73
Tabel 12. Korelasi Pearson BMI dengan Mula Kerja Obat Pada
Kelompok yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg +
Meperidin 25 mg Variabel
p R
BMI 0,868
0,032
Tabel 13. Korelasi Pearson BMI dengan Mula Kerja Obat Pada Seluruh
Subjek Penelitian
Variabel p
R BMI
0,624 -0,065
4.5. Korelasi Lama Operasi dan Lama kerja Analgesia
Tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara lama operasi dan lama kerja analgesia pada kelompok responden yang memperoleh Fentanil p=0,962.
Begitu pula pada kelompok yang menerima Meperidin, juga tidak ditemukan korelasi yang signifikan p=0,559. Secara keseluruhan, korelasi juga tidak
bermakna antara lama operasi dan lama kerja analgesia p=0,673
Tabel 14. Korelasi Spearman Lama Operasi dan Lama Kerja Analgesia
Pada Kelompok yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanil 25 Mcg
Variabel p
R Lama Operasi
0,962 0,009
Universitas Sumatera Utara
74
Tabel 15. Korelasi Pearson Lama operasi dan Lama Kerja Analgesia
Pada Kelompok yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg +
Meperidin 25 mg Variabel
p R
Lama Operasi 0,559
0,111
Tabel 16.
Korelasi Pearson Lama Operasi dan Lama Kerja Analgesia Pada Seluruh Subjek Penelitian
Variabel p
R Lama Operasi
0,673 -0,056
4.6. Karakteristik Hemodinamik 4.6.1 Pre-Operasi
Karakteristik hemodinamik Pre operasi ditampilkan pada tabel 17.
Tabel 17. Karakteristik Hemodinamik Pre-Operasi
Variabel Kelompok A
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanil 25 mcg
n=30 Kelompok B
Bupivakain 0,5 7,5mg + Meperidin 25 mg
n=30 p
Tekanan Sistolik, rerata SB, mmHg
118,67 11,96 120,5 10,03
0,699
a
Tekanan Diastolik, rerata SB, mmHg
74,4 9,31 74,07 7,58
0,832
a
MAP, rerata SB, mmHg
89,16 8,62 89,54 7,67
0,854
b
Laju Jantung, rerata SB, xmnt
87,77 9,37 86 10,36
0,348
a
Laju Napas, rerata SB, xmnt
19,6 1,99 19,8 1,92
0,475
a
a
Mann Whitney,
b
T Independent
Universitas Sumatera Utara
75
Pada pengukuran seluruh parameter hemodinamik preoperasi antara kelompok pasien yang memperoleh Fentanil 25 mcg dan Meperidin 25 mg tidak
ditemukan perbedaan yang signifikan p0,05.
4.6.2 Setelah Penyuntikan Anestesi Spinal A.
Perbedaan Tanda-Tanda Hemodinamik Setelah Penyuntikan Anestesi Spinal 3 Menit, 6 Menit, 9 Menit, 12 Menit, 15 Menit Antara
Kelompok A Dan B
Dalam penelitian ini dilakukan pemantauan terhadap perubahan hemodinamik dalam waktu 15 menit pertama setelah penyuntikan anastesi.
Perbedaan yang signifikan tampak pada pemantauan 3 menit pertama untuk parameter TD sistolik p=0,01 dan MAP p=0,028. Rerata TD sistolik pada
kelompok yang menerima Meperidin rerata=117,34 mmHg, SB=10,17 lebih tinggi dibandingkan kelompok yang menerima Fentanil rerata=111,07 mmHg,
SB=9,97. Begitu pula pada pemantauan menit ke-6, parameter TD sistolik dan MAP juga menunjukkan perbedaan yang bermakna p=0,048. Sementara untuk
parameter lain tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna p0,05. Perbedaan Tanda-tanda hemodinamik setelah penyuntikan anestesi spinal
3 menit dan 6 menit pertama antara kelompok A dan B dapat digambarkan melalui diagram batang berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
76
Gambar 18. Perbedaan TD Sistolik, Diastolik dan MAP Pada 3 Menit Pertama Setelah Penyuntikan Anestesi Spinal Pada Dua
Kelompok Studi
Gambar 19. Perbedaan TD Sistolik, Diastolik Dan MAP Pada 6 Menit Pertama Setelah Penyuntikan Anestesi Spinal Pada Dua
Kelompok Studi
20 40
60 80
100 120
TD Sistolik TD
Diastolik MAP
m m
Hg
Kelompok A Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanyl 25
mcg Kelompok B Bupivakain
0,5 7,5 mg + Petidin 25 mg
20 40
60 80
100 120
TD Sistolik TD
Diastolik MAP
m m
Hg
Kelompok A Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanyl 25
mcg Kelompok B Bupivakain
0,5 7,5 mg + Petidin 25 mg
Universitas Sumatera Utara
77
B. Perubahan
Tanda-Tanda Hemodinamik
Setelah Penyuntikan
Anestesi Spinal 3 Menit, 6 Menit, 9 Menit, 12 Menit, 15 Menit Pada Kelompok A
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan untuk parameter TD sistolik, diastolik dan laju nadi pada pemantauan
15 menit pertama p0,05. Dari gambar grafik memperlihatkan penurunan yang cukup ekstrim dari pemantauan menit ke 3 ke pemantauan menit ke 6 terhadap
tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP, namun setelah pengamatan menit ke 9, 12 dan 15 terlihat gambaran grafik mulai meningkat.
Rerata TD sistolik kelompok Fentanil pada pengamatan menit ke 3 adalah 111,07 mmHg SB=9,97 mmHg dan pada menit ke 15 turun menjadi 109,93
mmHg SB=7,21 mmHg. Untuk rerata TD diastolik kelompok Fentanil pada menit ke 3 adalah 68,24 mmHg SB=9,41mmHg sedangkan di menit ke 15 juga
turun menjadi 64,79 mmHg SB=7,63 mmHg. Berbeda dengan parameter laju nadi kelompok Fentanil, dari seluruh
pengamatan terlihat tren yang terus menurun dari menit ke 3 sampai ke menit 15. Parameter laju nafas tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan p=0,675,
dari pengamatan menit ke 3 sampai ke menit 15 laju nafas berada pada kisaran 18 xmenit.
C. Perubahan
Tanda-Tanda Hemodinamik
Setelah Penyuntikan
Anestesi Spinal 3 Menit, 6 Menit, 9 Menit, 12 Menit, 15 Menit Pada Kelompok B
Pada pengamatan pada parameter TD sistolik dan diastolik terlihat penurunan yang cukup tajam dari pengamatan ke 3, ke-6 sampai ke 9. Namun
pada pengamatan menit ke 12 mennunjukkan peningkatan rerata TD sistolik sampai pengamatan menit ke 15. Rerata TD sistolik pada pengamatan menit ke 3
adalah 117,34 mmHg SB=10,17 mmHg. Rerata TD sistolik terendah pada pengamatan menit ke 9 yaitu 108,86 mmHg SB=9,33. Sementara itu untuk TD
diastolik rerata tertinggi adalah pada pengamatan menit ke 3 yaitu 73,1 mmHg
Universitas Sumatera Utara
78
SB=9,47 mmHg dan terendah pada menit ke-9 yaitu 65,52 mmHg SB=10,51 mmHg.
Rerata laju nadi dari sejak pengamatan menit ke 3 menunjukkan penurunan yang konsisten sampai menit ke 15, dengan laju nadi 87,43 xmenit
SB=14,42 xmenit dan menit ke 15 dengan rerata 79,03 xmenit SB=11,43 xmenit.
Gambar 20. Grafik Linier Perubahan Tekanan Darah Sistolik Pada Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg +
Fentanil 25 mcg dan Kelompok Pasien yang Memperoleh
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Meperidin 25 mg dalam 15 menit pertama
95 100
105 110
115 120
T 3 menit
T 6 menit
T 9 menit
T 12 menit
T 15 menit
T ek
an an
Dar ah
S is
tol ik
, m
m Hg
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanyl 25 mcg
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Petidin 25 mg
Universitas Sumatera Utara
79
Gambar 21. Grafik Linier Perubahan Tekanan Darah Diastolik Pada Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg +
Fentanil 25 mcg dan Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg + Meperidin 25 mg dalam 15 menit
pertama
Gambar 22. Grafik Linier Perubahan MAP pada Kelompok Pasien Yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanil 25 mcg dan
Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg + Meperidin 25 mg dalam 15 menit pertama
54 56
58 60
62 64
66 68
70 72
74 76
T 3 menit
T 6 menit
T 9 menit
T 12 menit
T 15 menit
T ek
an an
d ar
ah Dias
tol ik
, m
m Hg
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanyl 25 mcg
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Petidin 25 mg
74 76
78 80
82 84
86 88
90
T 3 menit
T 6 menit
T 9 menit
T 12 menit
T 15 menit
M AP
, m
m Hg
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanyl 25 mcg
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Petidin 25 mg
Universitas Sumatera Utara
80
Gambar 23. Grafik Linier Perubahan Nadi Pada Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanil 25 mcg dan
Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg + Meperidin 25 mg dalam 15 menit pertama
C. Perbedaan Tanda-Tanda Hemodinamik TD , MAP, Laju Nadi, dan
Laju Nafas Sesaat Anestesi Spinal Mulai Akan Berakhir 60 Menit, 90 Menit,120 Menit Pada Kelompok A dan B.
Pengamatan juga dilakukan saat anestesi spinal akan berakhir terhadap parameter hemodinamik pada menit ke 60, 90 dan 120 pada kelompok A dan B .
Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan untuk seluruh parameter hemodinamik pada semua pemantauan p0,05.
D. Perubahan Tanda-Tanda Hemodinamik Sesaat Anestesi Spinal Mulai
Akan Berakhir 60 Menit, 90 Menit,120 Menit Pada Kelompok A
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan untuk parameter TD sistolik, diastolik dan MAP untuk kelompok A
p0,05. Berbeda dengan pengamatan pada 15 menit pertama, maka sesat anestesi spinal akan berakhir, parameter TD sistolik maupun diastolik pada
kelompok A menunjukkan tren yang meningkat sampai menit ke 120. Untuk parameter laju nadi dan laju nafas tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
60 65
70 75
80 85
90
T3 Menit T6 Menit
T9 Menit T12 Menit T15 Menit
L aj
u Nadi
, x
m en
it
Nadi A Nadi B
Universitas Sumatera Utara
81
pada akhir anestesi p0,05. Rerata laju nadi berada pada kisaran 81 xmenit dan laju nafas pada kisaran 18 xmenit.
E. Perubahan Tanda-tanda hemodinamik sesaat anestesi spinal mulai
akan berakhir 60 menit, 90 menit,120 menit pada kelompok B
Dari hasil pengamatan terhadap parameter hemodinamik pada kelompok B, terdapat perbedaan rerata yang signifikan untuk TD sistolik, diastolik dan MAP
P0,05. Laju nadi dan laju nafas tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna p0,05.
Gambar 24. Grafik Linier Perubahan Tekanan Darah Sistolik Pada Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg +
Fentanil 25 mcg dan Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg + Meperidin 25 mg Sesaat Anestesi
Spinal Mulai Akan Berakhir 60 Menit, 90 Menit,120 Menit
108 110
112 114
116 118
120 122
124
T 60 menit T 90 menit
T 120 menit
T ek
an an
Dar ah
S is
tol ik
, m
m Hg
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanyl 25 mcg
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Petidin 25 mg
Universitas Sumatera Utara
82
Gambar 25. Grafik Linier Perubahan Tekanan Darah Diastolik Pada Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg +
Fentanil 25 mcg dan Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg + Meperidin 25 mg Sesaat Anestesi
Spinal Mulai Akan Berakhir 60 Menit, 90 Menit,120 Menit
Gambar 26. Grafik Linier Perubahan MAP Pada Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanil 25 mcg dan
Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5 7,5 mg +
Meperidin 25 mg Sesaat Anestesi Spinal Mulai Akan Berakhir 60 Menit, 90 Menit,120 Menit
68 69
70 71
72 73
74 75
76
T 60 menit T 90 menit
T 120 menit
T ek
anan D
ar ah
D ias
tol ik
, m
m Hg
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanyl 25 mcg
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Petidin 25 mg
66 68
70 72
74 76
78 80
82 84
T 60 menit T 90 menit
T 120 menit
M AP
, m
m Hg
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Fentanyl 25 mcg
Bupivakain 0,5 7,5 mg + Petidin 25 mg
Universitas Sumatera Utara
83
4.7 Karakteristik Efek Samping: Hipotensi, Mual-Muntah, Pruritus, Depresi Pernafasan
Secara keseluruhan mayoritas subjek penelitian ini tidak menujukkan adanya efek samping yang bermakna. Efek samping yang dicatat dalam penelitian
ini antara lain adalah hipotensi, mual muntah, pruritus dan depresi pernafasan. Subjek penelitian yang mengalami hipotensi hanya sebanyak 3 orang 10 baik
pada kelompok A maupun kelompk B. Subjek penelitian yang mengeluh mual dan muntah juga sebanyak 3 orang 10 di kedua kelompok. Tidak ada seorangpun
subjek penelitian yang mengalami depresi nafas. Dan yang mengalami pruritus, terdapat sebanyak 2 orang 6,7 pada kelompok A dan 3 orang 10 pada
kelompok B. Dengan menggunakan uji Fisher’s Exact tidak ditemukan perbedaan yang signifikan terhadap efek samping pada kedua kelompok studi p=1,000.
Tabel 18. Efek samping : Hipotensi, Mual, Muntah, Depresi Pernafasan
Variabel Kelompok A
Bupivakain 0,5 7,5 mg
+ Fentanil 25 mcg n=30
Kelompok B Bupivakain 0,5
7,5mg + Meperidin 25 mg
n=30 p
Hipotensi, n
Ya 3 10
3 10 1,000
a
Tidak 27 90
27 90
Mual dan muntah, n
Ya 3 10
3 10 1,000
a
Tidak 27 90
27 90
Depresi pernafasan, n
Ya -
Tidak 30 100
30 100
Pruritus, n
Ya 2 6,7
3 10 1,000
a
Tidak 28 93,3
27 90
a
Fisher’s Exact
Universitas Sumatera Utara
84
BAB V PEMBAHASAN
Penelitian ini adalah penelitian yang membandingkan mula kerja dan lama kerja analgesia antara kelompok Bupivakain 0,5 hiperbarik 7,5 mg ditambah
Fentanil 25 mcg dengan Buvipakain 0,5 hiperbarik 7,5 mg ditambah Meperidin 25mg pada bedah sesar dengan anestesi regional subarakhnoid.
Penggunaan opioid lipoilik intratekal yang ditambahkan pada anestesi lokal Buvipakain hiperbarik telah semakin popular untuk mengurangi dosis obat
anastesi lokal oleh karena efek sinergistik dari anastesi lokal dengan opioid pada blokade neuraksial sentral dapat meningkatkan kualitas analgesia intraoperasi dan
memperpanjang analgesia pasca operasi. Pada karakteristik pasien secara umur berdasarkan umur, berat badan,
tinggi badan, BMI, status fisik ASA, lama operasi tabel. 8 antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang tidak bermakna secara statistik yang berarti
pasien yang diambil sebagai sampel relatif homogen sehingga kedua kelompok ini layak untuk dibandingkan. Demikian juga untuk karakteristik suku tabel. 8,
meskipun dominan adalah suku batak pada kedua kelompok, namun secara keseluruhan proporsi suku pada kedua kelompok secara statistik berbeda tidak
bermakna p0,05 dan layak untuk dibandingkan. Pada tingkat pendidikan kedua kelompok lebih banyak dijumpai pada tingkat SMA, namun secara statistik
dijumpai perbedaan yang tidak bermakna p0,05 untuk porposi karakteristik tingkat pendidikan sehingga layak untuk dibandingkan.
Dari hasil penilaian terhadap VAS pre dan post Operasi tabel. 9 tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok studi, dengan
p=0,134 p0,05 pada penilaian pre-operasi, sedangkan pada penilaian post- operasi didapat p=0,472 p0,05. Pada kelompok A hasil penilaian VAS pre
operasi didapati VAS 0 dan 1 sebanyak 7 orang 23,3 sedangkan pada kelompok B terbanyak pada VAS 6 yaitu sebanyak 8 orang 26,7.
Universitas Sumatera Utara
85
Untuk penilaian post operasi, kedua kelompok terbanyak berada pada VAS 1, untuk kelompok A sebanyak 24 orang 80 dan kelompok B sebanyak
27 orang 90. Selebihnya adalah VAS 2. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan opioid lipofilik dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas
anestesia dan analgesia selama operasi berlangsung hingga post-operasi. Opioid intratekal secara selektif menurunkan
input afferen nosiseptif dari serabut αδ dan serat C C fiber sehingga sinyal nyeri tidak terjadi. Hasil yang didapat pada
penelitian ini sesuai dengan penelitian – penelitian sebelumnya mengenai
penambahan opioid lipofilik intratekal pada anestesi lokal yang terbukti dapat meningkatkan kualitas analgesia .
18,19,41-48
Tinggi level blokade sensorik yang dianggap dapat mencukupi untuk dilakukannya tindakan bedah sesar yaitu tercapainya blokade sensorik setinggi
thorakal 6 Th
6
.
2,49
Waktu untuk tercapainya blokade sensorik mulai saat penyuntikan hingga setinggi level dermatom Th
6
dihitung sebagai mula kerja, dan menggambarkan batasan untuk dapat dimulainya tindakan pembedahan. Rerata
mula kerja obat anestesi lokal Bupivakain 0,5 hiperbarik 7,5 mg ditambah Fentanil 25 mcg tampak lebih cepat dibandingkan dengan kelompok Bupivakain
0,5 hiperbarik 7,5 mg ditambah meperidin 25 mg 169,17 detik ± 51,09 vs 246 detik ± 70,64 dengan nilai p 0,05 yang artinya terdapat perbedaan yang
bermakna secara statistik terhadap mula kerja obat. Waktu untuk tercapainya blokade sensorik setinggi Th
6
pada anastesi lokal yang ditambahkan Fentanil mirip dengan penelitian yang didapat oleh Harsoor
dan kawan-kawan 1,6 ml Buvipakain 0,5 hiperbarik tambah Fentanil 12,5mcg sebesar 165 detik
52
dan pada penelitian Tolia 7,5mg Buvipakain 0,5 hiperbarik ditambah Fentanil 10 mcg adalah sebesar 2,84 menit atau 170,4 detik.
18
Namun rerata mula kerja obat pada penelitian ini tampak lebih cepat bila dibandingkan
dengan penelitian Bintarto 7,5mg buvipakain 0,5 hiperbarik ditambah Fentanil 25 mcg sebesar 3,94 ± 1,4 menit atau 236,4 detik
44
, penelitian Hunt 7,5 mg Bupivakain 0,5 hiperbarik 25 mcg selama 3,5 menit ± 1,0 atau 210 detik
40
dan pada penelitian Karakan 10 ml buvipakain 0,5 hiperbarik tambah Fentanil 12,5
mcg sebesar 4,53 menit ± 1,1 atau 271,8 detik.
84
Universitas Sumatera Utara
86
Rerata mula kerja obat yang cepat ini disebabkan oleh kerja opioid intratekal dengan obat anastesi lokal yang mengalami metabolisme bersama CSF.
Mula kerja obat opioid intratekal dan penyebarannya kearah cephalad tergantung kelarutannya dalam lemak lipid solubility oleh karena 90 dari membran saraf
adalah lemak. Semakin larut dalam lemak lipofilik difusi ke medula spinalis dan ikatan opioid pada reseptornya di kornu dorsalis akan semakin cepat. Fentanil
merupakan golongan “high lipofillic”, sehingga memiliki mula kerja yang cepat, dengan penyebaran cephalad lebih minimal sehingga resiko depresi nafas
berkurang. Berbeda dengan golongan Meperidin yang merupakan golongan moderatintermediate lipofilic yang daya kelarutannya dalam lemak tidak sekuat
Fentanil.
21,22,30,38 45,53,67
Mula kerja obat dapat diartikan sebagai kemampuan difusi non ionized lipid soluble form dalam melewati membran saraf, sehingga nilai pKA obat adalah
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi mula kerja obat. Jika pKA mendekati pH fisiologis akan menghasilkan mula kerja yang cepat oleh karena konsentrasi
bagian yang tidak terionisasi akan meningkat dan dapat menembus membran sel saraf. Dalam hal ini Fentanil memiliki nilai pKA 8,4 sedikit lebih rendah
dibandingkan nilai pKA Meperidin sebesar 8,5. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi mula kerja selain yang telah disebutkan sebelumnya adalah berasal
dari karakteristik obat anastesi lokalnya yaitu sifat alkalinisasi anestesi lokal alkalis dapat mempercepat blokade saraf, konsetrasi obat anastesi lokal dengan
semakin besar konsetrasi obat anestesi lokal semakin cepat mula kerja obat, golongan obat anastesi lokal yang digunakan golongan amida memiliki mula
cepat kerja lebih cepat daripada golongan ester oleh karena ikatan amida mudah menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase. Obat anestesi lokal yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Bupivakain 0,5 hiperbarik yang merupakan golongan anestesi lokal amida yang bersifat alkalis basa lemah.
2,17,22,30,31,38,67
Rerata lama kerja analgesia kedua kelompok dalam penelitian ini, Meperidin jauh lebih baik daripada Fentanil. Rerata lama kerja analgesia
Meperidin mencapai 170,9 menit SB=37,98 menit dan Fentanil hanya 113 menit SB=19,1 menit. Lama kerja obat dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi dimana
Universitas Sumatera Utara
87
Fentanil memiliki daya absorpsi lebih cepat dibandingkan Meperidin karena sifat kelarutan lemaknya lebih tinggi sehingga lama kerja analgesinya akan lebih
pendek..
2,17,22,31,38,67
Hal lain yang mempengaruhi lama kerja obat selain penambahan adjuvant opioid lipofilik pada anestesi lokal adalah jenis obat anestesi lokal, dosis
obat, dan penambahan vasokonstriktor. Pemilihan obat anestesi lokal akan menentukan lamanya blokade anestesi spinal. Golongan anestesi lokal amida lama
kerjanya lebih lama dan lebih banyak menembus jaringan dibandingkan golongan ester oleh karena ikatan ester memiliki sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan
oleh plasma esterase. Peningkatan dosis anestesi lokal memperpanjang lamanya blokade anestesi spinal.
Lama kerja analgesia Meperidin pada penelitian yang didapat oleh Kafle, Nepal,1993 Meperidin 5 dengan dosis 1 mgkg BB secara intratekal vs
Lidokain Heavy 5
45
didapatkan lebih panjang hingga 6 jam dibandingkan dengan kelompok Lidokain Heavy 5. Pada penelitian Yu dkk, China,2002
Bupivakain 0,5 hiperbarik 10 mg ditambah Meperidin 10 mg dibanding keompok kontrol normal salin
47
terbukti pada kelompok Meperidin memiliki lama kerja yang lebih panjang dibanding kelompok salin 234 menit vs 125 menit
dan penelitian Atalay, Turkey, 2010, Bupivakain plain 5mg ditambah Meperidin 25 mg mendapatkan lama kerja analgesi selama 295±23,0 menit
48
. Bahkan pada penelitian Cheun, Korea, 1989, yang hanya menggunakan Meperidin sebagai agen
tunggal sole agent secara intratekal pada bedah sesar 50 mg Meperidin pada dektsrose 10 0,5 ml didapat pemanjangan lama kerja analgesi sebesar
453,7±158,1 menit dan waktu pemulihan motorik yang cepat 75,9±17,2 menit
46
. Keadaan hemodinamik pasien pre-operasi yang meliputi tekanan darah
sistolik, tekanan darah diastolik, MAP laju nadi, dan laju napas tabel 17 adalah relatif homogen pada kedua kelompok dan secara statistik menunjukan perbedaan
yang tidak bermakna dengan p0,05. Namun pada pemantauan hemodinamik setelah penyuntikan anastesi
spinal pemantauan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, MAP pada menit ke 3 hingga pemantauan menit ke 6 pada kelompok A terlihat mengalami
Universitas Sumatera Utara
88
penurunan yang cukup ekstrem ditampilkan dalam grafik sedangkan pada kelompok B pemantauan dari menit ke 3 terhadap tekanan darah sistolik, tekanan
darah diastolik, MAP mengalami penurunan yang tajam hingga menit ke 9 . Namun pada kedua kelompok pemantauan nilai tekanan darah sistolik, tekanan
darah diastolik, MAP tetap konsisten setelah menit ke 12 dan seterusnya. Hal ini dikarenakan tindakan anastesi spinal yang dapat memblokade simpatis sehingga
terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah dan menurunnya tonus vasomotor dan jenis obat anastesi lokal yang digunakan pada penelitian ini adalah yang bersifat
hiperbarik sehingga dapat mempengaruhi penyebaran analgesia obat anastesi lokal kearah sefalat yang akibatnya kecenderungan hipotensi dapat terjadi. Oleh karena
itu perlunya pemantauan ketat dalam 15 menit pertama setelah penyuntikan anestesi spinal.
7,9,10
Demikian halnya pada pemantauan laju nadi baik pada kelompok A maupun kelompok B dari seluruh pengamatan terlihat adanya kecenderungan
untuk terus menurun dari menit ke 3 sampai menit ke 15, dan setelah 15 menit laju nadi terlihat mulai konsisten. Namun dalam penelitian ini tidak ditemukan
adanya pasien yang mengalami bradikardi pada kedua kelompok. Bradikardi dapat terjadi oleh karena blokade saraf spinal yang tinggi sehingga tidak hanya
menghambat simpatis tetapi juga dapat memblok cardiac accelator fiber yang keluar dari level T1-4. Blokade simpatis sendiri ditambah volume intravaskuler
yang rendah dengan penekanan aortokaval yang berat akan menyebabkan penurunan preload sehingga terjadilah bradikardi. Hal-hal yang berperan dalam
mencegah bradikardi antara lain tidak terjadinya blokade spinal tinggi, volume intravaskular yang cukup, pengurangan efek penekanan aortokaval dan
penggunaan vasopressor seperti efedrin. Efedrin ini selain memiliki efek langsung agonis alfa adrenergik meningkatkan tonus vena dan vasokontriksi arteriol juga
memiliki efek agonis beta adrenergik yang akan meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas jantung.
3,7,9,15,23,55,59, 63
Hemodinamik kedua kelompok baik tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, MAP, laju nadi dan laju nafas pada menit ke 60,90,120 pada kedua
kelompok terlihat stabil dan berbeda tidak bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
89
penambahan opioid intratekal yang bersifat sinergistik dengan anestesi lokal dapat mempertahankan kestabilan hemodinamik durante operasi.
