Tinjauan ketatanegaraan Islam terhadap darurat Negara menurut perundangan Malaysia

(1)

TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP DARURAT NEGARA MENURUT PERUNDANGAN MALAYSIA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )

OLEH:

HAJAR BINTI HARUN NIM : 106045200219

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1430 H / 2009 M


(2)

TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP DARURAT NEGARA MENURUT PERUNDANGAN MALAYSIA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )

OLEH:

HAJAR BINTI HARUN NIM : 106045200219

Di Bawah Bimbingan

Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA NIP : 150 270 614

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1430 H / 2009 M


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP DARURAT NEGARA MENURUT PERUNDANGAN MALAYSIA” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Januari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah / Ketatanegaraan Islam.

Jakarta, 20 Januari 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.

NIP: 150 210 422

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Asmawi, M. Ag.

(………)

NIP: 150 282 394

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M. Ag. (………)

NIP: 150 282 403

3. Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA.

(………) NIP: 150 270 614


(4)

(………) NIP: 150 275 509

5. Penguji II : Asmawi, M. Ag. (………)


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang telah menunjukkan jalan hidayah dan pembuka ilmu pengetahuan dengan agama Islam

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Ketatanegaraan Islam Terhadap Darurat Negara Menurut Perundangan Malaysia.” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar'iyah (Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis merasa sangat gembira dengan selesainya penulisan skripsi ini karena merupakan karya ilmiah dan proses sebuah pemikiran dan kajian yang mendalam. Sebagai insan yang diciptakan oleh Allah SWT, penulis tidak terlepas dari kesalahan dan kekhilafan serta membutuhkan kritik dan masukan yang membangun, sehingga dapat menjadi sebuah pelajaran ke depan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu penulisan skripsi ini. Dengan bantuan dan dukungan merekalah penulis dapat menyelesaikan


(6)

penulisan skripsi ini. Penghargaan dan terima kasih secara khusus disampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Asmawi, M.Ag Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Syar’iyyah, dan Ibu

Sri Hidayati M.Ag, Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah yang dengan sabar memberikan bantuan kepada penulis sepanjang perkuliahan.

4. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA dosen pembimbing penulis yang dengan sabar memberikan sepenuh arahan dan masukan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Hanya Allah SWT yang dapat memberikan ganjaran berlipat ganda atas jasa baiknya kepada penulis.

5. Kepada seluruh dosen Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, terutama yang pernah menabur ilmu untuk penulis, Dr.H.Abd.Rahman Dahlan MA, Dr.Noryamin Aini MA, Dr.Arskal Salim GP. M.Ag, Dr.Yayan Sopyan M.Ag, Dr. Muharom, Afwan Faizin M.A, Bambang Catur PS.SH, Iding Rosyidin S.Ag, MSi, serta karyawan yang telah membantu dalam memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada seluruh pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah dan juga seluruh karyawan Perpustakaan Umum Iman Jama’.


(7)

7. Teristimewa untuk ayahanda dan bunda tersayang, Harun bin Ismail, Norhayati binti Abd. Samad, dan terima kasih penulis ucapkan kepada kakakku Along dan suami, serta untuk adik-adik tersayang (Halim, Hasbullah, Amirul, Hadi, dan Adik Ana) dan keluarga lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan hanya sebuah kejayaan. Hanya Allah SWT yang melipat gandakan segala pengorbanan yang dilakukan.

8. Seluruh dosen-dosen di Kolej Universitas Darul Quran Islamiyyah(KUDQI) dan

Ma’ahad Darul Quran (MDQ).

9. Teman-teman seangkatan di UIN Jakarta terutama satu kosan penulis,

Nurmasyitah serta rekan-rekan EX-KUDQI (Mustafa, Harun, Baihaki, Ustd. Hadi, Faizal, Khairil, Mawardi, Baha, Azrin , Salwa, Wahida, Siti Hajar, Nurul Syazwani, Anis, Halimah).

10. Teman-teman dari Indonesia yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini terutamanya saudara Oyok Tolisalim, Luqman dan Resty dan beberapa teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu karena kalian telah banyak memberikan pengalaman untuk memahami lebih dalam kepada penulis tentang ketatanegaraan Islam dan mengenai negara Indonesia.

11.Untuk yang terakhirnya jutaan terima kasih kepada teman-teman di Asrama Putri dan Asrama Putra UIN Syarif Hidayatullah angkatan 2006-2007. ”Semoga


(8)

kenangan antara kita tetap dalam ingatan” dan juga kepada semua teman Malaysia yang berada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Akhirnya penulis menyadari bahwa dengan wawasan penulis masih membutuhkan bimbingan serta masukan. Oleh karena itu, penulis tak bosan-bosannya untuk meminta saran dan kritik yang membangun dari teman-teman sebagai bahan perbaikan dalam penulisan skripsi ini. Besar harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat untuk diri penulis sendiri khususnya dan kepada para pembaca skripsi ini pada umumnya, semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada penulis untuk terus mengembangkan keilmuan serta untuk mengamalkannya. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Jakarta, 27 Januari 2009


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5

D. Tinjauan Pustaka... 6

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II KEADAAN DARURAT NEGARA DALAM HUKUM ISLAM DISEBABKAN PEMBERONTAKAN A. Pengertian Keadaan Darurat ... 12

B. Tinjauan Umum Tentang Pemberontak ... 17

C. Hukuman Bagi Pemberontak Menurut Jinayah Islam ... 19

D. Pemberontakan Pada Zaman Khulafaur Rasyidin …………... 25


(10)

BAB III KONSEP KEADAAN DARURAT DI DALAM PERUNDANGAN MALAYSIA

A. Kriteria Perbuatan dan Tindakan Pemberontak Yang dikatakan

Negara Dalam Keadaan Darurat ... 35 B. Sejarah Pelaksanaan Hukum Darurat di Malaysia... 39 C. Berbagai Kasus Keadaan Darurat dalam Sejarah di Maalaysia .... 42 D. Penanganan dan Penyelesaian Keadaan Darurat Negara ... 47

BAB IV ANALISIS HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP

KEADAAN DARURAT NEGARA DALAM PERUNDANGAN DI MALAYSIA

A. Pandangan Islam Terhadap Keadaan Darurat Negara

(Pemberontakan) ... 56

B. Analisis terhadap Perundangan Malaysia Mengenai Keadaan

Darurat Negara dalam Tinjauan Hukum Islam ... 63

C. Pelaksanaan Undang-undang Keadaan Darurat Menurut

Perlembagaan Malaysia dari Sudut Pandang Undang-undang

Keadaan Darurat Negara Indonesia ... 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 76 B. Saran ... 77


(11)

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kekuasaan negara dapat dikatakan berakhir dan penyelenggaraannya dihentikan jika organisasi negara itu sendiri dengan sengaja dibubarkan atau dinyatakan bubar, sehingga berakhirlah ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara yang bersangkutan. Dengan bubarnya pemerintahan, dan berakhirnya status warga negara dari negara yang bersangkutan, maka berakhir pula ketentuan mengenai batas wilayah negara yang bersangkutan. Malaysia pernah berada di bawah pemerintahan darurat militer setelah Perang Dunia Kedua yaitu setelah mundurnya militer Jepang dari Tanah Melayu. Kemudian setelah kekuasaan militer Jepang berakhir, Inggris mengambil alih kekusaan atas Tanah Melayu dan meletakkannya dibawah pemerintahan Inggris (British Military Administration) atau BMA.

Pemerintahan ini telah diproklamasikan oleh Pemerintahan Tertinggi Militer, Asia Tenggara, yaitu Laksamana Lord Lois Mountbatten pada 15 Agustus 1945 dengan berdasarkan pada kepentingan militer dengan tujuan memulihkan keamanan negara.1

Selama pemerintahan Lord Mountbatten, 77 undang-undang telah dibuat untuk meneruskan proklamasi pemerintahan sebelumnya. Undang-undang ini

1

Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn.Bhd, 2006), h. 332.


(13)

meliputi berbagai aspek pemerintahan, akan tetapi undang-undang ini telah dihapus setelah pemerintahan BMA berakhir pada 31 Maret 1946 dan diganti dengan pemerintahan kerajaan Kesatuan Tanah Melayu (Malayan Union).2

Dampak dari pemberlakuan deklarasi darurat, dalam Islam dapat kaitkan dengan tiga istilah. Pertama istilah jihâd,3 yang kedua istilah bughât4 dan yang ketiga hirâbah.5 Ketiga istilah tersebut merupakan kebiasaan terjadinya puncak darurat negara. Namun demikian, istilah darurat berarti terkait dengan bagaimana mempertahankan sebuah negara, baik ancaman dari luar maupun dari dalam negera sendiri. Dalam Islam, jihâd telah memberi arti melawan orang-orang Musyrik dan

dakwah mereka ke jalan yang benar.6

Manakala istilah kedua, bughât atau pemberontakkanadalah perlawanan yang

dilakukan oleh sekelompok kaum Muslimin terhadap khalifah yang sah, atas dasar perbedaan paham tentang siapa yang seharusnya menjadi khalifah.7 Secara historis

2 Ibid. 3

Jihad ialah pengerahan segenap kemampuan manusia untuk mendapatkan suatu yang diinginkan atau menolak yang dibenci

4

Bughat yaitu kelompak umat Islam yang melawan dan menderhaka kepada Ulil Amri (Imam), yaitu pemerintah/kerajaan yang adil menjalankan hukum-hukum syara’

5

Hirabah adalah gerombolan bersenjata di daerah Islam untuk mengadakan kekacauan, peumpahan darah, perampasan harta, merusak kehormatan, tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban dan undang-undang, baik gerombolan tersebut dari orang Islam, kafir dzimmi maupun kafir harbi.

6

Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, al-Jihâd fi al-Islâm Kaifa Nafhamuh wa Numarisuh, diterjemakan oleh M. Abdul Ghafur, Fiqh Jihad Upaya Mewujudkan Darul Islam Antara Konsep dan Pelaksanaannya, (T.tp: Pustaka an-Naba’, 1993), cet. I, h. 3

7

Noerwahidah H. A., Pidana Mati dalam Hukum Pidana Islam, (Surabaya: PT. Al-Ikhlas, 1994), cet. I, h. 60


(14)

pemberontakan dalam Islam sudah ada sejak pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Di mana kaum Muslimin pada saat itu melakukan suatu pemberontakan terhadap Khalifah Utsman bin Affan yang menuntut agar khalifah memecat para pembantunya yang korup dan tiran itu. Pemberontakan tersebut berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan oleh kaum pemberontak. Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, pemberontakan dilakukan oleh Zubeir bin Awwam, Thalhah dan Aisyah. Muawiyah dan kaum khawarij mereka melakukan pemberontakan dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib terlibat secara langsung atas terbunuhnya Utsman bin Affan dan pemilihannya sebagai khalifah tidak sah. Ada yang menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan dan beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah adalah sumber malapetaka kehancuran kaum muslimin.8

Kata hirâbah terfokus pada adanya niat permusuhan terhadap kaum

Muslimin, hal itu merupakan illa’ bagi jihad perang, dan hal ini pernah terjadi pada

Perang Bani Musthaliq. Dalam peperangan tersebut Rasulullah SAW me-ngetahui bahwa Bani Musthaliq telah menyusun rencana untuk menyerang kaum Muslimin yang dipimpim oleh Al-Harits bin Abi Dinar. Setelah yakin dengan hal itu, maka

Rasulullah SAW mulai melakukan penyerangan terhadap mereka.9

Keadaan darurat atau dikenal dalam bahasa Inggris sebagai state of emergency

adalah suatu pernyataan dari pemerintah yang bisa mengubah fungsi-fungsi

8

Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), cet. I, h. 180

9


(15)

pemerintahan, memperingatkan warganya untuk mengubah aktivitas, atau

memerintahkan badan-badan negara untuk menggunakan rencana-rencana

penanggulangan keadaan darurat. Biasanya, keadaan ini muncul pada masa bencana alam, kerusuhan sipil, atau setelah ada pernyataan perang.

Secara terminologis keadaan darurat berkaitan dengan “emergency doctrine

yang dalam Black’s Law Dictionary terdapat beberapa definisi, pengertian yang pertama berkaitan dengan konsep “sudden emergency doctrine” atau doktrin keadaan

darurat yang tiba-tiba. Pengertian yang kedua biasa dipakai di dunia kedokteran dan pelayanan medis, sedangkan pengertian yang ketiga berkenaan dengan persoalan “emergency exception”. Pengertian yang mempunyai relevansi dengan persoalan

hukum adalah pengertian yang pertama dan yang ketiga.10

Malaysia sebuah negara yang baru merdeka. Malaysia juga pernah mengalami kedaan darurat negara. Bahkan sejak 1948, secara berturut-turut lima deklarasi darurat telah dibuat oleh negara untuk mencegah bahaya tertentu. Tiga dari deklarasi ini meliputi keadaan darurat seluruh Persekutuan Malaysia hanya terbatas kepada negara-negara bagian saja, yaitu satu deklarasi untuk negeri Sarawak dan satu lagi untuk negeri Kelantan.

Berbicara mengenai hukum darurat negara yang ada di Malaysia memang sangat menarik, apalagi ketika penulis akan membuat perbandingan dari sudut pandang ketatanegaraan Islam dalam melihat hukum darurat negara. Maka dari itu

10

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), cet. I, h. 57.


(16)

penulis memberikan judul “Tinjauan Ketatanegaraan Islam Terhadap Darurat Negara Menurut Perundangan Malaysia.”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, penulis merasa perlu untuk membatasi masalah pada tataran implementasi hukum darurat yang sudah pernah terjadi di Malaysia baik itu dari awal kemerdekaan sampai sekarang ini. Kemudian bagaimana Islam melihat hukum darurat negara, untuk mempersempit kajian darurat dalam Islam penulis membatasinya pada kasus pemberontakan (al-baghyu) pada masa Khulafâur Râsyidûn, seperti

adanya pembangkangan enggan membayar zakat pada masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan pemberontakan yang terjadi pada masa khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, yang karena pemberontakan tersebut diharuskan adanya tindakan yang tegas dari khalifah untuk mengatasinya. Setelah dapat melihat dari kedua sudut pandang itu maka penulis ingin melakukan sebuah komparasi yaitu membandingankan dengan cara berbeda menyebutkan yang sama dari keadaan yang masa lama dan kini di Malaysia.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana konsep ketatanegaraan Islam mengenai hukum darurat negara?

2) Bagaimana mengatasi keadaan darurat negara di Malaysia menurut


(17)

3) Pada saat kapankah harus diumumkan keadaan darurat negara di Malaysia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya:

1. Memberikan gambaran umum kepada masyarakat maupun akademisi

mengenai konsep darurat negara dalam pandangan ketatanegaraan Islam.

2. Mengetahui perjalanan keadaan darurat negara yang ada di Malaysia menurut

perlembagaan Malaysia.

3. Menggali relevansi hukum ketatanegaraan Islam terhadap perundangan

Malaysia berkaitan dengan darurat negara.

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan di

bidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan di Malaysia.

2. Sebagai bahan kajian dan rujukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan pembuat hukum/legislatif atau partai-partai Islam terhadap permasalahan darurat negara.

3. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang persepsi hukum Islam mengenai keadaan darurat negara.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan Pustaka dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak kajian dan pembahasan yang secara umum dan khusus membahas mengenai judul penelitian


(18)

yang dilakukan penulis. Di bawah ini beberapa pembahasan yang ada kaitannya dengan judul penelitian penulis dimulai dari skripsi, buku, maupun jurnal.

Buku pertama, karangan Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan

Pemerintahan di Malaysia, cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan:

Dawama Sdn.Bhd, 2006). Pada buku ini di dalam bab IX terdapat pembahasan secara khusus mengenai darurat, di mulai dari sejarah pelaksanaan darurat di Malaysia, pengaturan hukum darurat yang tercantum di dalam Perlembagaan (UUD) Malaysia yang juga mengenai siapa yang berhak menentukan negara dalam keadaan darurat raja atau parlemen dalam hal ini Perdana Menteri. Kasus-kasus keadaan darurat yang pernah terjadi di Malaysia.

Buku kedua, karangan Haji Sa’id Haji Ibrahim (mantan Mufti Negeri Sabah), Qanun Jinayah Syar’iyah, (Darul Ma’rifah, tahun 1996). Kajian secara khusus yang

membahas mengenai keadaan darurat ini tidak ada, namun secara umum buku ini mengkategorikan bughat sebagai keadaan bahaya dalam ketatanegaraan hal ini dapat

dijumpai pada bahasan bab ketujuh mengenai bughat. Bagian dari bahasan ini di antaranya kesalahan dalam politik, pendurhakaan yang wajib diperangi, orang yang menentang dan mendurhakai terhadap imam yang adil.

Buku ketiga, karangan Dr. Jaih Mubaraok, M.Ag. Fiqh Siyasah, (Pustaka

Bani Quraisy, 2005). Pada bab VI buku ini ada bahasan mengenai ijtihad dan fatwa tentang protes politis, secara mendalam di buku ini mengkaji tentang hukum melawan penjajah penjelasan hukum berperang untuk menolak penjajah.


(19)

Terhadap G 30 S PKI)”, tahun 2005. Pada Bab II dan Bab IV skripsi ini ada pemba-hasan mengenai bughat. Pada bab II yang membahas mengenai konsep bughat dalam politik Islam dengan kajian khususnya membahas definisi bughat, kriteria bughat, dan kasus bughat dalam sejarah politik Islam. Selanjutnya di dalam Bab IV mengkaji mengenai pandangan atau analisis ketatanegaraan Islam terhadap tindakan bughat.

Skripsi, ”Darurah dan Daruriyat Perbedaan serta Korelasi Keduanya”, tahun 2006. Skripsi ini hanya memberikan gambaran secara umum mengenai pengertian darurah serta perbedaannya dengan daruriyat, namun demikian sekelumit bahasan memang ada yang menerangkan batasan-batasan darurah di antaranya darurat yang merata dalam negara berhubungan dengan urusan-urusan luar negeri.

Dari beberapa tinjauan pustaka di atas bahwa topik yang penulis angkat dalam penelitian skripsi ini belum ada yang membahasnya dan penulis juga memanfaatkan ide-ide dari tulisan yang disebut di atas dan penulis akan menerapkannya kepada konteks Malaysia.

E. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan (library risearch)

dengan pendekatan penelitian analisis historis dan normatif. Penelitian historis dilakukan karena bahasan dalam kajian ini membahas sejarah pelaksanaan hukum darurat yang pernah terjadi di Malaysia, tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan


(20)

cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistematiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.11 Kemudian analisis normatif juga dilakukan karena dalam kajian ini melibatkan Perlembagaan Persekutuan (UUD) yang ada bahasan khusus mengenai keadaan darurat. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)

atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.12

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan library research, yaitu

pengumpulan dan studi dokumen yang ada dengan membaca dan meneliti literatur-literatur ketatanegaraan Islam yang membahas permasalahan dalam penelitian skripsi ini dan tulisan-tulisan yang ada relevansinya dengan tema darurat dalam kajian ketatanegaraan Islam dan undang-undang Malaysia.

3. Sumber Data

Sumber data yang ada dalam penelitian skripsi ini terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder, adapun sumber primer di antaranya adalah Al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan kajian ketatanegaraan Islam mengenai

11

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, cet. XVI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 73

12

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), cet. I, h. 118


(21)

keadaan darurat (dalam hal ini kaitannya dengan bughat). Sedangkan data

sekunder merupakan data yang penulis ambil dari bahasan tulisan-tulisan yang dilakukan oleh para peneliti-peneliti ketatanegaraan Islam yang sudah dibukukan, dan juga tulisan dari penjelasan dari Perlembagaan Malaysia yang membahas secara khusus mengenai keadaan darurat.

4. Analisis Data

Pengolahan data yang dilakukan pada tahap ini dilakukan dengan semua data yang telah terhimpun diklasifikasikan dan dikumpulkan sesuai dengan isu-isu yang mengkaji pada permasalahan skripsi ini, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

5. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi,

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan buku ini dibagi atas (5) lima bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.


(22)

Bab II Bab ini membahas pengaturan Islam mengenai keadaan darurat negara, berisi mengenai pengertian keadaan darurat, tinjauan umum tentang

pemberontak, dilanjutkan pembahasan mengenai hukuman bagi

pemberontak menurut jinayah Islam, dan kemudian keadaan darurat zaman khalifah dan bagaimana hukum Islam mengatasinya

Bab III Pada bab ini pembahasan mengenai konsep keadaan darurat di dalam perlembagaan Malaysia diawali dengan sejarah pelaksanaan hukum darurat di Malaysia, tindakan pemberontak yang dikatakan negara dalam keadaan darurat, penanganan dan penyelesaian keadaan darurat negara menurut perlembagaan Malaysia.

