Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan
108
tanggung jawab bersama baik lewat jaminan sosial maupun solidaritas sesama muslim.
Faktor berikutnya dalam mekanisme distribusi adalah kepemilikan. Menurut Sadr,
113
Islam memberikan keterbukaan kepemilikan pribadi dengan adanya sarana bekerja, akan tetapi, kepemilikan dalam Islam dibatasi aturan nilai
serta kepentingan sosial yang ditegaskan melalui Syari’ah. a. Peran Kerja al-‘amal dalam distribusi
Dalam Islam, kerja diposisikan sebagai faktor utama dari produksi. Menurut Sadr, untuk mengamati peran kerja dalam distribusi, terlebih dahulu harus
mengkaji hubungan sosial antara kerja serta hasil yang diperolehnya.
114
Kerja menurut Islam merupakan penyebab kepemilikan dari para pekerja. Sedangkan kepemilikan sendiri merupakan ekspresi dari
kecenderungan alami. Maka dalam Islam kepemilikan hak-hak individu mendapat tempat yang proporsional.
Dengan adanya peran positif kerja dalam Islam setiap individu dapat mengekspresikan seluruh kekuatan, bakat serta potensinya dalam
meningkatkan perekonomian suatu masyarakatnya. Sedangkan disisi lain pekerja dapat memenuhi kebutuhannya.
b. Peran Kebutuhan al-Haajah dalam distribusi Peran kerja dan kebutuhan tersebut secara terpadu membentuk pola
distribusi dalam masyarakat Islam, untuk mengenal lebih dekat peran
113
Ibid., h.120
114
Ibid., h.114
109
kebutuhan dalam distribusi, Sadr
115
membagi masyarakat ke dalam 3 komunitas :
Pertama, komunitas yang mendapatkan kesempatan kerja melalui bakat dan kemampuan intelektualnya. Komunitas tersebut dapat menyediakan
kebutuhan hidupnya dengan standar yang tinggi. Kedua, komunitas yang mendapat kesempatan kerja namun belum
sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Ketiga, komunitas yang tidak mendapat kesempatan untuk terlibat
dalam proses produksi baik kelemahan fisik maupun kemampuan intelektualnya. Menurut Sadr, konsekuensi dari pembagian diatas
mengharuskan komunitas pertama bergantung pada kerja untuk mendapat bagian dalam distribusi. Jika komunitas pertama bergantung pada kerja, maka
komunitas ketiga dalam perekonomian Islam bergantung pada permintaan akan kebutuhan dasarnya.
Pemahaman ini menurut Sadr,
116
berangkat dari realitas bahwa komunitas tersebut tidak dapat terlibat dalam proses produksi sehingga bagian
distribusi kelompok ketiga ini melalui instrument kebutuhan yang pengaturannya sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan social serta solidaritas
umum. Sedangkan pada komunitas kedua, Sadr menjelaskan adanya dua
instrument sekaligus. Di satu sisi mereka memiliki instrument kerja sesuai
115
Ibid., h.116
116
Ibid., h.119
110
dengan kemampuannya, di sisi lain berhak memperoleh bagian distribusi melalui sebagian kebutuhannya yang tidak terpenuhi melalui kerja.
c. Peran Kepemilikan al-Milk dalam distribusi Islam memberikan dua batasan terhadap hak kepemilikan pribadi.
Pertama, batasan aspek legal Islam, yaitu pelarangan atas berbagai transaksi yang mengandung unsur riba dan spekulasi. Kedua, batasan sosial ekonomi
yaitu adanya kepentingan social ekonomi yaitu adanya kepentingan sosial untuk membantu kebutuhan sesamanya melalui zakat, infaq serta shadaqah.
117
Jika penulis relevansikan pemikiran Sadr dengan ekonomi Islam, maka kita harus memahami terlebih dahulu apa makna ekonomi Islam itu sendiri.
Dalam hal ini, penulis mengkaitkan dengan pemikir muslim masa kini semisal, Adiwarman Karim.