20,26,30,31,33,34, 48,84
Efek lain anastesi spinal yang diamati dalam penelitian ini adalah kejadian hipotensi, mual muntal, pruritus, dan depresi nafas tabel 18. Pada penelitian ini
didapatkan angka kejadian efek samping hipotensi masing-masing kelompok sejumlah 3 orang 10 yang terbukti secara statistik berbeda tidak bermakna
dengan p0,005. Dengan menurunkan dosis obat anestesi lokal pada anestesi spinal
diharapkan akan menurunkan angka kejadian hipotensi. Namun dosis yang rendah berkaitan dengan blokade sensorik analgesia yang kurang baik untuk
pembedahan, maka salah satu tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mempertahankan kualitas analgesia dengan menambahkan opioid golongan
lipofilik yang bekerja selektif pada jaras nyeri sensorik, dimana pada penelitian ini menggunakan dosis anestesi lokal Bupivakain 0,5 hiperbarik 7,5 mg
ditambah Fentanil 25 mcg atau Meperidin 25 mg . Penurunan angka kejadian hipotensi yang lebih rendah disebabkan
hambatan simpatis yang rendah akibat penggunaan Bupivakain dengan dosis yang rendah. Semakin tinggi hambatan simpatis maka akan semakin tinggi pula
kejadian hipotensi dan akan semakin berat kejadian hipotensi yang muncul. Dengan kata lain, penggunaan dosis Bupivakain yang lebih tinggi akan
menyebabkan kejadian hipotensi yang tinggi pula.
2,3,7,10,23
Namun penggunaan dosis Bupivakain yang lebih rendah berisiko menghasilkan analgesia yang tidak
adekuat. Kombinasi 7,5 mg Bupivakain hiperbarik 0,5 dengan opioid Fentanil 25 mcg ataupun Meperidin 25 mg menghasilkan analgesia yang cukup adekuat
dibandingkan penelitian lain yang menggunakan kombinasi obat dengan dosis yang berbeda, terbukti dapat mempertahankan efek analgesia selama operasi.
Pada Penelitian Kang dkk yang menggunakan dosis 5 mg Bupivakain hiperbarik ditambah 25mcg Fentanil didapatkan insiden hipotensi sebesar 20,
namun 13 dikonversi menjadi anestesia umum.
28
Kualitas analgesia yang menurun juga ditunjukkan oleh Tolia dkk, yang menggunakan dosis Bupivakain
lebih besar dari penelitian Kang. Tolia menggunakan 7,5 mg Bupivakain
Universitas Sumatera Utara
90
hiperbarik 0,5 ditambah dengan 10 mcg Fentanil dengan hasil insiden hipotensi yang rendah 8 , namun 4 dikonversi menjadi anestesia umum.
18
Terlihat bahwa semakin kecil dosis Bupivakain yang digunakan semakin rendah kejadian
hipotensi, namun diikuti dengan kualitas analgesia yang semakin kurang baik. Hal lain yang menarik dari penelitian Tolia dibandingkan penelitian Kang adalah
insiden hipotensi yang didapatkan oleh Tolia lebih rendah. Dosis Fentanil yang lebih besar juga menimbulkan risiko hipotensi yang lebih besar, dengan
penggunaan dosis anestetika lokal yang sama. Hasil yang didapat dari penelitian yang dilakukan Tolia dkk, menunjukkan insiden hipotensi yang lebih rendah 8
dari hasil yang didapatkan penelitian ini 10, yang menggunakan dosis Fentanil lebih tinggi 10 mcg vs 25 mcg.
Beberapa postulat penelitian menyatakan penggunaan opioid intratekal sendiri juga dapat menimbulkan hipotensi, terutama penggunaan dosis yang
semakin tinggi. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal ini diperkirakan akibat blokade nyeri yang baik dan proses terjadi yang cepat, menurunkan katekolamin
sehingga menurunkan tekanan darah, dan mekanisme lain yang belum diketahui. Tetapi kejadian hipotensinya dapat dicegah dengan rehidrasi yang baik. Dosis
Fentanil 25 mcg yang ditambahkan pada 7,5 mg Bupivakain 0,5 hiperbarik pada penelitian ini, memberikan analgesia intraoperatif yang baik dengan kejadian
hipotensi yang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan penggunaan Bupivakain 0,5 hiperbarik dosis 12,5-15 mg. Hasil penelitian ini mendapati
penggunaan Fentanil 25 mcg intratekal sebagai tambahan 7,5 mg Bupivakain 0,5 hiperbarik, masih memiliki kejadian hipotensi yang lebih rendah
dibandingkan kombinasi obat yang dilakukan penelitian sebelumnya. Srivastava dkk 2004, dalam penelitiannya menggunakan Bupivakain hiperbarik 10 mg
ditambah 25 mcg Fentanil dan mendapatkan insiden hipotensi 52.
35
Sarvela dkk 1999, menggunakan 9 mg Bupivakain hiperbarik ditambah 20 mcg Fentanil,
mendapatkan insiden hipotensi sebesar 61, penambahan lama blokade sensorik tetapi blokade motorik tidak terpengaruh.
37
Harsoor dan Vikram 2008 menggunakan 8 mg Bupivakain hiperbarik ditambah 12,5mcg Fentanil didapatkan
kejadian hipotensi 50.
