak laki-laki lebih nakal daripada anak perempuan. Alasannya karena kenakalan memang adalah sifat laki-laki, atau bahwa budaya maskulinitas menyatakan bahwa wajar kalau laki-laki nakal. Anganthi 2009: 121-129 dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa bentuk kenakalan yang paling meresahkan adalah penyalahgunaan NAPZA. Orang tua bisa menjadi penyebab internal sekaligus penyebab eksternal, orang tua bermasalah menjadi sumber penyimpangan perilaku ini. Remaja laki-laki memiliki relasi dengan keluarga yang tidak jauh berbeda dengan informan perempuan, yaitu penuh koflik dan salah paham, namun pada informan laki-laki terdapat lebih banyak konflik yang disebabkan karena sifat egois atau ingin menang sendiri, tidak bersedia mengalah, yang ditampakkan dalam tindakan pergi tanpa pamit, perkelahian, pertengkaran, percecokan, mabuk, terutama yang berkaitan dengan masalah keuangan. Masalah kenakalan remaja perlu mendapat perhatian yang lebih karena perilaku kenakalan remaja mewakili gambaran sosial masyarakat, masalah sosial dan masalah klinis yang signifikan serta masalah kenakalan remaja ini berhubungan dengan perilaku agresif, dan antisosial yang seringkali memberi konsekuensi yang merugikan bagi orang lain dan masyarakat. Selain itu, perilaku antisosial ini selalu menjadi bagian dari perkembangan yang apabila tidak dicegah maka akan lahir kriminal-kriminal dewasa yang lebih mengerikan. Kenakalan remaja juga menimbulkan kerugian, baik kerugian finansial maupun sosial yang cukup besar dampaknya bagi masyarakat dan dirinya sendiri serta membutuhkan biaya untuk rehabilitasinya. Terdapat banyak faktor pemicu munculnya kenakalan remaja. Diantara faktor-faktor tersebut adalah yang dikemukakan Santrock 2003:253 yaitu pengaruh orang tua. Para pelaku kenakalan seringkali berasal dari keluarga dimana orang tua jarang mengawasi anak-anak remajanya, memberikan mereka sedikit dukungan dan menerapkan pola disiplin secara tidak efektif. Jensen dalam Sarwono, 2010:254 mengemukakan adanya teori sosiogenik dalam kenakalan remaja, yaitu teori yang mencoba mencari penyebab sumber kenakalan remaja pada faktor lingkungan keluarga dan masyarakat. Penelitian mengenai dukungan keluarga terhadap perilaku miras remaja desa sambirejo kota Sragen menunjukkan hasil yang signifikan. Remaja yang berperilaku miras memiliki dukungan keluarga yang rendah Samiasih Nanad, 2010: 51-55. Hal ini tentu dapat dimengerti, karena Keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu, sejak ia lahir sampai datang masanya ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Hubungan yang paling intensif terjadi dalam keluarga. Sebelum anak mengenal lingkungan yang lebih luas, terlebih dahulu dia mengenal keluarganya. Karena itu sebelum dia mengenal norma-norma dan nilai-nilai masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma- norma dan nilai-nilai dalam keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadianya Sarwono, 2010:138. Lebih lanjut lagi Sarwono menjelaskan semua itu pada hakikatnya ditimbulkan oleh norma dan nilai yang berlaku dalam keluarga, yang diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua terhadap anak-anak mereka secara turun temurun. Tidak mengherankan jika nlai-nilai yang dianut orang tua akhirnya juga dianut oleh remaja. Tidak mengherankan juga kalau ada pendapat bahwa segala sifat negatif yang ada pada anak sebenarnya ada pula pada orang tuanya bapak maling, anak maling, bapak pemarah anak pemarah. Hal itu terjadi bukan semata-mata karena faktor bawaan atau keturunan, akan tetapi karena proses pendidikan, proses sosialisasi atau kalau mengutip Sigmund Freud : proses identifikasi Sarwono, 2010:138. Gambaran identitas diri remaja yang belum tergambar jelas membuat mereka tetap mencari model, dan model yang paling dekat biasanya adalah orang tua, terutama yang berjenis kelamin sama Erikson, dalam Bosma, 1994. Terhadap model tersebut mereka berusaha melakukan identifikasi diri, proses dimana individu mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu, seseorang, atau institusi dan berpikir, merasa, serta bertingkah laku secara konsisten sesuai dengan gambaran mental dari model tersebut Benner, dalam Bosma, 1994. Oleh karena itu bagi remaja laki - laki, bagaimana sikap dan perilaku ayah yang dilihatnya sejak ia masih kanak – kanak adalah seringkali menjadi acuan bagaimana sikap dan perilakunya kelak. Selain itu, menyimak kembali bahasan pada alinea – alinea diatas bahwa setiap sikap dan perilaku remaja pasti tidak lepas dari bagaimana sikap dan perilaku orang tuanya karena dalam proses pencarian identitas dirinya, remaja melakukan identifikasi terhadap model, dan model paling dekat adalah orang tua, terutama yang berjenis kelamin sama. Bila ia seorang remaja laki – laki, maka model yang seringkali paling besar pengaruhnya adalah ayahnya. Suminar 2012:1-6 dalam jurnalnya tentang hubungan kontrol diri dengan kenakalan remaja, memaparkan bahwa hubungan kontrol diri dengan kenakalan remaja tidak terlepas dari faktor eksternal yaitu pengaruh orang tua dan kondisi sosial ekonomi. Faktor ekonomi subjek yang mayoritas rendah dapat dikatan sebagai salah satu penyebab perilaku kenakalan remaja. Korelasi antara kontrol diri dengan kecenderungan perilaku kenakalan remaja dapat dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi orang tua. Berbicara mengenai keluarga dan kaitannya dengan anak, seringkali fokus kita akan secara langsung menengok pada peran ibu. Secara klasik, ayah digambarkan sebagai orang yang tidak pernah terlibat langsung dalam pemeliharaan anak. Ayah akhirnya seperti sudah terkondisi bukan sebagai pengasuh anak, dan lebih sibuk sebagai pencari nafkah. Ia memilki citra keperkasaan dan kekokohan, namun jauh dari anak-anaknya dan seakan melepas tanggung jawab membina kehidupan anak secara langsung. Keadaan ini dikukuhkan dalam kehidupan masyarakat, dan diterima begitu saja seolah sesuatu yang sudah semestinya Dagun, 2002:1-2. Ilmu psikologi dalam sejarahnya hampir tidak pernah mengulas secara khusus masalah keayahan, malah cenderung mengabaikannya. Posisi ayah akhirnya menjadi tidak begitu menarik dan penting dalam setiap uraian ilmu psikologi. Secara terbatas sekali, ilmu psikologi menyebut peran ayah dalam fungsinya sebagai orang tua, tetapi sebaliknya sangat menekankan pentingnya tokoh ibu dalam perkembangan anak. Para ahli kini merasa relevan untuk mengkaji secara komprehensif mengenai peranan seorang ayah. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa peranan ayah tidak kalah penting dengan peranan ibu dalam mengasuh anak, maka pembicaraan mengenai ayah menjadi semakin serius. Bukan Karena fungsi ibu semakin menipis oleh berbagai kegiatan diluar rumah, tetapi karena peranan ayah itu sendiri memang penting dalam proses pertumbuhan seorang anak baik fisik maupun psikologis Dagun, 2002:1-2. Volpe 1981:136, dalam Sarwono, 2010:87 melakukan penelitian terhadap hubungan antar pribadi antara ibu-anak dan ayah-anak. Penelitian tersebut mencakup 3 hal yaitu : pertama, perasaan positif bahagia, dicintai, nyaman, santai. Kedua, perasaan negatif marah, terpojok, tidak bahagia, dingin, berontak. Ketiga adalah keterbukaan bermain,bebas, mau bicara hasil penelitiannya adalah remaja lebih bisa merasa terbuka dan memilki perasaan positif terhadap ibu daripada terhadap ayah mereka, dan perasaan negatif seperti marah, dingin, tidak nyaman lebih besar mereka dapatkan dari ayah mereka. Flouri dan Buchanan 2003:63-76 dari hasil penelitiannya menjelaskan bahwa peran ayah memiliki pengaruh pada kesehatan mental anak. Ayah memiliki peran yang penting terhadap ketidakmampuan psikologis anak dan kesulitan- kesulitan yang dialami anak dikemudian hari. Minimnya peranan ayah dapat memunculkan perasaan tidak nyaman, yang lebih fokus pada emosional atau gejala depresi. National Parent Teacher Asosiation 2002 yang mendasarkan hasil-hasil penelitian selama 30 tahun terakhir, menyimpulkan manfaat peran ayah bagi anak adalah makin baiknya tumbuh kembang anak secara fisik, sosio emosional, ketrampilan kognitif, pengetahuan. Disamping siswa mendapat nilai yang tinggi, mereka memiliki sikap positif terhadap sekolah sehingga rajin mengikuti kegiatan baik intra maupun ekstrakulikuler, akan menangkal anak dari keterlibatannya dalam kenakalan remaja, seperti mangkir, tawuran, miras, narkoba, kehamilan dini dan kriminalitas. Lebih lanjut lagi ditemukan bahwa absennya ayah jauh lebih signifikan dampak negatifnya bagi anak seperti diatas dibanding absennya peranan ibu. Maka wajar jika US departemen of justice pada tahun 1988 menyatakan bahwa ketidak-adanya peran ayah dalam pendidikan anak menjadi prediktor yang paling signifikan bagi tindak kriminal dan kekerasan anak-anaknya Fathering interprises:1995-1996, dalam http:artikel.usslameto2.html . SMK Sukawati Sragen adalah sekolah menengah kejuruan dengan jumlah siswa sebagian besar laki-laki yaitu 876 laki-laki dan 31 siswa perempuan. Berdasarkan presensi banyak siswa yang sering tidak masuk tanpa adanya keterangan atau membolos ketika jam pelajaran. Terkadang guru terpaksa menghukum siswanya yang ketahuan merokok, HP yang disita guru-guru BK dari para siswa juga sebagian berisi video porno. Peneliti melakukan wawancara terhadap 8 siswa SMK Sukawati yang terindikasi nakal, 4 siswa dari kelas X dan 4 siswa dari kelas X1. Ke 8 siswa menyatakan ayah mereka sudah memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, namun untuk urusan uang rata-rata dikendalikan ibu sehingga ketika menginginkan sesuatu mereka lebih sering meminta kepada ibu daripada kepada ayahnya. hal ini mengakibatkan kurangnya komunikasi antara ayah dan anak, anak-anak sendiri mengaku lebih berani meminta uang pada ibu daripada ayah karena memang jarang mengobrol dan mereka takut untuk meminta pada ayahnya. Berbeda kasusnya dengan anak yang tidak tinggal dengan ayahnya, anak yang ditinggal ayah merantau mencari uang, lebih tidak terkontrol dalam pemberian uang. Ayah yang berada jauh dengan anak tidak dapat memantau anaknya sehingga lebih sering meng-iyakan permintaan anaknya. Ayah lebih sering memarahi ketika anak melakukan kesalahan ketimbang memberikan nasehat dengan baik. Delapan siswa tersebut mengaku merokok, dengan ayah yang merokok pula. Ayah mereka sebenarnya melarang anak- anaknya merokok tapi menurut mereka kenapa mereka harus menuruti perkataan tersebut karena ayah mereka sendiri juga merokok. Disini tampak ayah sebagai modelling yang menjadi contoh bagi anak-anaknya, biasanya ayah hanya melarang saja tanpa memberikan contoh yang sesuai dengan perkataannya, sehingga anak tetap melakukan hal yang dilarang tersebut. Guru Bk di SMK Sukawati rutin melakukan panggilan kepada orang tua yang anaknya sering melakukan pelanggaran diluar batas toleransi, pemanggilan biasanya dilakukan pada akhir pekan. Orang tua yang datang sebagian besar adalah ibu dari siswa, peneliti tidak menemukan adanya ayah yang datang kesekolah tersebut karena alasan bekerja. Sebenarnya beberapa ibu yang datang juga bekerja, namun mereka lebih menyempatkan diri untuk datang memenuhi panggilan guru, maka dapat dilihat disni bahwa masih ada stereotip ibu yang lebih berhak untuk mengurus masalah anak, bukan ayah. Berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Hubungan Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran dengan Kenakalan Remaja di SMK Sukawati Sragen ”. Peneliti ingin mengungkap apakah ada hubungan persepsi remaja laki-laki terhadap peran ayah dengan kenakalan remaja, dengan menggunakan skala pengukuran psikologi berdasarkan aspek-aspek dari peran ayah dan kenakalan remaja.

1.2. Rumusan Masalah