Metodologi dan Ruang Lingkup Sadr

132 dengan barat sekuler dan bersifat fundamental dalam menentukan bunga yang sah dari orang demikian pula dalam menentukan batas permintaan. 148 Walaupun Sadr mengakui bahwa pendekatannya adalah satu hal yang berkaitan dengan hukum, dia tidak mempertimbangkan ekonomi Islam untuk menjadi setara dengan Fiqh Mu’amalat hukum yang berkenaan dengan transaksi atau hukum yang berkenaan dengan hak milik. Dia melihat pemikiran ekonomi Islam sebagai fondasi agar membentuk hukum yang berkenaan dengan ekonomi. Hukum ini menurut Sadr, adalah ditentukan dan dengan referensi bagi teori-teori dan konsep-konsep dimana pemikiran itu digambarkan. Dalam hal ini, Sadr percaya bahwa ada satu sistem ekonomi yang seluruhnya tercipta dan terselesaikan, walaupun mungkin tidak secara tegas disebut dalam sumber Islam sebagai contoh dalam Qur’an dan Sunnah dan fatwa-fatwa imam Syi’ah. Karenanya Sadr terus maju dengan proses penemuannya. Dalam proses penemuannya, semua hukum ekonomi dan perintah pengadilan, bersama-sama dengan banyak konsep yang berhubungan dengan ekonomi dan masyarakat seperti vicegerency, keadilan, property, ibadah, dan lainnya, adalah mempelajari bersama-sama dan kemudian digunakan untuk menemukan pemikiran ekonomi. Dengan kata lain, sesudah hukum terkumpulkan, fondasi pemikiran dari hukum ini ditemukan dalam sumber Islam. Ada juga suatu kebutuhan untuk ijtihad tuntutan intelektual independent, yang mana Sadr melihatnya sebagai kebutuhan untuk mengisi kekosongan antara prinsip permanen dan hukum fleksibel, untuk menentukan 148 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, Kuala Lumpur, 1995, h.111-112 133 batas dari permintaan dan untuk mengorganisir, secara teoritis, hukum dan konsep masuk kedalam suatu kesatuan utuh. Hal ini mendasari area fleksibel dalam ekonomi Islam. 149 Panggilan Sadr untuk membawa ijtihad membawa ke garis terdepan peran dari mujtahid ahli hukum independen, yang mana sebuah opini dianggap sebagai yang dapat diotorisasi. Bagaimanapun Sadr cepat untuk memperingatkan masalah subjektifitas, harusnya membebaskan intelektual ini diperlebar secara jauh, karenanya menyimpang dari sumber dan konteks aktual. Oleh karena itu, panggilannya meminta untuk sebuah pernyataan intelektual yang berkualitas, harus didalam batas-batas pertentangan yang diizinkan. 150 Didalam ikatan ini, kita bisa kemudian mengatakan Sadr itu memungkinkan kemungkinan dari opini-opini yang barvariasi terhadap berbgai hal ekonomi, semua menurut hukum dan bersumber dari Qur’an, Sunnah dan ucapan para Imam. Sebenarnya, kemampuan ini untuk menerima opini dari berbagai mujtahidin adalah bagian dari metodologi yang diadopsi oleh Sadr. Karena satu Mujtahid tidak benar dan tidak jujur dalam pertimbangan, Sadr menyukai fleksibilitas ini, dari pada kepatuhan dogmatis kepada opini satu mujtahid. 151

2. Asumsi Dasar Sadr

149 Ibid., h.112 150 Pada poin ini, ada ruang untuk tidak setuju dengan Katouzian 1984 yang menafsirkan pandangan Sadr dalam Ijtihadnya sebagai suatu hubungan dengan ukuran sewenang- wenang dari pemerintahan Shi’i, bahkan jika hal ini bertentangan dengan hadits nabi dan fatwa imam Shi’i 151 Ibid., h.113 134 Sadr tidak menerima pemikiran orang ekonomi agar supaya cocok dengan sistem ekonomi Islam. Sebagai penggantinya, kita mempunyai orang Islam, seorang individu yang melihat dirinya sebagai bagian dari ummah, yang termotivasi oleh kepercayaan anggapan dan praktek religius. Tidak seperti para ekonom konvensional, Ekonom Muslim percaya akan dunia ghaib atau spiritual, karenanya membuat dia lebih sedikit untuk dihubungkan kedunia materi. Hasil ini dalam arti yang berbeda dari sebuah rasionalitas dan perilaku rasional. Tidak seperti dengan para ekonom konvensional, motivasi adalah kepuasan pribadi yang utama, para ekonom Muslim juga diarahkan oleh ‘pengawasan dari dalam’. Konsep dari vicegerency dan keadilan meminta tugas, tanggung jawab dan pertanggung-jawaban, yang menyiratkan batasan tertentu terhadap satu kebebasan individual. Bagi Sadr, tidak ada pernyataan dari perasaan yang digumamkan oleh pembatasan-pembatasan ini karena suatu kebebasan, dan karenanya perilaku rasional harus dilihat dalam konteks kerangka sosial orang-orang Muslim, desakan dari individu untuk bertindak seperti para ekonom rasional dapat dipertimbangkan sebagai suatu yang tidak masuk akal. Sebagai contoh, kelebihan bunga riba dalam pinjaman uang tidak dapat diterima orang Islam, tetapi dengan orang ekonom biasanya, itu akan menjadi cara paling mudah untuk mendapatkan pendapatan. 152 Sadr juga tidak mempercayai pemikiran dari ‘keselarasan bunga’ , yang mendasari penekanan sistem kapitalis terhadap ‘kebebasan individual’. Dia tidak menerima pandangan bahwa kesejahteraan masyarakat akan 152 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, Kuala Lumpur, 1995, h.113