52
Universitas Sumatera Utara
91
Pada beberapa penelitian dengan penambahan Meperidin pada anestesi lokal juga muncul efek samping hipotensi , diantaranya penelitian yang dilakukan
oleh Yu dkk 2002 pada Bupivakain 0,5 hiperbarik 10 mg ditambah Meperidin 10 mg, terdapat insiden hipotensi sebanyak 14 subjek penelitian dari
20 sampel penelitian 70.
47
Penggunaan Meperidin intratekal dalam dosis besar juga berhubungan dengan tingginya insiden hipotensi, hal ini dapat dilihat pada
pemakaian Meperidin sebagai agen tunggal intratekal pada operasi bedah sesar.46 Pada penelitian Cheun, 1989, dengan menggunakan 50 mg Meperidin pada
dektsrose 10 0,5 ml didapati insiden hipotensi sebanyak 95 subjek dari 182 sampel penelitian 52,2.
46
Pada pemakaian intratekal Meperidin dengan dosis 0,5 mgkgbb masih didapat insiden hipotensi hingga 17, sedangkan pada
intratekal Meperidin dengan dosis 0,75 mgkgbb akan lebih besar efek samping hipotensinya bekisar 44.
48,53
Perbedaan insiden hipotensi dari penelitian- penelitian ini bisa juga dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya seperti perbedaan
protokol masing-masing penelitian yang dapat mempengaruhi insiden hipotensi yang diperoleh. Tentunya terdapat perbedaan perbedaan kecil dalam batasan
hipotensi dan perlakuan terhadap pasien. Pada penelitian ini batasan hipotensi yaitu tekanan darah sistolik dibawah 90 mmHg. Batasan ini diambil dengan
asumsi angka ini merupakan batasan hipotensi yang bermakna berat selain itu mudah dalam pelaksanaan observasi penelitian. Untuk mendapatkan angka
kejadian hipotensi yang nihil pada anestesia spinal untuk bedah sesar sangat sulit, karena masih ada hal lain yang mempengaruhi hemodinamik pasien selain obat
anestetika lokal dan ajuvannya. Penekanan aortokaval merupakan faktor yang sulit dihilangkan. Walau sudah dilakukan pengganjalan di panggul kanan left
uterine displacement, penekanan parsial terhadap aortokaval oleh uterus tetap terjadi.
2,3,7,9,49
Permasalahan utama dari anestesia spinal untuk bedah sesar adalah mencari komposisi yang tepat dari kombinasi obat anestetika lokal dan opioid
lipofilik untuk meminimalkan efek samping dan mendapatkan analgesia intraoperatif yang baik. Dari berbagai penelitian dapat dilihat bahwa dengan
besarnya anestetika lokal maka tinggi pula efek sampingnya, hipotensi, mual
Universitas Sumatera Utara
92
muntah dan lainnya. Dilemanya, dengan menurunkan dosis anestetika lokal maka akan menurunkan efek samping, namun juga menurunkan kualitas analgesia.
Penambahan opioid lipofilik bertujuan untuk menutupi kelemahan tersebut, yaitu memperbaiki kualitas analgesia. Walau masih berupa postulat
penambahan opioid lipofilik yang terlalu tinggi dosisnya akan meningkatkan insiden hipotensi juga. Selain itu efek samping dari opioid lipofilik intratekal juga
akan meningkat. Penambahan opioid lipofilik disisi lain juga berpengaruh terhadap total volume obat yang digunakan untuk anestesia spinal, dimana
semakin besar total volume obat yang digunakan maka risiko terjadinya hipotensi
juga akan meningkat seiring dengan peningkatan ketinggian level blokade.
22,23,48,49,53
Untuk pemantauan efek samping mual-muntah pada penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan Fentanil 25 mcg dan Meperidin 50 mg sebagai
kombinasi obat anestesia spinal untuk bedah sesar sama-sama menunjukkan adanya kejadian mual-muntah namun secara statistik berbeda tidak bermakna
p0,05. Kejadian mual muntah juga dijumpai pada penelitian Bupivakain
hiperbarik dengan penambahan Fentanil, seperti pada penelitian Dahlgren dkk 25 dan Ben-David dkk 31.
42-43
Munculnya kejadian mual muntah dapat diakibatkan oleh banyak faktor, antara lain tehnik anestesia spinal yang berkaitan
dengan kejadian hipotensi dan hipoksemia pada pusat muntah, rangsangan langsung pada pusat muntah akibat penggunaan opioid, adanya nyeri viseral saat
manipulasi uterus, tarikan emetum atau isi abdomen lain, dan peningkatan tekanan darah yang signifikan serta tiba-tiba akibat pemberian vasopresor. Belum lagi
adanya perbedaan protokol antar penelitian yang satu dengan yang lainnya, seperti pemberian premedikasi antiemetik atau tanpa pemberian premedikasi antiemetik.
Ben-David dalam penelitiannya, melaporkan adanya rasa tidak nyaman saat manipulasi uterus, walaupun hanya sebentar dan tidak mengganggu secara
keseluruhan dibanding dengan ketidaknyamanan akibat mual muntah. Nyeri viseral saat manipulasi atau tarikan organ abdomen dapat mencetuskan mual
muntah juga, namun dikeluhkan sebagai kejadian yang terpisah oleh pasien. Hal
Universitas Sumatera Utara
93
ini menambahkan rumitnya identifikasi penyebab mual muntah. Variasi hasil yang didapatkan pada penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan tidak jelasnya
keterkaitan antara mual muntah dengan kombinasi obat yang digunakan untuk anestesia spinal.
