Latar Belakang Masalah Perkembangan Tenun Ulos di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan 1980-2006

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia menciptakan kebudayaan dalam menjalani dan mengisi kehidupannya. Kebudayaan itu berkembang dari waktu ke waktu, dengan tujuh unsur universal yaitu agama, bahasa, organisasi, sosial, pendidikan, teknologi dan kesenian, yang diwujudkan dalam bentuk ide gagasan, kegiatan tindakan dan artifak benda- benda. Dalam kebudayaan masyarakat Batak khususnya masyarakat Angkola Sipirok di Tapanuli Selatan memiliki artifak budaya berupa kain yang lazim disebut ulos atau abit. Sipirok 1 1 Menurut cerita lisan yang hingga kini masih hidup di tengah masyarakat, kata Sipirok berasal dari nama jenis kayu yang disebut Sipirdot. Setelah mengalami transformasi, kata Sipirdot berubah menjadi Sipirok yang digunakan sebagai nama untuk mengidentifikasikan satu kelompok masyarakat dan suatu kawasan tertentu yang merupakan wilayah kehidupan masyarakat yang bersangkutan di Kabupaten tapanuli Selatan. merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Sipirok tergolong dalam sub etnis Batak yaitu Batak Angkola yang mayoritas masyarakatnya adalah marga Siregar. Masyarakat Sipirok pada umumnya hidup dengan mata pencaharian dari sektor pertanian, pedagang, pegawai negeri, guru, pengusaha kerajinan tangan atau bertenun dan sebagainya. Kegiatan bertenun kain merupakan tradisi yang telah lama dilakukan masyarakat Sipirok, yaitu sejak awal abad ke 20. Tidak diperoleh keterangan yang Universitas Sumatera Utara 2 pasti sejak kapan sesungguhnya kegiatan bertenun tersebut berkembang di Sipirok. 2 Akan tetapi yang jelas, masyarakat Sipirok telah melakukan kegiatan bertenun sejak lama dalam memproduksi kain adat sekaligus pemasok utama Abit Godang 3 dan ParompaSadun 4 Kegiatan bertenun sangat identik dengan kaum wanita. Umumnya, kegiatan bertenun dilakukan diteras-teras rumah penduduk, dengan menggunakan alat tenun tradisional yang biasa mereka sebut dengan hasaya. , kedua jenis kain tenun ini digunakan dalam kegiatan upacara adat oleh masyarakat Sipirok. 5 2 Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan masyarakat Sipirok, Medan: BPPS dan USU Press, 1998, hal. 105. 3 Abit Godangyang berarti “Kain Kebesaran” merupakan kata lain dari penyebutan ulos bagi masyarakat Angkola Sipirok. Abit Godang atau Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayangg antara anak dan orangtua dan anak – anaknya atau antara seseorang dan orang lain. Bentuknya menyerupai selendang dengan panjang sekitar 1,8 meter dan lebar 1 meter, kedua ujungnya berjuntai – juntai dengan panjang sekitar 15 cm. Abit Godang biasanya digunakan sebagai sabe-sabe atau selendang manortor, penutup hidangan upacara Mangupa, barang bawaan yang diberikan oleh orang tua ketika putrinya menikah,dan sebainya. 4 Parompa sadun biasanya diucapkan paroppa adalah kain tenun tradisional sub suku batak Angkola.Kain ini berukuran kurang lebih 100 x 200 cm, dihiasi dengan manik – manik dan rumbai di ujung kain, dan tenunan motif khas.Paroppa dimaksudkan sebagai kain gendong meskipun tidak dipakai sehari – hari karena yang dipakai tiap hari untuk menggendong adalah tetap kain batik panjang. Kain adat ini diberikan oleh orang tua kepada seorang anak wanitanya yang baru di anugerahi anak pertama, baik bayi laki – laki atau perempuan, tetapi jika anak pertama adalah perempuan biasanya akan diberikan lagi jika adik lelaki pertama lahir, akan tetapi jika anak pertama adalah laki – laki, adik perempuannya tidak diberi lagi. 5 Hasaya merupakan seperangkat alat tenun tradisional masyarakat Angkola, Tapanuli Selatan.Alat ini merupakan alat tenun yang tergolong paling tua di angkola karena berkembang paling awal.Dalam pengerjaannya lebih mengutamakan tenaga tangan.Alat tenun tersebut terdiri dari beberapa bagian, yakni pamapan, pambibir, balobas, guyung sijobang, guyun raya, guyun lok-lok, simbolan, tipak, pagabe, pamanggung, dan tadokan.Alat tenun ini merupakan alat tenun sederhana.Terbuat dari kayu, bambu atau batang riman dan pelepah enau.Sebagai alat pengikat menggunakan rotan, tali ijak atau plastik.Semua bahan, peralatan dan perlengkapan untuk membuatnya dapat diperoleh disekitar kawasan permukiman pengrajin.Sehingga mudah dibuat oleh kaum laki – laki setempat. Pelaku kegiatan bertenun dapat dibagi dalam beberapa golongan, antara lain: a para pengrajin mandiri, yaitu mereka yang mengerjakan seluruh tahapan pekerjaan dengan tenaga sendiri dan modal Universitas Sumatera Utara 3 sendiri, b pekerja upahan, yaitu mereka yang hanya mengandalkan tenaga dan kepandaian bertenun dengan cara mengambil upahan sesuai dengan jenis pekerjaan yang dikuasai dan diminati, c para pengusaha 6 Kegiatan bertenun telah dikembangkan sebagai sebuah kegiatan usaha ekonomi di Sipirok. Hal ini dipelopori oleh seorang ibu rumah tangga yang kini lebih dikenal dengan nama Ompu Rivai. Kegiatan bertenun mampu menyerap sejumlah tenaga kerja wanita di daerah Sipirok sehingga sebagian dari wanita di Sipirok menjadikan kegiatan bertenun sebagai mata pencaharian utama dan sebagian lagi sebagai mata pencaharian selingan atau sumber penghasilan tambahan disela-sela aktivitas pertanian atau pekerjaan lainnya. , yaitu mereka yang memiliki modal besar dan dengan modal tersebut mereka mengupah orang lain untuk memproduksi kain tenun. 