Kehidupan Ekonomi Masyarakat Sipirok Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Sipirok

27

2.4 Kehidupan Ekonomi Masyarakat Sipirok

Gunung Sibualbuali yang masih aktif membuat tanah di wilayah Sipirok tergolong subur. Umumnya mata pencaharian utama di Tapanuli Selatan khususnya Sipirok adalah bertani, dengan teknik pertaniannya yang masih sederhana atau tradisional. Dalam aktivitas pertanian, masyarakat Sipirok dahulu telah mengenal istilah “marsialapari” yaitu suatu sistem aktivitas gotong rotong yang dilakukan secara bersama-sama, secara bergantian dan bergiliran, sehingga dapat meringankan pekerjaan seseorang pada waktu sibuknya di sawah, seperti sewaktu menanam atau menuai panen. Sebagian besar penduduk di Kecamatan Sipirok bekerja di sektor pertanian baik sebagai buruh tani maupun sebagai petani sendiri. Selain pada sektor pertanian juga ada sektor industri kerajinan, perdagangan, jasa dan lainnya. Pertanian di Kecamatan Sipirok disesuaikan dengan keadaan topografi desa yang berada di Kecamatan Sipirok. Apabila topografinya datar maka akan bertani di sawah, dan apabila topografinya berbukit-bukit maka pertaniannya dibuat menjadi ladang. Komoditi pertanian yang diperoleh oleh petani adalah padi, sayur-sayuran dan buah- buahan serta tanaman kopi. Disamping berprofesi dalam bidang pertanian, maka bidang pekerjaan yang banyak digeluti oleh masyarakat di Kecamatan Sipirok adalah perindustrian, terutama yang bekerja dalam pembuatan tenunan kain tradisional masyarakat Sipirok. Penduduk yang terlibat dalam industri kecil ini seluruhnya adalah kaum perempuan. Universitas Sumatera Utara 28

2.5 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Sipirok

Pada dasarnya kesatuan hidup setempat atau komunitas terbentuk terutama karena “ikatan tempat kehidupan”, sehingga suatu komunitas selalu menempati satu kawasan territory tertentu di muka bumi. Oleh karena itu orang-orang yang tinggal bersama di suatu kawasan tertentu belum merupakan suatu kesatuan hidup kalau mereka tidak merasakan terikat oleh perasaan bangga dan cinta kepada kawasan yang bersangkutan. 28 28 Koentjaraningrat, op.cit.,hal. 155. Sebagaimana halnya pada masyarakat Batak, pada masyarakat Angkola dan Mandailing terkhusus pada masyarakat Sipirok juga dikenal sistem “Dalihan Na Tolu”.Dalihan Na Tolusecara harfiah adalah “tungku nan tiga” yang merupakan lambang dalam sistem sosial batak, yang juga mempunyai tiga tiang penopang, yang meliputi Mora, Kahanggi dan Anak Boru. Kelompok yang meliputi Mora merupakan kelompok kekerabatan yang berstatus sebagai pemberi anak gadis bride giver dalam hubungan perkawinan. Kahanggi adalah kelompok kekerabatan yang satu marga saudara yang masih dekat biasanya karena hubungan darah yang masih dekat hubungannya, sedangkan yang disebut anak boru merupakan kelompok kekerabatan yang berstatus sebagai penerima anak gadis bride receiver dari mora. Perkawinan yang menimbulkan ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang disebut tadi seolah- olah merupakan tiga tungku di dapur yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Universitas Sumatera Utara 29 Demikianlah pentingnya peranan ketiganya, yang dapat dilihat dari kenyataan bahwa upacara adat dalam masyarakat Sipirok hanya dapat diselenggarakan jika kerabat yang berstatus sebagai mora, kahanggi dan anak boru ikut serta melaksanakannya secara bersama-sama. Jika salah satu diantaranya tidak ikut berperan maka upacara adat mutlak tidak boleh diselenggarakan. Sehingga, untuk menjaga keutuhan hubungan baik dan kerja sama yang harmonis antara mora, kahanggi dan anak boru yang merupakan unsur atau komponen fungsional dari sistem sosial masyarakat Sipirok, maka masyarakat Sipirok memelihara hubungan perkerabatan dengan prinsip, yaitu Soma mar morauntuk memelihara hubungan baik dengan kerabat berkedudukan sebagai mora-nya, setiap orang harus senantiasa bersikap hormat dan memuliakannya, Manat-manat markahanggi untuk menghindarkan konflik dengan kerabat yang berkedudukan sebagai kahanggi-nya, setiap orang harus senantiasa berlaku cermat dan hati-hati, Elek mar anak boru setiap orang harus pandai-pandai mengajuk hati serta membujuk kerabat yang berkedudukan sebagai anak boru-nya. 29 29 Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis, op.cit.,hal. 136. Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah