Penghentian Perang dalam Hukum Islam dan Hukum Internasional

BAB IV PERBANDINGAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN ANTARA HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM INTERNASIONAL

A. Penghentian Perang dalam Hukum Islam dan Hukum Internasional

Perlu disinggung bahwa dalam Konferensi Perdamaian Den Haag the Hague Peace Conference pertama pada tahun 1899 yang dihadiri sekitar 40 negara, kemudian disusul dengan konferensi kedua pada tahun 1907 yang dihadiri sekitar 55 negara, ditetapkan dua keadaan yang membolehkan terjadinya perang, yakni: 1 Perang tersebut dalam rangka membela diri dari segala serangan yang terjadi pada suatu negara; 2 Perang untuk tujuan menjaga eksistensi bagi suatu negara dari rongrongan negara lain tanpa alasan yang benar. Adapun perang yang tidak diperbolehkan adalah perang untuk maksud penaklukan, perluasan wilayah, serta penetapan kekuasaan. Dalam hal ini para anggota konferensi memberi perbedaan antara perang keadilan dan perang tidak adil. Mereka sepakat memperbolehkan jenis perang yang pertama dan melarang jenis perang yang kedua. 119 119 Ali Ali Manshur, Muqaranah Baina al-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Wadh’i, Cet. I, Mesir: Daar al-Fath li al-Tiba’ah, 1980, Hlm. 56, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 279 Dalam tataran hukum Islam, poin-poin yang disepakati dalam Konferensi Perdamaian Den Haag the Hague Peace Conference pada hakikatnya telah diserukan sejak permulaan abad VII Masehi. Bahkan, seruan tersebut lebih komprehensif dari hasil Konferensi Den Haag.Suasana anti perang mempunyai dampak pada hukum perang, karena orang tidak menginginkan adanya perang maka dengan sendirinya istilah hukum perangpun dihindari. Menurut Haryomataram istilah hukum perang sudah tidak disukai lagi, tetapi di pihak laiin masih dianggap perlu adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur pertikaian bersenjata, sekalipun pertikaian tersebut tidak lagi dinamakan perang. 120 Syariat Islam mengeluarkan larangan perang untuk penaklukan dan penguasaan, demikian pula larangan terhadap perang yang terjadi semata-mata karena kezaliman dan permusuhan. Di samping itu Islam membolehkan perang karena membela akidah, menolong kaum tertindas, mengawal kebebasan, serta untuk menjaga eksistensi dakwah dari gangguan. 121 1 “Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. ” QS. Al-Baqarah: 194 Keterangan tersebut dapat dilihat dalam firman-firman Allah Ta’ala: 120 Sri Setianingsih Suwardi, Opcit, Hlm. 211 121 Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 279 2 “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar- benar Maha Kuasa menolong mereka itu. ” QS. Al-Hajj: 39 3 “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. ”QS. Al-Qashash: 83 Ibnu Khaldun w. 808 menyatakan dalam Muqaddimah-nya, perang yang berlangsung sejak permulaan penciptaan makhluk merupakan sebuah kenyataan logis dan biasa terjadi dalam kehidupan. Tidak ada satu umat atau generasi yang lepas dari kenyataan ini. Perang tersebut bisa saja terjadi karena persaingan dengan rivalnya, permusuhan, pembelaan terhadap agama Allah dan Rasul-Nya, atau karena kemurkaan sang raja. Semua itu tentunya dilakukan demi meredam gejolak dan fitnah. 122 1. Penghentian Perang dalam Hukum Islam Islam menganggap bahwa perang merupakan darurat sipil guna membalas permusuhan serta mengawal kebebasan dakwah agar mencapai segenap alam. Karena itu, ia dikategorikan sebagai wasilah sarana, bukan tujuan. Kapan saja tujuan dari dakwah tersebut tercapai tanpa harus menggunakan kekuatan militer, maka hal itu merupakan suatu rahmat dan tidak ada lagi hajat pada perang tersebut. 122 Ibid Masalah sengketa internasional, terutama yang berkaitan dengan cara-cara penghentian perang atau gencatan senjata, termasuk perkara yang mendapat perhatian Hukum Islam. Hal ini karena Islam merupakan agama rahmat yang bertujuan menegakkan keadilan dan keamanan dalam kehidupan masyarakat bernegara. Termasuk didalamnya juga mengatur mengenai cara-cara mewujudkan perdamaian, seperti penyelesaian sengketa yang diakibatkan oleh perang. Di antara cara-cara penghentian perang dan penyelesaian sengketa internasional dalam hukum Islam adalah sebagai berikut: a. Penghentian Perang karena Agama Syariat perang diturunkan untuk suatu tujuan terpuji, yakni meninggikan kalimat Allah, membersihkan kesyirikan dan kezaliman, serta menghilangkan segala aral yang merintangi kebebasan hak asasi manusia dalam menentukan pilihan hidupnya dalam persoalan agama dan keyakinan. Karena itu, jika tujuan dari syariat ini terealisasi, ketika pihak musuh menyatakan kesediaan untuk masuk ke dalam Islam, maka pada saat itu wajib menghentikan perang serta menyemarakkan cinta dan perdamaian. Di antara dalil yang menyokong hali ini adalah: 1 Firman Allah Ta’ala: “Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka perangilah orang- orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkap dan kepunglah mereka serta intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ” QS. At-Taubah: 5 Dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan untuk memerangi kaum musyrikin hingga mereka takluk dan menyerahkan diri. Kemudian jika mereka bertobat dari kesyirikan, mengumandangkan keislaman, dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala, maka pada saat itu wajib hukumnya menghentikan perang. 123 Dari sini dipahami bahwa masuknya musuh ke dalam Islam secara otomatis menghentikan segala konflik internasional yang terjadi. 124 2 Allah Ta’ala menyatakan dalam firman-Nya: “Jika mereka bertobat, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, maka mereka itu adalah saudara-saudaramu seagama, dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. ” QS. At-Taubah: 11 3 Hadits dari Sulaiman bin Buraidah w. 105 H dari bapaknya w. 63 H, ia berkata: “Rasulullah SAW jika mengutus seorang panglima dalam satu pasukan, beliau memberikan nasihat khusus untuk selalu bertakwa kepada Allah dan memperlakukan kaum muslimin yang bersamanya dengan baik... lalu Nabi SAW bersabda: 123 At-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Aiy al-Qur’an, t.Cet. Markaz al-Buhuts wa al-Dirasaat al-Arabiyah wa al-Islamiyah dan Daar al-Hajr, t.thn, Hlm. 320, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 312 124 Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 312 “Jika engkau berhadapan dengan musuh dari kaum musyrikin, maka ajaklah ia pada tiga perkara. Apa saja yang mereka terima darimu dari ketiga perkara maka penuhilah, lalu tahan diri kalian. Ajaklah ia kepada agama Islam, jika mereka menerima maka penuhilah serta tahanlah diri kalian dari perang. ” HR. Muslim No. 1731 4 Dari Abu Hurairah ra. w. 59 H, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka menyaksikan bahwa tiada sembahan yang hak melainkan Allah. Siapa saja yang mengucapkannya, maka terpelihara dariku harta dan jiwanya kecuali dengan haknya, dan perhitungannya kembali kepada Allah. ” HR. Bukhari No. 25 b. Kesepakatan Damai Alternatif kedua ini ditempuh jika ahlu harbi tidak bersedia masuk Islam, yakni menyelenggarakan akad perdamaian, baik yang bersifat permanen akad dzimmah maupun yang bersifat temporer akad al-hudnah. Melalui akad perdamaian ini, ahlu harbi dapat berbaur dan tinggal di bawah naungan negara Islam dengan hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslimin terhadap negara. 125 125 Ibid , Hlm. 313 Firman Allah Ta’ala: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” QS. Al-Anfal: 61 Perkara semacam ini berlaku jika kaum muslimin dalam kondisi kuat di segala aspek, terutama pertahanan dan militer. Adapun jika dalam kondisi lemah, dan dikhawatirkan bahaya besar mengancam stabilitas negara serta nyawa yang tidak berdosa dalam negeri Islam, maka para fukaha membolehkan pemimpin negara Islam untuk mengadakan perdamaian kendati harus membayar sejumlah uang atau hasil bumi kepada musuh, sesuai dengan kadar yang disepakati. 