untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap
kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu, serta mengemukakan perdamaian
kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu untuk menawan dan membunuh mereka.
” QS. An-Nisaa: 90 Dengan mementingkan kemaslahatan bagi kaum Muslimin, maka sesuai
dengan dalil ini bahwasanya antara ahlu al-harb negeri non-muslim dan ahlu al-Islam
diperbolehkan menyelenggarakan perjanjian damai.
34
B. Dasar Pemberlakuan Perjanjian Damai
Wahbah Al-Zuhaili menyatakan, Islam menjunjung tinggi persoalan kesepakatan damai serta segala sarana yang dapat mewujudkan tujuan-tujuan
syariat yang bersifat umum. Bagi seorang pemimpin, merupakan satu keharusan untuk menjalin perdamaian dengan kalangan non-muslim jika terdapat padanya
kebaikan agama. Melalui perjanjian damai itu, diharapkan mereka mendapat pemahaman yang baik terhadap agama Islam dan tertarik padanya.Adapun contoh
berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW diantaranya: Pertama
: Perjanjian damai diselenggarakan oleh Nabi SAW dengan kaum Yahudi di Madinah pada tahun ke-1 H. Hal demikian terlaksana setelah Nabi
SAW hijrah ke Madinah dan sukses menegakkan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, berupa kesatuan aqidah, politik, dan sistem kehidupan di antara kaum
34
Ibid
muslimin. Perhatian beliau pada saat itu terpusat untuk menciptakan keamanan, kebahagiaan, dan kebaikan bagi semua manusia, serta mengatur kehidupan di
daerah itu dalam suatu kesepakatan. Tetangga paling dekat dengan kaum muslimin di Madinah adalah kaum
Yahudi. Beliau menawarkan perjanjian damai dengan mereka, yang intinya memberikan kebebasan menjalankan agama, memutar kekayaan, serta tidak boleh
saling menyerang dan memusuhi.
35
1. Orang-orang Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat dengan orang-orang
mukmin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka, termasuk para pengikut mereka dan diri mereka
sendiri. Hal ini juga berlaku bagi kaum Yahudi selain Bani ‘Auf. Adapun isi traktat itu adalah sebagai berikut:
2. Orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri,
begitu pula orang-orang muslim. 3.
Mereka harus bahu membahu dalam menghadapi musuh yang hendak membatalkan piagam perjanjian ini.
4. Mereka harus saling menasihati, berbuat bijak, dan tidak boleh berbuat
jahat. 5.
Tidak boleh berbuat jahat terhadap seseorang yang telah terikat dengan perjanjian ini.
6. Wajib membantu orang-orang yang terzalimi.
7. Orang-orang Yahudi harus berjalan seiring dengan orang-orang Mukmin
saat mereka terjun dalam kancah pertempuran.
35
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 361
8. Yastrib madinah adalah kota yang dianggap suci oleh setiap pihak yang
menyetujui perjanjian ini. 9.
Jika terjadi sesuatu ataupun perselisihan di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini, yaitu dikhawatirkan akan menimbulkan
kerusakan, maka tempat kembalinya adalah Allah Ta’ala dan Muhammad SAW.
10. Orang-orang Quraisy tidak boleh mendapat perlindungan dan tidak boleh
ditolong. 11.
Mereka harus tolong-menolong dalam menghadapi orang yang hendak menyerang Yastrib.
12. Perjanjian tidak boleh dilanggar kecuali memang dia orang yang zalim
atau jahat.
36
Kedua : Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi SAW dan kaum Quraisy pada
tahun ke-VI Hijriah. Peristiwa ini dimulai saat Nabi SAW keluar bersama sekitar 1.400 personel dalam riwayat lain 1.500 orang menuju Mekkah untuk
menunaikan ibadah umrah. Mendengar rencana Nabi SAW itu, pihak Quraisy tidak tinggal diam. Mereka bermufakat mencegat Nabi SAW masuk ke dalam
Masjidil Haram. Diutuslah Suhail bin Amru w. 18 H untuk menemui beliau dan mengadakan perundingan. Dari perundingan itu, lahirlah traktat-traktat
kesepakatan bersama yang kemudian disebut Perjanjian Hudaibiyah. Di antara point-point perjanjian itu adalah sebagai berikut:
36
Al-Mubarakfuri, Shofiyur Rahman, Al-Rahiq Al-Makhtum, Cet. I, Riyadh: Daar Al- Salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H, Hlm. 182-183, dikutip dalam buku Muhammad
Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 361-362
1. Rasulullah SAW harus kembali pada tahun ini, dan tidak boleh memasuki
Mekkah kecuali tahun depan bersama orang-orang muslim. Mereka diberi jangka waktu selama tiga hari berada di Mekkah dan hanya boleh
membawa senjata yang biasa dibawa musafir, yaitu pedang yang disarungkan. Sementara pihak Quraisy tidak boleh menghalangi dengan
cara apapun. 2.
Gencatan senjata antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, sehingga semua orang merasa aman dan sebagian tidak boleh memerangi sebagian
yang lain. 3.
Siapa yang ingin bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya, dan siapa yang ingin bergabung dengan
pihak Quraisy dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya. Kabilah mana pun yang bergabung dengan salah satu pihak, maka kabilah itu
menjadi bagian dari pihak tersebut, sehingga penyerangan yang ditujukan terhadap kabilah tertentu, dianggap menyerang terhadap pihak yang
bersangkutan dengannya. 4.
