menurut cara-cara analisis dan penafsiran gramatikal serta sistematis dimana interprestasi dilakukan dengan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan undang-undang lain secara logis dan sistematis. Keempat, hasil penelitian yang
diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Kelima, penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu pemikiran dimulai dari hal yang umum kepada hal
yang khusus.
19
G. Sistematika Penulisan
Sistematika skripsi ini meliputi: BAB I
Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
kepusatakaan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II Menerangkan pengaturan mengenai Penyelesaian Sengketa dan
Perdamaian menurut Hukum Islam mulai dari dasar hukum serta tinjauan umum yang menjelaskan akan hal tersebut.
BAB III Menerangkan pengaturan mengenai Penyelesaian Sengketa dan
Perdamaian menurut Hukum Internasional mulai dari dasar hukum serta tinjauan umum yang menjelaskan akan hal tersebut.
19
Syamsul Arifin, Falsafah Hukum, Medan: Uniba Press, 2011, Hlm. 57
BAB IV Menguraikan perbandingan mengenai penyelesaian Sengketa dan
perdamaian antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional BAB V
Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan uraian pembahasan dan beberapa saran penulis yang mungkin dapat
bermanfaat
BAB II PENGATURAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN
PERDAMAIAN MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengaturan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian
a. Penyelesaian Sengketa
Upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional merupakan hal penting dalam upaya merealisasikan perdamaian dunia. Wujudnya keamanan serta
ketenteraman dalam segala aspek kehidupan merupakan tujuan tertinggi dalam hubungan antarmanusia. Oleh karena itu, sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam
yang merupakan agama kedamaian dan keselamatan memberi perhatian besar pada persoalan tersebut. Islam membolehkan menempuh segala sarana yang dapat
mengantarkan pada penyelesaian sengketa dan perwujudan kedamaian selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i dan dipastikan dapat menciptakan
maslahat bagi umat manusia secara umum, dan kaum muslimin khususnya. Disamping itu, Islam menggalakkan upaya-upaya preventif bagi segala perkara
yang dapat menjadi sumber sengketa, baik dalam skala individu maupun internasional.
20
Dalam konteks ini Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka kecurigaan karena sebagian dari
prasangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.”
Q.S Al-Hujurat: 12. Rasulullah
20
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Opcit, Hlm. 270
SAW bersabda: “Tidak halal bagi seorang mukmin berjual beli di atas jual beli saudaranya dan janganlah meminang wanita pinangan saudaranya hingga ia
meninggalkannya” HR. Muslim No. 1413. Ayat dan hadits diatas hanya sebagai
contoh bahwa seluruh sifat-sifat yang dilarang tersebut, yakni prasangka buruk, mencari-cari keburukan orang lain, menggunjing, berjual beli di atas jual beli
saudaranya dan selainnya, merupakan sumber-sumber lahirnya sengketa yang dapat merusak hubungan antarsesama yang karenanya diharamkan oleh syariat
Islam. Banyak dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang memberi isyarat
akan anjuran untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara manusia, antara lain:
1. Firman Allah Ta’ala: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-
bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh manusia memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mendamaikan
perselisihan di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami memberi
kepadanya pahala yang besar.” QS. An-Nisaa: 114
Mendamaikan perselisihan di antara manusia dalam ayat ini sifatnya umum, mencakup persoalan darah, harta, dan harga diri serta segala
sesuatu yang menjadi sumber perselisihan dan sengketa di antara manusia. Bahkan, mengadakan perdamaian tersebut dianjurkan dalam
menyelesaikan sengketa antaragama.
21
21
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Opcit, Hlm. 271
2. Allah SWT berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
mengerjakan kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
QS. Al-Maidah: 2 Tolong menolong dalam kebaikan sifatnya umum dan luas, mencakup
segala jenis dan bentuk kebaikan serta maslahat. Sebagaimana diketahui bahwa maslahat dan kebaikan yang paling besar adalah mendamaikan
perselisihan yang terjadi di antara manusia dan negara sebagaimana ditunjukkan oleh Ayat 114 surat An-Nisaa diatas.
3. Dari Ummu Kultsum ra. bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Tidak dikatakan sebagai pendusta orang yang berdusta untuk mendamaikan sengketa antara manusia, maka ia menumbuhkan
kebaikan atau berkata yang baik-baik.” HR. Bukhari No. 2692
Ibnu Syihab w. 124 H berkata: “Aku tidak pernah mendengar Nabi SAW memberi keringanan pada sesuatu dari ucapan manusia berupa
kebohongan melainkan pada tiga keadaan: perang, mendamaikan sengketa manusia, serta ucapan cumbuan seorang suami pada istri nya
dan sebaliknya demi kemaslahatan.” HR. Muslim No. 2605
Dimana hadits ini merupakan anjuran dari Nabi SAW untuk mendamaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, kendati dalam merealisasikan
hal tersebut seseorang terpaksa harus berbohong dan tidak mengatakan hakikat yang sebenarnya.
4. Dari Abu Darda’ ra. w. 32 H, ia berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Sukakah aku kabarkan pada kalian sesuatu yang paling afdhal
dari kedudukan puasa, salat, dan sedekah?” Para sahabat menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Mendamaikan sengketa manusia.”
HR. Abu Daud No. 4921
Dari keterangan tentang urgensi menciptakan perdamaian serta mencegah perselisihan dan sengketa, khusus persoalan sengketa internasional yang
melibatkan dua negara atau lebih, maka dalam perspektif hukum Islam, sarana terpenting dalam upaya penyelesaian sengketa dengan cara damai tersebut adalah
adanya keterlibatan dan peran dari negara lain, khususnya negara-negara muslim melalui media perundingan dalam hal mencari solusi dan jalan keluar terbaik bagi
penyelesaian sengketa, apa pun motif sengketa itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” QS. Al-Maidah:2
Syariat Islam telah mencanangkan pentingnya penegakan sebuah lembaga internasional yang memiliki otoritas untuk membantu penyelesaian berbagai
sengketa internasional melalui jalur perdamaian atau kekuatan jika keadaan dan kondisi menuntut. Penjelasan hal ini termaktub dalam firman Allah Ta’ala: “Dan
kalau ada golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan keduanya Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang
lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara
keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat.” QS. Al-Hujurat: 9-10
Secara umum, ayat ini memuat empat point penting yang merupakan asas bagi penyelesaian sengketa internasional secara damai:
1. Perintah melakukan ishlah perdamaian bagi pihak-pihak yang
bersengketa. 2.
Adanya tindakan nyata dari sebuah kelompok organisasi internasional, berupa teguran atau kekuatan militer terhadap pihak yang membelot
melanggar perjanjian damai yang telah disepakati, hingga mereka menyatakan kesiapan diri kembali pada kesepakatan semula.
3. Memberi keputusan secara adil dan bijaksana bagi pihak-pihak yang
bersedia kembali pada perjanjian damai tersebut. 4.
Isyarat akan anjuran membentuk sebuah kelompok atau organisasi internasional untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi
antarkelompok atau antarnegara.
22
Kata perang dalam permulaan ayat ini, “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang”
, bukanlah semata perang dalam tataran arti yang sempit. Akan tetapi termasuk didalamnya seluruh makna umum yang
mengarah pada arti perselisihan atau sengketa. Ayat ini memberi keterangan akan kewajiban menegakkan perdamaian di antara kelompok yang berselisih. Oleh
karenanya, merupakan perkara aksiomatik, bahwa tindakan-tindakan penegakkan
22
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Opcit, Hlm. 273
perdamaian yang dilakukan oleh sebuah lembaga atau organisasi internasional itu, sudah pasti tercakup di dalamnya seluruh sarana-sarana, seperti perundingan,
negosisasi, perwakilan, dan arbitrase. Umat Islam diberi izin untuk membela diri terhadap musuh Islam adalah
karena dalam kondisi tertentu yang ekstrim, namun demikian izin tersebut diberikan dalam kondisi tertentu yang menyertainya seperti terbukti dari ayat-ayat
yang baru saja dikutip. Allah Ta’ala menyatakan izin tersebut diberikan karena adanya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak. Mereka yang
telah melakukan pelanggaran boleh diperangi sampai pada akhirnya kembali kepada hal yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala.
Secara umum ayat ini mewajibkan pentingnya menyelesaikan segala bentuk sengketa melalui keputusan final yang mengikat. Jika keduanya golongan
yang berselisih itu tunduk dan menghormati kesepakatan, maka Allah Ta’ala memerintahkan untuk menahan diri dari perang. Adapun jika salah satu dari
keduanya menyimpang berbuat aniaya, tidak bersedia tunduk terhadap putusan lembaga internasional serta menolak kembali perintah Allah Ta’ala, atau
memaksa dengan permusuhan, maka ia dikategorikan sebagai “baghiyah” pembelot yang menyimpang dari otoritas hukum internasional Islam dan
membangkang terhadap undang-undang.
23
23
Ibid
Mengutip perkataan Ibnu At-Thabari w. 310 H, Al-Qurthubi w. 671 H menyatakan:
“Jika seandainya wajib menghindar dan menetapi rumah setiap pecah sengketa antara dua kelompok negara, maka hukum tidak akan tegak dan kebathilan akan
merajalela. Di samping itu pelaku nifak dan fujur kaum pendosa akan mendapat jalan menghalalkan segala hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala seperti
membunuh, merusak dan menawan wanita. Karenanya, wajib bersatu membentuk suatu kelompok guna menghadapi kaum pembelot tersebut.”
24
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengikuti keputusan perundingan antara dua golongan yang bersengketa, serta upaya menciptakan perdamaian di
antara keduanya. Di dalamnya diserukan kerja sama dalam rangka mewujudkan perdamaian internasional yang tegak di atas keadilan, serta memerintahkan
pentingnya menciptakan perwakilan untuk pengaturan penjagaan keamanan, yang pada akhirnya terwujud kewajiban menegakkan hukuman untuk membantu
negara-negara yang tertindas. Pernyataan ini tentunya berpedoman pada sabda Rasulullah SAW., sebagai
mana diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. w. 93 H: “Berilah bantuan pada saudaramu baik yang melakukan kezaliman maupun yang
dizalimi”. Seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, saya menolongnya jika ia terzalimi, bagaimana saya menolong jika ia melakukan kezaliman itu?” Beliau
menjawab: “Engkau mencegahnya dari kezaliman, maka itu termasuk menolongnya.
” HR. Bukhari No. 2443
25
24
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Jami’ li Ahkam Al-Quran, Cet. III, Kairo: Daar al-Kitab al-Arabi, 1387 H1967 M Hlm. 317, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung
Samuddin, Op.Cit, Hlm. 274
25
Al-Thayyar, Ali bin Abdur Rahman, Al-Niza’at Al-Dauliyah fi Syari’ah Al-Islamiyah, Cet. I, Riyadh: Huquq Al-Thab’i lil Muallif, 1424 H Hlm. 147, dikutip dalam buku Muhammad
Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 275
Makanya Islam tidak menafikan pentingnya
badan-badan internasional yang bertujuan mengawal terwujudnya perdamaian dan keamanan bersama agama-agama non-muslim lainnya.
Islam membolehkan adanya perjanjian dan kesepakatan bersama dengan agama lain, serta mengarahkan agar selalu konsisten menghormati kesepakatan
yang telah dilahirkan, tentunya untuk tujuan mencegah peperangan, fitnah, serta mewujudkan perdamaian antarbangsa di dunia. Sa’id Hawwa berkata:
“Dibolehkan bagi kelompok muslim untuk ikut dalam perjanjian dalam mencari kebaikan dan takwa, selama tidak membawa kepada diskriminasi dan
permusuhan melawan kaum muslimin. Juga diperbolehkan bagi muslim untuk ikut kesepakatan bersama non-muslim melawan segala bentuk kekejaman dan
kejahatan, selama masih memperhatikan kepentingan umat muslim untuk jangka waktu panjang dan pendek. Pada peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya,
setelah diutus menjadi Nabi, beliau tetap mengungkapkan keinginannya untuk mendukung perjanjian kerja sama tersebut bila dipanggil lagi
.”
26
Dari sini tampak akan kebolehan menyelenggarakan kerja sama dan kesepakatan antara negara Islam dengan negara-negara non-muslim, seperti ikut
bergabung bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam rangka menyelesaikan berbagai sengketa internasional, mewujudkan perdamaian global, serta
menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimanayang ditunjukkan oleh keinginan beliau untuk kembali bergabung dalam hilf al-fudhul yang dahulu
26
Sa’id Hawwa, Al-Asas fi Al-Sunnah Sirah Nabawiyah, t.Cet, Riyadh: Daar Al-Salam, 1989 M, Vol. II, Hlm. 171-172, dikutip Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm.
277
diselenggarakan oleh bangsa Quraisy.
27
Sebab turunnya ayat ini, bahwasannya Rasulullah SAW pernah mengajak Al-Harits bin Abi Dhirar Al-Khuza’i masuk Islam, dan dia pun menerima dan
memeluk Islam. Lalu ia berkata kepada Rasulullah SAW, pergilah kepada kaumku lalu ajaklah mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Setelah itu Al-
Harits pun ditugaskan mengumpulkan dari kaumnya harta zakat sebab mereka Tentunya, kebolehan tersebut berlaku
selama tidak melanggar batas-batas hukum syariat serta tidak mendatangkan mudharat bagi kaum muslimin.
Di samping itu, syariat Islam membatasi konsep-konsep penggunaan jalur perang pada batas-batas tertentu, mengharamkan permusuhan dalam segala aspek
dan motif, serta berupaya senantiasa menyebarkan keadilan, rahmat, kasih sayang dan persamaan di antara umat manusia. Islam menghormati hukum dan peraturan
yang berlaku hingga pada persoalan perang. Karena itu, secara tegas Islam menekankan segala upaya verifikasi atau tabayyun dalam setiap sebab yang dapat
melahirkan sengketa internasional, selama hal itu dapat menyelesaikan sengketa yang bakal terjadi. Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpahkan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu
.” QS. Al-Hujurat: 6
27
Wabah Al-Zuhaili, Al-Ilaaqat Al-Dauliyah fi Al-Islam, Cet. I, Beirut: Muassassah Al- Risalah, 1401 H1985 M, Hlm. 354, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung
Samuddin, Op.Cit, Hlm. 277
telah memelihara Islam serta meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengutus seorang yang akan mengambilnya. Rasulullah SAW kemudian mengutus Al-
Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith w. 61 H. Melihat keterlambatan utusan yang datang, Al-Harits menyangka Rasulullah marah kepada mereka. Maka ia pun
berinisiatif keluar bersama kaumnya untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Demi menyaksikan Al-Harits bin Dhirar dan kaumnya keluar, Al-Walid yang saat
itu telah dekat lantas berbalik pulang dan mengabarkan kepada Rasulullah SAW bahwa Al-Harits menolak zakat dan berniat membunuhnya. Mendengar hal ini,
Nabi SAW tidak lantas bertindak, bahkan mengirim utusan untuk verifikasi berita dari Al-Walid, hingga kemudian berhasil tercegah meletusnya perang.
28
Upaya verifikasi terhadap suatu hal merupakan perkara wajib dan mengikat demi mendedahkan dan menjelaskan hakikat suatu kebenaran. Upaya ini
sudah barang tentu membantu perwujudan perdamaian dan keamanan yang diserukan oleh agama Islam. Jadi kesimpulannya, dalam tataran hukum Islam,
penyelesaian sengketa internasional itu terbagi menjadi dua: 1 Penyelesaian secara damai, yang meliputi upaya-upaya yang mengarah kepadanya, berupa
verifikasi, negosiasi, mediasi, perundingan, hingga penyelesaian melalui badan internasional, karena ia merupakan asas bagi penyelesaian sengketa tersebut; 2
Penyelesaian melalui jalur kekerasan, dalam hal ini perang dan yang semakna dengannya, jika salah satu dari kedua pihak yang berselisih membangkang dan
tidak bersedia menempuh jalur perdamaian.
28
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adzim, Cet. II, Riyadh: Daar Al-salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H1998 M, Hlm. 267
b. Perdamaian
Secara etimologi, kata al-mu’ahadah Perjanjian Damai berasal dari Al- ahdu
, yang berarti setiap yang terjadi di antara manusia berupa kesepakatan, menjaga kehormatan serta menjamin keamanan. Al-mu’ahad artinya, seseorang
yang menjalin kesepakatan dengan kita. Adapun al-mu’ahadah dan al-ta’ahud maknanya sama, yakni membuat perjanjian akan sesuatu yang disepakati. Kata al-
ahdu dalam makna etimologi digunakan pula untuk makna kesepakatan antara dua
orang atau dua kelompok atas suatu perkara yang harus ditepati untuk menciptakan maslahat bersama antara kedua belah pihak atau salah satu dari
keduanya. Sementara, kata al-mu’ahadah bermakna membuat kesepakatan tersebut.
29
1. Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani w. 189 H menyatakan: “Bahwa ia
adalah perjanjian damai dari kaum muslimin untuk penduduk daar al-harb selama tahun-tahun waktu yang disepakati.
Adapun makna kata al-mu’ahadah secara terminologinya, menurut para ulama Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya:
2. Al-Kasani w. 587 H mendefinisikannya sebagai kesepakatan damai
untuk meninggalkan perang. 3.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi w. 682 H menyatakannya sebagai “kesepakatan yang dibuat oleh penduduk daar al-harb untuk
meninggalkan perang dalam jangka waktu tertentu baik dengan membayar sesuatu atau tidak.”
29
Wabah Al-Zuhaili, Al-Ilaaqat Al-Dauliyah fi Al-Islam, Cet. I, Beirut: Muassassah Al- Risalah, 1401 H1985 M, Hlm. 345-346. Di ambil dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung
Samuddin, Op.Cit, Hlm. 358
4. Menurut Muhammad Khair Haikal, al-mu’ahadah adalah perdamaian
mushaalahah dengan penduduk negara non-muslim untuk menghentikan perang dalam jangka waktu tertentu, baik disertai dengan kompensasi
maupun tidak. 5.
Komite Pengkajian Bahasa Arab di Kairo memberi definisi bagi kata al- mu’ahadah
, bahwasanya ia adalah kesepakatan yang terjadi antara dua negara atau lebih untuk mengatur hubungan antarmereka.
30
Dalam ajaran Islam bahwa perdamaian merupakan kunci pokok menjalin hubungan antar umat manusia, sedangkan perang dan pertikaian adalah sumber
mala petaka yang berdampak pada kerusakan sosial. Agama mulia ini sangat memperhatikan keselamatan dan perdamaian, juga menyeru kepada umat manusia
agar selalu hidup rukun dan damai dengan tidak mengikuti hawa nafsu dan godaan Syaitan. Islam sangat menekankan perdamaian dalam kehidupan sosial di
tengah masyarakat, keadilan harus diterapkan bagi siapa saja walau dengan musuh sekalipun. Karena dengan ditegakkannya keadilan, maka tidak ada seorang pun
yang merasa dikecewakan dan didiskriminasikan sehingga dapat meredam rasa permusuhan, dengan demikian konflik tidak akan terjadi.
31
Kesimpulannya bahwa makna kesepakatan damai bagi negara Islam adalah segala kesepakatan yang diselenggarakan oleh pemimpin imam atau wakilnya
dengan golongan ahlu harbi dan ahlu dzimmah sserta kelompok kaum muslimin yang membelot, untuk hubungan yang disyariatkan, disertai lampiran akan
30
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.cit, Hlm. 359
31
https:rachman007.wordpress.comperdamaian-dalam-perspektif-islam. Diakses pada tanggal 25 Maret 2015, pukul: 15.00 WIB
kaidah-kaidah dan syarat-syarat perjanjian tersebut.Dalam perspektif syariat Islam, menyelenggarakan kesepakatan damai dengan negara-negara nonmuslim
hukumnya mubah boleh, selama dipandang mengandung maslahat bagi agama dan kaum muslimin.
32
1. Firman Allah Ta’ala:
Karenanya, segala kesepakatan damai yang tidak mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin, apalagi jika kemudian melahirkan
mudarat, maka hukumnya tidak boleh. Dalil yang menunjukkan kebolehan ini sangat banyak di antaranya:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, makacondonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” QS. Al-Anfal: 61
Ayat ini merupakan dalil pembolehan al-mushalahah dan al-muwada’ah perdamaian jika kaum musyrikin meminta dan condong padanya. Kalau
dalam perdamaian itu terdapat maslahat, maka tidak mengapa bagi kaum muslimin untuk memulai permohonan damai tersebut jika memang
dibutuhkan.
33
2. Firman Allah Ta’ala:
“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai atau orang-
orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan
32
Muhammad Ra’fat Utsman, al-Haquq wa al-Wajibaat wa al-Ilaaqaat al-Dauliyah fi al- Islam, Cet. IV, Kairo: Daar al-Dhiya’, 1991 M, Hlm. 233. Di ambil dalam buku Muhammad
Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 359
33
Ibid
untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap
kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu, serta mengemukakan perdamaian
kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu untuk menawan dan membunuh mereka.
” QS. An-Nisaa: 90 Dengan mementingkan kemaslahatan bagi kaum Muslimin, maka sesuai
dengan dalil ini bahwasanya antara ahlu al-harb negeri non-muslim dan ahlu al-Islam
diperbolehkan menyelenggarakan perjanjian damai.
34
B. Dasar Pemberlakuan Perjanjian Damai