118
Menurutnya “…Ekonomi Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang menjelaskan segala fenomena tentang perilaku pilihan dan
pengambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi dengan memasukkan tata aturan syariah sebagai variabel independen ikut mempengaruhi segala
pengambilan keputusan ekonomi. Dengan demikian, segala ilmu ekonomi kontemporer yang telah ada bukan
berarti tidak sesuai dengan ilmu ekonomi Islam dan juga tidak berarti semuanya sesuai dengan ilmu ekonomi Islam. Selama teori yang ada sesuai dengan asumsi
dan tidak bertentangan dengan hukum syariah, maka selama itu pula teori tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk membentuk teori ekonomi Islam.
117
Ibid., h.129
118
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007,h.5
111
Begitupun apa yang ditawarkan Sadr mengenai konsep distribusinya, hemat penulis meskipun Sadr adalah seorang yang berlatar belakang Syiah, tetapi
tidaklah mungkin jika pemikiran beliau ditinggalkan hanya karena faktor tersebut. Ternyata tak sedikit pemikiran beliau yang selaras dengan Ekonomi islam antara
lain seperti Zakat Khums Pajak,, Anfal, Fay, yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan kesimbangan sosial.
Berbicara ekonomi Islam maka secara otomatis akan tertuju pada Al- Qur’an dan As-Sunnah, karena keduanya merupakan rujukan utama Absolut.
Maka menurut penulis, Pemikiran Sadr tentang Konsep Distribusi diperkuat dalam Al-Qur’an, surat Al-Hasyr, ayat 7, “ Supaya harta itu jangan hanya beredar
diantara orang-orang kaya saja diantara kamu” serta adanya hadist Nabi yang menyebutkan bahwa “diantara sebagian harta kita ada hak untuk orang lain”.
Sejalan dengan itu, maka semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya mazhab ini
berusaha untuk menyusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung digali dan dideduksi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
119
Oleh karena itu, sikap umat Islami terhadap ilmu-ilmu dari Barat, termasuk ilmu ekonomi versi “konvensional”, adalah La tukadzibuhu jamii’a,
wala tushahihuhu jamii’a Jangan menolak semuanya, dan jangan pula menerima semuanya. Menurut Adiwarman Karim,
120
ekonom Muslim tidak perlu terkesima dengan teori-teori ekonom Barat. Ekonom Muslim perlu mempunyai akses
119
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007,h.31
120
Ibid.,h.12
112
terhadap kitab-kitab Islami. Di lain pihak, Fuqaha Islami perlu juga mempelajari teori-teori ekonomi modern agar dapat menerjemahkan kondisi ekonomi modern
dalam bahasa kitab klasik Islami. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan Sadr dalam proses pengkajian
dengan cara Ijtihad untuk menghadapi masalah-masalah kontemporer. Sadr
121
mulai menampilkan beragam pendapat ahli fiqh sebagai suprastruktur ajaran yang bersumber dari hukum. Selanjutnya, beliau melakukan deduksi terhadap
naskah-naskah klasik tersebut menjadi prinsip-prinsip umum dalam bidang distribusi.
Sadr
122
juga mendiskusikan dua teori pendapatan dalam perspektif Islam, yakni teori kompensasi dan bagi hasil. Pertama, seseorang berhak mendapat balas
jasa atas barang yang digunakan dalam proses produksi. Kedua, seseorang berhak mendapat hasil dari keikutsertaannya dalam proses produksi. Sebagaimana contoh
hukum yang mengatakan, “Pekerja berhak atas buah kerjanya.” Karena itu, Islam tidak mengakui bunga, karena pendapatan tanpa kerja bertentangan dengan
gagasan keadilan Islam. Jadi, fokus kajian dalam distribusi pra produksi berkaitan dengan sumber
daya alam yang merupakan faktor produksi. Sedangkan pada pengkajian distribusi pasca produksi lebih menitikberatkan pada teori pendapatan menurut Islam.
121
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, Kuala Lumpur, 1995, h.112-113
122
Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, Teheran : WOFIS, 1983, Volume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.132
113