BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia di dunia ini masyarakat internasional ditandai oleh dua faktor, yaitu adanya kerja sama dan hidup berdampingan secara damai
dan adanya sengketa antarmasyarakat internasional. Sengketa antaranggota masyarakat internasional beraneka macam sebabnya, mungkin disebabkan karena
alasan politik, strategi militer, ekonomi ataupun ideologi atau perpaduan antara kepentingan tersebut. Persengketaan antar bangsa sering bersifat terbuka dan
paling dahsyat perwujudannya adalah berupa perang yang tidak sedikit menelan korban.
1
Dalam masyarakat internasional dimana masyarakatnya terdiri dari negara- negara yang berdaulat, hubungan antarnegara bersifat koordinasi bukan hubungan
Oleh karena itu masyarakat internasional dalam penyelesaian sengketa adalah prinsip penyelesaian secara damai, hal ini dituangkan dalam Pasal 1
Konvensi Den Haag Tahun 1907. Pasal 1 Konvensi Den Haag Tahun 1907 ini kemudian diambil alih oleh Piagam PBB, yaitu Pasal 2 Ayat 3 Piagam PBB yang
berbunyi: All members shall settle their international disputes by peaceful means in
such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered.
1
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Penerbit Universitas IndonesiaUI-Press, 2006, Hlm. 1
subordinasi. Dalam masyarakat internasional tidak ada organ pusat yang dapat menangani klaim atas penerapan sanksi pidana. Penyelesaian Sengketa diantara
masyarakat internasional berada di tangan mereka sendiri.
2
Prinsip-prinsip hukum dalam suasana damai, antara lain, mengenai perlakuan orang asing di negara Islam, khususnya menyangkut perwakilan
diplomatik asing yang tidak boleh diganggu inviolability. Sementara dalam suasana konflik, Islam menyumbang sejumlah prinsip hukum, antara lain,
menyangkut kaidah perang, perlakuan terhadap musuh dan penduduk sipil, serta lingkungan hidup.
Pertumbuhan hukum internasional hingga mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini tidak terlepas dari kontribusi peradaban Islam. Pengaruh Islam
terhadap sistem hukum internasional dinyatakan oleh penulis dan sejarawan Eropa, seperti Jean Allain, Marcel Boisard, dan Theodor Landschdeit. Kontribusi
Islam terhadap hukum internasional mencakup prinsip-prinsip hukum mengenai hubungan antarbangsa, baik dalam keadaan damai maupun dalam suasana konflik
seperti perang.
3
Penyelesaian sengketa antarnegara merupakan bagian dari ajaran syariat Islam yang agung. Perintah memelihara perdamaian, mencegah kezaliman, serta
mewujudkan tatanan hidup yang aman dan sentosa di bawah keridhaan Allah SWT, diarahkan kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Sementara
2
Ibid
3
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Hukum Internasional dan Hukum Islam tentang Sengketa dan Perdamaian
, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013 , Hlm. 2
itu,hukum internasional mulanya lahir dan berkembang berdasarkan orientasi wilayah dan kelompok tertentu, yakni terbatas hanya pada negeri-negeri Eropa
Katholik.
4
Demikian pula dalam persoalan ekspansi satu negara ke negara lain. Alasan penggunaan ekspansi dalam syariat Islam jauh berbeda dengan apa yang
dilakukan bangsa-bangsa Eropa. Kebanyakan ekspansi bangsa Eropa lebih karena kepentingan meraup harta kekayaan sebanyak-banyaknya dari bangsa jajahannya,
merampas negeri mereka, disamping penyebaran ideologi dengan jalan paksaan. Dalam upaya ekspansinya itu, selain berhadapan dengan bangsa yang dijajah,
tidak jarang bangsa tersebut berseteru dengan bangsa lain yang merasa mempunyai hak atas wilayah yang ditempati tersebut. Kongkretnya, gerakan
Islam mengakui sebuah kaidah aksiomatik dalam kehidupan, bahwa satu kelompok masyarakat yang berkembang menjadi besar, pasti menyusun dirinya
dalam suatu kesatuan dan berusahaagar dapat hidup secara tertib dan teratur. Makin besar perkembangan kelompok, makin diperlukan kaidah-kaidah agar
tujuannya tercapai, termasuk diantaranya, kaidah dan aturan dalam kehidupan internasional. Namun, hubungan internasional yang diselenggarakan antarnegara,
atau negara dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin baik. Acapkali hubungan ini menimbulkan sengketa di antara
mereka. Masalah dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa, seperti masalah perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, dan perdagangan.
4
Hata, Hukum Internasional: Sejarah dan Perkembangan hingga Pasca Perang Dingin, Malang: Setara Press, 2012, Hlm. 11
tersebut dapat menimbulkan bentrokan antara dua bangsa yang berselisih mengenai suatu kepentingan tertentu. Konflik itu dapat berbentuk tindakan
permusuhan, sikap tidak bersahabat, atau dapat pula berwujud sikap permusuhan bersenjata yang nyata, yakni perang.
Beda halnya dengan Islam, kebanyakan perang atau ekspansi yang dilakukan berdasar atas prinsip membela aqidah, melenyapkan kezaliman,
membela kaum lemah, atau mengenyahkan aral permusuhan bagi dakwah Islam. Tidak ada dalam kaidah Islam perang untuk mengisap sumber daya bangsa lain,
apalagi untuk memaksa tujuan ideologi. Sebab, konsep perdamaian dan kerukunan serta upaya menciptakan manusia sebagai umat yang satu merupakan
bagian dari dakwah dan seruan Islam.
5
Namun, dalam aplikasi hubungan tersebut ditemukan beragam corak perbedaan yang sifatnya prinsipil, seperti perbedaan bangsa, falsafah hidup,
struktur pemerintahan, tata masyaraka, kekuatan militer, dan ekonomi. Sementara hubungan antarbangsa itu dapat terwujud apik di antara mereka yang bertindak
Dari kenyataan ini, maka bangsa-bangsa Eropa tergerak untuk mencanangkan sebuah kaidah hubungan antarnegara, atau
dalam istilah modern disebut dengan “Hubungan Internasional”. Suatu hubungan yang sangat dibutuhkan, misalnya dalam hal pengaturan batas-batas daerah yang
didiami oleh suatu bangsa, masalah pertukaran diplomatik atau utusan dan lainnya yang berkaitan dengan mashlahat mashlahat kedua bangsa atau lebih, yang
menjalin hubungan agar tercipta hubungan antarnegara yang harmonis berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.
5
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Opcit, Hlm. 6
untuk dan atas nama suatu negara, misalnya konsiliasi dan membuat perjanjiandalam berbagai bidang baik untuk kepentingan individu, negara,
maupun kemanusiaan secara umum. Hubugan kolektif yang beraneka ragam antara pribadi, kelompok, dan negara menciptakan hubungan yang menyerap
seluruh dinamika kegiatan manusia sehingga terbentuklah masyarakat internasional. Terciptanya masyarakat antarbangsa pada hakikatnya dimodifikasi
oleh waktu. Berabad-abad lamanya, hubungan internasional belum dikenal oleh bangsa-bangsa terdahulu. Banyak kelompok masyarakat hidup di daerah yang
luas, saling memerangi dan menciptakan konflik.
6
Sebagai rahmatan lil ‘alamin, Islam telah meletakan prinsip dan kaidah- kaidah dalam hal aplikasi hubungan dengan negara-negara yang berbeda aqidah
dan keyakinan. Dalil-dalil yang bersumber dari Al-Quran, Sunnah Rasulullah Shallallahu alihi wassalam
selanjutnya disingkat SAW, perkataan para sahabat dan fukaha serta aktualisasinya dalam kehidupan bernegara banyak bertebaran
dalam karya-karya para sarjana Islam. Ini termasuk faktor paling krusial yang memberi efek signifikan terhadap kesuksesan dakwah Islam hingga sanggup
memberi cahaya pada dua pertiga penduduk dunia. Bahkan, diriwayatkan bahwa saat posisi pengaturan keamanan dunia berada dalam genggaman kaum muslimin,
maka saat itulah keamanan, kedamaian, serta rajutan persahabatan antarnegara
6
Sumarsono Mestiko, Indonesia dan Hubungan Antarbangsa, Cet. I, Jakarta: PT Sinar Agape Press, 1985, Hlm. 13
terealisasi apik. Maka tidak aneh jika sebagian negeri nonmuslim justru meminta agar diatur oleh kaum muslimin.
7
B. Perumusan Masalah