7 Pembinaan dan pengembangan kerajinan tradisional bertenun memperluas lapangan kerja sehingga dapat menampung pencari kerja, dan sekaligus melestarikan warisan budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa tumbuhnya jalur pemasaran merupakan salah satu pendorong berkembangnya kerajinan tradisional bertenun. Selain merupakan suatu warisan budaya yang perlu dilestarikan, dalam perkembangannya, kerajinan tradisional bertenun sudah banyak mengalami perubahan karena adanya inovasi dalam peningkatan benda-benda kerajinan yang menyangkut proses pembuatan, bentuk maupun motif-motif yang digunakan. Banyak 6 Para pengusaha ini pada umumnya merupakan sebagai pedagang yang memiliki toko di pasar Sipirok, atau memiliki jaringan pemasaran di luar Sipirok. 7 Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis,op.cit., hal. 105. Universitas Sumatera Utara 4 diantara hasil kerajinan tradisional yang mengandung nilai artistik yang khas dan sebagian telah memasuki pasaran sehingga memiliki nilai ekonomi yang semakin tinggi. Dengan demikian barang kerajinan tradisional artistik itu tidak hanya sekadar berfungsi dalam budaya masyarakat pendukungnya. 8 Seperti yang sudah dikatakan diatas, produksi kain tenun masyarakat Sipirok pada awalnya hanya terbatas pada dua jenis kain adat yaitu Abit Godang dan Parompa Sadun. Namun, sejak tahun 1980 mulai dikembangkan jenis hasil tenunan lainnya seperti bakal baju, kain sarung atau songket, hiasan dinding, taplak meja, dan lain-lain. Tidak hanya dari segi jenis hasil tenunan, masyarakat pengrajin kain tenun juga mulai berkreasi dengan kain tenun, mulai dari corak ataupun warna. Penganekaragaman jenis produk tenunan di Sipirok, secara langsung dan bertahap dapat meningkatkan permintaan jumlah tenaga kerja terampil. Hal ini tidak terlepas dari adanya bantuan dari pemerintah yang memberikan suntikan modal, peralatan Alat Tenun Bukan Mesin 9 8 J. Gultom,Pengrajin Tradisional di Daerah Sumatera Utara, Tanpa kota dan penerbit, hal. 2. 9 Alat Tenun Bukan Mesin lebih dikenal dengan sebutan Silungkang oleh penenun di Sipirok.Sebutan Silungkang untuk ATBM mereka analogikan dengan tenunan Silungkang di Sumatera Barat. Padahal, alat ini merupakan bentukukuran standar yang sama di balai pertenunan tradisional yang ada di Indonesia. , serta pelatihan. Sehingga, dalam perkembangan usaha kain tenun di Sipirok tidak terlepas dari peran pemerintah daerah Sipirok. Pemerintah daerah Sipirok senantiasa berusaha mendampingi pengrajinnya dalam memajukan hasil karya khas milik daerahnya, yang dalam hal ini berada dalam naungan Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tapanuli Selatan beserta Dewan Kerajinan Nasional Daerah Tapanuli Selatan. Universitas Sumatera Utara 5 Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang perkembangan tenun ulos di Sipirok yang juga berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat Sipirok yang juga tidak terlepas dari peran pemerintahnya dalam kesungguhannya untuk memperkenalkan dan memajukan hasil karya masyarakatnya. Penulis merasa tertarik memilih judul “Perkembangan Tenun Ulos di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan 1980 – 2006” . Penulis mulai dari tahun 1980, karena pada tahun ini perkembangan dari tenun ulos Sipirok mulai tampak dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari jenis produksi kain tenun yang awalnya hanya terbatas pada kain adat yaitu Abit Godang dan Parompa Sadun kini lebih bervariasi, seperti bakal baju, kain sarung atau songket dan sebagainya, sehingga wilayah pemasaran kain tenun Sipirok tidak hanya untuk wilayah Tapanuli Selatan tetapi juga ke berbagai daerah. Hal ini menjadikan masyarakat Sipirok lebih serius dengan kegiatan bertenun, yaitu dengan menjadikannya sebagai mata pencaharian pokok. Selain dari jenis produksi kain tenun yang mulai bervariasi, para pengrajin atau penenun mulai diperkenalkan sekaligus menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin disamping mereka masih menggunakan alat tenun tradisional hasaya milik mereka. Penelitian ini diakhiri tahun 2006, karena pemerintah daerah Sipirok semakin gencar memperkenalkan kain tenunnya kepada masyarakat luas yaitu dengan menjadikan kain tenun khas Sipirok sebagai ikon Sipirok yang dimulai dengan keputusan Bupati Tapanuli Selatan saat itu Ongku P. Hasibuan untuk mewajibkan kepada para pegawainya untuk menggunakan seragam dari kain tenun Sipirok. Hal Universitas Sumatera Utara 6 ini merupakan salah satu cara pemerintah daerah Sipirok untuk memperkenalkan dan mempromosikan kain tenun masyarakat Sipirok.

1.2 Rumusan Masalah