126 Bagi seorang muslim yang ditawan oleh musuh menebus dirinya, atau negara yang kemudian menebusnya dengan membayar sejumlah harta atau hasil bumi yang diambil dari bait al-mal, maka dalam persoalan ini pun diperbolehkan, bahkan boleh jadi lebih utama karena menyangkut keselamatan nyawa dan harga diri orang banyak dan tidak tergolong sebagai bentuk kehinaan bagi kaum muslimin. Sikap ini oleh para fukaha dinilai sebagai situasi darurat yang memerlukan perlakuan hukum yang berbeda dengan kondisi biasa. Sebab pada prinsipnya, membayar seuatu kepada negara harbi bukan karena kondisi darurat tidak diperbolehkan, karena menunjukkan kehinaan dan kerendahan. Dalam sebuah kaidah ushul dinyatakan “al-Daruurat Tubihu al-Mahdzurat”, artinya kondisi darurat membolehkan berlakunya sesuatu yang dilarang. 127 126 Muhammad Ra’fat Utsman, al-Huquq wa al-Wajibaat wa al-Ilaaqaat al-Dauliyah fi al- Islam, Cet. IV, Kairo: Daar al-Dhiya’, 1991, Hlm. 242, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 314 127 Ibid , Hlm. 319 Sehingga, dapat dikatakan bahwa perjanjian damai merupakan salah satu cara penghentian perang yang disyariatkan Islam. Perjanjian damai yang diselenggarakan secara otomatis melahirkan tiga hal penting, sebagaimana disebutkan oleh Al-Mawardi w. 450 H: Pertama : Perdamaian secara lahiriah; yakni dengan menahan diri dari perang, mencegah dari mengganggu jiwa dan harta, serta adanya kesetaraan hak dan kewajiban terhadap negara. Kedua : Menghilangkan niat berkhianat secara bathin; di mana tidak boleh menyembunyikan sesuatu yang dapat membatalkan perjanjian, atau menampakkan kebaikan secara lahir lalu membuat makar secara diam-diam dan sebagainya. Ketiga : Berbuat baik dalam ucapan dan tindakan; yakni menampakkan selalu kata-kata dan perangai yang terpuji. 128 c. Gencatan Senjata Melalui Penaklukan Penaklukan adalah kemenangan dalam perang atas suatu negara melalui penggunaan kekuatan dan paksaan untuk menyerah dan tunduk. Penaklukan dalam hal ini merupakan salah satu metode yang disyariatkan sebagai jalan penghentian perang. Pada setiap kemenangan dan penaklukan dalam perang tidak pernah disebutkan dalam sejarah bahwa kaum muslimin melakukan hal-hal tercela, semisal pembantaian, pembumihangusan negeri, perampasan harta, penistaan terhadap kehormatan, dan sebagainya, seperti yang banyak dilakukan oleh para penakluk nonmuslim sepanjang sejarah. Hal ini merupakan bukti betapa tingginya syariat Islam. 129 128 Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Hawi fi al-Fiqh al-Syafi’i, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1414 H1994 M, Vol. XIV, Hlm. 383, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 319 129 Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 320 Allah Ta’ala mengabarkan hal ini dalam firman-Nya melalui lisan Ratu Saba’ Bilqis tentang kebiasaan raja-raja tatkala melakukan penaklukan: “Dia berkata: Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang mereka perbuat. ” QS. An-Naml: 34. Yakni, penghancuran infrastruktur, situs-situs budaya, pengerusakan harta benda, pembunuhan, penawanan serta segala bentuk penghinaan bagi harga diri dan kehormatan. 130 “Bagaimana pendapat anda seorang yang berperang untuk memperoleh rampasan perang, atau berperang agar dikenang, atau berperang agar dipandang kedudukannya, yang manakah tergolong perang di jalan Allah?” Sementara, tujuan perang penaklukan dalam Islam adalah untuk membela diri, kehormatan, agama, menegakkan keadilan, dan menumpas kezaliman. Bukan untuk maksud penjajahan dan penindasan, apalagi ketamakan terhadap harta rampasan perang ghanimah. Semua hal yang terakhir ini sudah barang tentu bertolakbelakang dengan nilai-nilai asasi yang terkandung dalam inti ajaran syariat yang murni. Oleh karenanya, Islam dikatakan sebagai agama rahmatan lil alamin , yang dimaksudkan sebagai rahmat serta kebahagiaan bagi setiap umat yang ada, tidak hanya umat muslimin saja, melainkan juga kepada umat-umat agama lain. Abu Musa Al-Asy’ari ra. w. 44 H berkata bahwa pernah seseorang datang menghadap Rasulullah SAW seraya bertanya: 130 Abu al-Fadl Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Adzim wa Sab’i al-Matsani , t.Cet, Beirut: Daar Ihya al-Turats al-Arabi, Hlm. 198, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 320 Nabi SAW menjawab: “Siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka dialah yang berada di jalan Allah. ” HR. Bukhari No. 2810, HR. Muslim No. 1904 Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq ra. w. 13 H selalu berpesan pada pasukannya jika akan diutus ke medan perang: “Jangan kalian menyayat-nyayat jenazah musuh, jangan membunuh anak kecil, orang tua renta, dan wanita, jangan menebang pohon dan membakarnya, jangan pula memotong pohon yang sedang berbuah, jangan membunuh kambing, sapi, unta kecuali untuk dimakan. Dan, kalian juga pasti akan melewati kaum yang hanya menyibukkan diri beribadah dalam tempat-tempat ibadahnya, karenanya biarkan mereka dan apa yang mereka lakukan. ” 131 “Engkau memelihara kesucian dirimu, maka rakyatmu pun terjaga. Jika seandainya tujuan engkau bersenang-senang, sungguh mereka pun akan bersenang-senang dengan harta itu. ” Karena itu, ketika salah seorang dari pasukan Umar bin al-Khatthab ra. w. 24 H kembali dari Persia membawa seluruh rampasan perang yang sangat banyak dan tak ada satu pun yang kurang, beliau terkesima terhadap kejujuran dan amanahnya. Lalu Ali bin Abi Thalib ra. w. 40 H pun menimpali: 132 Hal demikian terjadi karena maksud utama mereka dalam penaklukan bukan keserakahan terhadap materi dan rampasan perang ghanimah. Akan tetapi mencari ridha Allah Ta’ala dengan cara menindak kezaliman serta menyebarkan 131 Musthafa al-Siba’i, Min Rawa’i Hadharatina, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1420 H, Hlm. 98, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 321 132 Ibnu al-Atsir, al-Kamil fii al-Tarikh, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H, Vol. II, Hlm. 362, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 322 kebenaran dan keadilan ke seluruh alam. Islam juga memberikan kebebasan kepada para penduduk negara yang telah ditaklukannya untuk mengelola kembali negaranya tersebut setelah ditetapkan pajak bumi al-Haraj. Para penduduk dari negara yang telah ditaklukan tersebut akan tunduk dan terikat kepada satu akad perjanjian yang dinamakan akad dzimmah, namun bisa juga perjanjian selain dari akad dzimmah . Yang dalam hal ini mereka benar-benar tunduk atas dasar perjanjian yang benar, tanpa adanya pembebanan dari dalam diri mereka tersebut. d. Gencatan Senjata dengan Meninggalkan Perang Prinsip utama bagi kaum muslimin saat kondisi mengharuskan mereka terjun ke medan perang adalah kewajiban tegar dan tidak berpaling lari ke belakang, kecuali untuk tujuan strategi perang atau bergabung dengan pasukan lain yang datang kemudian. Allah Ta’ala mengabarkan dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan musuh, maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. ” QS. Al-Anfal: 45 “Berteguh hati” atau al-tsabat dalam ayat ini, menurut Fakru al-Din al- Razi w. 606, bermakna memantapkan dan meneguhkan jiwa mereka saat berhadapan dengan musuh dan tidak menanamkan niat untuk berpaling. 133 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi Allah Ta’ala juga berfirman: 133 Fakru al-Din al-Razi, Mafaatih al-Ghaib Tafsir al-razi, Cet. I, Mathba’ah al- Khairiyyah, 1307 H, Vol. IV, Hlm. 371, dikutip dalam dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 324 mereka mundur. Barangsiapa yang membelakangi mereka mundur di waktu itu, kecuali berbelok untuk siasat perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya. ” QS. Al-Anfal: 15-16 Akan tetapi jika panglima perang memandang suatu maslahat dengan cara menarik diri dari medan perang karena adanya bahaya jika tetap bertahan atau kebaikan yang diharapkan akan hilang jika perang berlanjut, atau untuk menyelamatkan pasukan di hadapan kekuatan musuh yang sangat besar, maka dalam kondisi ini penghentian perang harus dilaksanakan dan dibolehkan menarik keseluruhan pasukan. Imam Abu Hanifah w. 150 H berkata: “Jika telah berada di medan perang wajib bagi seorang muslim untuk berperang semaksimal mungkin. Boleh baginya untuk mundur jika telah lemah atau khawatir dirirnya terbunuh, dan hal ini tidak termasuk dalam kategori lari dari perang. Yang menjadi ukuran pertimbangan dalam persoalan ini adalah dugaan kuat ghalib al-dzon .” 134 “Rasulullah SAW pernah mengepung penduduk Thaif, namun beliau tidak dapat menaklukan mereka. Beliau lantas bersabda: “Kita akan kembali ke Madinah, InsyaAllah. ” Maka para sahabat keberatan, “Bagaimana kita akan kembali, Didalam satu riwayat hadits telah menjelaskan salah satu kisah penghentian perang, yang terjadi pada saat pengepungan Thaif oleh Rasulullah SAW. Abdullah bin Umar ra. w. 73 H berkata: 134 Al-Zuhaili, Op.Cit, Hlm. 754, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit , Hlm. 325 padahal kita belum menaklukkannya? ” Rasulullah SAW pun berkata kepada mereka: “Kalau begitu bersegeralah menyerang mereka.” Lalu para sahabat melaksanakan, dan mereka menderita banyak luka-luka. Lantas Rasulullah SAW bersabda kepada mereka lagi: “Kita akan kembali besok, InsyaAllah.” Abdullah berkata: “Para sahabat pun gembira dan diam, maka Rasulullah SAW tertawa.” HR. Bukhari No. 4325, HR. Muslim No. 1778 Adapun praktik penarikan diri dari perang setelah zaman sahabat, para ahli sejarah menyebutkan tentang pengepungan Konstantinopel pertama oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan ra. w. 60 H, saat beliau kemudian menarik seluruh pasukannya setelah berlalu waktu yang panjang, yakni tujuh tahun, dan kapal- kapal pasukan Islam telah hancur terbakar. Beliau memerintahkan agar bangsa Arab menarik diri dari daerah Rudis, Arwad, dan Qubrush. Demikian pula dengan pengepungan Konstantinopel jilid kedua di bawah pimpinan panglima besar Maslamah bin Abdul Malik w. 120 H. Setelah memakan waktu yang panjang serta banyaknya musibah yang menimpa pasukan Islam, khalifah Umar bin Abdul Aziz w. 110 H kemudian mengeluarkan perintah untuk menarik seluruh pasukan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 99 H717 M. 135 2. Penghentian Perang dalam Hukum Internasional Dalam hukum internasional, ada bebrapa cara yang digunakan untuk penghentian perang, yaitu: 135 Abdul Mun’im Majid, al-Tarikh al-Siyasi li al-Daulah al-Arabiyah, Vol. II, Hlm. 48, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 327 1 Penghentian perang untuk sementara. Penghentian perang ini lahir dari kesepakatan kedua pemimpin negara yang berselisih untuk menghentikan perang sementara waktu guna tujuan-tujuan kemanusiaan, seperti menubur korban perang, memindahkan korban luka-luka dan orang sakit ke tempat yang jauh dari medan perang. 136 2 Penghentian sama sekali permusuhan oleh pihak-pihak berperang tanpa tercapai suatu saling pengertian di antara mereka. Gambaran dari hal ini adalah perang antara Swedia dan Polandia tahun 1716, antara Prancis dan Meksiko tahun 1867, dan antara Spanyol dan Chile tahun 1867. Kerugian dari metode ini adalah bahwa hubungan di antara para pihak berperang di masa selanjutnya diragukan akan kembali seperti sediakala. Dan, metode ini tidak tepat untuk tradisi-tradisi modern manakal persoalan-persoalan rumit yang menyangkut harta benda, perlengkapan, tawanan perang, dan perbatasan-perbatasan biasanya harus diselesaikan melaui traktat. 137 3 Penaklukan yang diikuti dengan aneksasi. Prinsip yang mengatur di sini adalah bahwa suatu negara yang ditaklukkan dan dianeksasi terhapus keberadaannya menurut hukum internasional. Oleh karena itu, tidak mungkin ada suatu keadaan perang antara negara yang ditaklukkan dan negara penakluknya. Kurang begitu jelas sejauh mana prinsip ini sekarang berlaku apabila negara yang dianeksasi itu ditaklukkan dalam suatu perang yang kotor, yang tidak sah menurut hukum internasional. Sebagai contoh, dalam kasus Ethiopia dan Cekoslovakia yang dianeksasi tahun 136 Ghunaim, Mabadi’ al-Qanun al-Dauliyah al-Aam, Hlm. 785, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 308 137 J.G. Starke, Op.Cit, Vol. II, Hlm. 749 1936 dan 1939 oleh Italia dan Jerman, pihak sekutu menolak untuk mengakui perubahan-perubahan wilayah yang berlangsung secara tidak sah itu. 138 4 Melalui traktat perdamaian. Ini merupakan cara yang paling lazim. Suatu traktat perdamaian pada umumnya secara rinci menguraikan semua persoalan mengenai hubungan pihak-pihak yang berperang. Sebagai contoh, pengosongan wilayah, pemulangan para tawanan, ganti rugi, dan lain-lain. 139 5 Melalui suatu perjanjian, atau perjanjian-perjanjian untuk mengakhiri perang dan memulihkan perdamaian yang berbeda dari suatu traktat perdamaian dalam pengertian yang sempit. Metode ini telah dipakai apabila satu pihak atau lebih yang terlibat dalam perang merupakan suatu kesatuan non-negara. Contoh akan hal ini adalah perjanjian Empat Pihak tanggal 27 Januari 1973, untuk mengakhiri perang dan memulihkan perdamaian di Vietnam, salah satu pihak itu adalah Pemerintah Revolusioner Sementara Vietnam Vietcong. 140 6 Melalui perjanjian gencatan senjata; perjanjian itu meskipun terutama dimaksudkan untuk mengadakan suatu penghentian permusuhan, selanjutnya berlaku sebagai akibat penetapan praktis oleh para pihak de facto untuk menghentikan keadaan perang. 141 138 Ibid 139 Ibid , Hlm. 750 140 Ibid 141 Ibid , Hlm. 750-751 Di masa lalu, perjanjian gencatan senjata seringkali dipergunakan untuk mengisolir orang-orang yang terluka dan tewas dari medan peperangan agar mereka tidak menjadi sasaran pertempuran. Tetapi saat ini, perjanjian gencatan senjata dipandang penting karena sebagian besar perjanjian ini tidak didahului oleh kesepakatan damai seperti yang berlaku di masa lalu, sehingga menjadi satu-satunya cara untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai tersebut. 142 7 Melalui deklarasi sepihak dari satu negara atau lebih yang memenangkan perang, yang menghentikan suatu keadaan perang. Prosedur yang agaknya menyimpang ini telah dipakai oleh bebrapa negara sekutu termasuk Inggris dan Amerika Serikat pada tahun 1947 dan 1951 masing-masing terhadap Austria dan Jerman Barat, terutama karena perselisihan yang tidak dapat didamaikan dengan Uni Soviet tentang prosedur dan prinsip berkenaan dengan pembentukan traktat-traktat perdamaian. 143 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penghentian perang dapat terjadi melalui cara: 1 Para pihak secara individual dan sukarela menghentikan perang tanpa kesepakatan terlebih dahulu; 2 Para pihak secara bersama-sama mengadakan perundingan kemudian mencapai kesepakatan untuk menciptakan perdamaian secara formal melalui perjanjian perdamaian, dan 3 Salah satu pihak menghentikan perang setelah menaklukkan musuhnya. 144 142 Penghentian perang yang lazim terjadi adalah penghentian melalui cara kedua, yaitu dengan http:agisardhiansyah.blogspot.com200910gencatan-senjata-armistice-oleh- agis.html. Di akses pada tanggal 23 Maret 2015 143 J.G. Starke, Op.Cit, Vol. II, Hlm. 751 144 Ingrid Detter, The Law of War. 2 nd ed. , Cambridge: Cambridge University Press, 2000, Hlm. 343-344, di kutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 310 mengadakan perjanjian perdamaian peace treaty, atau dengan penaklukan musuh. 145

B. Arbitrase dalam Hukum Islam dan Hukum Internasional

Dokumen yang terkait

Sengketa Pulau Kuril Antara Rusia Dan Jepang Ditinjau Dari Hukum Internasional

12 171 88

Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Eksistensi Konsul Kehormatan (Honorary Consul) Dalam Hubungan Konsuler (Studi Kasus: Konsul Kehormatan Jerman Di Medan)

16 129 136

Penyelesaian Sengketa Hadhanah Menurut Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam

3 143 147

KAJIAN MENGENAI PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KUIL PREAH VIHEAR ANTARA THAILAND DAN KAMBOJA BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

17 121 90

SENGKETA AMBALAT ANTARA RI-MALAYSIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM LAUT INTERNASIONAL

0 4 95

Lembaga Perdamaian Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Pandangan Peradilan Islam Dan Hukum Positif

0 0 12

BAB II PENGATURAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengaturan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian - Perbandingan Mengenai Peneyelesaian Sengketa dan Perdamaian Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasiona

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbandingan Mengenai Peneyelesaian Sengketa dan Perdamaian Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional

0 0 17

Perbandingan Mengenai Peneyelesaian Sengketa dan Perdamaian Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional

0 0 9

BAB II PENGATURAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA PULAU KEPULAUAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Defenisi Sengketa, Konflik, Sejarah Dan Prinsip-Prinsip Hukum Internasional yang mengatur mengenai Hukum Laut Internasional - Penyelesaian Sengketa Spartly Islands

0 0 51