Bab IV Merupakan analisis hukum Islam terhadap keadaan darurat negara di dalam perlembagaan Malaysia, dimulai dari pandangan Islam terhadap keadaan darurat negara, kemudian analisis terhadap perundangan Malaysia mengenai keadaan darurat negara dalam tinjauan hukum Islam

Bab V Merupakan bab penutup, yang di dalamnya terdapat kesimpulan dan saran.


(23)

BAB II

KEADAAN DARURAT NEGARA DALAM HUKUM ISLAM OLEH PEMBERONTAKAN

Perjalanan hidup suatu negara dalam mencapai tujuan-tujuannya terkadang berjalan tidak baik. Adanya keadaan-keadaan tertentu seperti musibah kemarau panjang, kelaparan, gempa bumi maupun pertikaian politik dapat menyebabkan tujuan negara yaitu kesejahteraan rakyatnya tidak tercapai. Akibatnya timbul suatu kondisi atau keadaan yang biasa disebut dengan darurat, yang mana ketika keadaan ini terjadi hukum atau peraturan yang normal tidak dapat dijalankan di samping memerlukan peraturan baru dan khusus yang sesegera mungkin untuk mengatasi keadaan darurat tersebut. Pada Bab II ini penulis akan memaparkan keadaan darurat dalam sejarah ketatanegaraan Islam pada masa al-Khulafa al-Rasyidun, yang diakibatkan oleh pertikaian politik yaitu yang biasa disebut dengan pemberontakan atau pembangkangan oleh suatu kelompok terhadap pemerintahan yang ada (sah).

A. Pengertian Keadaan Darurat

Darurat berasal dari bahasa Arab yaitu darûrah dari akar kata

darra-yadurru-darran yang berarti merusak atau memberi mudarat. Biasa juga disebut dlarar yang

memiliki arti bahaya, kemelaratan, kesulitan, kesempitan, buruknya keadaan.13


(24)

Keadaan darurat yaitu keadaan sangat merusak atau sangat memaksa, kebutuhan yang amat mendesak dan amat berbahaya apabila tidak dipenuhi.14 Darurat berarti sampainya seseorang kepada suatu batas, yang apabila tidak melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang akan dapat mencelakakan atau membinasakan dirinya.15 Darurat juga dapat diartikan sebagai suatu kekhawatiran atas kebinasaan diri, baik berdasarkan keyakinan maupun berdasarkan dugaan yang kuat. Darurat ini tidak terwujud kecuali ada suatu keadaan yang memaksa untuk melakukan yang diharamkan agar terpelihara diri dari kebinasaan, seperti haus dan lapar yang berlebihan atau sakit yang membawa kematian. Kebinasaan itu tidak hanya terhadap diri atau jiwa seseorang, tetapi juga terhadap harta.16

Darurat dan ikrah mempunyai pengertian yang sama, yaitu suatu keterpaksaan

yang dibolehkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Tetapi dalam kenyataannya kedua bentuk keterpaksaan itu berbeda. Keterpaksaan dalam bentuk darurat adalah keterpaksaan yang timbul secara alami tanpa ada keterliba-tan manusia seperti sakit keras, kelaparan, kehausan dan lain-lain. Sedangkan ikrah adalah

keterpaksaan yang timbul dengan adanya keterlibatan manusia seperti orang yang diancam dengan senjata untuk mengucapkan kalimah kufur.

( ) * + ) ) , - .

/ 0 / $$%& 123

4 5 . .

+6 )78 ) )79 & : * 3 ! ) : " ! ) ;

< ! " , ** 133 & %


(25)

Menurut ulama ushul fiqh ada lima prinsip yang pemeliharaan eksistensinya amat dibutuhkan manusia dan amat berbahaya apabila diabaikan, karenanya keliam prinsip itu disebut al-dlar riyat al-khamsah (lima yang amat dibutuhkan). Kelima

prinsip itu adalah agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan dan harta. Inilah yang kemudian disebut dengan Maqâsid al-Syari’ah yaitu tujuan suari’at yang

diturunkan oleh Allah SWT adalah untuk memelihara eksistensi kelima prinsip tersebut.17

Oleh sebab itu, apabila salah satu dari kelima prinsip itu sedang terancam eksistensinya, syari’at mewajibkan manusia untuk menyingkirkan ancaman itu dan tidak memandang dosa mengatasinya jika dengan tindakan yang dalam keadaan biasa termasuk perbuatan haram, seperti memakan bangkai apabila tidak ada makanan lain dalam keadaan lapar yang membahayakan keselamatan jiwa. Artinya bahwa dalam keadaan-keadaan bahaya, kesulitan, kesempitan atau buruknya keadaan yang dapat mengakibatkan terancamnya agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan dan harta, maka diperbolehkan melakukan sesuatu yang diharamkan.

Dasar dari hukum dari darurat tersebut adalah Qur’an dan sunah. Dalam al-Qur’an dijelaskan apabila seseorang dalam keadaan terpaksa tanpa sengaja dan tidak melampaui batas maka ia tidak berdosa. Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah/2 ayat 173:

% " < )7 = ! : ! ) 7

) # < 7 " " # ) # )

) )7 ) " - ! + )75 & 174 !

) : " ! ) > ) # % > + )70 133 &


(26)

!  #$%&'( ) *+',-. /' 0 12 !' 3 4 56 7 89:; 12 <= > 0 ?@ A B< 7 C ' D *E F GHI J<=

C ' H

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan

bangkai, darah, daging babi, dan binatang-binatang yang disembelih tidak kerana Allah maka barang siapa yang terpaksa (memakannya kerana darurat) sedang ia tidak mengingininya dan tidak pula melampaui batas (pada kadar benda yang dimakan itu), maka tidaklah ia berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang”. (QS.: al-Baqarah/2: 173).

Allah juga berfirman:

:L M ...

?+NO 7 8P *) 2 8P Q@ ) !CR2H$ 89:; '

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atas kamu, kecuali apa yang kamu terpaksa memakannya? (QS.: al-An’am/6: 119).

Adapun sumber hukum dari sunah di antaranya adalah hadits yang diterima dari Abu Waqid al-Laitsi:

ﺏ! "#

$%&'&

ﺏ ( %) *+,ﺏ

- . /+ ی

&1

ی

( 23

"ﻡ

5673)

78)

3 9%)

:; . $7 &

< ﺏ

ﺏ = ,>1

+

?

2 (ﺡ "ﺏ &ﺡ

18

Artinya: “Dari Abu Waqid al-Laitsi berkata: aku bertanya kepada Rasulullah, kami berada di sebuah daerah yang tengah dilanda bencana kelaparan. Apakah kami memakai bangkai?. Beliau menjawab: Kalau memang kalian tidak menemukan makanan yang bisa kalian makan pada pagi dan sore hari dan bahkan tidak mendapatkan sayuran yang bisa kalian cabut, maka silahkan kalian makan bangkai itu”. (HR. Ahmad bin Hanbal).

' 0 ) ? ))6 )7 6 @ & #


(27)

Sehubungan dengan masalah darurat ini, fuqaha merumuskan kaidah pokok, yaitu:

. Aی + B

19

Artinya: “kemudlaratan harus dihilangkan”. Kaidah ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:

+ ﺽD + ﺽD

E # - FG ﺵ FG ﺵ "ﻡ - ?F+ ﺽ F+ ﺽ "ﻡ

(9 +

? +

EI ﻡ "ﺏ

20

Artinya: “Tidak boleh berbuat bahaya dan membalas perbuatan bahaya kepada orang lain, bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang lain maka Allah akan berbuat bahaya kepada orang tersebut, dan bagi siapa yang mempersulit orang lain maka Allah akan mempersulit dia”. (HR. Dâruqutnî dan Ibnu Mâjah).

Yang dimaksud dengan dlarar dalam hadits tersebut adalah berbuat kerusakan

kepada orang lain secara mutlak; mendatangkan kerusakan terhadap orang lain dengan cara yang tidak diizinkan oleh agama. Sedangkan yang diizinkan oleh agama seperti qisas, diyat, had dan lain-lain tidak dikategorikan berbuat kerusakan tetapi

untuk mewujudkan kemaslahatan.21

Dari kaidah pokok tersebut muncul kaidah-kaidah antara lain:

J ) + B

&

3

K

L +

(Darurat itu membolehkan yang dilarang),

M+ ﺏ + ) + B

(Darurat itu diukur dengan kadarnya) dan lain-lain.22

$ , )6) )7+@ 9 )7; 6 @ . )7 ? & #

' . +6 )75 $$4& 23

13 9 )@ B ? )70 )7+6 < @ )7. " 6 ( ! "

. +6 )7 = # $$2& : * %% 1'' C *@

? 9 ))6 )7A * ( # ) . +6 )75 & : * %'(

1 (3

1 * + " ,


(28)

Kaitannya dengan negara, keadaan darurat yaitu keadaan di mana negara dalam keadaan yang sulit, genting atau bahaya sehingga hukum tidak dapat dijalankan dengan normal, artinya peraturan-peraturan tertentu dapat dikesampingkan atau tidak diberlakukan karena keadaan yang tidak memungkinkan. Keadaan ini bisa disebabkan karena alam maupun karena pertikaian politik.

B. Tinjaun Umum Tentang Pemberontak

Dalam bahasa Arab, perbuatan ini disebut ( 8 ), yang biasa diartikan sebagai menuntut sesuatu atau menentang pemerintah dengan menggunakan kekuatan senjata.23 Menurut Jinayah Islam, al-Baghy secara etimologi mempu-nyai arti yang banyak, di antaranya adalah berbuat aniaya, bertindak sewenang-wenang, berbuat kerusakan dan menyimpang dari kebenaran. Secara terminologi, pemberontak adalah sekelompok orang yang memiliki kekuatan dan kemampuan memberontak terhadap pemerintah karena suatu alasan yang dibolehkan. Mereka ingin melepaskan diri, melanggar dan membangkang pemerintah setempat.24 Bughât dalam istilah ilmu tata negara ialah perbuatan sekumpulan dan segelongan

umat Islam yang memberontak untuk menentang dan membangkang kepada Ulil

Amri adalah dinamakan ”jarimâh siyasah”, yaitu kesalahan dalam politik.25

11# $

1 * 0 : ) % , , ) " - )

+8 .0+ ) " , 133 & 1 %

24

Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdullah al-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam al-Kamil, diterjemahkan oleh A. Munir Badjeber, dkk., (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007),cet. I,Jil.III,h. 1113


(29)

Banyak para ulama Fiqh Islam memberikan definisi yang berbeda tentang pemberontakan. Menurut Ulama Hanafiyah adalah:

2ی ,7 ﺏ =ﺡ N ﺏ 1 " & O&

6 ﺥ $ (ﻡ $Q ﺵ

8

26

Artinya: “Tindakan sekelompok orang yang mempunyi kekuatan yang menentang pemerintah dalam segala kebijaksanaannya dikarenakan adanya perbedaan paham”.

