mengadakan perjanjian perdamaian peace treaty, atau dengan penaklukan musuh.
145
B. Arbitrase dalam Hukum Islam dan Hukum Internasional
Secara umum, arbitrase yang melibatkan pihak ketiga merupakan salah satu pokok dan asas bagi sebuah penegakan hukum yang tak bisa diabaikan.
Arbitrase memberi peranan tidak kecil dalam meminimalisasi tekanan sebuah proses pengadilan serta membantu tercapainya tujuan maksimal berdasarkan pada
asas keridhaan para pihak yang bersengketa. Karena itu, keputusan yang dihasilkan dalam sebuah proses arbitrase kebanyakan melahirkan sikap
penerimaan dari kedua belah pihak.
146
1 Para pihak memiliki kebebasan dalam memilih hakimnya arbitrator baik
secara langsung maupun tidak langsung yang menunjuk arbitrator untuk salah satu atau kedua belah pihak.
Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki beberapa unsur positif, yaitu:
147
2 Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan hukum acara atau
persyaratan bagaimana suatu putusan akan didasarkan misalnya dalam menentukan hukum acara dan hukum yang akan diterapkan dalam pokok
sengketa, dan lain-lain.
148
145
Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Bhratara, 1971, Hlm. 278
146
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 327
147
Huala Adolf, Op.Cit, Hlm. 41
148
Ibid
3 Prosedur dalam arbitrase sangat sederhana hingga memungkinkan
penyelesaian sengketa dapat terealisasi dalam waktu singkat, ketimbang harus menempuh jalur pengadilan.
149
4 Proses arbitrase lebih mengedepankan cara-cara pendekatan bagi seluruh
pandangan dan aspirasi dalam proses penyelesaian sengketa.
150
5 Keistimewaan arbitrase yang membedakan ia dengan proses-proses
lainnya adalah jaminan keamanan atas kerahasiaan yang ada pada kedua belah pihak, yang mungkin saja tidak pantas menjadi konsumsi publik.
151
6 Sifat dari putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.
152
1 Arbitrase dalam Hukum Islam
Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini, yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai
penengah pihak ketiga oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai. Orang yang menyelesaikan
disebut dengan “hakam”. Menurut Wahbah al-Zuhaili, pengertian arbitrase menurut istilah fikih adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang
bersengketa untuk menyodorkan konflik yang terjadi di antara mereka kepada pihak ketiga untuk menentukan keputusan hukum kepadanya.
153
149
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 328
150
Ibid
151
Ibid
152
J.G. Merrils, International Dispute Settlement, Cambridge: Cambridge U.P., 1995, Hlm. 105, dikutip dalam Huala Adolf, Op.Cit, Hlm. 41
153
Al-Zuhaili, Opcit, Hlm. 764, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit
, Hlm. 335
Menurut Said Agil Husein Munawar, pengertian arbitrase menurut kelompok ahli hukum Islam Mazhab Hanafiyah adalah memisahkan
persengketaan atau menetapkan hukum di antara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai
kekuasaan secara umum. Sementara pengertian arbitrase menurut ahli hukum dari kelompok syafi’iyah, yaitu memisahkan pertikaian di antara pihak yang bertikai
atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syarak terhadap suatu peristiwa yang wajib dilaksanakan.
154
“Bahwasanya arbitrase adalah kesepakatan di antara dua pihak atas suatu konflik tertentu untuk mewakilkan kepada pihak ketiga yang dapat membantu
penyelesaian sengketa yang terjadi di antara keduanya, berupa keputusan yang mengikat sejalan dengan syariat Islam. Dan, ia disyariatkan baik antara pribadi-
pribadi maupun dalam kaitannya dengan sengketa-sengketa internasional. Lembaga Pengkajian Fikih Islam dalam Konferensi ke-IX di Abu Dhabi,
Uni Emirat Arab, yang diselenggarakan tanggal 1-6 Zulkaidah 1415 H, bertepatan dengan 1-6 April 1995, mengeluarkan keputusan No. 958D9 berkaitan dengan
batasan arbitrase dalam fikih Islam:
155
Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa putusan yang dihasilkan melalui tahkim seperti yang diatur dalam syariat Islam mengenai sengketa internasional,
merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat bagi kedua belah pihak atau lebih yang sedang bersengketa. Sehingga didalamnya terdapat pengawasan serta
154
Said Agil Husein Munawar, Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam, Dalam Arbitrase Islam di Indonesia
, Cet. I, Jakarta: BAMUIBMI, 1994, Hlm. 48-49
155
Majallah al-Buhuts al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah , Edisi. 27, Rabi’ al-Akhir-Jumadil
Ula-Jumadil Akhir, 1416 H, Hlm. 215, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit
, Hlm. 335
sanksi yang akan diberikan bagi pihak-pihak yang tidak taat pada putusannya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Ta’ala:
“Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah
Allah. ” QS. Al-Hujurat: 9-10
Adapun dalil-dalil yang membolehkan arbitrase dalam hukum Islam adalah sebagai berikut:
1 Surat An-Nisaa ayat 35, yaitu:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya.
” Ayat ini menunjukkan disyariatkannya arbitrase. Ibnu Abbas ra. w. 68 H
berkata:“Firman Allah Ta’ala: “Dan jika kamu khawatir...”,ditujukan pada seorang laki-laki dan wanita suami-istri jika terjadi perselisihan, maka
Allah Ta’ala memerintahkan mengutus seorang laki-laki saleh dari keluarga suami dan seorang laki-laki lain yang saleh dari keluarga wanita.
Lalu keduanya melihat dan mempelajari siapa yang salah dari keduanya suami atau istri... Jika kedua arbiter tersebut sepakat untuk memisahkan
atau menyatukan kembali keduanya, maka hal ini dibolehkan.” 2
Surat Al-Maidah ayat 95, yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang
buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuh, menurut putusan
dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau dendanya membayar kafarat dengan memberi makan
orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu.
” Ayat di atas dipergunakan oleh Ibnu Abbas ra. w. 68 H saat mendebat
kelompok Khawarij dalam perkara tahkim yang telah disepakati antara Ali bin Abi Thalib ra. w. 40 H dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan ra. w. 60
H.
156
3 Surat An-Nisaa ayat 65, yaitu:
“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya. ”
Artinya, mereka tidak beriman hingga menjadikan dirimu sebagai arbiter di mana mereka meminta keputusan hukum darimu serta mengangkat
segala perkaranya kepada engkau.
157
4 Hadits yang diriwayatkan oleh Sunan An-Nasaai No. 5387, yaitu:
Dari Syuraih w. 78 H dari bapaknya yang bernama Hani ra. bahwasanya:
156
Riwayat ini disebutkan oleh Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, No. 2526
157
Al-Alusi, Abu al-Fadl Syihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Baghdadi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an al-Adzim wa Sab’i al-Matsani
, t.Cet, Beirut: Daar Ihya al-Turats al-Arabi, t,thn, Vol. III, Hlm. 120, dikuti dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 340
“Tatkala ia datang kepada Rasulullah SAW, beliau mendengar kaumnya memberi kunyah “Abu al-Hakam”, maka Nabi SAW memanggilnya seraya
bersabda: “Sungguh Allah-lah al-Hakam dan kepadanya segala keputusan bersumber, karenanya jangan berkunyah dengan sebutan Abu al-
Hakam. ” Lalu ia berkata: “Sesungguhnya jika kaumku berselisih akan
datang kepadaku meminta keputusan, dan kedua belah pihak akan rela dengan putusanku.
” Beliau kemudian bersabda: “Alangkah baiknya perbuatan ini.
” Beliau menambahkan, “Apakah engkau punya anak?” Ia menjawab: “Saya punya anak, namanya Syuraih, Abdullah, dan Muslim.”
Beliau bertanya lagi: “Siapa yang paling tua di antara mereka?” Ia menjawab: “Syuraih.” Nabi bersabda: “Engkau adalah Abu Syuraih.”
Kemudian Nabi SAW mendoakan ia dan anaknya. Dari peristiwa ini diperoleh fakta bahwa Rasulullah SAW mengakui
bahkan memuji perbuatan Abu Syuraih itu. Sikap dan pengakuan Rasulullah SAW seperti itu dapat dijadikan dalil bagi keabsahan arbitrase
sebagai suatu cara penyelesaian sengketa. 5
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari No. 3472, yaitu: Dari Abu Hurairah ra. w. 59 H, Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu,
pernah seseorang membeli sebidang tanah, lalu ia menemukan di dalamnya kantong berisi emas. Ia lalu berkata pada pemilik tanah
sebelumnya: “Ambillah emasmu itu, sebab yang aku beli darimu adalah tanah dan tidak ikut didalamnya emas.
” Sang penjual tanah menyela: “Aku telah menjual padamu tanah dan segala yang ada di dalamnya.”
Lalu keduanya pun bertahkim pada seorang laki-laki. Berkatalah sang hakam arbiter: “Adakah kalian berdua memiliki anak?” Salah satu dari
keduanya berkata: “Iya, aku memiliki seorang anak lelaki.” Yang lain berkata: “Aku juga memiliki seorang anak gadis.” Hakam itu pun
berkata: “Kalau begitu, nikahkan anak muda itu dengan sang gadis, lalu berikan pada keduanya emas tersebut.
” Sehingga tampak didalam hadits ini bahwa keduanya memilih jalur untuk
bertahkim arbitrase pada pihak ketiga dalam persoalan mengenai kepemilikan emas tersebut karena pada saat itu tidak ada hakim resmi
yang ditetapkan untuk masyarakat. Sehingga pada saat itu, apabila terdapat dua orang yang menyerahkan persoalan yang terjadi pada mereka kepada
pihak ketiga yang mengerti akan hukum, maka putusan yang dikeluarkan pihak ketiga tersebut adalah sah dan mengikat bagi keduanya yang selama
keputusan itu bukan dalam keburukan. Dalil-dalil yang dipaparkan di atas merupakan dasar kebolehan bagi kaum
muslimin untuk bertahkim pada seorang muslim yang memenuhi syarat adil dan layak untuk mengeluarkan hukum, di samping putusan yang lahir darinya bersifat
mengikat. Adapun ruang lingkup arbitrase hanya terkait dengan persoalan yang menyangkut “huquq al-ibad” hak-hak personal secara penuh, yaitu aturan-aturan
hukum yang mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan dengan harta bendanya. Karena tujuan arbitrase itu menyelesaikan sengketa melalui jalur
damai, maka sengketa yang bisa diselesaikan dengan jalan tersebut hanya yang bersifat menerima untuk didamaikan, yaitu sengketa yang menyangkut harta
benda dan yang sama sifatnya.
158
Dari sini dapat dipahami bahwa termasuk maslahat yang menuntut kaum muslimin menerima prinsip arbitrase guna menghentikan perang dikarenakan
beberapa hal, antara lain, untuk menjaga perdamaian, menyebarkan ajaran Islam melalui jalur diplomasi, mencegah kerusakan, atau meluasnya efek perang karena
adanya campur tangan pihak lain, atau adanya satu pihak yang mengancam menggunakan senjata pemusnah massal.
Prinsip arbitrase dianggap sebagai bagian dari aturan syariat yang digunakan pula sebagai sarana penghentian perang, serta
pencegah pertumpahan darah selama hal itu dapat dilakukan. Sebab, perang merupakan kondisi darurat yang harus diperlukan sesuai kadarnya saja jika
penyelesaian melalui cara-cara damai menemui jalan buntu.
159
2 Arbitrase dalam Hukum internasional
Tahkim atau arbitrase merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang telah lama dikenal dalam hukum internasional dan mulai
dipraktikkan melalui Jay Treaty 1794 antara Inggris Raya dan Amerika Serikat. Pada abad ke-20, arbitrase tetap menjadi alternatif penyelesaian sengketa yang
banyak digunakan oleh masyarakat internasional, misalnya dalam perkara The Tinoco Case
1923, The Island of Palmas Case 1928, dan The Trail Smelter 1938-1941. Peranan arbitrase juga ditunjukkan dalam beberapa kasus terakhir,
seperti The Taba Case 1988 antara Mesir dan Israel menyangkut wilayah perbatasan, The St. Pierre and Miquelon Case 1992 antara Kanada dan Prancis
158
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 347
159
Ibid , Hlm. 349
mengenai batas wilayah laut, dan The Two-Stage Red Sea Islands Case 1998- 1999 antara Eritrea dan Yaman terkait dengan kedaulatan dan delimitasi wilayah
laut. Selain itu, arbitrase juga dipergunakan dalam kasus The La Bretagne Case 1986 antara Kanada dan Prancis, The Rainbow Warrior Case 1986 dan 1990
antara Prancis dan Selandia Baru, serta The Heathrow Airport Case 1992-1993 antara Inggris dan Amerika Serikat.
160
Menurut Komisi Hukum Internasional, arbitrase merupakan suatu prosedur penyelesaian sengketa antara negara-negara yang berselisih melalui suatu
keputusan yang mengikat atas dasar hukum sebagai hasil dari kesepakatan yang harus diterima dan ditaati.
161
Sarjana Jerman H.J. Schlochauer mendefinisikan tahkim atau arbitrase adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara negara-
negara yang berselisih melalui perantara Mahkamah Arbitrase yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.
162
Pada umumnya dapat dikatakan ada dua tipe yang berbeda dalam arbitrase yang tertera dalam hukum internasional publik: Pertama, perjanjian yang
menyatakan bahwa keinginan untuk menyerahkan sengketanya melalui arbitrase. Kedua, kesepakatan bahwa pelaksanaan keputusan arbitrase dengan sarana
hukum.
163
160
John Merrills, “The Means of Dispute Settlement”, 5th ed, Cambridge: Cambridge University Press, 2011, Hlm. 85-86, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin,
Op.Cit , Hlm. 329
161
Huala Adolf, Op.Cit, Hlm. 39
162
Ibid
163
Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit, Hlm. 42
Pada prinsipnya hanya negara yang dapat menjadi pihak dalam arbitrase internasional publik, walaupun klaim satu negara pada negara lain mungkin
timbul akibat klaim yang diajukan oleh individu dari satu negara terhadap
individu dari negara lain yang telah melanggar hukum internasional. Dalam hal demikian, maka negara bertindak sebagai negara yang bertanggung jawab
terhadap warga negaranya. Yurisdiksi dari mahkamah arbitrase dapat disebutkan dalam perjanjian arbitrase, maka akan dikatakan pada saat sengketa diserahkan
pada mahkamah arbitrase.
164
Biasanya suatu negara dalam perjanjian arbitrase tidak akan menyebutkan bahwa masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan vital dari negaranya
misalnya masalah kemerdekaan dan masalah yang sehubungan dengan masalah kedaulatan tidak akan diserahkan pada mahkamah arbitrase.
165
Persyaratan terpenting dalam proses penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase ini adalah
kata sepakat atau konsensus dari negara-negara yang bersengketa. Sepakat merupakan refleksi dan konsekuensi logis dari atribut negara yang berdaulat.
Kedaulatan suatu negara menyatakan bahwa suatu negara tidak tunduk pada subjek-subjek hukum internasional lainnya tanpa ada kesepakatan atau kehendak
dari negara tersebut. Tanpa kata sepakat dari salah satu negara, badan arbitrase tidak pernah berfungsi.
166
1 Arbitrase memberikan para pihak kebebasan untuk memilih atau
menentukan badan arbitrasenya. Sebaliknya dalam hal pengadilan, komposisi pengadilan berada diluar pengawasan atau kontrol para pihak.
Ada dua perbedaan utama antara arbitrase internasional publik dengan pengadilan internasional:
164
Ibid , Hlm. 43
165
Ibid
166
Huala Adolf, Op.Cit, Hlm. 43
2 Arbitase memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih hukum
yang akan diterapkan oleh badan arbitrase. Kebebasan seperti ini tidak ada dalam pengadilan internasional pada umumnya. Misalnya, pada
Mahkamah Internasional. Mahkamah terikat untuk menerapkan prinsip- prinsip hukum internasional yang ada, meskipun dalam mengeluarkan
putusannya dibolehkan menerapkan prinsip ex aequo et bono.
167
Sumber hukum internasional mengenai penggunaan arbitrase antara lain dapat ditemukan dalam beberapa instrumen hukum berikut:
1 The Hague Convention for the Pasific Settlement of International Dispute
tahun 1899 dan 1907. 2
Pasal 13 Convenant of the League of Nations. Pasal 13 ayat 1 Convenant, antara lain, mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyerahkan
sengketa mereka kepada badan arbitrase atau pengadilan internasional apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan secara diplomatik.
Ketentuan ini diperkuat dengan dibentuknya suatu protokol di Jenewa tahun 1942. Namun, protokol tersebut tidak berlaku karena negara yang
meratifikasinya sedikit. 3
The General Act for the Settlement of International Dispute pada tanggal 26 September 1928. Pembuatan The General Act ini dipengaruhi oleh
kegagalan protokol 1924. Suatu komisi khusus, yaitu the Covention on Arbitration and Security
, dibentuk untuk merumuskan the General Act. Perjanjian tersebut berlaku pada tanggal 16 Agustus 1929 dan diratifikasi
167
Ibid , Hlm. 42
oleh 23 negara termasuk negara-negara besar, yaitu Prancis, Inggris, dan Italia.
4 Pasal 33 Piagam PBB yang memuat beberapa alternatif penyelesaian
sengketa, antara lain, arbitrase yang dapat dimanfaatkan oleh negara- negara anggota PBB.
5 The UN Model on Arbitration Procedure yang disahkan oleh resolusi
Majelis Umum PBB 1962 XIII tahun 1958. Model Law ini sebenarnya adalah hasil karya ILC Komisi Hukum Internasional yang menaruh
perhatian besar terhadap arbitrase. Special rapporteur ILC, Georges Scelle, memimpin pengkajian arbitrase selama sekitar 10 tahun.
Rancangan pengkajiannya berisi 32 pasal yang diserahkan kepada Majelis Umum PBB tahun 1952. Setelah mendapat usulan dari negara-negara
anggota, rancangan perjanjian arbitrase diserahkan kembali pada tahun 1955. Namun demikian, negara-negara tidak memberi reaksi positif
terhadap rancangan Scelle tersebut. Pada tahun 1955, ILC kembali mengkaji ulang seluruh rancangan perjanjian dan mengubah nama
perjanjian tersebut menjadi sekadar Model Hukum Model of Law.
168
Namun satu hal yang perlu dicatat, dalam kenyataan umumnya negara- negara masih enggan menyerahkan sengketa-sengketa mereka kepada badan-
badan pengadilan internasional termasuk badan arbitrase internasional. Boleh jadi, hal ini dikarenakan masih kentalnya unsur-unsur politis dan kepentingan bagi
negara-negara yang lebih kuat dan mapan, hingga melahirkan kecurigaan dari
168
Ibid
negara-negara lain bahwa badan atau organ PBB atau pengadilan internasional tersebut telah dimanfaatkan oleh beberapa negara tertentu untuk menerapkan
pengaruh dan kepentingannya dalam penyelesaian suatu sengketa.
169
Ketiga , diterimanya elemen-elemen penting dalam pengadilan meliputi
persamaan drajat para pihak, hak yang sama bagi para pihak untuk didengar, Menurut Shabtai Rosenne hal-hal yang harus diperhatikan dalam arbitrase
internasional adalah: Pertama
, telah diakui secara umum bahwa jika ada permasalahan sehubungan dengan yurisdiksi dari mahkamah, hal tersebut harus diselesaikan
oleh mahkamah itu sendiri, tidak diselesaikan dengan menunjuk kembali pada saluran diplomatik, kecuali jika perjanjian arbitrase menentukan demikian. Jadi
salah satu jalan yang menyebabkan macetnya arbitrase telah dapat diselesaikan. Kedua
, telah diterima secara umum bahwa orang yang ditunjuk sebagai arbitrator adalah orang yang diakui kompetensinya, kebebasannya independent,
dan mempunyai standar tinggi untuk integritasnya. Bila seorang kepala negara telah ditunjuk sebagai arbitrator ia dapat mendelegasikan kewenangannya pada
orang yang menjadi pejabatnya atau pada orang lain yang dipercayainya, tetapi keputusannya merupakan tanggung jawabnya dan atas dasar kewenangannya.
Sifat diplomasi dan kualitas yudisial dari arbitrase internasional umumnya ditentukan oleh ditunjuknya arbitrator nasional yang meninggalkan kekuasaan
untuk memutuskan yang berada di tangan grup dari netral arbitrator atau bahkan arbitrator tunggal.
169
Ibid , Hlm. 115
kebebasan arbitrator. Semua elemen tersebut diterima dalam praktik internasional. Para ahli politik internasional pun menerima pengertian bahwa hukum yang adil
tidak hanya dikerjakan tetapi harus diterapkan. Keempat
, adanya pola prosedur yang fair telah ditetapkan. Ini meliputi pertukaran tuntutan tertulis yang diikuti oleh hearing, pertemuan para pihak,
pertimbangan yang dibutuhkan, pengumuman keputusan kecuali tidak dikehendaki para pihak karena alasan tertentu, kewajiban mahkamah untuk
mengemukakan pendapatnya dissenting opinion Kelima
, kewajiban untuk melaksanakan keputusan arbitrase dengan itikad baik. Keputusan itu final dan mengikat kecuali bila ada alasanditemukan fakta
baru yang dapat membatalkan keputusan tersebut.
170
1 Masalah Alabama the Alabama Claims Arbitration
Terdapat beberapa contoh penerapan tahkim arbitrase internasional:
Ini merupakan sengketa mengenai tuduhan pelanggaran pemerintah Inggris sebagai pihak yang netral selama berlangsung perang sipil di Amerika
Serikat pada tahun 1872. Pokok tuduhannya, Inggris telah mengizinkan dibangunnya kapal Alabama dan kapal pendukung Georgia di wilayahnya. Kapal-
kapal itu kemudian digunakan untuk membantu pasukan selatan Southern States melawan pasukan utara Northern States pada perang sipil Amerika. Yang
membuat sengketa ini menjadi penting dalam studi hukum internasional adalah prosedur atau tata cara yang ditempuh oleh para pihak dalam mendirikan badan
170
Shabtai Rosenne, The World Court, What it is and it Works, Fifth Completely Revised Edition, DordrechtBostonLondon: Martinus Nijhoff Publishers, 1995, Hlm. 10, dikutip dalam
Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit, Hlm. 56-57
arbitrase guna menyelesaikan sengketa. Prosedur tersebut merupakan prosedur yang sekarang dikenal dalam beracara melalui arbitrase.
Dalam sengketa the Alabama Claims Arbitration saat itu, arbiter terdiri atas dua anggota yang masing-masing dipilih oleh para pihak. Dua orang anggota
yang terpilih ini menunjuk satu anggota lainnya sebagai ketua. Anggota yang terpilih waktu itu adalah Raja Italia, Presiden Konfederasi Swiss, dan Kaisar
Brasil.
171
Badan arbitrase yang berkedudukan di Jenewa ini mengeluarkan putusannya pada tahun 1872, yang memenangkan tuntutan Amerika Serikat dan
menyatakan bahwa Inggris telah melanggar netralitasnya dengan mengizinkan kapal Alabama dipersenjatai dan dibangun di pelabuhan Inggris. Badan arbitrase
memerintahkan Inggris untuk membayar kompensasi sebesar 15.500.000.
172
2 Kasus Pulau Palmas Miangas, 1928
Pulau Palmas Miangas terletak antara wilayah Filipina yang pada saat itu di bawah kekuasaan Amerika Serikat dan wilayah Indonesia yang pada saat itu
adalah menjadi kekuasaan Netherlands East Indies. Amerika merasa mempunyai hak atas pulau tersebut disebabkan dalam Perjanjian Paris semua hak Spanyol
yang menyangkut wilayah di Filipina berpindah secara cessi ke Amerika Serikat. Perjanjian cessi itu berlaku sejak tahun 1898. Pada waktu penguasa Amerika
Serikat di Filipina mengadakan perlawatan ke Pulau Palmas mereka mendapati bahwa di sana berkibar bendera Belanda dan wilayah tersebut dikuasai oleh
171
Huala Adolf, Op.Cit, Hlm. 45
172
Jose Sette Camara, Methods of Obligatory Settlement of Diputes, International Law, Achievements and Prospects
, The Netherlands: Martinus Nijjhoff Publishers, 1997, Hlm. 520, dikutip Huala Adolf, dalam catatan kakinya, Op.Cit, Hlm. 45
Netherlands Indies. Amerika Serikat mengajukan keberatan pada Belanda bahwa pulau tersebut adalah miliknya, sedangkan Netherlands Indies berpendapat bahwa
pulau tersebut telah lama dikuasainya. Kedua belah pihak sepakat untuk membawa masalahnya ke Arbitrase. Arbitrator Mc Huber mempelajari alasan
yang diajukan kedua belah pihak. Amerika Serikat mendasarkan tuntutannya pada penemuan discovery,
pengakuan recognition, dan kontak hubungan yang erat contiguity. Arbitrator berpendapat bahwa ketidakcukupan bukti adanya hubungan antara aktivitas
Spanyol di pulau tersebut. Netherlands Indies mendasarkan tuntutannya berdasarkan pelaksanaan kekuasaan atas wilayah yang telah dijalankan secara
aman dan terus-menerus peaceful and continuous display of state authority. Putusan arbitrator: bahwa pelaksanaan kedaulatan atas wilayah secara damai
dalam hubungannya dengan negara lain dan secara terus-menerus merupakan title yang sah untuk memperoleh wilayah.
Arbitrator juga berpendapat bahwa penduduk pulau tersebut telah ada kaitannya dengan East Indies company, oleh sebab itu berdasarkan kontrak antara
Belanda dan raja sejak tahun 1677 bahwa pulau tersebut merupakan daerah vasal di bawah pengawasan pemerintah koloni Belanda. Ini adalah bukti yang
menunjukkan adanya pelaksanaan kedaulatan Belanda atas pulau tersebut sejak tahun 1700 sampai tahun 1906 di mana sengketa itu timbul. Dengan kata lain
bahwa telah terbukti adanya eksistensi kedaulatan Belanda atas wilayah tersebut. Jadi berdasarkan pada kasus tersebut Pulau Palmas diakui di bawah kekuasaan
Belanda. Karena Republik Indonesia merupakan suksesor Belanda, maka pulau tersebut adalah wilayah Indonesia.
173
C. Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Perjanjian Damai dalam Hukum