36
spinal lebih kecil dibandingkan pemberian secara intravena dan apabila memakai dosis besar maka efek sampingnya akan lebih banyak.
Manfaat efek analgesia opioid sudah lama diketahui. Namun, meskipun opioid telah digunakan selama ratusan tahun tetapi reseptor opioid yang lebih
spesifik baru dikenal pada tahun 1971. Penelitianpun terus dikembangkan dan ditemukan bahwa reseptor opioid terdapat di otak dan spinal cord. Tahun 1979
pertama sekali diumumkan adanya studi klinis pemakaian morfin intratekal. Wang dkk, pada tahun 1976, pertama kali melaporkan efek analgesia sesudah pemakaian
morfin intratekal baik secara bolus maupun infuse kontinu. pada delapan pasien dengan diagnosa kanker pada daerah genitor urinaria dan sejak itu intratekal
opioid dipergunakan untuk menghilangkan rasa nyeri. Melza dan Wall 1986 mengemukakan teori bahwa saraf tulang belakang
adalah target potensial untuk sebagai modulasi rasa nyeri. Pert dan Synder 1973 menemukan reseptor opioid dan dapat mengindentifikasi reseptor opioid pada
kornu dosalis pada tahun 1977. Teknik dari intratekal sangat mudah, akan tetapi apabila menusuk dura
akan timbul sakit kepala yang tidak menyenangkan bagi pasien. Sakit kepala pasien sukar dihilangkan dengan obat-obatan, maka pada waktu penusukan harus
berhati-hati dan jangan sampai menusuk duramater.
2.5.1 Mekanisme Kerja Opioid
21,22,30,31,38
Analgesia yang berasal dari pemberian opioid neuroaksial terutama diperantarai oleh ikatan presinaps dan postsinaps dari reseptor mu pada substansia
gelatinosa pada cornu dorsalis medulla spinalis. Aktivasi opioid dan reseptor akan mengambat plepasan presinaptik dan respon post sinaptik terhadap
neurotransmitter eksitasi asetilkolin dari saraf nosiseptif. Aktivasi reseptor presinaps pada neuron aferen membawa informasi nosiseptif menghasilkan
penurunan konduktan melalui saluran kalsium Ca
+
dan menghambat influx Ca
+
yang akan menurunkan pelepasan neurotransmitter, terjadi penurunan sinyal antara neuron aferen primer dan sekunder di kornu dorsalis. Ikatan reseptor opioid
Universitas Sumatera Utara
37
pada neuron aferen sekunder menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi dan penurunan aksi potensial Gambar 13.
Gambar 12. Mekanisme Aksi Opioid Terhadap Reseptor Opioid
21
Opioid intratekal bekerja sebagai ligand pada reseptor opioid melalui tiga cara yang berbeda untuk menghasilkan analgesia, yaitu :
1. Langsung ke kornu dorsalis medulla spinalis 2. Supraspinal melalui aliran cairan serebrospinal, terjadi modulasi
penghambatan nyeri secara desending. 3. Opioid dalam jumlah kecil berdifusi ke ruang epidural dan diabsorbsi
secara sistemik sehingga bekerja secara sentral efek minor.
2.5.2 Farmakodinamik Farmakokinetik Opioid
Opioid kerja sebagai agonis pada reseptor opioid yang tersebar luas di seluruh tubuh termasuk otak korteks serebral, thalamus, hypothalamus, amigdala,
ganglia basalis, batang otak, sistem aktivasi retikular medulla spinalis dan jaringan non neural seperti traktus gastrointestinal.
Farmakokinetik masing-masing obat opioid kecepatan onset, lama kerja kerja, dan derajat penyebaran rostral tergantung lokasi, reseptor, pengaruh obat di
setiap rute, seperti yang digambarkan pada tabel 3.
Universitas Sumatera Utara
38
Tabel 4. Karakteristik Farmakokinetik Opioid
22
Farmakodinamik opioid tertentu bergantung pada reseptor yang berikatan, afinitas ikatan dan apakah reseptor tersebut teraktivasi. Ada empat reseptor utama
opioid,yaitu mu, kappa, delta dan sigma. Setiap opioid memiliki afinitas yang berbeda berdasarkan jenis reseptornya, tabel 4 dan setiap kelas berhubungan
dengan terapi khusus dan efek sampingnya.
Tabel 5. Klasifikasi dari Reseptor Opioid
22
Reseptor Pengaruh Klinis
Agonis
Mu Analgesia supra spinal µ-1
Depresi Pernafasan µ-2 Physical dependence
Kekakuan Otot Morfin
Met-enkephalin Beta-endorfin
Fentanil Kappa
Sedasi Analgesia Spinal
Morfin Nalbuphin
Butorfanol Dinorfin
Oksikodon Delta
Analgesia Behavioral
Epileptogenik Leu-enkephalin
Beta endorphin Sigma
Disforia Halusinasi
Stimulasi Pernafasan Pentazosin
Nalorfin Ketamin
Catatan : Hubungan antara reseptor, pengaruh klinik dan agonis adalah jauh lebih kompleks daripada yang ditunjukkan pad tabel. Sebagai contoh, pentazosin adalah antagonis dari reseptor mu, agonis,parsial pada
reseptor kappa dan suatu agonis pada reseptor sigma
Opioid endogen
Parameter Morfin Meperidin Fentanil SuFentanil AlFentanil RemiFentanil
pK
a
7,9 8,5
8,4 8,0
6,5 7,26
tak terionisasi pH
7,4 23
7 8,5
20 89
58 Ikatan protein
35 70
84 93
92 66-93
Clearance mlmnt
1050 1020
1530 900
238 4000
Vd L 224
305 335
123 27
30 Waktu paruh
eliminasi jm 1,7-3,3
3-5 3,1-6,6
2,2-4,6 1,4-1,5
0,17-0,33
ow
koefisien partisi octanol-
air 1,4
39 816
1757 128
17,9
Universitas Sumatera Utara
39
Opioid intratekal mengalami metabolisme bersama CSF, mula kerja, lama kerja analgesi serta penyebaran ke sefalad tergantung dari kelarutannya dalam
lemak. Yang rmasuk opioid yang larut dalam lemak lipofilik antara lain adalah :
Fentanil, SubFentanil.
Opioid lipofilik dapat melewati spinal cord kemudian berikatan dengan reseptor spesifik dan non spesifik dan menyebar ke dalam plasma. Opioid lipofilik
akan berdifusi ke medulla spinalis dan ikatan pada reseptornya di kornu dorsalis akan semakin cepat. Hal ini menyebabkan mula kerja yang cepat, dengan
penyebaran ke cephalad lebih minimal sehingga resiko depresi nafas berkurang, tetapi lama kerja analgesianya relatif singkat. Morfin bersifat kurang larut dalam
lemak lipofilik sehingga lebih lambat tetapi lama kerja analgesianya lebih panjang, penyebaran ke cephalad lebih meningkat sehingga resiko depresi nafas
lebih besar. Efek analgesia yang dihasilkan dari reseptor opioid terhadap lokasi anatomi terlihat pada tabel 5.
Tabel 6. Distribusi Reseptor Opioid
22
2.5.3 Efek Samping Opioid