2,49,60
Penelitian Ben-David dkk, membandingkan Bupivakain hiperbarik 10 mg dengan Bupivakain isobarik 5 mg ditambah 25 mcg Fentanil
mendapatkan angka 69 vs 31.
43
Kang dkk yang menggunakan Bupivakain hiperbarik 8 mg dan Bupivakain hiperbarik 5 mg ditambah 25 mcg Fentanil
mendapatkan angka 53 dan 40
42
. Sedangkan Tolia dkk bahkan melaporkan tidak menemukan kejadian mual muntah pada penggunaan Bupivakain hiperbarik
7,5 mg dengan penambahan Fentanil 10 mcg dan hanya 2 pada penggunaan 9 mg Bupivakain hiperbarik dengan penambahan Fentanil 10 mcg
18
. Dari perbandingan tiga penelitian berbeda yang sama-sama tidak menggunakan
premedikasi ini, ada hal yang dicermati yaitu besar angka kejadian mual muntah selalu sejalan dengan besar angka kejadian hipotensinya Ben-David 94 vs
31, Kang 40 vs 20, Tolia 24 vs 8. Penggunaan opioid intratekal sendiri dikatakan dapat menyebabkan
terjadinya mual dan muntah. Dari beberapa hasil penelitian mengatakan penggunaan morfin intratekal lebih sering menyebabkan mual muntah
dibandingkan penggunaan
Fentanil
2,21,22,49
. Siddik-Sayyid
mengatakan penggunaan Fentanil intratekal memiliki efek samping mual-muntah yang justru
lebih rendah dibandingkan Fentanil intravena
25
. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini memberikan kesan penggunaan dosis Fentanil intratekal yang lebih
tinggi menjadi faktor meningkatnya insiden mual muntah, terutama bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Tolia nihil pada penggunaan 7,5 mg
Bupivakain hiperbarik ditambah 10 mcg Fentanil
18
. Namun Hunt dalam penelitiannya menggunakan mulai dari 2,5 mcg hingga 50 mcg Fentanil, gagal
menunjukkan kenaikan risiko mual muntah yang konsisten seiring kenaikan dosis Fentanil yang digunakan
40
. Pada pemakaian Meperidin sebagai agen tunggal intratekal dalam dosis ≥1mgkgbb juga dihubungkan dengan tingginya insiden
mual-muntah selama tindakan pembedahan
46
. Pada penelitian Cheun dkk, dengan pemakain Meperidin sebagai agen tunggal didapati sejumlah 49 subjek
Universitas Sumatera Utara
94
penelitian dari 182 sampel penelitian 26,1 yang mengalami mual-muntah
46
. Kejadian mual-muntah yang terjadi erat kaitannya dengan hipotensi yang terjadi
akibat pemakain Meperidin intratekal dalam dosis yang besar
46,53
. Mual-muntah yang mungkin terjadi sebagai efek samping opioid adalah
oleh karena penyebaran rostral opioid dalam cairan serebrospinal ke batang otak atau ambilan vaskular dan dihantarkan langsung ke pusat muntah di
“”chemoreceptor triger zone”
2,21,22
. Penggunaan opioid intratekal juga dikatakan menyebabkan timbulnya
pruritus. Pruritus yang disebabkan oleh opioid intratekal atau epidural terjadi akibat migrasi opioid dalam cairan serebrospinalis ke arah kranial dan
merangsang langsung nucleus trigemini yang terletak superfisial di medula. Penggunaan morfin lebih sering menyebabkan pruritus dibandingkan penggunaan
Fentanil intratekal
2,21,22
.. Pada penelitian ini didapati angka kejadian pruritus yang tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok dimana pada terdapat sebanyak 2
orang 6,7 pada kelompok A dan 3 orang 10 pada kelompok B. Tampak lebih banyak subjek yang menderita pruritus pada kelompok B, hal ini disebabkan
Meperidin memiliki sifat histamine release yang lebih tinggi dibandingkan Fentanil.
21,22,53
Dalam suatu penelitian yang menggunakan Meperidin intratekal dengan dosis
≥ 50 mg, insidens pruritus yang terjadi bekisar antara 10,7 -32
53
. Pruritus yang terjadi masih dapat ditolerir oleh pasien dan tidak sampai
memerlukan nalokson. Pada penelitian dengan menggunakan Bupivakain dengan Fentanil intratekal dijumpai kejadian pruritusnya ringan seperti pada penelitian
Dahlgren dkk, hanya menemukan kejadian pruritus ringan sebesar 4. Tolia, Harsoor, serta Kang, juga mendapatkan insiden pruritus ringan yang tidak
signifikan pada penggunaan Bupivakain ditambah Fentanil intratekal
18
. Pada penelitian ini tidak ditemukan kejadian depresi nafas pada kedua
kelompok. Hasil serupa juga dilaporkan oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan Fentanil intratekal. Hunt dkk, dalam penelitiannya
menggunakan beragam dosis Fentanil intratekal, mulai dari 2,5 mcg hingga 50 mcg tidak menemukan adanya insiden depresi nafas
40
, demikian juga pada penelitian yang menggunakan penambahan Meperidin intratekal seperti yang
Universitas Sumatera Utara
95
ditampilkan oleh Kafle ,Cheun,Yu maupun Atalay tidak ada yang mengalami depresi nafas selama durante operasi
45-48
. Namun perlu diwaspadai pada pemberian Meperidin intratekal dengan dosis ≥ 1 mgkgbb dapat menimbulkan
lebih banyak efek samping.
21,22,48-53
Universitas Sumatera Utara
96
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan