dan ketahuilah bahwa kalian tidak dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir.
” 2
Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Anfal ayat 61, yakni: “Tetap, jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan
bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
” Ketika akad hudnah dihukumi sah, maka diwajibkan atas pihak yang
mengadakan akad hudnah dan orang-orang setelahnya yang berstatus sebagai iman pemimpin menjaga diri mereka dan melindungi dari sesuatu yang
menyakitkan sampai habisnya masa hudnah. Atau mereka membatalkan akad hudnah dengan ungkapan yang tegas dari mereka, atau mereka menyerang kaum
kaum muslim tanpa alasan yang jelas, atau mengirimkan surat tertulis kepada orang-orang kafir musuh dengan mengungkapkan kekurangan kaum muslimin,
atau dengan membunuh seorang muslim. Kita tidak harus melindungi dan memediasi kafir musuh. Karena hudnah bertujuan memberikan perlindungan,
bukan menjaga, berbeda dengan akad dzimmah.
49
D. Kewajiban Menghormati Perdamaian
Traktat-traktat internasional yang pernah disepakati sebelum datangnya Islam, kebanyakan hanya sebagai alat bagi bangsa-bangsa besar untuk menekan
bangsa lemah atau bangsa yang kalah. Demikianlah, hingga umur traktat-traktat itu jarang yang berlanjut lama. Sebab, tatkala negara lemah menjadi kuat dan
49
Ibid , Hlm. 452
sebaliknya, negara besar menjadi lemah, atau negara lemah mendapat pendukung yang siap menghadapi rivalnya, maka riwayat traktat tersebut berakhir sudah.
50
Berbeda ketika syariat Islam datang, keberadaan traktat-traktat internasional mulai memasuki era baru. Islam menetapkan hukum akan kewajiban untuk menempati
dan menghormati kewajiban. Islam tidak menjadikan traktat-traktat tersebut sebagai alat untuk membuat makar dan tipu daya, sebagaimana Islam
mencegahnya menjadi sarana untuk memonopoli perekonomian, membuka pasar- pasar baru, menyedot darah dan sumber daya alam bangsa lain, seperti banyak
dilakukan bangsa-bangsa imperalis timur dan barat pada abad pertengahan.
51
Bukti sejarah paling otentik berkaitan dengan sifat amanah serta kesetiaan kaum muslimin untuk menghormati sebuah perjanjian, kendati secara lahiriah
merugikan bagi kaum muslimin adalah peristiwa yang terjadi sesaat setelah ditandatanganinya traktat perjanjian Hudaibiyah. Yakini, peristiwa pelarian Abu
Jandal bin Suhail ra. w. 18 H anak dari Suhail bin Amru yang saat itu bertindak sebagai wakil kaum Quraisy. Dalam kondisi terbelenggu dari Mekkah untuk
menyusul kaum muslimin di Madinah. Suhail bin Amru lantas mencengkram kerah baju Abu Jandal, memukul, dan menyeretnya untuk dikembalikan kepada
kaum Quraisy. Sebab, demikianlah di antara isi perjanjian yang telah disepakati. Abu Jandal pun berseru lantang: “Wahai segenap kaum muslimin, tegakah kalian
bila aku dikembalikan kepada kaum musyrikin yang akan menyiksa diriku karena agamaku ini?” Maka Rasulullah SAW menjawab: “Wahai Abu Jandal, sabar dan
50
Ibnu Qudamah, Muhammad bin Ahmad, Al-Syarh Al-Kabir Ma’a Al-Mughni, t.Cet, Beirut: Daar Al-Kutub Al-Arabi, 1403 H1983 M, Hlm. 244, dikutip dalam buku Muhammad
Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 391
51
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 392
bertahanlah, sungguh Allah akan memberi jalan keluar bagimu serta kaum lemah yang bersamamu. Kami telah mengukuhkan sebuah perjanjian antara kami dan
mereka , dengan sumpah yang kami dan mereka berikan atas nama Allah. Sungguh kami tidak akan mengkhianatinya.”
52
“Bahwa Islam juga mewajibkan untuk menghormati dan menaati perjanjian internasional. Sikap, seperti ini adalah bagian dari akhlak seorang muslim yang
baik. Sebagai contoh, ketika Nabi SAW dinasihati untuk mengikuktkan segel stempel resmi pada surat yang akan beliau kirimkan kepada para pemimpin lain,
beliau menerimanya. Sebab, hal ini merupakan aturan dan tata cara pada saat itu. Bila tidak, para pemimpin yang dikirimkan surat tidak akan mau menerima surat
tersebut. Jadi beliau pun memberi stempel pada suratnya dengan menggunakan cincinnya yang diukir dengan kata Muhammad, Rasul Allah. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa Nabi SAW ikut kepada protokol internasional.” Sa’id Hawwa berkata:
53
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah
meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu Jelaslah di sini, syariat Islam memerintahkan untuk senantiasa dan
menghormati perjanjian. Sehingga dengan demikian bagi seluruh umat Islam dilarang untuk membatalkannya, apalagi mengkhianatinya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Ta’ala:
52
Al-Mubarakfuri, Shofiyur Rahman, Al-Rahiq Al-Makhtum, Cet. I, Riyadh: Daar Al- Salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H, Hlm. 326, dikutip dalam Muhammad Ashri dan
Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 392-393
53
Sa’id Hawwa, Op.Cit,Hlm. 800, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 393
terhadap sumpah-sumpahmu itu. Sesungguhnya, Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan, janganlah kamu seperti seorang perempuan
yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. Kamu menjadikan sumpah perjanjian-mu sebagai
alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya
menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. Dan
kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja, tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. Dan janganlah kamu
jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat menipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kakimu sesudah kokoh tegaknya, dan kamu
rasakan kemelaratan di dunia karena kamu menghalangi manusia dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.
” QS. An-Nahl: 91-94 Nas Al-Quran ini menyinggung anjuran menghormati perjanjian dan
peringatan keras menyelisihinya. Padanya Allah Ta’ala menyerupakan orang yang menyelisihi perjanjian seperti wanita gila yang menguraikan kembali benang yang
telah lama dipintal hingga tercerai berai. Di samping itu, ayat di atas mengisyaratkan bahwa setia memegang perjanjian merupakan gambaran kekuatan
jiwa dan menyelisihinya adalah tanda kelemahan, serta ketergelinciran setelah
sebelumnya kokoh.
54
Tidak boleh membatalkan perjanjian setelah disepakati, atau mengingkari poin-poin yang ada di dalamnya sebagaimana perintah Allah Ta’ala dalam banyak
ayat Al-Qur’an diantaranya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad- akad itu...
” QS. Al-Maidah: 1. Demikian pula segala kesepakatan berupa perjanjian seorang manusia kepada orang lain, bakal menjadi pertanyaan atas
dirinya pada hari kiamat kelak, sepperti firman Allah Ta’ala: “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabnya.
” QS. Al-Isra’: 34. Dan juga, perjanjian dikatakan sebagai hukum yang harus dihormati dan
tidak boleh diselisihi. Menghormati perjanjian adalah anjuran illahi yang adil
demi menjaga tujuan syariat yang diemban oleh dakwah Islamiyah, menegakkan perdamaian dan tidak dirusak oleh permusuhan dan makar tipu daya.
55
Sehingga, setia dan hormat padanya sejalan dengan sifat keimanan yang kokoh, seperti firman Allah Ta’ala: “Maka selama mereka berlaku
lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus pula terhadap mereka.” QS. At-Taubah: 7.
54
Ibnu Katsir, Op.Cit, Hlm. 220
55
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 395
BAB III PENGATURAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN
PERDAMAIAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A. Pengaturan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian