BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Dalam hal sarana dan cara-cara penyelesaian sengketa internasional yang dikembangkan oleh negara-negara modern dewasa ini, secara garis besar
tidak jauh berbeda dengan konsep penyelesaian sengketa dalam hukum Islam yang telah dicanangkan lebih dari 14 abad yang lalu. Masalah perundingan,
pencarian fakta-fakta, negosiasi dan lainnya, hingga penetapan hukuman perang bagi negara-negara yang tetap bersikukuh dalam kesalahannya dan
tidak mau tunduk pada aturan hukum internasional, seluruhnya telah termaktub dalam aturan-aturan hukum Islam dan direalisasikan oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Hal yang dianggap membedakan di antara keduanya adalah pengaruh sumber kedua hukum tersebut dalam hal
penyelesaian sengketa secara adil. Hukum Islam yang dibangun atas wahyu ilahi, berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah juga ‘urf kebiasaan internasional
yang berlaku selama tidak bertentangan dengan dua dasar sebelumnya, memberikan jaminan bagi penyelesaian sengketa secara adil dan mengikat
tanpa pandang bulu. 2.
Dari paparan tentang perdamaian al-Mu’ahadah dalam hukum Islam dan hukum internasional menjelaskan bahwa definisi-definisi yang disebutkan
oleh para pakar kedua hukum ini ditemukan bahwa al-mu’ahadah, menurut
istilah para fukaha fikih Islam, diarahkan pada kesepakatan yang ditetapkan antara kaum muslimin daulah Islamiyah dan negara atau kaum yang
mendiami daerah tertentu. Sementara itu, istilah al-mu’ahadah dalam hukum internasional diarahkan pada kesepakatan yang terjadi antara satu negara dan
negara lain. Hukum Islam dan hukum internasional sepakat dalam hal penyelenggaraan perjanjian damai yang sifatnya permanen, yang dalam
istilah hukum internasional disebut sebagai perjanjian damai abadi. Hukum Islam dan hukum internasional sepakat akan kewajiban menghormati dan
mematuhi perjanjian damai, serta tindakan-tindakan tegas yang ditempuh atas pihak yang mengkhianati perjanjian damai tersebut secara sepihak. Sehingga
dalam hal perjanjian damai antara hukum Islam dan hukum internasional, sedikit banyaknya memiliki kesamaan konsep antara satu dengan yang
lainnya. 3.
Berkaitan dengan cara-cara penghentian perang dalam hukum Islam dan hukum internasional, secara substansi keduanya sejalan, bahwa perang
merupakan kondisi darurat yang membutuhkan perlakuan khusus serta digunakan sebatas untuk menaklukkan musuh dan tidak lebih dari itu. Sebab,
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kedua hukum tersebut sepakat bahwa perdamaian merupakan asas bagi hubungan antarnegara. Kendati
demikian, ditemukan beberapa perbedaan yang lahir karena kondisi dan sifat perang itu sendiri. Sebagai contoh, penghentian perang karena musuh masuk
ke dalam Islam dan penghentian melalui kesediaan musuh membayar jizyah, yang merupakan upaya-upaya maksimal untuk menghentikan sengketa dan
perang. Kategori penghentian perang karena musuh masuk Islam, dilatari oleh jenis peperangan yang umum terjadi pada awal turunnya syariat Islam, yakni
perang membela agama dan dakwah Islam atau biasa diistilahkan sebagai “Perang Suci atau Jihad fi Sabilillah”. Adapun penghentian perang melalui
kesediaan musuh membayar jizyah merupakan perkara yang telah dikenal oleh dunia internasional saat itu yang kemudian diadopsi oleh Islam dengan
beberapa tambahan jaminan lainnya. 4.
Dari kajian tentang prinsip arbitrase tahkim dalam syariat Islam, terlihat bahwa aturan arbitrase harus berlandaskan kesepakatan dan persetujuan para
pihak yang bersengketa. Sebab, tujuan dari syariat dalam segala aspek kehidupan, khususnya kehidupan bernegara adalah terealisasinya keadilan
dan rahmat di antara manusia. Di dalam arbitrase syariat Islam memberikan kepastian dalil-dalil keuniversalan, dan keluwesan cakupan hukumnya yang
meliputi segala tuntutan hidup pada setiap zaman, tempat, dan generasi. Adapun nas-nas dalam hukum internasional, kondisinya relatif menurut
perbedaan waktu, tempat, dan masyarakat pada saat ia berlaku. Dengan demikian, tidak jarang akan terganti perubahan dan pergantian. Di sisi lain,
syariat Islam memberi kesempatan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menentukan arbiternya secara bebas di samping tidak menentukan batas
jumlah arbiter tersebut. Hal ini pula yang diamalkan oleh hukum internasional yang sama halnya memberikan kebebasan dalam memilih
arbiternya.
5. Adapun sanksi-sanksi hukum yang diterapkan oleh hukum Islam terhadap
pihak-pihak yang melanggarnya telah ditetapkan melalui sumber untama hukum Islam itu sendiri, yakni: Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dimana sanksi
tersebut merupakan bentuk ketegasan bahwa suatu perjanjian yang telah disepakati oleh masing-masing pihak, terkhususnya bagi umat muslim adalah
suatu hal yang diwajibkan untuk menjalankan dan menghormati isi perjanjian tersebut serta tidak melanggarnya. Karena sesungguhnya sikap khianat yang
telah dilakukan pihak-pihak, terkhususnya umat Islam akan suatu perjanjian yang telah disepakati bersama adalah hal yang sangat dilarang dan akan
mendapat sanksi tegas apabila hal itu terjadi. Menghormati perjanjian adalah anjuran illahi yang adil demi menjaga tujuan syariat yang diemban oleh
dakwah Islamiyah, menegakkan perdamaian dan tidak dirusak oleh permusuhan dan makar tipu daya. Allah Ta’ala beserta Rasulullah SAW
selalu mengingatkan kepada setiap umatnya untuk senantiasa berperilaku jujur dan santun kepada siapapun, termasuk kepada kesepakatan yang telah
dibuat bersama umat nonmuslim.
B. Saran