Siapa pun orang Quraisy yang mendatangi Muhammad tanpa izin walinya melarikan diri, maka ia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy, dan
siapa pun dari pihak Muhammad yang mendatangi Quraisy melarikan diri darinya, maka dia tidak boleh dikembalikan padanya.
37
37
Al-Mubarakfuri, Shofiyur Rahman, Al-Rahiq Al-Makhtum, Cet. I, Riyadh: Daar Al- Salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H , Hlm. 325, dikutip dalam buku Muhammad Ashri
dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 363
Al-Nawawi w. 672 H menyatakan saat mengomentari peristiwa Perjanjian Hudaibiyah:
“Seorang pemimpin berhak menjalin perjanjian damai Al-Shulh selama hal itu dipandang dapat mewujudkan maslahat bagi kaum muslimin,
kendati pada mulanya perjanjian damai tersebut menurut sebagian orang tidak membawa kemaslahatan
.”
38
a. Firman Allah Ta’ala: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
mengerjakan kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong- menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
” Surat Al-Maa’idah: 2 Selain itu terdapat beberapa dalil lain yang menerangkan kepada umat
muslim untuk melakukan perjanjian damai, yakni:
b. Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap persendian tulang manusia harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Engkau mendamaikan dua orang yang berselisih
adalah shadaqah, menolong seseorang menaiki kendaraan adalah shadaqah atau mengangkatkan barangnya adalah shadaqah, kata-kata
yang baik adalah shadaqah, setiap langkah kaki yang kau ayunkan untuk shalat adalah shadaqah, dan engkau menyingkirkan duri dari jalan adalah
shadaqah. ” HR. Bukhari No. 2827 dan HR. Muslim No. 1009
c. Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam
saling mencintai dan mengasihi bagaikan satu tubuh, apabila satu tubuh
38
An-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf, Syarhu Shahih Muslim, t. Cet, Kairo: Daar Ibnu Ibrahim, 2003 M, Vol. VII, Hlm. 419
merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh tidak bisa tidur dan demam. ”
HR. Bukhari dan Muslim Berlaku adil di antara orang yang bertengkar dan berselisih serta
memutuskan hubungan, dilakukan dengan cara menghukumi mereka dengan adil, mendamaikan di antara mereka dengan cara yang dibolehkan, yaitu dengan tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ini adalah bentuk taqarrub
yang paling utama dan ibadah yang paling sempurna.
39
Mendamaikan orang yang bertikai merupakan shadaqah kepada keduanya, mengingat dengan
ishlah tersebut keduanya terhindar dari dampak yang ditimbulkan oleh pertikaian yang terjadi antara keduanya, dampak tersebut bisa berupa cacian atau bahkan
perlakuan kasar. Karena itu pertikaian tersebut harus dihentikan, bahkan dalam meleraikan dibolehkan berbohong.
40
Perlu digarisbawahi, nota kesepakatan internasional yang diselenggarakan antara kaum muslimin dan non-muslim tidak disyaratkan mesti sejalan dengan
aturan-aturan Islam. Sebab, yang menjadi pertimbangan utama dalam penyelenggaraan perjanjian tersebut adalah terwujudnya maslahat bagi kaum
muslimin dan tidak melanggar kaidah-kaidah syariat. Perkara ini dapat dilihat dari peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, di situ banyak hal-hal yang disepakati oleh Nabi
SAW kendati secara lahir tidak sejalan dengan aturan-aturan syarak.
41
Sebagai contoh, perundingan antara Nabi SAW dan Suhail bin Amru w. 18 H kala merumuskan isi nota kesepakatan tersebut. Pada saat itu Nabi SAW
39
An-Nawawi, Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyidin Mitsu, Al-Wafi: Syarah Hadits Arba’in
, Cet. VI, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012, Hlm. 233
40
https:alquranmulia.wordpress.comtagmendamaikan. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 15.00 WIB
41
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 363
memanggil Ali bin Abi Thalib ra. W. 40 H untuk menulis isi perjanjian itu. Beliau mendiktekan pada Ali: “Bismillahir rahmanir rahim.” Suhail menyela:
“Tentang Ar-Rahman, demi Allah aku tidak tahu siapa Dia?” Tapi tulislah: “Bismika Allahuma.” Nabi pun memerintahkan Ali untuk menulis seperti itu.
Kemudian beliau berkata lagi: “Ini adalah perjanjian yang ditetapkan Muhammad Rasul Allah.” Suhail kembali menyela: “Andaikan kami tahu engkau adalah Rasul
Allah tentu kami tidak akan menghalangimu untuk memasuki Masjidil Haram, tidak pula memerangimu. Tapi tulislah: “Muhammad bin Abdillah.” Beliau pun
berkata: “Bagaimanapun juga aku adalah Rasul Allah sekalianpun kalian mendustakanku.” Lalu beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib menulis seperti
usulan Suhail dan menghapus kata-kata Rasul Allah yang tertulis. Namun Ali menolak untuk menghapusnya. Akhirnya beliau yang menghapus tulisan itu
dengan tangannya sendiri.
42
C. Jenis-jenis Perdamaian