39
Opioid intratekal mengalami metabolisme bersama CSF, mula kerja, lama kerja analgesi serta penyebaran ke sefalad tergantung dari kelarutannya dalam
lemak. Yang rmasuk opioid yang larut dalam lemak lipofilik antara lain adalah :
Fentanil, SubFentanil.
Opioid lipofilik dapat melewati spinal cord kemudian berikatan dengan reseptor spesifik dan non spesifik dan menyebar ke dalam plasma. Opioid lipofilik
akan berdifusi ke medulla spinalis dan ikatan pada reseptornya di kornu dorsalis akan semakin cepat. Hal ini menyebabkan mula kerja yang cepat, dengan
penyebaran ke cephalad lebih minimal sehingga resiko depresi nafas berkurang, tetapi lama kerja analgesianya relatif singkat. Morfin bersifat kurang larut dalam
lemak lipofilik sehingga lebih lambat tetapi lama kerja analgesianya lebih panjang, penyebaran ke cephalad lebih meningkat sehingga resiko depresi nafas
lebih besar. Efek analgesia yang dihasilkan dari reseptor opioid terhadap lokasi anatomi terlihat pada tabel 5.
Tabel 6. Distribusi Reseptor Opioid
22
2.5.3 Efek Samping Opioid
21,22
2.5.3.1 Pruritus
Efek samping penggunaan opioid intratekal untuk meningkatkan densitas blok spinal maupun penanganan nyeri pasca bedah salah satunya adalah pruritus.
Insiden pruritus bervariasi sesuai dosis dan jenis opioid. Insiden lebih banyak
Universitas Sumatera Utara
40
terjadi pada opioid golongan hidrofilik. Bintartho melaporkan bahwa insiden pruritus pada penggunaan Fentanil intratekal 25 mcg sebesar 5,6.
Pruritus yang timbul pada pemberian opioid intratekal disebabkan oleh aktivasi reseptor mu yang lokasinya di supraspinal dan kornu dorsalis medulla
spinalis, namun terjadinya pruritus juga dikaitkan dengan pelepasan histamin. Biasanya pasien tidak mengeluh secara langsung kecuali bila ditanya . Efek
samping pruritus ini lebih sering dijumpai pada pasien hamil bila dbandingkan yang tidak hamil. Menurut kepustakaan bahwa penambahan Fentanil intratekal
akan meningkatkan insiden pruritus tetapi tidak terhadap insiden mual dan muntah. Penanganan pruritus yaitu dengan pemberian antagonis opioid naloxone
5 mcg kg BB jam atau dengan nalbuphine 2,5 mg atau antihistamin.
2.5.3.2 Mual Dan Muntah
Mual dan muntah merupakan hal yang umum dijumpai akibat anestesi spinal pada bedah sesar. Namun efek samping ini terkadang sulit dibedakan
karena tindakan operasi atau kehamilan itu sendiri. Mual dan muntah yang terjadi saat operasi bedah sesar berkaitan dengan hipotensi, nyeri visceral, dan pemberian
obat-obatan seperti oksitosin. Hipotensi biasanya terjadi pada 20 menit pertama sesudah induksi anestesi spinal. Nyeri visceral terjadi saat uterus mengalami
eksteriorisasi, tarikan peritoneum, maupun saat penjahitan fasia. Hal ini mungkin berkaitan dengan nyeri visceral yang menstimulasi afren vagal.
Opioid intratekal kecuali Meperidin bermanfaat dalam menurunkan penggunaan obat anti muntah intraoperatif. Penggunaan kombinasi anestesi lokal
dengan Fentanil terbukti akan menurunkan ketidaknyamanan intraoperatif saat penarikan peritoneum dan eksteriorisasi uterus sehingga menurunkan insiden
mual dan muntah intraoperatif. Secara umum, pasien yang mendapat morfin dan buprenorfin mengalami insiden mual dan muntah yang lebih besar bila
dibandingkan yang mendapatkan infus Fentanil. Insiden mual – muntah
dilaporkan antara 5-35. Mual mungkin terjadi karena penyebaran rostral opioid dalam cairan
serebrospinal ke batang otak atau ambilan vascular dan dihantarkan ke pusat
Universitas Sumatera Utara
41
muntah serta “chemoreceptor trigger zone” . Strategi untuk mencegah dan
mengobati mual dan muntah yaitu dengan pemberian obat antiserotonergik misalnya ondansentron atau granisetron maupun antidopaminergik misalnya
metoklopramid atau droperidol, obat golongan antihistamin dan deksametason juga efektif sebaga anti- muntah. Selain profilaksis obat anti mual dan muntah
intraoperatif perlunya pencegahan maupun penanganan hipotensi. Pemberian efedrin secepatnya pada keadaan hipotensi juga bermanfaat untuk menurunkan
kejadian mual dan muntah.
2.5.3.3 Depresi Pernafasan