Menurut Malikiyah adalah:

#

) ی "یR

8

S

# T I 'ی "یR

2ی ,7

. ﺥ "ﻡ T (7&ی

E7# U 1

27

Artinya: “Tindakan sekelompok yang melakukan perlawanan dan tidak taat kepada penguasa pemerintah dikarenakan adanya perbedaan paham”.

Menurut Ulama Hanabilah adalah:

T I+ '

8

#

$Q ﺵ

Vﺉ / 2ی ,7ﺏ . # X

ی

1 "=

Y 9ﻡ

28 Artinya: “Sekelompok yang menentang penguasa/pemerintah, termasuk pemerintah

yang tidak adil (zalim) dikarenakan adanya perbedaan paham, mereka memelikikekuasaanmeskipuntidak di bawah komando seorang pemimpin”.

Menurut Ulama Syafiiyah adalah: “Orang-orang muslim yang menyalahi iman dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan dan memiliki pimpinan”.29

14 = 0 : * ( ( "

+ , - * " > ) D ! + )

= # & 1$

12 )7E ) & & " . +6 )75 & : *

4(%'

1% # $ 4(%$


(30)

Dari keterangan di atas, semua definisi bermakna penjelasan atau alasan yang menyepakati pemaknaan kata bughat itu adalah suatu usaha atau gerakan yang

dilakukan oleh sekelompok dengan tujuan untuk menggulingkan atau menentang Imam/pemimpin/pemerintah yang sah.

Apabila terjadi hal-hal yang mengarah kepada pertentangan yang kemudian meluas kepada pemberontakan, maka menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk menghalangi setiap bentuk pemberontakan yang timbul. Sebab pemberontakan ini dapat mengancam disintegrasi bangsa. Selain itu pemberontakan dipandang sebagai bentuk kejahatan yang mengancam keamanan negara. Semua kegiatan yang dilakukan hanya boleh dianggap sebagai pemberontakan atau pembangkangan apabila mereka melibatkan penggunaan kekuatan dan kekerasan yang dapat menimbulkan keadaan darurat dalam negara.30

C. Hukuman Bagi Pemberontak Menurut Jinayah Islam

Di dalam hukum Islam, ada dua istilah yang sering digunakan untuk pengertian yang sama atau yang hampir sama. Kedua istilah tersebut adalah ”Jarimah” dan ”Jinayah”. Salah satu bagian hukum Islam adalah bidang Jinayah

(Hukum Pidana), yakni bidang yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan (jarimah). Tindakan-tindakan ini merupakan

1$ +* ) % ,, , ) " !

& , - ; : F # $$%& 34

3 0 # & + , - . ) . "


(31)

perbuatan-perbuatan jahat yang diharamkan oleh syara’, yang boleh menghilangkan atau mengganggu eksistensi dan ketertiban hidup. Yakni agama, akal, kehormatan, dan harta benda.31 Oleh karena itu, bagi setiap pelaku harus mendapatkan sanksi hukuman (uqubah) baik di dunia maupun di akhirat tindak pidana politik hanya

berlaku terhadap pemerintahan yang sah. Apabila seseorang membunuh kepala negara, sekalipun dengan tujuan politik tanpa suatu pemberontakan yang terorganisasi dari sekelompok orang untuk mengulingkan pemerintahan yang sah.

Salah satu macam dari tindak pidana jarimah atau jinayah adalah tindak pidana pemberontakan. Pemberontakan adalah bangkangan yang dilancarkan oleh sekelompok kaum muslim terhadap penguasa yang sah, karena suatu hal yang menyangkut masalah politik pemerintahan, sehingga mengakibatkan mereka memisahkan diri dari kesatuan. Dalam sebuah negara yang berdasarkan hukuman-hukuman Islam, pemberontak yang wajib diperangi adalah sebagaimana yang tertakluk pada syarat-syarat berikut:

1. Mereka yang mempunyai kekuatan dan yang telah berterus-terang secara terbuka

menentang pemerintah/kerajaan yang adil.

2. Mereka yang telah keluar dari tadbiran Ulil amri, dan telah membentuk pemerintah/kerajaan yang lain dan telah melatik seorang imam yang lain.

3. Terdapat perbedaan pendapat, dimana mereka menganggap bahwa mereka boleh keluar dari kontrol pemimpin.


(32)

4. Mereka telah melakukan kekacauan dalam negeri seperti membakar, membunuh dan sebagainya.32

5. Mereka yang memberontak adalah jamaah yang kuat dan bersenjata, sehingga untuk mengembalikan mereka kepada ketaatan, pemerintah membutuhkan persiapan tenaga manusia, materi dan perang. Jika mereka tidak memiliki kekuatan, sekalipun terdiri dari beberapa orang tetapi tidak mempunyai perbekalan, baik senjata maupun logistik, yang memungkinkan mereka dapat mempertahankan diri, maka mereka tidak dikatakan bughat, karena mudah

ditangkap dan dikembalikan kepada ketaatan.

6. Mereka mempunyai pemimpin yang ditaati sebagai sumber kekuatan mereka, karena tak ada sesuatu kekuatan jemaah yang tidak memiliki.33

Sekiranya terdapat syarat-syarat tersebut ada pada pemberontak, maka mereka harus diperangi. Hukuman terhadap mereka adalah mati.34 Kebolehan melakukan pembunuhan kepada mereka dengan jalan yang diperangi atau tumpas semata-mata untuk memelihara persatuan dan kesatuan dan untuk menegakkan hukum Allah dimuka bumi. Adapun jika salah satu kelompok dari kaum muslimin yang memberontak, menentang pendapat (kebijakan) kaum muslimin dan menganut pendapat yang mereka ciptakan sendiri, jika dengan pendapatnya itu mereka masih

1 = 0 : * ( ( "

+ , - * ! " 1$

< ( : ) 8 0

, 133%& 43(

( = 0 : * ( ( "


(33)

taat kepada imam, tidak memiliki daerah yang mereka berdomolosi didalamnya, mereka terpecar-pecar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam jangkauan kekuasaan negara Islam, maka mereka dibiarkan. Mereka tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin yang lain.35

Ibn Taimiyah menyatakan bahwa orang-orang yang menimbulkan kekacauan yang mundur boleh dibunuh, jika mereka mundur kepada kelompoknya dan ditakutkan kembali memerangi lagi, berbeda dengan orang yang terluka dari mereka, mereka tidak boleh dibunuh. Alasanya karena terluka ini memungkinkan keburukannya terhenti, berbeda dengan yang lari mundur, keburukannya belum terhenti.36 Jika terdapat dari kalangan mereka yang terbunuh, maka wajib dimandikan, dikafankan dan dishalatkan. Jika si terbunuh dari golongan adil ia menjadi syahid, tidak perlu dimandikan dan dishalatkan karena ia gugur di dalam meneggakkan perintah Allah, tidak ubahnya dengan syahid yang gugur pada waktu memerangi orang kafir.37

Pemberontakan dalam arti upaya menggulingkan pemerintah yang sah itu dapat disejajarkan dengan pengkhianat. Alasan hukum keberlakuan sanksi yang dikemukan pada ayat Al-quran di atas bertujuan untuk menciptakan sistem

4 ) & ( " ! : ) 0 )7

> > ) 8 , F 1333& 1

2 - " " # . . " ,

, + # " " + , ' , ( ' /

! : ** > , #

133'& 31


(34)

kemasyarakatan dan kewibawaan pemerintah. Seperti yang diketahui bahwa manusia membutuhkan teman pergaulan antara seorang dengan yang lain sehingga diperlukan seorang pemimpin, sistem peraturan yang menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat. Sistem peraturan yang disepakati akan berjalan dengan baik bila semua pihak mematuhi peraturan tersebut.38

Dasar hukum tentang hukuman bagi pemberontakan (al-baghyu) dalam hukum Islam sangat jelas terdapat di dalam dua sumber hukum yaitu al-Qur’an dan hadits.

a. Al-Quran

Allah SWT berfirman:

E

TE <JU 

6')

WX'Y') 

4 IR M

4 I :\ ] 7

_ `a 0 4

bE c 7

:d ! 0

ef L

g 

P%  hi

4 IR ' j 7

klmF kT22A  Dknm 8ogpq  g r $ ) . 3 D

E c 7

: 8 7

4 I :\ ] 7

_ `a 0

ls:L R 0

4 oI89pt M .

4

*E F

a ' 8u

vwX'9pt 

L Z3

[

Artinya: “Dan jika dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikanlah di antara keduanya; jika salah satunya berlaku zalim terhadap yang lain, maka lawanlah kelompok yang zalim itu sehingga ia kembali mematuhi perintah Allah; jika ia kembali patuh maka damaikanlah di antara keduanya dengan adil (menurut hukum Allah), serta berlaku adillah kamu (dalam segala perkara); sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil”.(QS. al-Hujurat/49: 9).


(35)

Ayat di atas menetapkan, jika orang mukmin saling bermusuhan, maka jamaah yang memiliki kebijaksanaan wajib segera campur tangan untuk mendamaikan. Sekiranya salah satu golongan membangkang dan tidak ingin berdamai, pada saat itu semua kaum muslimin berkewajiban bersatu padu untuk

memerangi golongan yang membangkang.39

b. Al-Hadits

Banyak hadits yang membahas mengenai pemberontakan, kebanyakan hadits ini lebih melihat dari sanksi hukum bagi para pemberontak, diantaranya:

-

ﺽ+ \ Oﻡ "ﺏ -

# "#

#

. E(

/+ .

ﺹ - .

\ 23ی D

^<ﺙ ` ﺡaﺏ D; Oﻡ b ﻡ

A c

T

d6( ﺏ d6(

e+ 7

G+ 6& E(ی

$# &Z

Oﻡ ? +

40

Artinya: “Dari Abdillah bin Mas’ud r.a. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Tidak halal darah seorang muslim melainkan karena salah satu dari tiga sebab: (1) Orang tua yang berzina, (2) jiwa dibalas dengan jiwa, dan (3) orang yang meninggalkan agamanya yaitu orang yang memisahkan diri jamaahnya. ( H.R. Muslim).

Pengertian memisahkan dari jamaah adalah meninggalkan jamaah orang Islam (menentang keputusan-keputusan Ahlul Hal wal Aqd.41 Dan ketika seseorang telah melakukan ketiga hal yang telah disebutkan hadits diatas, maka agama menganjurkan kepada kita untuk membunuhnya, hal ini dilakukan apabila tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan. Allah sudah tegas mengatakan bahwa golongan yang harus diperangi oleh pemerintah yang sah adalah mereka yang

$ < ( 43

(3 ) )70 :6: ? )70 )7A @ )78@ 6 @ (

. +6 6 )7- 6 )79 @ & : * 14 2%2& 31

( - " 0 7 < & " - ; *


(36)

membuat kerusakan dan gangguan terhadap anggota masyarakat yang tidak bersalah, di dalam hadits lain disebutkan:

cM "ﺏ یf "# g&#

"#

.

+

. ی

ﺹ - . /

ﻡ ﻡ; hی ﺏ "ﻡ

? ی $ 6ﺹ ? 9#,1

ﺏ ﺽ 1 E#f (ی ﺥi j I Ta1 Y 97/ T; E 9 1 E

&ﺙ

ﺥk l(#

42

Artinya: “Dari al-A’masy dari Zaid bin Wahab berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa orang yang memberikan persetujuan dan kesetiaan kepada imam, maka taatilah dia samampu mungkin. Apabila orang lain mempersengketakan kekuasaan penguasa tersebut, maka potonglah leher orang itu ( H.Rm Muslim)

"#

E(# - ﺽ+ ی ﺵ "ﺏ $Z1 #

.

&/

- . /+ n

/ E # -

. ی

G 6ی ! Q %# l>ی T! ی ی ﺡ 2I+ # h &I Q ﻡ! Q )! "ﻡ

? 7 1 =7# &I

? +

Oﻡ

43

Artinya: “Dari Urfajah bin Syarim r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Siapa orang yang mendatangi kamu sementara kamu telah sepakat (mengakui pemerintahan yang sah), maka bunuhlah dia yang ingin memisahkan diri dari jamaah kamu”. (H.R. Muslim).

D. Pemberontakan Pada Zaman al-Khulafaur al-Rasyidun

1. Pada zaman Abu Bakar ash-Shiddiq

Rasulullah tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa yang akan menggantikan dirinya sebagai kepala negara. Sementara dalam dua sumbar ajaran Islam; Al-Quran dan hadits juga tidak dapat petunjuk yang jelas tentang proses suksesi. Belum lagi jelas dikuburkan, umat Islam kaum Muhajirin dan Anshar

(1 )78@ 6 @ ( (2 '((& (%1


(37)

sudah melakukan debat sengit untuk mendudukan masing-masing tokoh mereka sebagai khalifah. Setelah melakukan debat yang cukup sengit, akhirnya secara aklamasi Abu Bakar menjadi khalifah untuk menggantikan kedudukan Nabi sebagai kepala negara, hal ini juga dilandasi dengan semangat ukhuwah Islamiah yang tinggi, dan juga hal ini karena Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam.44 Sebagai khalifah pertama umat Islam ia menegaskan hak umat Islam untuk mengawasi dan mengeritik pemimpinnya (menganjurkan adanya oposisi yang loyal dan konstruktif) yang dipilih dan di bai’at oleh mereka sendiri, rakyat harus mendukung rencana dan program pemerintah, karena rencana program itu semua untuk masyarakat dan tidak bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasulnya. Begitu pula sebaliknya rakyat harus mengawasi pelaksanaan pemerintahan karena bisa saja pemerintah melakukan hal-hal yang merugikan rakyat. Rakyat harus patuh terhadap pemimpin yang betul-betul menjalankan hukum Allah dan Rasul-Nya.

Dalam menjalankan tugas kepemimpinannya, dia tetap konsisten dengan sistem yang berlaku pada masa Nabi dan (juga konsisten) dengan pidato awal pelantikannya sebagai khalifah. Abu bakar tidak dapat berbuat banyak untuk menyebar luaskan Islam selain dia mengatasi gejolak-gejolak internal yaitu menghadapi umat Islam yang banyak kembali murtad dan orang-orang Islam yang tidak mau membayar zakat tetapi semua itu bisa diatasi dengan

(( 0 0 ( ) # C "


(38)

bermusyawarah dan jalan terakhir dengan memerangi mereka yang murtad dan tidak membayar zakat. Beberapa kejadian yang pernah dihadapi pemerintahan Khalifah Abu Bakar dalam menjalankan kehidupan bernegara sebagai kepala pemerintahan:

a) Timbulnya sejumlah Nabi Palsu di beberapa daerah, seperti Musailamah al-Kadzab dari Bani Hanifah, Yamamah Ablahah Dzulkhimar atau dikenal dengan al-Aswad al-Ansi di Yaman, dan Thulaihah bin Khuwailid di Bani Asad. Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan).45 Gerakan kemurtadan yang timbul setelah wafatnya Rasul SAW baik yang dilakukan oleh golongan munafik yang memang mereka menginginkan keluar dari Islam, atau pun kemurtadan yang dilakukan oleh suku-suku Arab lain karena alasan politis dimana mereka menilai suku Quraisy telah menggunakan Islam sebagai salah satu cara untuk menguasai mereka, bahkan sebagian dari suku-suku itu bergabung dengan kelompok nabi palsu bukan karena mereka percaya dengan kenabiannya tetapi hanya untuk berkoalisi dalam menghadapi Quraisy.46 b) Kelompok Islam yang tidak mau mengeluarkan zakat atas dasar ta’wil dan

penafsiran yang mereka pegang. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa

(4. C ( ) + # , - ; : F # 1332 &

2

(2 ) . G )7


(39)

tindakan menghalangi suatu hak yang difardhukan Allah SWT seperti zakat termasuk kedalam kategori bughat.47

Sebelum menggempur kaum pemberontak, terlebih dahulu Abu Bakar memberikan peringatan agar kembali kepada Islam. Namun seruan itu mereka tidak menerima. Akhirnya Abu Bakar mengunakan kekuatan senjata. Semua pemberontak dapat dipadamkan. Ada yang kembali kepada Islam, bagi mereka yang kembali kepada Islam, mereka dimaafkan oleh Abu Bakar. Sedangkan yang tetap membangkang, terus digempur hingga pemimpin-pemimpin pemberontak terbunuh, seperti Musailamah yang mengaku menjadi nabi. Selama enam bulan terhitung, Abu Bakar berjuang memadamkan pemberontakan suku-suku Arab dan nabi-nabi palsu tersebut.

2. Pada zaman Umar ibn al-Khathtab

) . # B )7> "

: ) # ) ) " ) .

" " B " )

) ! "

! B (' B ) : > ) # !

# . 1 , ) 0 : :

B " " ) )7 )

(% # $ '1


(40)

" " 7 7 "

B " 7 " ! ! " ) ""

" ) + " ! !

" B " 7 " " " "

" " "7 " "

! + B ) ) ) "

! ) ! :

# ) ($

Secara prinsip pada pemerintah Umar ibn al-Khathtab ini tidak ada tindakan yang terjadi seperti pemberontakan dari kaum murtad dan orang yang enggan membayar zakat, namun dalam akhir pemerintahannya beliau meninggal dalam keadaan syahid setelah dibunuh oleh orang dari keturunan Yahudi.

3. Pada Zaman Usman ibn Affan

Usman ibn Affan merupakan khalifah yang ketiga, sebagaimana halnya dua khalifah sebelumnya, Usman juga menyampaikan ”pidato kenegaraan” saat pelantikannya menjadi khalifah. Akan tetapi pidato yang disampaikannya itu lebih bersifat sebagai nasihat seorang tua kepada anak-anaknya. Kalau diteliti lebih jauh Usman bukan seorang negarawan seperti Abu Bakar dan Umar, selama hidupnya Usman dikenali sebagai seorang pengusaha sukses yang banyak


(41)

menyumbangkan harta bendanya untuk kepentingan Islam. Pengangkatan Usman sebagai khalifah merupakan suatu kemenangan bagi Bani Umaiyah terhada Bani Hasyim.50

Periode pertama kekhalifan Usman berlangsung sangat damai. Selama masa itu, kaum muslimin mendapatkan banyak kemenangan. Kekhalifannya telah diperkuatkan sampai pada sebuah wilayah yang sangat luas, kemudian terkenal di dunia. Tetapi bagian akhir kekhalifan Usman telah dikacau oleh suatu perang sipil yang mengerikan, yang akhirnya membawa pada pembunuhan terhadap khalifah sendiri. Usman seorang yang sangat bijak dan berhati lembut. Musuh-musuh Islam mencari suatu kesempatan yang tepat untuk bertindak melawan Islam dan kaum Muslim. Mereka telah mendapat peluang dengan mengirimkan orang untuk mengganggu kedamaian serta menyebarkan khabar-khabar angin.51

Tidak ada mutasi yang berarti bagi pejabat pusat dan daerah. Tetapi karena adanya perubahan generasi dari angkatan para sahabat ke putra-putra mereka melalui kebijaksanaan Usman berubah mengikuti tuntunan generasi muda dari kalangan generasi keluarganya sendiri, tetapi juga dalam menggunakan keuangan negara tidak untuk kepentingan masyarakat secara luas. Kebijakan ini menimbulkan banyak protes dan kecaman banyak masyarakat Muslim, baik dari kalangan senior maupun dari golongan muda yang bukan keluarga dekat khilafah.

43 < ) ( 0 " " ! " + " 1

, F 133 & 2%

4 : ) > ( + ( ; ) F


(42)

Ditambah oleh kenyataan tidak ada kontrol dari anggota majelis Syura (orang-orang yang ditunjuk Umar untuk memilih khalifah pasca dirinya) karena mereka selalu berkunjung ke wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan dan menjadi wilayah Islam, kebijaksanaan Usman bertambah buruk. Sementara para keluarganya senantiasa turut menentukan setiap keputusan dan kebijaksanaan khilafah.52

Melihat kondisi yang semakin tidak menentu itu, timbullah kelompok pemberontak yang berkumpul dikota Madinah. Kehadiran mereka di Kota Madinah sebenarnya hanya ingin mengajukan tuntutan agar khalifah memecat para pejabat yang menurut mereka tidak benar menjalankan tugas. Karena keluarga yang dituntut itu keluarga dekat khalifah, maka tuntutan mereka ditolak. Suasana kacau tidak terkendali dan pemberontakan mengepung rumah kediaman khalifah, walaupun pasukan keamanan pemerintah memberikan perlawanan, namun tidak cukup berarti karena pasukan pemberontak lebih banyak hingga

akhirnya pemberontakan berhasil membunuh Usman ibn Affan.53

4. Pada zaman Ali bin Abi Thalib

Setelah Saidina Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi Khalifah dia langsung mendapat tantangan dari keluarga Khalifah Usman terutama Muawwiyah bin Abi Sufyan, selain bahwa pembaitan terhadap Saidina Ali tidak

41 . " G ; $'%&

'%


(43)

dihadiri oleh majelis syura, juga karena wilayah Islam semakin luas, maka yang berhak menentukan jabatan khalifah tidak hanya mereka yang berada di Madinah, tetapi juga hak mereka yang menjadi wilayah-wilayah baru Islam pendapat Muawwiyah bin Abi Sufyan juga didukung oleh pejabat di Madinah yang kemudian bergabung dengan dirinya di Syria. Pertentangan terus berlanjut.

Permasalahan yang dihadapi oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib ini juga berbeda dari pemerintahan sebelumnya, kalau pada pemerintahan Abu Bakar disebabkan oleh adanya syubhat di dalam penafsiran mengenai hukum, maka

pada periode Ali ini lebih disebabkan oleh politis yang sangat urgent (pokok)

untuk menyebabkan adanya pemberontakan (bughât). Di dalam sejarah umat

Islam sedikitnya ada tiga kelompok kaum bughat yang timbul sewaktu

kekhalifahan Ali, mereka terdiri dari ahlu al-Jamâl di Bashrah, kelompok

Mua’wiyah di Shiffin dan al-Khawarij di Nahrawan.54

E. Peran Syura dalam Menerapkan Prinsip Darurat

Prinsip darurat didasarkan bahwa darurat itu diukur dengan ukuran keburukannya. Artinya, darurat memperbolehkan kita melanggarnya agar jangan sampai melampaui ukuran yang ditentukan (dipaksa) oleh darurat yang sebenarnya. Oleh itu, untuk membatasi ukuran ini adalah syûrâ. Darurat sebagai suatu teori umum

dan serba meliputi merupakan dasar bagi fleksibilitas (kelenturan) dari banyaknya


(44)

hukum-hukum syar’i, baik yang berhubungan dengan akidah, ibadah, pemerintah maupun muamalah. Dalam konteks keterwakilan (syûrâ), prinsip darurat (dhârûrî)

dapat dijelaskan sebagai prinsip yang didasarkan kepada standar batas negatifnya. Artinya darurat yang membuka peluang pergeseran hukum boleh (ibâhât) itu adalah

yang tidak melampaui batas-batas darurat. Ukuran yang dapat distandardisasi untuk melihat baik tidaknya darurat itu difungsikan, adalah melalui standar syûrâ.55 Dengan demikian, syura dapat diangkat untuk menentukan demarkatif (batas pemisah) suatu

regulasi (pengaturan) dapat disebut melanggar atau tidak melanggar.56

Darurat itu merupakan berpengaruh pada sikap pribadi, dan juga berpengaruh pada ketetapan jama’ah, rakyat atau umat, setiap suatu ketetapan yang dikeluarkan di dalam syura adalah ketika keluar dari kehendak bebas, jauh dari tekanan dan paksaan,

baik paksaan ini datang sebagai hasil dari perbuatan pihak kedua itu sendiri atau dari kondisi-kondisi asing dari kedua belah pihak. Sebagai hasil dari itu, pihak yang melakukan tindakan pemberontakan dan kemudian menang dari pihak asing yang

menyerang sehingga dipaksakan kepada ahl hall wal aqd yang kemudian mengambil

suatu ketetapan tentang pengakuan terhadap pemerintahannya, dan mereka pun benar-benar telah mengeluarkan ketetapan ini tanpa ada pilihan bebas bagi mereka, maka ketetapan ini jelas merupakan ketatapan yang tercela, tidak mengikat mereka,

44 ) C # 2+ , " 3 & + # " # , %

% 4 ) . ; & " " ! "

( ) , $$4& 4$4

56

Asap Taufik Akbar, “Fikih Politik NU (Pendekatan sosialisasi Atas Lahirnya Konsep Wali Al- Amr al-Dlarury bi al- Syaukah)”, Makalah tidak diterbitkan, (Jakarta: PPs. UIN, 2002), h. 5


(45)

dan tidak pula mengikat orang lain. Hal itu berarti bahwa mereka harus cepat-cepat membatalkannya dan membersihkannya dari perbuatan tersebut. 57

Syûrâ yang merupakan sebuah sistem yang mencapai tujuan secara syar’i dan

ditetapkan dengan melihat manfaatnya serta disepakati oleh banyak orang adalah sebuah solusi (penyelesaian) untuk menetapkan sebuah keadaan yang dianggap genting dan darurat. Akan tetapi, mengakui sahnya pemerintahan darurat bukan berarti tidak lagi memperdulikan perbedaan antara pemerintahan itu dengan pemerintahan yang sah secara syûrâ yang perwujudannya ialah khalifah yang sah dan

(râsyidah) lurus.58

Setelah mengatahui penjelasan bagaimana dan tindakan hukum Islam dalam mengatasi masalah darurat negara disebabkan pemberontakan, oleh itu, penulis akan meneruskan pada bab tentang Konsep Keadaan Darurat Dalam Perundangan Malaysia

4% - # < 7 ( " " : )

+: ) E ( - ! , F $$1&

4$%


(46)

BAB III

K0NSEP KEADAAN DARURAT DALAM PERUNDANGAN MALAYSIA

Dalam mendirikan sebuah negara, pasti menginginkan sebuah negara dan bangsa yang mewujudkan akan keselarasan yang dinamis. Namun demikian, perjalanan untuk membina sebuah negara yang aman dan damai itu terdapat permasalahan oleh beberapa kasus yang menyebabkan negara ini dapat dikatakan darurat.

Dalam perjalanan sejarah, sejak kemerdekaan sampai sekarang, negara Malaysia tidak pernah terlepas dari aneka peristiwa dan kejadian-kejadian yang bersifat luar biasa, baik di bidang politik, di bidang ekonomi maupun di bidang sosial. Demikian pula, bencana alam terus-menerus menerpa dari waktu ke waktu, baik yang datang dari laut, udara, maupun dari perut bumi. Bencana alam juga datang dari manusia, dari hewan seperti flu burung, nyamuk demam berdarah, dan lain-lain sebagainya.59 Demikian penulis akan meneruskan pada bab ini bagaimana awal kejadian darurat di Malaysia dan apakah yang dikatakan perbuatan yang membahayakan negara, siapakah yang berhak dalam memberikan ketentuan apabila berlakunya darurat negara serta bagaimana pemerintah atau Perundangan Malaysia dalam menyelesaikan masalah ini.

4$ - )) + + # , + "

! "H0 ) > ) " ) " + ) I + .


(47)

E. Kriteria Perbuatan dan Tindakan Pemberontakan yang Dikatakan Negara Dalam Keadaan Darurat

Keadaan darurat negara terdapat dalam Pasal 150 Perlembagaan Malaysia. Dalam ayat (1) Pasal 150 dinyatakan:

Jika Yang di-Pertuan Agong berpuas hati bahawa suatu darurat besar sedang berlaku yang menyebabkan keselamatan, atau kehidupan ekonomi, atau ketentera-man umum di dalam Persekutuan atau ketentera-mana-ketentera-mana bahagiannya terancam, maka Yang di-Pertuan Agong boleh mengeluarkan suatu Proklamasi Darurat dengan membuat dalamnya suatu perisytiharan yang bermaksud sedemikian.

Berdasarkan Pasal 150(1) tersebut bahwa apa yang dimaksud darurat adalah satu darurat besar atau terjadinya suatu keadaan yang genting, kacau, buruknya keadaan yang membahayakan serta mengancam keselamatan (keamanan) negara atau kehidupan perekonomian negara.60 Akan tetapi Perlembagaan tidak memberikan definisi yang rinci tentang darurat dan jenis-jenisnya. Sehingga ada orang yang mengatakan bahwa suatu krisis itu belum sampai kepada tingkat darurat atau belum dapat dikatakan darurat, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa suatu keadaan krisis itu telah sampai kepada keadaan darurat. Adanya perbedaan pendapat tersebut tidak dapat memberikan penyelesaian yang pasti untuk keamanan negara. Oleh karena itu, Perlembagaan memberikan wewenang kepada Yang di-Pertuan Agong untuk menen-tukan apakah suatu keadaan krisis itu sudah mencapai keadaan darurat atau belum. Bagindalah yang dapat menentukan ada tidaknya keadaan darurat tersebut, walaupun pada hakekatnya Baginda berbuat demikian atas nasihat dari Jemaah Menteri.61

23 # $ ((


(48)

Berkenaan dengan tidak adanya penjelasan yang rinci tentang darurat dalam Undang-undang, Lord MacDermott sebagaimana dikutip oleh Wu Min Aun mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keadaan darurat seperti yang dipakai dalam pasal 150(1) tidak hanya dibatasi kepada mengunakan kekerasan ataupun ancaman kekerasan di luar undang-undang dalam segala bentuknya, makna asal kata darurat itu juga dapat mencakup keadaan-keadaan atau suasana dan peristiwa yang luas, termaksuk berbagai kejadian seperti perang, kemarau panjang, banjir, wabah penyakit dan jatuhnya kerajaan atau pemerintahan.62

Keadaan bahaya atau darurat itu sendiri dapat terjadi dalam beberapa kemungkinan bentuk dan viarasi, mulai dari yang paling besar tingkat bahayanya sampai ke tingkat yang paling kurang bahayanya. Tingkat bahaya yang timbul juga ada yang bersifat langsung dan ada pula yang bersifat tidak langsung. Oleh karena itu, dipandang dari pengertian demikian, keadaan-keadaan demikian itu, dalam praktik, sangat bervariasi atau beraneka ragam bentuk dan tingkat kegentingannya yang memaksa kepala pemerintahan untuk bertindak cepat. Jika dirinci, keadaan yang demikian itu dapat berkaitan dengan keadaan-keadaan berikut:

a. Keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luar negeri.

b. Keadaan bahaya karena tentera nasional sedang berperang di luar negeri, seperti tentera Amerika Serikat berperang dengan Iraq.

c. Keadaan bahaya karena peperangan yang terjadi di dalam negeri atau ancaman pemberontakan bersenjata.

21 + , ( " + ,


(49)

d. Keadaan bahaya karena kerusuhan sosial yang menimbulkan ketegangan sosial yang menyebabkan fungsi-fungsi pemerintahan konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

e. Keadaan bahaya karena terjadinya bencana alam (natural disaster) atau

kecelakaan yang dahsyat yang menimbulkan kepanikan, ketegangan, dan mengakibatkan pemerintah konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Misalnya, musibah gelombang ”tsunami” di Aceh dan

bencana-bencana alam yang lainnya.

f. Keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara.63

Untuk setiap jenis bahaya atau keadaan darurat tersebut, diperlukan upaya- upaya yang berbeda-beda pula bentuk, corak, dan sifatnya. Bahkan untuk setiap jenis keadaan itu sangat mungkin memerlukan format perundangan yang juga berbeda-beda satu sama lain untuk ditugasi memulihkan keadaan agar menjadi normal kembali. Oleh karena itu, diperlukan pula pengaturan yang rinci mengenai mekanime untuk mengatasi keadaan darurat.

Suatu keadaan yang menyebabkan darurat negara terdapat dalam Pasal 149 ayat (1) yaitu perbuatan subversif,64 tindakan yang memudaratkan ketenteraman umum, pelaku perbuatan tersebut telah dianggap sebagai penentang subversif jika:

2 , ) < . " ' , ! " , - ; :

F # 133%& 2$

2( / # : )


(50)

a) Melakukan kekerasan terhadap orang dan harta atau menyebabkan orang banyak takut akan kekerasan tersebut;

b) Membangkitkan perasaan yang tidak suka terhadap Yang di-Pertuan Agong atau

mana-mana kerajaan dalam persekutuan;

c) Mengembangkan perasaan jahat atau permusuhan antara beberapa kaum atau golongan penduduk yang mungkin menyebabkan kekerasan;

d) Telah menyebabkan mudarat kepada penyelenggaraan atau perjalanan apa-apa bekalan atau perkhidmatan kepada orang ramai atau mana-mana golongan orang ramai dalam Persekutuan;

e) Mendatangkan mudarat kepada ketenteraman umum atau keselamatan,

persekutuan atau mana-mana bahagiannya. 65

Dengan demikian, keadaan negara dapat dibedakan antara keadaan normal dan keadaan yang tidak normal atau luar biasa yang bersifat pengecualian. Keadaan darurat negara yang bersifat tidak normal itu dapat terjadi karena berbagai kemungkinan sebab dan faktor. Penyebabnya dapat timbul dari luar (external) dan

dapat pula dari dalam negeri sendiri (internal). Ancamannya dapat berupa ancaman

militer atau ancaman bersenjata atau dapat pula yang tidak bersenjata, tetapi dapat menimbulkan korban jiwa dan raga di kalangan warga negara ataupun mengancam integritas wilayah negara yang kedua-duanya harus dilindungi oleh negara.66

24 ) , ( " % , % ,

) " + ) I + . & 11%


(51)

Keadaan yang tidak normal itu, jika terjadi harus dihadapi, diatasi, dan akibat-akibatnya harus ditanggulangi dengan maksud untuk mengembalikan negara kepada keadaan yang normal menurut Undang-undang Dasar dan peraturan perundang-undangan yang normal. Jika keadaan yang tidak normal itu terjadi, harus ada pemegang kekuasaan yang diberi kewenangan untuk membuat keputusan tertinggi dengan mengabaikan untuk sementara waktu beberapa prinsip dasar yang dianut oleh negara yang bersangkutan.

F. Sejarah Pelaksanaan Hukum Darurat di Malaysia

Di Malaysia telah banyak peristiwa atau kejadian luar biasa yang menyebabkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam keadaan biasa atau normal menjadi tidak berdaya dan tidak lagi efektif untuk dipakai guna mencapai tujuan pembentukkannya. Selepas Perang Dunia kedua, Malaysia pernah berada di bawah pemerintahan meliter. Darurat Tanah Melayu yang berlaku pada tahun

1948 sampai 1960 adalah persengkatan antara Partai Komunis Malaya (PKM) dengan kerajaan British di Tanah Melayu. Darurat tersebut telah diisytiharkan pada 7-7-1948.

Awal mula darurat dapat dikatakan bahwa semua berawal dari pendudukan

Jepang 1942-1945. PKM dan MPAJA (Malayan People Anti Japanese Army).

Nasionalisme orang Tanah Melayu yang telah dipengaruhi oleh orang Jepang sewaktu pendudukannya telah mendorong kepada mereka supaya ingin membentuk negara sendiri. Pembunuhan sebanyak tiga orang pengurus ladang keturunan Inggris


(52)

di Sungai Siput, Perak pada tahun 1948, telah menyebabkan negara menyatakan darurat di seluruh Tanah Melayu. Sebulan setelah itu PKM diharamkan. Yang paling teruknya, dapat dikatakan dengan pelarangan kegiatan PKM oleh negara Persekutuan Inggris karena dianggap sebagai partai politik yang radikal.67 Larangan ini telah menimbulkan ketidakpuasan hati oleh kebanyakan tokoh dalam PKM karena jasa mereka telah dilupakan oleh negara persekutuan Inggris sewaktu dalam penjajahan Jepang. Waktu itu juga, ketua PKM, telah mengubahkan dasarnya yang bersikap sederhana kepada bentuk yang agresif, yaitu dengan pembunuhan. PKM memulakan dengan mogok bersama dengan kesatuan para pekerja, serta pembentukan Persatuan Buruh Baru (New Democratic Youth League). Namun, pemogokan itu telah gagal dan

undang-undang yang baru dibuat oleh negara persekutuan Inggris untuk melemahkan PKM, seterusnya PKM menggunakan serangan bersenjata untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hubungan PKM dan negara kerajaan Inggris yang semakin buruk dan setelah Chin Peng sebagai ketua yang baru, gerakan bersenjata dibuat, dengan pembunuhan 3 ketua Kuo Min Dang (KMT), dan 3 orang pengurus ladang getah yang berbangsa Eropa, termasuk 1 penolong, pada 12-6-1948 dan 15-6-1948. Darurat Negeri dilaksanakan di Johor pada 19-6-1948.68

Pada permasalahan lain, Perundangan Darurat ini dikeluarkan disebabkan oleh tindakan kekacauan yang telah terjadi pada 1963, negara Malaysia mengalami krisis akibat ketimpangan kekayaan antara golongan keturunan Tionghoa yang

2% "" 566 $ $ ,6 6 7 " ! "" ) 1 , )

133' ! ) 4 33 .


(53)

umumnya pedagang, yang menguasai sebagian besar ekonomi Malaysia, dengan golongan miskin, penduduk Melayu. Selain itu, orang Tionghoa juga menguasai sebagian besar kekayaan negara.

Kerusuhan rasial di Singapura pada 1964 juga merupakan salah satu penyebab keluarnya negara itu dari Malaysia (dulunya Singapura merupakan bagian dari Malaysia), dan ketegangan rasial terus berlangsung. Kebanyakan orang Melayu tidak puas dengan negara yang baru saja merdeka itu yang berkeinginan untuk menenangkan etnis Tionghoa dengan pengeluaran mereka.

Pada pemilihan umum 10 Mei1969, koalisi Aliansi yang memerintah diketuai oleh United Malays National Organization (UMNO)69 menderita kekalahan besar. Partai terbesar golongan Tionghoa Democratic Action Party dan Gerakan mendapat suara dalam pemilihan, dan berhak untuk mengadakan pawai kemenangan melalui jalur yang telah ditetapkan di Kuala Lumpur. Namun, pawai yang berisik dan kasar dan menyimpang dari jalurnya dan mengarah ke distrik Melayu Kampong Bahru, mengolok penduduknya.70 Perusuh mulai beraksi di ibukota Kuala Lumpur dan wilayah sekitar negeri Selangor, dengan pengecualian gangguan kecil di Melaka

tempat lain di negara tersebut tetap tentram. Keadaan darurat nasional dan jam malam

diumumkan pada 16 Mei tetapi jam malam dikurangi di beberapa bagian di negara tersebut pada 18 Mei dan dihilangkan dalam waktu seminggu di pusat Kuala Lumpur.

2$B 8J ! ! ) )

%3 "" 566 $ $ ,6 6 7897 :+ # #7


(54)

Menurut data polisi, 184 orang meninggal dan 356 terluka, 753 kasus

pembakaran dicatat dan 211 kendaraan hancur atau rusak berat. Sumber lain menyebutkan jumlah yang meninggal sekitar 196 orang atau bahkan lebih dari 200 orang. Beberapa memperkirakan jumlah kematian bahkan mencapai 700 orang sebagai akibat dari kerusuhan.71 Dari peristiwa itu, maka perundangan darurat negara dibentuk.

Undang-undang darurat, sekalipun berlawanan dengan Perundangan, boleh dibuat oleh pihak lain, selain Perlemen atau Yang di-Pertuan Agong dengan syarat, pihak berkuasa itu telah diwakilkan dengan sempurna. Selanjutnya, setelah kita mengatahui sebagian sejarah mengapa dan bagaimana timbulnya pelaksaan hukum darurat di Malaysia, maka pada bab yang seterusnya, penulis akan menghuraikan perkara-perkara atau perbuatan yang mengakibatkan darurat.

C. Berbagai Kasus-Kasus Keadaan Darurat dalam Sejarah Di Malaysia

Sejak kemerdekaan sampai sekarang, telah banyak peristiwa atau kejadian luar biasa yang menyebabkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kejadian-kejadian tersebut mengandung dan mengakibatkan hal-hal yang mengancam dan membahayakan sehingga kondisi yang normal tidak dapat bertahan. Ancaman yang membahayakan itu sendiri beraneka ragam bentuk dan corak, yang berbeda-beda dari kasus yang satu ke kasus yang lain, pada satu tempat ke satu tempat yang lain. Untuk meghadapi berbagai potensi gangguan dan ancaman tersebut,


(55)

maka dalam Perlembagaan Persekutuan telah ditetapkan suatu aturan pada Pasal 149 yaitu tentang perbuatan subversif, tindakan yang memudaratkan ketenteraman umum dan Pasal 150 tentang pengumuman atau pemberlakuan keadaan darurat oleh Yang di-Pertuan Agong.

Berbagai pergolakan dan bencana yang bersifat membahayakan, sebagian besar di antaranya dapat di atasi dengan secara resmi. Ada beberapa keadaan darurat yang pernah diberlakukan di Malaysia. Deklarasi keadaan darurat untuk pertama kali telah dibuat oleh negara Inggris pada tanggal 13 Juli 1948 untuk mencegah keadaan luar biasa dan huru-hara yang ditimbulkan oleh pemberontakan komunis. Pada masa itu Tanah Melayu belum merdeka, negeri ini diperintah untuk mengikuti perjanjian persekutuan Tanah Melayu tahun 1948. Dalam perjanjian ini tidak disebut langsung sebab akibat darurat secara terperinci. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa perjanjian ini mengizinkan Majelis negara bagian untuk membuat undang-undang, memberi wewenang kepada negara pusat untuk membuat deklarasi darurat dan mengambil beberapa langkah mencegah keadaan huru-hara ini.

Pemberian izin ini dapat dilihat dalam kutipan “……peace order and good

government……..” untuk negeri-negeri di Semenanjung Malaysia sebagai tujuan dari

perjanjian itu. Undang-undang seperti ini tidaklah dianggap menyimpang dari bidang kewenangan (ultra vires) Perjanjian Persekutuan. Oleh karena itu, Majelis Negeri


(56)

Ordinan72 Peraturan Darurat 1948. Di bawah bagian pasal 3 ordinan inilah deklarasi darurat yang tertanggal 13 Juli 1948 itu telah dibuat oleh Badan Tinggi Persekutuan Melayu. Ordinan ini juga mempunyai beberapa turunan berupa undang-undang kecil yang telah dibuat dan dipraktekan untuk menghapuskan keadaan darurat tersebut.73

Selanjutnya, deklarasi darurat kedua yang dibuat oleh Yang di-Pertuan Agong pada 3 September 1964, dalam jangka waktu kurang lebih dua minggu sebelum lahirnya Persekutuan Malaysia. Negara Indonesia yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Soekarno dan menteri luar negeri Dr. Subandrio menentang dengan keras kelahiran Negara Malaysia. Konon Malaysia adalah suatu ancaman politik yang akan membahayakan kedudukan Indonesia. Pertentangan ini terjadi pada awalnya dalam arena diplomatik dan politik antarbangsa, tetapi apabila benar bahwa Malaysia akan memproklamirkan diri, maka Soekarno akan melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia dengan mengatakan bahwa para tentaranya sebentar lagi akan memasuki perairan negeri Johor, Melaka dan negeri Sembilan. Bahkan tak lama setelah itu, tentara Indonesia telah mendarat di beberapa tempat di Johor, Melaka dan negeri Sembilan. Namun, ancaman ini berhasil dicegah oleh Akta Keselamatan Dalam Negeri 1960 (sekarang-International Security Act), di mana seluruh wilayah pantai

selebar dua batu diukur dari air pinggir laut, wilayah perairan di negeri-negeri Tanah Melayu dan Singapura telah diumumkan sebagai batas wilayah darurat negara.

%1J ) ! ! " "7

"

% - )) + + # , + "


(57)

Tetapi, apabila tentara Indonesia akan mendarat di Pontian dan di Labis, Johor, Negeri sembilan dan Melaka yang telah diumumkan sebagai wilayah darurat negara, maka hal ini bertujuan agar Pasukan Keselamatan Malaysia (Tentara) dapat bertindak dengan bebas.74

Deklerasi darurat yang ketiga telah dibuat oleh negara pada 14 September 1966, yang bertujuan untuk menyelesaikan pertikaian politik yang membahayakan keadaan keselamatan di Negeri Sarawak. Ini telah dijelaskan oleh wakil Perdana Menteri, Tun Abdul Razak dalam pidatonya di Parlemen. Pertikaian politik yang timbul di negeri Sarawak pada waktu itu disebabkan karena ketua menteri Sarawak Datuk Stephen Kalong Ningkan, enggan meletakkan jabatan apabila beliau dipecat oleh Yang dipertuan Negeri Sarawak Tun Abang Haji Openg. Deklarasi darurat yang sangat penting ialah deklarasi yang dibuat oleh Yang di-Pertuan Agong pada 15 Mei 1969. Deklarasi ini dibuat karena adanya suatu konflik golongan antara orang-orang Melayu dengan orang-orang bukan Melayu yang meletus pada 13 Mei 1969 di mana sedang berlangsung pemilihan umum untuk legislatif dan juga negera bagian. Pada waktu kampanye pemilihan umum, isu-isu golongan telah muncul. Pada 13 Mei 1969 Pemilihan umum ini belum selesai dan keputusan pemilihan umum masih dalam tahap menunggu. Namun telah terjadi insiden pada saat itu yang menyebabkan warga sipil yang tidak berdosa terbunuh, rumah dan toko dibakar dan harta benda binasa. Oleh karenanya, Yang di-Pertuan Agong atas nasihat jemaah menteri yang ada pada


(58)

waktu itu telah membuat maklumat darurat.75 Sayangnya, parlemen tidak dapat bersidang karena parlemen yang lama telah dibubarkan dan parlemen yang baru belum terbentuk. Kemudian Yang di-Pertuan Agong membuat beberapa undang-undang yang dinamakan ordinan dengan menggunakan kewenangannya di bawah pasal 150 Undang-Undang Dasar Malaysia. Ada 77 ordinan semuanya yang dibuat oleh Yang di-Pertuan Agong yang meliputi berbagai permasalahan, tetapi ordinan yang terpenting ialah ordinan darurat (kuasa perlu) No. 1 dan ordinan darurat (kuasa perlu) No. 2. di bawah wewenang kedua ordinan ini dalam usaha mencegah darurat, pemerintahan di negara ini tidak lagi dijalankan dalam sistem bersama menteri tetapi dijalankan dengan satu sistem baru yang sama dengan pemerintahan militer.

Deklarasi darurat yang keempat, merupakan darurat yang terpenting ialah sebuah maklumat yang di buat Yang di-Pertuan Agong pada 15 Mei 1969. Deklarasi ini dibuat berdasarkan peristiwa perselisihan dan kerusuhan antara kaum (golongan) antara orang-orang Melayu dengan orang-orang non-Melayu yang meledak pada 13 Mei 1969. Hal ini terjadi pada bulan Mei 1969. Berikutnya, pada tahun 1977 pihak komunis telah melakukan kekacauan dengan melakukan pengeboman di tugu peringatan dan melempar bom di pos Polisi Kehutanan di Jalan Pekeliling, Kuala Lumpur yang merupakan bulan pemilihan umum untuk legislatif dan juga untuk pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (Undangan Negeri). Pada waktu kampanya pemilihan umum, isu-isu golongan telah ditimbulkan dengan ada batasan. Pada 13

%4 "" 566 $ $ ,6 6 7897 :+ # #7


(1)

* . ) 0& " + ) - , 1 ! "

&, D " G 7 # $$'

- )) + + # , + "

) " + ) I + . 1332

* + "

, ) , ") , 133(

! - # 2 + " '% 0+ " ( &"

G 3 & ! # ( 14 )

, " : B 8 1331

) E + , F # 133%

. " G ; $'%

E ) + , " " + "

, - ; : F # 133(

< , ) . " ' , ! " , - ; :

F # 133%

7 < - " 0 & " - ; *

$$' . "

+ , ( " + ,

> ) D ! 0 . $%'

" > ) ( " C + # , > ) D !

+ . 133

. " 6 ) 9 )@ B ? )70 )7+6 < @ (

! " . +6 )7 = # $$2 : *

. 5


(2)

. ) = ;

' ' : ) ) F #

% ) ! "

+ - ! 78 = $$

+ ) ) * ) ,

-. / 0 / $$%

+: ) ) A ' , "

- . ) $$4

+* ) % ,, , ) "

! & , - ; : F # $$%

0 # & + ,

-. ) . " $$

0 0 ( ) # C "

> > " $'$

0 - ## " ) ) " )

> ) D ! + . $'(

) , ( " % , % ,

) " + ) I + .

. ,

+ $$' , )

= 0 : * ( ( "

+ , - * " > )

D ! + ) = #

< ) ( 0 " " ! " + " 1

, F 133 &

) * 0 : % , , ) " - )

+8 .0+ ) " , 133

, ) < ( . ,

0 , *

, * ) % & "


(3)

> )) # ) % > +6 )70 @ 133

> : ) ( + ( ; ) F

1333

) & ( " ! : )

0 )7> > ) 8 , F

1333

8@ 6 @ ) ) )70 :6: ? )70 )7A @ (

. +6 6 )7- 6 )79 @ : *

! " # $$%

8 0 + " +

- )7 ) $$(

) " ( 5 &) ( ) +

, - ; : F # 1331

A * ) C *@ ? 9 ))6 ( # )

. +6 )75 : *

< ( : ) 8 0

, 133%

: * ) . " ' , 5 &) ( )

+ , B $$ )

< ) ; ! " , ** 133

" , + " , - ; :

F # 133(

? ) , )6) )7+@ 9 )7; 6 @ . & #

' . +6 )75 $$4

) . G

)78 )7 $%' , )


(4)

6 @ ) 0 ) ? ))6 &

# # > A : *

) - # < ( " " : )

+: ) E ( - ! , F

$$1

D , . # " 0. ) 1 ,

F 133

- " " # . . " ,

, + # " " + , ' ,

( ' / ! :

** > , # 133'

- " G 0 + , ) & > ) D ! K + $'%

- : ) . . ))

: ) . : ,

+ 133% , )

C # ) 2+ , " 3 & + # " # ,

% % 4 ) . ; &

" " ! " ( ) ,

$$4

C . ( ) + # , - ; : F # 1332

E ) ) & " . +6 )75 : *

77777777 % + +6 )75 133 , *

"" 566 $ $ $ 6 , $ E ,F C F 7; C 7 F8


(5)

"" 566 " $# , "$< 6=??B6?96

" ) $ " ! "" ) 12 8 !

133' ! ) $ 33 .

"" 566 $ $ ,6 6 7 " ! "" )

1 , ) 133' ! ) 4 33 .

"" 566 $ $ ,6 6 7897 :+ # #7

! "" ) 14 , ) 133' ! ) 4 3

"" 566 $ #$, ;$ 6 <6) 6 # 6=>7?=78>@A78>B?$ "


(6)